Bukan Siapa yang Dicela, namun Siapa yang Mencela
Bukanlah Soal Apa yang Dikritik, namun Siapa yang
Mengkritik
Bukanlah Jeritan Sakit Korban yang Patut
Dipermasalahkan, namun Perbuatan Sang Pelaku
Salah alamat selalu membuahkan “petaka”, tidak terkecuali “surat cinta” yang salah alamat. Pernahkah Anda mengalami atau melihat langsung, korban yang justru dipersalahkan dan dikritik oleh masyarakat atau bahkan oleh si pelaku yang telah merugikan, menyakiti, maupun melukai sang korban? Pernahkah Anda mengalami atau melihat sendiri, korban yang justru dituding dan dituduh “maling teriak maling”, oleh sang pelaku yang jelas-jelas dan benar-benar menzolimi sang korban? Pernahkah Anda mengalami atau melihat dengan mata-kepala Anda, sang pelaku yang justru lebih galak daripada sang korban? Pernahkah Anda mengalami atau melihatnya, korban yang harus mengemis-ngemis pertanggung-jawaban sang pelaku yang merasa “tidak takut dosa” dengan sikap tidak bertanggung-jawab? Pernahkah Anda mengalami atau melihat realita, sang pelaku selama ini rajin beribadah dan tampil berbusana agamais, bahkan menjadi pemuka agama? Pernahkah Anda mengalami atau melihat kenyataan di lapangan, “IBLIS berbulu MALAIKAT”? Negeri ini, ironisnya, tidak pernah kekurangan “IBLIS berbulu MALAIKAT”.
Penulis telah pernah serta
“kenyang” mendapati pengalaman-pengalaman pahit demikian selama lahir dan
tumbuh besar hampir separuh abad lamanya di Indonesia, negeri dimana
penduduknya notabene “agamais” namun gemar merampas hak-hak warga lain—fenomena
merakyat dan berjemaah, pengendara kendaraan bermotor yang melaju secara melawan
arus, memaki pejalan kaki yang sekadar menggunakan haknya berjalan di sisi kiri
ruas jalan bahkan mengancam akan menabrak bila sang pejalan kaki tidak
mengambil resiko bergeser ke badan jalan yang penuh lalu-lalang kendaraan dari
arah belakang—serta disaat bersamaan tidak takut berbuat dosa (terhadap dosa
dan maksiat, demikian kompromistik. Namun terhadap kaum yang berbeda keyakinan,
demikian intoleran. Dosa dan maksiat di-haram-kan, namun “penghapusan dosa”
di-halal-kan; meski hanya seorang pendosa yang butuh “penghapusan dosa”,
“Agama DOSA” bagi para pendosawan).
Penulis bahkan pernah mengalami
kejadian dimana sang pelaku yang justru memanggil orang pihak ketiga untuk
menasehati dan menceramahi penulis selaku korban. Apakah tidak salah alamat,
korban yang justru diceramahi seolah-olah perbuatan pelakunya sudah benar dan
patut dipuji? Bahkan, penulis menjumpai adanya korban yang justru
dikriminalisasi, dimana pihak pelapornya ialah sang pelaku. Hal yang paling
berat selama menjalani hidup di Indonesia, bukanlah urusan mencari nafkah,
namun menjaga kewarasan ditengah-tengah arus massal kegilaan masyarakat di
Indonesia yang selalu mengedepankan “akal sakit milik orang sakit”. Masyarakat
di Indonesia, sungguh merupakan masyarakat yang andai pandai untuk urusan menghakimi
orang lain—namun sayangnya, “hakim” yang buruk dalam urusan mengadili
terlebih mengerti dan mampu membedakan mana yang adil dan mana yang tidak adil,
mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang terpuji dan mana yang patut
dicela.
