KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Meninggal secara DE FACTO (Fisik-Lahiriah) Tidak Otomatis Meninggal secara DE JURE (Yuridis)

Fisik Orangnya telah Almarhum (Meninggal Dunia), namun secara Data Kependudukan di Catatan Sipil (Berpotensi) Masih Terdata sebagai Penduduk Aktif yang Hidup

DE FACTO Bisa Tidak Sejalan dengan DE JURE, pun Sebaliknya

Surat Keterangan Kematian (Diterbitkan oleh Kelurahan) Vs. Akta Kematian (Dinas Catatan Sipil Kabupaten / Kota), Bisa Tidak Sinkron

Alamat dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), merupakan alamat “de jure”. Alamat domisili, merupakan alamat dimana seseorang warga pemegang KTP bertempat tinggal dalam keseharian secara senyatanya alias alamat “de facto”. Sepanjang penulis berkarir sebagai seorang konsultan hukum, setidaknya tercatat telah terdapat dua orang klien yang menghadapi masalah hukum akibat disparitas antara “meninggalnya seseorang warga secara de facto” (meninggal secara fisik-lahiriah seperti telah berhentinya tanda-tanda kehidupan serta juga telah dimakamkan / dikremasikan) dan “telah almarhumnya seseorang warga secara de jure” (ditandai dengan terbitnya kutipan Akta Kematian atas warga bersangkutan).

Namun, tahukah Anda, bahwa dengan telah diterbitkannya Surat Keterangan Kematian, telah ternyata tidak otomatis pihak Kelurahan akan me-link dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) dalam rangka menerbitkan Akta Kematian atas warga bersangkutan yang meninggal dunia—meski pun pegawai Disdukcapil ditempatkan pula pada masing-masing Kelurahan, yang artinya tidak terjadi sinergi ataupun integritas sistem kependudukan dan administrasi pelayanan penduduk oleh masing-masing perpanjangan tangan pemerintah di masing-masing daerah.

Negeri kita di Indonesia ini memang tergolong “salah urus”, meski sejatinya zaman sudah tergolong canggih dan terdigitalisasi yang mana sistem kependudukan bisa dirancang semudah terkomputerisasi, bilamana memang ada kemauan politik serta keseriusan para penyelenggara negara dalam pelayanan publik. Dapat kita lihat serta ccrmati sendiri, begitu banyaknya pegawai pada suatu institusi pemerintahan, namun petugas pada meja pelayanan begitu minim (front desk officer), sementara itu para Aparatur Sipil Negara lainnya entah bersembunyi di mana (mungkin sedang bertelur atau sedang mengerami telur), mengakibatkan “ekonomi biaya tinggi” mengingat warga harus membakar waktu (sementara “time is money”) menunggu dan mengantri giliran dilayani.

Masalah mental, isu klasik yang tidak berkesudahan, jika bisa dipersulit mengapa dipermudah, jika bisa diperumit mengapa disederhanakan, jika bisa dipermacet mengapa diperlancar, jika bisa diperlambat mengapa dipercepat, dan lain sebagainya. Tanpa sistem merit, rasanya sukar melakukan agenda “reformasi aparatur negara”. Kita tidak dapat mengandalkan tegaknya “reformasi mental” di negeri yang notabene tidak pernah kekurangan para kaum “agamais” ini, tanpa diterapkannya sistem merit kepada segenap lapisan “public servant” (Pegawai Negeri Sipil), karena itu sama artinya mengandalkan itikad para penyelenggara negara yang patut kita ragukan. Lihatlah, anggaran untuk kesejahteraan rakyat, telah ternyata 80 persen-nya dibakar untuk biaya transportasi, akomodasi, sewa ruang rapat, dan konsumsi para Aparatur Sipil Negara tersebut, dan sisanya 20 persen dari anggaran benar-benar real dana yang dipakai untuk kesejahteraan rakyat. Artinya, kesemua ini hanya untuk memakmurkan dan menyuburkan egosentris para Aparatur Sipil Negara kita.

