Perbedaan GUGATAN dan PERMOHONAN ke Pengadilan Negeri, Serupa namun Tidak Sama

HUKUM ACARA PERDATA, Cacat Formil Mengakibatkan Gugatan maupun Permohonan Bermuara pada Amar “Tidak Dapat Diterima

Question: Memang apa bedanya, antara gugatan dan permohonan ke pengadilan negeri?

Brief Answer: Terdapat beberapa perbedaan prinsipil antara “gugatan” dan “permohonan” di Pengadilan Negeri. Pertama, produk output pengadilan berupa “penetapan untuk permohonan” dan “putusan untuk gugatan”. Kedua, dalam register perkara “permohonan” disidangkan dan diputus oleh hakim tunggal, sementara itu perkara dengan register “gugatan” diperiksa dan diputus oleh Majelis Hakim (yang biasanya terdiri dari tiga orang hakim). Ketiga, upaya hukum atas “penetapan” ialah kasasi (tanpa banding) ke Mahkamah Agung, sementara itu upaya hukum terhadap “putusan” ialah banding ke Pengadilan Tinggi.

Kapankah harus berupa “permohonan” dan kapan berupa “gugatan”? Jawabannya ialah tergantung pada norma peraturan perundang-undangan yang mengaturnya (hukum acara perdata)—yang mana bila tidak / kurang jelas, idealnya merujuk pada berbagai preseden yang menjadi “best practice” alias kebiasaan dalam praktik persidangan, untuk memitigasi agar tidak keliru apakah akan merumuskan sebuah gugatan ataukah permohonan ke Pengadilan Negeri.

PEMBAHASAN:

Sebagai ilustrasi untuk memudahkan pemahaman, dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk putusan Mahkamah Agung RI perkara “permohonan pembatalan perkawinan” register Nomor 1482 K/Pdt/2017 tanggal 27 September 2017, dimana pihak Pemohon hendak membatalkan pernikahan Termohon I yang telah menikahi seorang wanita bernama Sdri. Dewi, namun ternyata kembali menikah untuk kali-keduanya dengan Termohon II—alias berpoligami—tanpa seizin pengadilan.

Yang unik dari perkara ini ialah, terhadap perkawinan antara Termohon I (Muhammad Taufik Arifianto) dan Termohon II (Christina) telah ada putusan dari Pengadilan Negeri Klaten Nomor 161/Pid.B/2016/PN.Kln. tanggal 26 September 2016 dan telah berkekuatan hukum tetap—dimana Terdakwa Muhammad Taufik Arifianto dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 279 Ayat (1) ke-1 KUHP, sehingga telah diperoleh bukti bahwa perkawinan antara Termohon I dan Termohon II merupakan perkawinan yang seharusnya tidak bisa dilaksanakan karena terhalang oleh perkawinan yang telah ada antara Termohon I dan sdri. Dewi.

Disamping itu, berdasarkan surat pernyataan dan Surat Keterangan dari Kelurahan dalam berkas persyaratan pengajuan nikah dan berkas persyaratan penerbitan kutipan Akta Perkawinan dari Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, status Termohon I tertulis sebagai “jejaka” serta belum pernah kawin—alias memasukkan keterangan palsu ke dalam akta. Perkawinan antara Termohon I dan Termohon II telah dicatat oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dengan diterbitkannya buku Kutipan Akta Nikah, dimana lewat permohonan ini pihak Pemohon memohon pengadilan agar buku Kutipan Akta Nikah dimaksud agar dinyatakan tidak berkekuatan hukum, mengingat Termohon I telah melakukan manipulasi mengenai identitas Termohon I ketika yang bersangkutan berupaya menikahi Termohon II.

Perkawinan antara Termohon I dan Termohon II, tidak memenuhi persyaratan untuk melangsungkan perkawinan, untuk itu berlaku ketentuan Pasal 26 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Ayat (1), “perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, Jaksa dan suami atau istri.