Mereka, bersikap seolah-olah
orang lain tidak punya pikiran untuk menilai dan memutuskan sendiri. Mereka
bahkan, bersikap seakan-akan orang lain tidak punya hak dan juga bersikap
seakan-akan orang lain punya kewajiban. Singkat kata, kehidupan bangsa kita
sekadar “mengikuti arus”—sekalipun arus air secara alamiahnya selalu bergerak menuju
ke arah bawah, bukan ke arah atas—yakni apa yang disebut sebagai “common practice”, tidak lain tidak bukan
ialah kegilaan gaya berpikir masyarakat kita dewasa ini, bukan apa yang disebut
sebagai “common sense” (akal sehat).
Untuk memiliki dan hidup berdasarkan “common
sense”, Anda mau tidak mau harus bergerak “melawan arus” di Indonesia,
dimana tiada jaminan Anda akan selamat terhantam “arus”, mengingat banyak
diantara masyarakat kita yang pada akhirnya menyerah dan terseret “mengikuti
arus”.
Sebenarnya sudah lama, penulis
mengamati dan mendapati, bahwa ada korelasi antara tingkat IQ seseorang dan
level kebijaksaan, dimana rata-rata IQ masyarakat di Indonesia masih dibawah
rata-rata (yang disebut terakhir, bahkan sudah pernah disebut oleh salah seorang
tokoh terpandang di Indonesia). Rambut kalangan sepuh kita boleh memutih, namun
miskin dan minim kebijaksanaan, penulis bahkan curiga laba-laba bersarang di
dalam tempurung kepala mereka. Disebut sebagai dewasa, bukan karena besarnya
postur tubuh. Disebut sebagai bijaksana, bukan karena rambut yang mulai memutih.
Melakukan kejahatan, namun berdelusi bahwa bila tiada yang mengetahui perbuatan
jahat yang bersangkutan, karena pandai menutupi jejak kejahatan atau karena
pandai berkelit, sama artinya tidak pernah berbuat jahat—itulah yang disebut
sebagai kekanak-kanakan (childish),
mentalitas kekanakan kaum dewasa kita di Indonesia, para “bocah tua nakal” bila
tidak dapat disebut “bocah tua dungu”.
Tidak cukup sampai disitu,
tidak sedikit diantara kalangan orang dewasa kita, yang memberikan teladan
buruk dengan menjadi “hakim yang buruk” bagi sesamanya. Bukan sekali kejadian,
penulis mengalami dimana ketika penulis menjadi korban penganiayaan, lalu
menjerit dan memekik sakit akibat tidak menerima perlakuan yang merendahkan
martabat demikian, respon masyarakat yang menyaksikan ialah “sedang stress ya?”—alih-alih meng-kritik
dan mencela sang pelaku, namun korban yang di-“bully”. Penulis bukanlah mayat yang hanya dapat terbujur kaku
sembari bungkam seribu bahasa, juga bukan sebongkah batu yang tidak bisa
merasakan sakit ataupun menjerit meluapkan amarah. Pernah diberitakan beberapa
waktu lampau, seorang anak diperkosa oleh sang ayah kandung, lalu hamil. Warga desa
setempat, lalu mengusir sang anak dari kampung mereka, alih-alih melindungi sang
anak yang menjadi korban.
Apakah Anda mengetahui, ciri
orang dungu? Terdapat satu pola watak paling khas dari orang dungu, apakah itu,
itu adalah “seolah-olah menunggu datangnya menyesal di kemudian hari”—sekalipun,
menyesal selalu datang terlambat. Tidak terhitung jumlahnya, kita mendapati
mereka yang jelas-jelas telah berbuat keliru, namun masih juga membantah dengan
seribu satu alasan, mendebat sengit, bahkan melawan (genetik khas Bangsa
Indonesia, mendarah-daging). Banyak dapat kita jumpai di ruang persidangan,
terutama perkara pidana, barulah sang pelakunya memohon maaf dan memohon-mohon
ampun dari sang korban, meski pada mulanya “pasang badan” tanpa merasa bersalah
ataupun takut sedikitpun.