Pemimpin terus silih-berganti, para penyusun kebijakan silih-berganti, para kepala kantor silih-berganti, pemilihan umum silih-berganti, para penyelenggara negara terus dimutasi, dan para Pegawai Negeri Sipil terus bergenerasi, namun apakah wajah penyelenggaraan negara kita terhadap rakyat sipil, benar-benar ada perubahan? Memang ada perubahan, dan penulis rasakan begitu signifikan ketika era Ahok menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, tiada pungutan liar sama sekali atas pengurusan perizinan oleh para pelaku usaha di pusat-pusat ekonomi, dipermudah dan dipercepatnya pelayanan publik, mengubah wajah kelurahan setempat secara kontras dari sebelumnya “sarang penyamun” berubah menjadi benar-benar berorientasi pelayanan publik dan “user friendly”—revolusi mana benar-benar direalisasikan hanya dalam hitungan satu tahun pemerintahan Ahok.

Yang pernah merasakan era kepemimpinan Ahok, tidak lagi dapat membantah fakta empirik demikian. Akan tetapi sebanyak apakah para pemimpin yang benar-benar memiliki semangat serta keberpihakan terhadap rakyat sipil? Tetap saja Ahok tersingkirkan, dan warga kita tampakya lebih mengedepankan ego sektoral serta mendahulukan sentimen negatif mereka ketimbang pembangunan kota dan pembangunan mentalitas birokrasi kita. Kini kita kembali pada topik utama bahasan kita perihal meninggalnya seorang warga, bagaimanakah respon pemerintah dalam menyikapinya? Untuk itu penulis akan menggambarkan mekanisme dan prosedur ketika seseorang warga meninggal dunia sampai dimakamkan hingga terbitnya Akta Kematian atas almarhum, sehingga para pembaca dapat memiliki gambaran adanya kekusutan benang-merah yang berpotensi membuka sengketa hukum serta ketidak-pastian hukum di kemudian hari.

Ketika seseorang warga ditemukan meninggal dunia di pemukiman penduduk, maka anggota keluarga akan menghubungi Ketua Rukun Tetangga setempat untuk dimintakan Surat Pengantar untuk diurus ke pihak kelurahan. Bila meninggal di rumah sakit, maka pihak otoritas rumah sakit menerbitkan surat keterangan kematian. Pihak kelurahan dalam menindak-lanjuti surat tersebut yang dibawa oleh warga, akan menerbitkan Surat Keterangan Kematian dengan tujuan dapat dipakai oleh sanak-keluarga almarhum untuk mengurus pemakanan almarhum ke dinas pertamanan dan pemakaman setempat. Artinya, Surat Keterangan Kematian hanyalah surat yang diterbitkan dalam rangka urgensi alias kemendesakan bagi keperluan sanak-keluarga almarhum untuk dapat dimakamkan secara segera, sementara itu penerbitan Akta Kematian membutuhkan prosedur penerbitan karena pihak Disdukcapil perlu mencoret data identitas sang almarhum dari database kependudukan pusat sehingga memakan waktu di hari kerja.

Akan tetapi, disparitas kerap terjadi ketika sanak-keluarga alharhum telah ternyata tidak kunjung mengurus permohonan penerbitan Akta Kematian almarhum kepada Disdukcapil, namun hanya membiarkan kondisi almarhum telah dimakamkan dan sebatas Surat Keterangan Kematian. Negara dalam hal ini benar-benar abai untuk menertibkan warga yang tidak patuh terhadap hukum. Kini, kita masuk pada masalah yuridis yang terjadi akibat konsekuensi ketidak-patuhan sang warga dalam sikap abainya atau bahkan disengaja tidak mengurus Akta Kematian almarhum. Tidak tertutup kemungkinan, sanak-keluarga almarhum (sengaja) menyalah-gunakan kondisi demikian, dengan membiarkan pengurusan menjadi berlarut-larut bahkan sama sekali tidak diurus, potensi demikian selalu terbuka terutama ketika keluarga mereka sedang bersengketa hukum dengan pihak ketiga yang memohon sita jaminan dalam gugatannya terhadap mereka.

Kini, mari kita urai satu per satu, bukan sekadar wacana, namun benar-benar terjadi dalam praktik sengketa di ruang persidangan, serta konsekuensinya merusak kepastian hukum bagi para pencari keadilan ketika menggugat almarhum serta sanak-keluarganya, memberi pehamanan kepada para pembaca bahwasannya isu hukum ini tidak sesederhana yang kita asumsikan dan tampaknya pemerintah telah abai atau bahkan terkesan memandang remeh dampaknya bagi masyarakat yang memiliki kepentingan dalam suatu sengketa hukum dengan almarhum serta keluarganya. Ada suatu kemendesakan agar masalah hukum ini tidak dibiarkan berlangsung tanpa pembenahan oleh pemerintah.