Terhadap permohonan pihak Pemohon, Pengadilan Negeri Klaten kemudian membuat Penetapan sebagaimana register Nomor 10/Pdt.P/2017/PN.Kln., tanggal 16 Februari 2017, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa Pengadilan Negeri mempunyai kewenangan untuk memutus perkara permohonan yang terbatas pada hal-hal yang tegas-tegas ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, dengan syarat untuk menyelesaikan masalah perdata yang bersifat sepihak dengan syarat hanya boleh terhadap masalah yang disebut dan yang ditentukan sendiri oleh undang-undang;

“Menimbang, bahwa permohonan adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani Pemohon atau Kuasanya yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memiliki ciri-ciri bahwa masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak, permasalahan yang diajukan tidak ada sengketa dengan pihak lain dan tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, permohonan untuk kepentingan sepihak atau yang terlibat dalam permasalahan hukum yang diajukan dalam kasus itu, hanya satu pihak;

“Menimbang, bahwa dalam permohonan, pihak yang ada hanya Pemohon sendiri, tidak ada pihak lain yang ditarik sebagai lawan atau Tergugat, dan petitum permohonan harus mengacu pada penyelesaian kepentingan Pemohon sepihak, dan petitum permohonan tidak boleh melanggar atau melampaui hak orang lain, harus benar-benar murni merupakan permintaan penyelesaian kepentingan Pemohon dengan acuan antara lain isi petitum merupakan permintaan yang bersifat deklaratif, petitum tidak boleh melibatkan pihak lain yang tidak ikut sebagai Pemohon, dan juga tidak boleh memuat petitum yang bersifat condemnatoir (mengandung hukuman, hal ini merupakan konsekuensi lebih lanjut dari sifat ex parte yang benar-benar melekat (in herent) dalam permohonan, oleh karena tidak ada pihak lawan atau Tergugat, dengan sendirinya tidak ada pihak yang dapat ditimpakan hukuman;

“Menimbang, bahwa dalam permohonan diktum hanya berisi penegasan pernyataan atau deklarasi hukum tentang hal yang diminta, pengadilan tidak boleh mencantumkan diktum condemnatoir (yang mengandung hukuman) terhadap siapapun, dan tidak dapat memuat amar konstitutif yaitu menciptakan suatu keadaan baru;

“Menimbang, bahwa nilai kekuatan pembuktian yang melekat dalam Penetapan yaitu nilai kekuatan pembuktiannya hanya mengikat pada diri Pemohon saja, dan tidak mempunyai kekuatan mengikat kepada orang lain atau kepada pihak ketiga dan dalam hal menjatuhkan penetapan, pada dirinya hanya melekat kekuatan secara sepihak, yaitu tidak mengikat dan tidak mempunyai kekuatan pembuktian pada pihak manapun dan dalam posita permohonan tidak serumit dalam gugatan perkara contentiosa, yang mana landasan hukum dan peristiwa yang menjadi dasar permohonan, cukup memuat alasan dan menjelaskan hubungan hukum antara diri Pemohon dengan permasalahan hukum yang dipersoalkan;

“Menimbang, bahwa setelah Hakim mencermati permohonan Pemohon bahwa dalam permohonannya, Pemohon mencantumkan pihak Termohon I dan Termohon II yang dalam hal pengajuan permohonan hanya ada satu pihak yaitu Pemohon dan dalam uraian posita permohonan Pemohon, Pemohon juga tidak memaparkan secara jelas tujuan / kepentingan hukum Pemohon dan hubungan hukum antara diri Pemohon dengan permasalahan hukum yang diajukan dalam mengajukan pembatalan perkawinan terhadap Termohon I dan Termohon II yang mana perkawinannya telah tercatat dalam buku Kutipan Akta Nikah Nomor ... tanggal 20 Mei 2015 yang telah dicatat dan dikeluarkan oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Klaten;

“Menimbang, bahwa mengenai tata cara atau proses pembatalan perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tidak dijumpai ketentuan yang mengatur secara khusus tentang Tata Cara Penyelesaian Pembatalan Perkawinan, namun melalui ketentuan Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 ditentukan bahwa tata cara mengajukan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian dan dalam Pasal 38 ayat (3) mengatur hal-hal yang berhubungan dengan panggilan, pemeriksaan pembatalan perkawinan dan putusan pengadilan dilakukan sesuai dengan tata cara tersebut dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975;

“Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menjelaskan bahwa ‘Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan pengadilan’;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas dikaitkan dengan ketentuan Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dalam ayat (1) disebutkan bahwa Pembatalan akta Pencatatan Sipil dilakukan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

“Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan disebutkan bahwa ‘Pencatat Sipil adalah pencatatan peristiwa penting yang dialami oleh seseorang dalam register Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana’ dan dalam angka 17 disebutkan bahwa yang dimaksud ‘Peristiwa penting adalah kejadian yang dialami seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan’;