Sering penulis berdebat dengan
orang-orang yang “berbicara seolah-olah lawan bicanya ialah buta, tuli, serta
tidak berotak”. Ujung-ujungnya, penulis sampai pada satu titik dimana penulis
membuat pernyataan berikut untuk menyudahi kegilaan mereka : “Saya tidak perduli apa kata Anda. Saya punya
pikiran sendiri untuk menilai Anda. Akan saya publikasikan semua perbincangan
ini ke dalam website saya, lengkap dengan identitas Anda, biarkan jutaan
pembaca saya yang akan menjadi juri dan hakimnya”, barulah seketika itu
juga yang bersangkutan “mendadak alim”, namun sudah terlambat, penulis sudah
dibuat olehnya geram dengan “darah dibuat mendidih” akibat dilecehkan
diperlakukan seolah-olah tidak punya pikiran untuk menilai sendiri perbuatan /
perilaku yang bersangkutan.
Menjadi tidak mengherankan,
kita akan menemukan “hakim yang lebih pandai menghakimi ketimbang mengadili”,
baik di dalam maupun di luar ruang persidangan. Apakah para pembaca mengetahui,
konsekuensi berhadapan dengan orang-orang semacam itu? Kita akan senantiasa
selalu serba-salah di mata mereka yang gemar dan terbiasa menghakimi demikian.
Ada tipe orang yang tergolong “maniak kendali”, namun ada juga orang-orang
dengan watak “maniak kritik”, akan tetapi meng-kritik secara tidak bijaksana
dan tidak sehat akal dibaliknya. Masih segar dalam ingatan penulis, bertahun-tahun
lampau saat penulis mengajukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi
RI, seorang Hakim Konstitusi “yang lebih pandai menghakimi ketimbang mengadili”
bernama Maria Farida Indrati—salah satu Hakim Konstitusi yang mendukung (dengan
turut menanda-tangani tanpa dissenting
opinion) putusan hasil jual-beli putusan oleh Hakim Konstitusi korup
bernama Patrialis Akbar dalam kasus “uji materiil importasi hewan ternak”, dengan
menyimpangi putusan Mahkamah Konstitusi RI sendiri dari semula “maximum security”, lalu digeser menjadi
“relative security”, putusan mana
hasil gratifikasi pengusaha impor hewan ternak.
Pada mulanya, dari waktu
tersedia yang singkat untuk membacakan isi permohonan “uji materiil”, pada
mulanya penulis mencoba bersikap membaca-kan isi surat permohonan, agar Majelis
Hakim mengetahui bahwa yang penulis ucapkan ialah isi surat permohonan. Namun
mengingat penulis sendiri yang membuat surat permohonan, penulis sejatinya
telah memahami secara “diluar kepala” isi surat permohonan, dan dari sejak awal
mampu mengutarakan secara lisan, tidak perlu secara formalistik “membaca-kan”
surat permohonan. Maka penulis putuskan diparuh sisa waktu untuk tidak perlu
lagi bersikap seolah-olah sedang membaca isi surat permohonan, cukup utarakan
secara lisan dengan kata-kata sendiri. Hasilnya, alih-alih mendapat apresiasi
dari Majelis Hakim Konstitusi, seorang Hakim Konstitusi bernama Maria Farida
Indrati yang dulu dan kini merupakan dosen pada Fakultas Hukum di Universitas
Indonesia ini menghakimi penulis dengan kalimat yang tidak mencerminkan
kebijaksanaan, sebagai berikut : “Saudara
mengutarakan isi surat permohonan tanpa
membaca surat permohonan yang Saudara buat, itu pertanda surat permohonan
Saudara sulit untuk dipahami! Surat permohonan Saudara sangat rumit dan tidak
bisa dipahami!”