Ketika almarhum maupun keluarganya digugat oleh pihak ketiga, semisal dalam suatu sengketa hutang-piutang, sebagaimana kita ketahui bahwa ada proses persidangan yang menjadi senjang disparitas waktu antara gugatan diajukan, persidangan perdana, hingga “putusan sela” berupa sita jaminan maupun putusan oleh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri, disparitas waktu mana dapat mencapai satu tahun lamanya dan itu menjadi waktu krusial mengingat ada kepentingan pihak penggugat agar pihak tergugat tidak menjual, mengalihkan, ataupun menjadikan agunan objek harta kepemilikan mereka yang bisa dijadikan objek sita maupun eksekusi dikemudian hari oleh pihak ketiga.

Namun pihak tergugat ataupun ahli warisnya juga memiliki kepentingan, bagaimana caranya agar aset kekayaan milik tergugat tidak dapat disita dan jika perlu putusan menjelma “menang diatas kertas”. Caranya sangat klasik, tidak lain tidak bukan ialah dengan mengalihkan harta-harta kepemilikan pihak tergugat berupa benda tidak bergerak maupun benda bergerak, sebelum perkara dijatuhkan “putusan sela” oleh Majelis Hakim. ketika proses persidangan masih berjalan dengan agenda acara jawab-menjawab antara pihak penggugat dan pihak tergugat, telah ternyata pihak tergugat meninggal dunia secara “de facto”, namun pihak kuasa hukum menutup-nutupi informasi ini dari persidangan dan berpura-pura tidak tahu-menahu sehingga surat kuasanya untuk mewakili bersidang serta menghadap persidangan tetap sah dan berlaku, sementara itu sanak-keluarga almarhum (tergugat) memanfaatkan waktu dengan baik untuk mengalihkan aset-aset kekayaan almarhum, semisal dengan menghadirkan sosok lain yang menyerupai almarhum, dan berbekal Kartu Tanda Penduduk almarhum, dilakukanlah jual-beli berbagai bidang properti dan kendaraan.

Praktik terselubung demikian, disinyalir banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat sudah sejak lama dan biasanya diajarkan oleh kalangan pengacara kepada klien mereka yang berstatus sebagai tergugat, terutama kalangan “nakal” yang memanfaatkan ruang celah yang dibuka oleh hukum administrasi kependudukan kita yang dibiarkan cacat sistemnya. Betapa tidak, sekalipun Surat Keterangan Kematian telah diterbitkan pihak otoritas kelurahan setempat almarhum meninggal dunia, namun hingga berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tidak kunjung diterbitkan oleh prakarsa sendiri pihak berwenang untuk menerbitkan Akta Kematian, yakni kelurahan yang berkoordinasi dengan Disdukcapil. Akibatnya, terbuka lebar ruang celah yang menjadi kesempatan bagi aktor-aktor nakal untuk bermain. Seperti anekdot klasik, yang tetap relevan hingga saat kini : kejahatan terjadi, bukan hanya karena adanya niat jahat, namun juga adanya kesempatan.

Apakah Anda tahu, mimpi buruk terbesar kalangan penggugat? Inilah yang selalu ditekankan oleh klien dari penulis ketika mengajukan gugatan terhadap pihak-pihak yang didudukkan sebagai pihak tergugat : “Saya paling takut dan cemas jika gugatan saya ini nantinya (sekalipun menang), namun ‘menang diatas kertas’ karena ternyata tergugat sudah mengalihkan harta-hartanya sebelum sempat diputus pengadilan!” Apa boleh dikata, hukum acara perdata kita di Indonesia masih sangat terbelakang, bagaimana mungkin sita jaminan baru dapat dikabulkan permohonannya menjelang akan putusan dalam artian setelah proses pembuktian yang memakan waktu berlarut-larut? Karenanya, wacana perihal undang-undang “perampasan aset” juga relevan dalam perkara perdata. Sekalinya tergugat punya niat buruk untuk mengalihkan harta kekayaannya sebelum sita jaminan diputus oleh hakim, maka itu artinya mimpi buruk para pencari keadilan benar-benar menjadi kenyataan dan sudah banyak terjadi dalam praktik persidangan perkara perdata di Indonesia.

