Fisik Orangnya telah Almarhum (Meninggal Dunia), namun secara Data Kependudukan di Catatan Sipil (Berpotensi) Masih Terdata sebagai Penduduk Aktif yang Hidup
DE FACTO Bisa Tidak Sejalan dengan DE JURE, pun
Sebaliknya
Surat Keterangan Kematian (Diterbitkan oleh
Kelurahan) Vs. Akta Kematian (Dinas Catatan Sipil Kabupaten / Kota), Bisa Tidak
Sinkron
Alamat dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), merupakan alamat “de jure”. Alamat domisili, merupakan alamat dimana seseorang warga pemegang KTP bertempat tinggal dalam keseharian secara senyatanya alias alamat “de facto”. Sepanjang penulis berkarir sebagai seorang konsultan hukum, setidaknya tercatat telah terdapat dua orang klien yang menghadapi masalah hukum akibat disparitas antara “meninggalnya seseorang warga secara de facto” (meninggal secara fisik-lahiriah seperti telah berhentinya tanda-tanda kehidupan serta juga telah dimakamkan / dikremasikan) dan “telah almarhumnya seseorang warga secara de jure” (ditandai dengan terbitnya kutipan Akta Kematian atas warga bersangkutan).
Namun, tahukah Anda, bahwa
dengan telah diterbitkannya Surat Keterangan Kematian, telah ternyata tidak
otomatis pihak Kelurahan akan me-link dengan Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil (Disdukcapil) dalam rangka menerbitkan Akta Kematian atas warga
bersangkutan yang meninggal dunia—meski pun pegawai Disdukcapil ditempatkan
pula pada masing-masing Kelurahan, yang artinya tidak terjadi sinergi ataupun
integritas sistem kependudukan dan administrasi pelayanan penduduk oleh
masing-masing perpanjangan tangan pemerintah di masing-masing daerah.
Negeri kita di Indonesia ini
memang tergolong “salah urus”, meski sejatinya zaman sudah tergolong canggih
dan terdigitalisasi yang mana sistem kependudukan bisa dirancang semudah
terkomputerisasi, bilamana memang ada kemauan politik serta keseriusan para
penyelenggara negara dalam pelayanan publik. Dapat kita lihat serta ccrmati
sendiri, begitu banyaknya pegawai pada suatu institusi pemerintahan, namun
petugas pada meja pelayanan begitu minim (front
desk officer), sementara itu para Aparatur Sipil Negara lainnya entah
bersembunyi di mana (mungkin sedang bertelur atau sedang mengerami telur),
mengakibatkan “ekonomi biaya tinggi” mengingat warga harus membakar waktu
(sementara “time is money”) menunggu
dan mengantri giliran dilayani.
Masalah mental, isu klasik yang
tidak berkesudahan, jika bisa dipersulit mengapa dipermudah, jika bisa
diperumit mengapa disederhanakan, jika bisa dipermacet mengapa diperlancar,
jika bisa diperlambat mengapa dipercepat, dan lain sebagainya. Tanpa sistem
merit, rasanya sukar melakukan agenda “reformasi aparatur negara”. Kita tidak
dapat mengandalkan tegaknya “reformasi mental” di negeri yang notabene tidak
pernah kekurangan para kaum “agamais” ini, tanpa diterapkannya sistem merit
kepada segenap lapisan “public servant”
(Pegawai Negeri Sipil), karena itu sama artinya mengandalkan itikad para
penyelenggara negara yang patut kita ragukan. Lihatlah, anggaran untuk
kesejahteraan rakyat, telah ternyata 80 persen-nya dibakar untuk biaya
transportasi, akomodasi, sewa ruang rapat, dan konsumsi para Aparatur Sipil
Negara tersebut, dan sisanya 20 persen dari anggaran benar-benar real dana yang
dipakai untuk kesejahteraan rakyat. Artinya, kesemua ini hanya untuk memakmurkan
dan menyuburkan egosentris para Aparatur Sipil Negara kita.
Pemimpin terus silih-berganti, para
penyusun kebijakan silih-berganti, para kepala kantor silih-berganti, pemilihan
umum silih-berganti, para penyelenggara negara terus dimutasi, dan para Pegawai
Negeri Sipil terus bergenerasi, namun apakah wajah penyelenggaraan negara kita
terhadap rakyat sipil, benar-benar ada perubahan? Memang ada perubahan, dan
penulis rasakan begitu signifikan ketika era Ahok menjabat sebagai Gubernur DKI
Jakarta, tiada pungutan liar sama sekali atas pengurusan perizinan oleh para pelaku
usaha di pusat-pusat ekonomi, dipermudah dan dipercepatnya pelayanan publik,
mengubah wajah kelurahan setempat secara kontras dari sebelumnya “sarang
penyamun” berubah menjadi benar-benar berorientasi pelayanan publik dan “user friendly”—revolusi mana benar-benar
direalisasikan hanya dalam hitungan satu tahun pemerintahan Ahok.
Yang pernah merasakan era
kepemimpinan Ahok, tidak lagi dapat membantah fakta empirik demikian. Akan
tetapi sebanyak apakah para pemimpin yang benar-benar memiliki semangat serta
keberpihakan terhadap rakyat sipil? Tetap saja Ahok tersingkirkan, dan warga
kita tampakya lebih mengedepankan ego sektoral serta mendahulukan sentimen
negatif mereka ketimbang pembangunan kota dan pembangunan mentalitas birokrasi
kita. Kini kita kembali pada topik utama bahasan kita perihal meninggalnya
seorang warga, bagaimanakah respon pemerintah dalam menyikapinya? Untuk itu
penulis akan menggambarkan mekanisme dan prosedur ketika seseorang warga
meninggal dunia sampai dimakamkan hingga terbitnya Akta Kematian atas almarhum,
sehingga para pembaca dapat memiliki gambaran adanya kekusutan benang-merah
yang berpotensi membuka sengketa hukum serta ketidak-pastian hukum di kemudian
hari.