Luar biasa, sungguh hakim yang
pandai menghakimi, ketimbang mengadili. Apakah selama ini Maria Farida Indrati
ketika menyidangkan skripsi, tesis, maupun disertasi mahasiswa, mewajibkan
mahasiswa yang diuji untuk membaca dalam artian betul-betul membaca-kan isi
skripsi atau tesis maupun disertasi yang bisa jadi setebal hampir seribu
halaman banyaknya? Jika begitu untuk apa penulis diundang untuk hadir ke
persidangan ini, sementara itu para Hakim Konstitusi ini tidak buta huruf dan
dapat membaca sendiri isi surat permohonan? Jangan-jangan Maria Farida Indrati
sebenarnya ialah hakim yang buta huruf, dan selama ini menyewa “babysitter” untuk membacakan bagi sang
hakim. Maria Farida Indrati bahkan baru menyentuh isi surat permohonan penulis
saat itu juga, namun sudah seketika itu juga langsung menghakimi. Hakim yang
paling berbahaya, ialah mereka yang memutus secara prematur.
Jika membaca-kan, dalam artian
melafalkan di depan sang Hakim Konstitusi “manja” bernama Maria Farida Indrati
ini, seperti “babysitter” yang
membacakan isi buku dongeng bagi anak Taman Kanak-Kanak, maka penulis beresiko
akan di-stempel sebagai tidak paham apa yang ditulis oleh penulis sendiri.
Membaca-kan, salah. Mengutarakan tanpa membaca, juga disalahkan. Serba-salah.
Mungkin tidak menggantikan “popok bau” milik Maria Farida Indrati, juga akan
dipersalahkan dan dicela oleh hakim bersangkutan. Untuk itu, penulis kemudian
melakukan riset, dengan mempublikasikan surat permohonan “uji materiil”
tersebut ke website profesi penulis, dimana kemudian mendapatkan pujian dari
banyak pembaca mulai dari Sabang hingga Merauke, sebagai pembahasan yang menarik.
Sejak saat itulah, penulis tidak lagi pernah perduli apa yang dahulu menjadi
penuturan Maria Farida Indrati, biarlah jutaan pembaca website yang penulis
asuh ini yang akan menjadi juri dan hakimnya.
Berbicara, kita berpotensi
dapat dipersalahkan oleh orang-orang yang ia sendiri mungkin tidak paham atas
apa yang ia permasalahkan. Namun, kisah nyata pengalaman pribadi penulis
berikut dapat membuktikan bahwa bersikap sebaliknya, “diam membisu” (be silent) pun, meski pepatah
menyebutkan “silent is gold”, membuka
ruang potensi dicela dan dikritik oleh mereka yang tidak bijaksana. Ketika
penulis masih seorang mahasiswa, penulis duduk sembari fokus pada buku bacaan.
Mendadak, seorang mahasiswa lain yang tampaknya dibawah pengaruh obat-obatan
terlarang, bertanya kepada penulis, pertanyaan yang tidak penting untuk dijawab
menurut penulis, disamping penulis memiliki hak untuk tidak diganggu, namun
sang penanya menjadi “agresif” akibat sikap diam penulis yang hanya berfokus
pada buku yang sedang penulis baca, “DITANYA
KOK DIAM kAMU!!!”—seolah-olah penulis punya kewajiban untuk meladeni
kemauan dirinya. Ia pikir, siapa dirinya? Ia pikir, siapa orang lain?
Senada dengan itu, ketika
penulis mengurus perpanjangan pajak tahunan kendaraan bermotor di kantor yang
dikelola pihak kepolisian lalu-lintas, penulis mempertanyakan serta
berkeberatan atas peraturan mereka yang menurut penulis mengada-ngada dan tidak
logis, karena tidak ada dasar hukumnya sekalipun telah penulis tagih “apa dasar hukumnya?”. Mendadak sang
petugas kepolisian mengajukan perkataan dengan nada melecehkan, “Kamu paham tidak?!”, namun penulis
bungkam sembari tetap fokus merapihkan dokumen, akan tetapi sang petugas lalu
membentak penulis sembari memukul panel transparan pembatas konter, “KALAU DITANYA, ITU DI-JAWAB, JANGAN DIAM!”—Miranda
Rules : YOU HAVE RIGHT TO BE SILENT!