Kini, kita balik sudut pandangnya. Kuasa hukum dari pihak tergugat tahu betul bahwa kliennya telah meninggal dunia, namun sanak keluarga almarhum memiliki genetik “kriminil” sehingga mencoba “bermain di air keruh”, dengan tidak kunjung membuat Akta Kematian atas almarhum, namun sebatas Surat Keterangan Kematian saat memakamkan almarhum. Posisi kuasa hukum tergugat pun menjadi rapuh seperti cangkan / kulit telur, yang mudah pecah sewaktu-waktu, serba-salah. Bila yang bersangkutan mengakui ke hadapan persidangan, bahwa klien-nya telah meninggal dunia, maka hakim yang taat asas kependudukan akan meminta buktinya, yakni berupa Akta Kematian—bukan Surat Keterangan Kematian.

Karena memang almarhum (tergugat) tidak pernah diterbitkan Akta Kematian terhadapnya, maka secara “de jure” status kependudukan yang bersangkutan masih aktif sebagai warga, dimana juga KTP yang bersangkutan masih diakui dan sah secara hukum. Maka, mengaku secara inisiatif sang kuasa hukum itu sendiri bahwa klien-nya telah meninggal dunia, namun hanya berbekal Surat Keterangan Kematian, bukanlah pilihan pragmatis untuk dipilih. Pilihan yang paling rasional menurutnya, ialah dengan tetap diam bungkam “seribu bahasa” perihal telah meninggal dunianya pihak tergugat, dan “business as usual” dengan tetap melanjutkan proses gugat-menggugat—alias sang pengacara menjadi “pengacara (dari) hantu”, dimana hantu menjadi klien sang pengacara.

Namun demikian, sikap diam bungkam “pura-pura tidak tahu” demikian bukan tanpa resiko, mengingat bisa jadi pihak penggugat mengendus gelagat informasi bahwa pihak yang ia gugat telah meninggal dunia, melakukan investigasi pribadi selayaknya seorang detektif, dan menemukan fakta mengejutkan bahwasannya tergugat telah meninggal dunia, lengkap dengan keberadaan makam dan batu nisan pihak tergugat. Pihak kelurahan maupun dinas pemakaman pun bahkan menerbitkan surat keterangan bahwa warga atas nama almarhum betul telah dimakamkan atas permohonan anaknya. Alhasil, ketika hasil investigasi ini diangkat oleh penggugat ke hadapan persidangan, terkuak sudah bahwa kuasa hukum tergugat telah “pura-pura bodoh” selama sekian lama, ibarat mempermainkan persidangan, meledaklah kemarahan baik pihak penggugat maupun pihak Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara.

Akibat lainnya yang juga pernah terjadi, Surat Keterangan Kematian terbit terlebih dahulu, namun Akta Kematian terbit lama sesudahnya. Pertanyaanya, mengingat negara Indonesia adalah negara hukum sehingga segala sesuatunya dinilai sah atau tidaknya ialah berdasarkan pertimbangan sudut pandang “de jure”, akan tetapi menimbang kematian seorang warga secara “de jure” baru hanya dapat dibuktikan lewat keberadaan Akta Kematian, maka apakah seseorang pihak ketiga dapat menggugat penjualan yang dilakukan oleh almarhum yang terjadi sebelum Akta Kematian terbit? Lalu, bagaimana juga jika seumur hidup atau bahkan selama belasan tahun lamanya sanak-keluarga almarhum tidak kunjung mengurus Akta Kematian almarhum?

Tentu kita sering mendengar pemberitaan kasus dimana seseorang sudah meninggal dunia, namun masih juga mendapat uang tunjangan hari tua, uang pensiun, jaminan sosial, menempati rumah dinas, atau istilah sejenis lainnya, akan tetapi senyatanya yang bersangkutan telah meninggal dunia, dimana yang menikmatinya ialah sanak-keluarga almarhum ataupun pihak ketiga dengan bersikap seolah-olah almarhum masih hidup? Itulah akibat terbitnya Surat Keterangan Kematian hanya bersifat “de facto”, sementara itu adalah Akta Kematian yang bersifat “de jure” menghapus data kependudukan dari sistem pangkalan data Dukcapil. Bukankah sepanjang basis data kependudukan masih mencantum data sang warga sebagai penduduk, maka ia berhak mendapatkan undangan untuk menyalurkan suara dalam pemilihan umum, mendapat bantuan sosial dari pemerintah, bahkan melakukan praktik jual-beli sebagaimana warga yang masih hidup dan sehat?

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.