“Menimbang, bahwa setelah hakim mencermati posita permohonan Pemohon dan petitum yang diajukan oleh Pemohon yaitu dalam angka (2) permohonan Pemohon yaitu memohon kepada Majelis Hakim ‘Membatalkan perkawinan antara Termohon I dengan Termohon II dengan Akta Nikah Nomor ... tanggal 20 Mei 2015 yang dikeluarkan oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Klaten’;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Hakim berpendapat bahwa Pemohon mengajukan permohonan terhadap Majelis Hakim sementara yang menyidangkan perkara permohonan adalah hakim tunggal, dan produk pengadilan yang dikeluarkan adalah penetapan bukan putusan dan dalam hal ini Pemohon meminta pembatalan perkawinan yang mana dalam hal ini perkawinan termasuk dalam peristiwa penting yang dicatatkan dalam Akta Pencatatan Sipil sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan berdasarkan ketentuan tersebut disebutkan pembatalan Akta Pencatatan Sipil dilakukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

“Menimbang, bahwa setelah Hakim mencermati permohonan Pemohon bahwa dalam permohonannya, Pemohon mencantumkan pihak Termohon I dan Termohon II yang dalam hal pengajuan permohonan hanya ada satu pihak yaitu Pemohon dan dalam uraian posita permohonan Pemohon, Pemohon juga tidak memaparkan secara jelas tujuan / kepentingan hukum Pemohon dan hubungan hukum antara diri Pemohon dengan permasalahan hukum yang diajukan dalam mengajukan pembatalan perkawinan terhadap Termohon I dan Termohon II yang mana perkawinannya telah tercatat dalam Buku Kutipan Akta Nikah Nomor ... tanggal 20 Mei 2015 yang telah dicatat dan dikeluarkan oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Klaten;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan sebagaimana telah disebutkan di atas, Hakim berpendapat bahwa pengadilan memandang tidak ada alasan hukum yang dapat mengabulkan permohonan Pemohon, dan oleh karena secara formalitas permohonan Pemohon tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan maka patut secara hukum permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima;

“Menimbang, bahwa karena formalitas permohonan Pemohon tidak dapat diterima maka Hakim tidak akan mempertimbangkan lebih lanjut mengenai materi perkara permohonan ini;

“Menimbang, bahwa oleh karena permohonan dinyatakan tidak dapat diterima maka menghukum kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara yang besarnya sebagaimana tersebut dalam amar Penetapan;

“MENETAPKAN :

- Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard);”

Pihak mengajukan upaya hukum kasasi, dengan merujuk langsung dasar hukum yang mengatur perkara, dimana redaksional norma pasalnya memang tampak cukup ambigu mengatur, antara lain Pasal 25 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: “Permohonan Pembatalan Perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan ditempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri.

Sementara itu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengatur:

- Pasal 37:

“Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan.”

- Pasal 38:

1. Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukannya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan, atau ditempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri.

2. Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian.

3. Hal-hal yang berhubungan dengan pemeriksaan pembatalan perkawinan dan putusan pengadilan, dilakukan sesuai dengan tata cara tersebut dalam Pasal 20 sampai Pasal 36 Peraturan Pemerintah ini.

Pihak Pemohon bersikukuh, permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan telah sesuai petunjuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa bentuk pembatalan perkawinan adalah “permohonan”, bukan berbentuk “gugatan”. Pemohon menambahkan, bentuk permohonan pembatalan perkawinan ini dibuat seperti model gugatan, mengingat karena dalam permohonan pembatalan perkawinan ini bukan hanya terdapat pihak Pemohon, akan tetapi terdapat juga Termohon I dan Termohon II. [Note SHIETRA & PARTNERS : Terkadang, tertib “hukum acara perdata” memang terlampau formalistis—dalam artian, sekalipun substansinya sama namun hanya karena berbeda “judul”, maka upaya hukum menjadi kandas sia-sia.]

Dimana terhadap keberatan-keberatan Pemohon, Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

“Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan oleh karena Judex Facti tidak salah dalam menerapkan hukum dan pertimbangan Judex Facti sudah tepat dan benar;

“Bahwa menurut ketentuan Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditentukan bahwa tata cara mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian, dengan demikian bentuk permohonan pembatalan perkawinan harus berupa gugatan contentiosa yang ada 2 (dua) pihaknya bukan voluntair sebagaimana yang diajukan oleh Pemohon dalam perkara a quo;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata Putusan Judex Facti / Pengadilan Negeri Klaten dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi Zuhandi, S.H., M.H. tersebut harus ditolak;

M E N G A D I L I :

- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi ZUHANDI, S.H., M.H. tersebut;”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.