Diam itu hak, bukan kewajiban, itulah prinsip hukum di negara beradab.
Sayangnya, sang polisi belum beradab, masih biadab. Ingin rasanya mengajak sang
polisi untuk bersama-sama naik ke atas ring tinju, dan bertarung “satu lawan
satu dengan tangan kosong” sesuai aturan main tinju, melawan penulis.
Lebih ekstrem lagi, ketika
penulis sekadar bermeditasi dengan berdiri diam (mematung), tanpa menyakiti
hewan sekitar sekalipun, juga tanpa merugikan siapapun, di depan sebuah rumah
yang kosong dari penghuni mengingat kondisi dibalik pagar rumah telah tumbuh
ilalang hebat akibat bertahun-tahun dibengkalaikan, masih di lingkungan rukun
warga dimana sudah hampir separuh abad lamanya penulis bermukim dan
bertempat-tinggal di wilayah rukun warga tersebut, tanpa pernah menunggak iuran
bulanan yang dikutip oleh pihiak Rukun Warga (RW), namun penulis dipermalukan
dengan diusir dari wilayah RW sendiri serta menyebar-luaskannya kepada orangtua
maupun Ketua Rukun Tetangga (RT) dengan maksud agar penulis dilarang
bermeditasi di wilayah pemukiman RW sendiri.
Luar biasa, tidak manusiaw-inya,
sekalipun sang Ketua RW satu etnik dengan penulis, juga sudah berambut putih,
mengusir warga sendiri yang notabene warga pemukim RW tersebut selama hampir
separuh abad lamanya (warga RW setempat), hanya karena bermeditasi (mematung) tanpa
merugikan siapapun juga tidak mengganggu hewan manapun. Curiga boleh, namun
tidak boleh menuduh tanpa bukti, itu barulah cara berpikir orang yang disebut
bijaksana seorang berambut putih. Lalu penulis bertanya kepada Ketua RT, “Saya ini warga RW berapa? Mengapa warga
kampung dari RW lain, yang suka nongkrong-nongkrong di RW ini, tidak diusir?
Mengapa warga sendiri, diusir hanya karena bermeditasi di depan rumah kosong?
Siapa yang sudah saya ganggu ataupun rugikan?”, namun tidak (berani)
dijawab, dan kini sang Ketua RT sendiri yang merasa malu setiap kali berjumpa
penulis di jalan, meski sayangnya sang Ketua RW tidak punya malu sedikitpun.
Di tempat lain, lagi-lagi
ketika penulis berdiri bermeditasi tanpa bergerak, tanpa bersuara, juga tanpa
menyakiti maupun merugikan pihak manapun, bahkan tanpa mengusik hewan yang
melintas, seorang yang notabene (lagi-lagi) telah berambut putih menegur
penulis, “Kamu sedang apa, saya lihat
kamu dari tadi berdiri di situ?” Pemilik rumah tempat penulis berdiri
bermeditasi di depannya, tidak berkeberatan, namun mengapa sang “tua rongsok
berambut putih” tidak dikenal tersebut yang justru berkeberatan? Ingin rasanya
secara arogan penulis menanggapi, “Saya
sedang bermeditasi, apakah Anda merasa terganggu? Saya yang merasa terganggu
oleh Anda!”
Ketika kita menghadapi orang-orang
“dangkal” yang tidak mampu menjaga lidahnya, melecehkan ataupun menghakimi
orang lain dengan pikiran yang “tumpul”, lebih baik kita beralih ke “mode autis”.
Orang-orang autis mungkin merupakan orang yang paling bahagia di dunia ini, karena
mereka hidup dalam dunia mereka sendiri. Mereka tidak ambil hirau terhadap apa
yang dikatakan oleh orang lain. Coba lihatlah sosok badut, ia akan tenang-tenang
dan santai asyik dengan kesibukannya melucu dan beratraksi, sekalipun
berpakaian aneh dan ditertawakan oleh anak-anak. Mengapa? Karena secara mental,
sedari awal sekali sang badut telah mempersiapkan dirinya (untuk akan) dilecek
dan ditertawakan.
CHINESE WISDOM mengatakan, bijaksana
artinya fleksibel sesuai kondisi : tahu kapan harus diam dan kapan harus
bersuara, tahu kapan harus mendengar dan kapan untuk menutup telinga, tahu
kapan harus bersikap kompromistis dan tahu kapan harus bersikap otoriter, tahu
kapan harus lembut dan kapan harus keras, tahu kapan harus menuntut dan kapan
harus mengalah / bersabar, tidak terkecuali tahu kapan harus memaafkan dan
kapan harus membuat perhitungan. Karena itulah, CHINESE WISDOM tidak pernah
menyarankan kepada kita untuk menjadi sesosok individu / pribadi yang berupaya
menyenangkan dan memuaskan semua orang. Berikut pepatah latin yang sudah tidak
asing di telinga kita, namun tetap relevan dalam kehidupan sosial berbangsa kita
: Sivis pacem para bellum—jika ingin
hidup damai, maka harus bersiap-siap untuk tidak disukai.
Ketika Anda dihina, dicela, dihakimi,
ataupun dituding secara tidak adil, artinya hati atau perasaan Anda sudah
dilukai dan terluka. Ketika Anda telah bersikap penuh pertimbangan dan memiliki
dasar pertimbangan untuk keputusan, sikap diam ataupun sikap berucap dan
bertindak Anda, namun masih juga dicela dan di-kritik oleh mereka yang belum
tentu bijaksana adanya walaupun rambut mereka notabene telah memutih dan
dikenal masyarakat sebagai sesepuh atau tokoh setempat, maka berikut tips dari
penulis, yang dapat Anda jadikan sebagai “mantra” untuk Anda lafalkan
berulang-kali dalam batin Anda sebagai penangkalnya, berupa puisi yang selama
ini penulis ciptakan dan terapkan sendiri lewat “internal self-talk”:
Lebih baik disakiti (oleh orang lain);
Daripada (kita) menyakiti diri kita sendiri.
Yang terpenting,
Kita memahami diri kita sendiri,
Itu sudah cukup.
Kita urus urusan kita sendiri,
Dan mereka urus urusan mereka sendiri.
Kita tidak butuh komentar mereka,
Juga tidak perduli apa kata mereka,
Hanya kita yang paling mengerti diri kita sendiri.
Kita pun tidak butuh izn (dari) mereka,
Ini hidup kita sendiri.
Kita punya pikiran untuk menilai dan memutuskan sendiri,
Juga punya hak untuk menentukan nasib kita sendiri.
Yang memperlakukan kita secara tidak patut,
Cepat atau lambat akan diperlakukan sebagaimana mereka
memperlakukan kita.
~~~ VERSI SINGKAT ~~~
(untuk keperluan self-talk membatin
secara berulang-ulang setiap kali daya tahan mental kita melemah)
Lebih baik disakiti,
Daripada menyakiti diri kita sendiri.
Yang Penting,
Kita memahami diri kita sendiri,
Itu sudah cukup.
Kita urus urusan kita sendiri,
Dan mereka urus urusan mereka sendiri.
Kita tidak butuh komentar mereka,
Kita tidak butuh izn mereka.
Ketika mencela orang dungu, Sang
Buddha menyebut perilaku / tabiat para dunguwan tersebut sebagai dapat
dicela oleh para bijaksana—apa yang digaris-bawahi tersebut menjadi
penting, karena membuka ruang “anjing menggonggong, khafilah berlalu” bilamana
yang meng-kritik notabene adalah orang-orang yang patut diragukan moralitasnya.
Itulah sebabnya, penulis menyebut bahwa tidak terlampau penting “siapa yang
dicela”, namun “siapa yang mencela” merupakan isu yang terpenting untuk dijawab
terlebih dahulu. Sama halnya, tidak terlampau penting “siapa yang diihakimi”,
namun “siapa yang menghakimi” untuk di-identifikasi terlebih dahulu. Perihal men-cela
dan di-cela ini, dapat kita rujuk langsung sebagaimana disabdakan oleh Sang
Buddha dalam Dhammapada, dengan kutipan syair sebagai berikut:
DHAMMAPADA
158.
Orang bijak patut menempatkan diri di hal patut dulu, baru lalu memberitahu
orang lain. (Dengan demikian,) ia tidak bernoda.
159.
Seseorang patut menindakkan diri sebagaimana menasihati orang lain. Berlatihlah
sebelum melatih karena, konon, diri sendiri sulit dilatih.
145.
Petugas pengairan mengatur alur air. Pembuat anak panah mengeluk anak panah.
Tukang kayu meliuk kayu. Orang yang mudah dinasihati menggeladi diri.
174.
Makhluk dunia ini buta. Di dunia ini sedikit makhluk melihat jelas.
Ibarat burung dapat lolos dari jaring pengurung, sedikit makhluk tiba ke alam
bahagia.
207.
Sebab, berdiam bersama orang-orang dungu
mendatangkan kesedihan dalam lama waktu. Berkumpul dengan mereka senantiasa
membawa derita, tak ubahnya berkumpul dengan seteru. Sebaliknya,
bijaksanawan memiliki kediaman bersama yang menyenangkan, layaknya himpunan
sanak keluarga.
227.
Wahai Atula, celaan dan pujian itu adalah perihal lama. Itu bukan laksana hanya
ada di hari ini. Mereka mencela ia yang diam, mencela ia yang banyak bicara,
mencela ia yang bicara secukupnya. Tiada siapa pun di dunia bebas dari celaan.
228.
Belum pernah ada, akan tidak ada, dan tidak ada di saat ini, seseorang yang
melulu mendapat celaan atau melulu mendapat pujian.
229.
Jika para bijaksanawan, setelah menimbang matang, memuji ia yang bertindak penuh kewaspadaan,
cendekia, teguh dalam kebijaksanaan dan kesusilaan,
244.
Hidup adalah mudah bagi ia yang tidak
tahu malu, berani laksana gagak, biasa ingkar budi orang, suka mencari
muka, lepas kendali, dan penuh kekotoran.
245.
Sebaliknya, hidup adalah sulit bagi ia yang tahu malu, senantiasa
berupaya pada laku suci, tidak melekat, terkendali, berpenghidupan bersih, dan
menyadari (hakekat penghidupan bersih).
252.
Noda orang lain mudah dilihat. Noda sendiri, sebaliknya, sulit dilihat. Karena
itu, orang menebar noda orang lain seperti menampi dedak, sebaliknya menutupi
noda sendiri bagaikan pemburu burung menyelinap di balik semak.
256.
Bukan karena bergegas menuntaskan perkara seseorang disebut yang tegak dalam
Dhamma, melainkan bijaksanawan yang dapat menimbang kedua hal, yaitu yang
menjadi perkara dan bukan perkara.
257.
Ia yang memeriksa orang-orang dengan tidak terburu, berlandaskan dhamma, sesuai
kaidah, penjaga dhamma, dan cendekia itulah disebut ‘yang tegak dalam Dhamma’.
258.
Bukan sekadar karena bicara banyak seseorang disebut bijaksanawan, melainkan ia
yang tenteram, tidak bermusuh, dan tidak berpenakut itulah disebut
‘bijaksanawan’.
259.
Bukan sekadar karena bicara banyak seseorang disebut penyandang dhamma,
melainkan ia yang, meskipun sedikit pengetahuan, dapat melihat dhamma secara
batiniah dan tidak melalaikannya itulah sesungguhnya disebut ‘penyandang
dhamma’.
260.
Bukan karena berkepala beruban seseorang
disebut sesepuh. Ia yang berusia lanjut itu disebut ‘si tua hampa’.
261.
Sebaliknya, ia yang menembus kebenaran, meraih dhamma, tidak menyakiti,
berpengendalian, terlatih, telah melunturkan noda, dan cendekia itulah disebut
‘sesepuh’.
262.
Bukan sekadar karena bertutur teratur atau berperawakan rupawan seseorang yang
masih memiliki keirihatian, kekikiran, dan kecongkakan disebut budiman,
263.
melainkan ia yang telah menumbangkan keirihatian, kekikiran, kecongkakan,
mencabut akarnya – melunturkan kebencian, dan cendekia itulah disebut
‘budiman’.
264.
Bukan sekadar karena berkepala gundul, seseorang yang tidak berdisiplin,
bertutur dusta Aku sebut ‘petapa’.
Mana mungkin orang yang berlumur ambisi dan keserakahan sebagai petapa.
265.
Akan tetapi, ia yang meredam total
keburukan kecil dan besar itulah Aku sebut ‘cerah’
karena keberadaannya sebagai peredam keburukan.
269.
menjauhi keburukan-keburukan itulah disebut ‘petapa bijaksana’. Disebabkan hal itulah ia
disebut ‘petapa bijaksana’.
Seseorang disebut petapa bijaksana
karena mengetahui kedua dunia.
270.
Bukan karena mencelakai makhluk-makhluk
lain seseorang disebut ariya, sebaliknya disebut ‘ariya’ karena tidak
mencelakai segala jenis makhluk.
306.
Ia yang biasa menuduhkan hal tidak benar
akan masuk neraka. Begitu pula, ia yang setelah berbuat berkata, ‘Aku tidak
berbuat.’ Keduanya adalah manusia pelaku perbuatan rendah yang, sepeninggalnya
menuju ke alam lain, akan bernasib sama.
307.
Banyak mereka yang berlingkar jubah di leher memiliki hal-hal buruk dan tidak
berpengendalian. Mereka yang buruk itu
akan masuk ke neraka oleh perbuatan buruknya.
316. Barangsiapa malu
terhadap hal tak memalukan, tidak malu terhadap hal memalukan; mereka yang
memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.
317. Juga, barangsiapa takut
terhadap hal tak menakutkan, tidak takut terhadap hal menakutkan; mereka yang
memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.
318. Barangsiapa menganggap
tercela terhadap hal tak tercela, menganggap tak tercela terhadap hal tercela;
mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.
319. Sebaliknya, barangsiapa
menyadari hal tercela sebagai yang tercela, menyadari hal tak tercela sebagai
yang tak tercela; mereka yang memegang pandangan benar itu akan menuju ke alam
bahagia.
328. Andaikata seseorang
mendapatkan orang yang cermat, bercara hidup baik, dan cendekia sebagai kawan
berjalan, ia layak mengatasi segala rintangan; dapat berlega hati dan
menegakkan perhatian – berjalan dengannya.
329. Andaikata seseorang
tidak mendapatkan orang yang cermat, bercara hidup baik, dan cendekia sebagai
kawan berjalan, ia layak berjalan sendirian, laksana seorang raja pergi
meninggalkan wilayah taklukkan, laksana gajah besar Mâtanga berjalan sendirian
di hutan.
330. Berjalan sendirian
adalah lebih baik karena nilai persahabatan tidak ada pada si dungu. Ia
patut berjalan sendirian, seperti gajah besar Mâtaõga yang bersahaja berjalan
di hutan, dan tak semestinya berbuat buruk.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.