Ketika seseorang warga
ditemukan meninggal dunia di pemukiman penduduk, maka anggota keluarga akan
menghubungi Ketua Rukun Tetangga setempat untuk dimintakan Surat Pengantar
untuk diurus ke pihak kelurahan. Bila meninggal di rumah sakit, maka pihak
otoritas rumah sakit menerbitkan surat keterangan kematian. Pihak kelurahan
dalam menindak-lanjuti surat tersebut yang dibawa oleh warga, akan menerbitkan
Surat Keterangan Kematian dengan tujuan dapat dipakai oleh sanak-keluarga
almarhum untuk mengurus pemakanan almarhum ke dinas pertamanan dan pemakaman
setempat. Artinya, Surat Keterangan Kematian hanyalah surat yang diterbitkan
dalam rangka urgensi alias kemendesakan bagi keperluan sanak-keluarga almarhum
untuk dapat dimakamkan secara segera, sementara itu penerbitan Akta Kematian
membutuhkan prosedur penerbitan karena pihak Disdukcapil perlu mencoret data
identitas sang almarhum dari database kependudukan pusat sehingga memakan waktu
di hari kerja.
Akan tetapi, disparitas kerap
terjadi ketika sanak-keluarga alharhum telah ternyata tidak kunjung mengurus
permohonan penerbitan Akta Kematian almarhum kepada Disdukcapil, namun hanya
membiarkan kondisi almarhum telah dimakamkan dan sebatas Surat Keterangan
Kematian. Negara dalam hal ini benar-benar abai untuk menertibkan warga yang
tidak patuh terhadap hukum. Kini, kita masuk pada masalah yuridis yang terjadi
akibat konsekuensi ketidak-patuhan sang warga dalam sikap abainya atau bahkan
disengaja tidak mengurus Akta Kematian almarhum. Tidak tertutup kemungkinan,
sanak-keluarga almarhum (sengaja) menyalah-gunakan kondisi demikian, dengan
membiarkan pengurusan menjadi berlarut-larut bahkan sama sekali tidak diurus,
potensi demikian selalu terbuka terutama ketika keluarga mereka sedang
bersengketa hukum dengan pihak ketiga yang memohon sita jaminan dalam
gugatannya terhadap mereka.
Kini, mari kita urai satu per
satu, bukan sekadar wacana, namun benar-benar terjadi dalam praktik sengketa di
ruang persidangan, serta konsekuensinya merusak kepastian hukum bagi para
pencari keadilan ketika menggugat almarhum serta sanak-keluarganya, memberi
pehamanan kepada para pembaca bahwasannya isu hukum ini tidak sesederhana yang
kita asumsikan dan tampaknya pemerintah telah abai atau bahkan terkesan
memandang remeh dampaknya bagi masyarakat yang memiliki kepentingan dalam suatu
sengketa hukum dengan almarhum serta keluarganya. Ada suatu kemendesakan agar
masalah hukum ini tidak dibiarkan berlangsung tanpa pembenahan oleh pemerintah.
Ketika almarhum maupun
keluarganya digugat oleh pihak ketiga, semisal dalam suatu sengketa
hutang-piutang, sebagaimana kita ketahui bahwa ada proses persidangan yang
menjadi senjang disparitas waktu antara gugatan diajukan, persidangan perdana,
hingga “putusan sela” berupa sita jaminan maupun putusan oleh Majelis Hakim di
Pengadilan Negeri, disparitas waktu mana dapat mencapai satu tahun lamanya dan
itu menjadi waktu krusial mengingat ada kepentingan pihak penggugat agar pihak
tergugat tidak menjual, mengalihkan, ataupun menjadikan agunan objek harta
kepemilikan mereka yang bisa dijadikan objek sita maupun eksekusi dikemudian
hari oleh pihak ketiga.
Namun pihak tergugat ataupun
ahli warisnya juga memiliki kepentingan, bagaimana caranya agar aset kekayaan
milik tergugat tidak dapat disita dan jika perlu putusan menjelma “menang
diatas kertas”. Caranya sangat klasik, tidak lain tidak bukan ialah dengan
mengalihkan harta-harta kepemilikan pihak tergugat berupa benda tidak bergerak
maupun benda bergerak, sebelum perkara dijatuhkan “putusan sela” oleh Majelis
Hakim. ketika proses persidangan masih berjalan dengan agenda acara
jawab-menjawab antara pihak penggugat dan pihak tergugat, telah ternyata pihak
tergugat meninggal dunia secara “de facto”,
namun pihak kuasa hukum menutup-nutupi informasi ini dari persidangan dan
berpura-pura tidak tahu-menahu sehingga surat kuasanya untuk mewakili bersidang
serta menghadap persidangan tetap sah dan berlaku, sementara itu sanak-keluarga
almarhum (tergugat) memanfaatkan waktu dengan baik untuk mengalihkan aset-aset
kekayaan almarhum, semisal dengan menghadirkan sosok lain yang menyerupai
almarhum, dan berbekal Kartu Tanda Penduduk almarhum, dilakukanlah jual-beli
berbagai bidang properti dan kendaraan.
Praktik terselubung demikian,
disinyalir banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat sudah sejak lama dan
biasanya diajarkan oleh kalangan pengacara kepada klien mereka yang berstatus
sebagai tergugat, terutama kalangan “nakal” yang memanfaatkan ruang celah yang
dibuka oleh hukum administrasi kependudukan kita yang dibiarkan cacat sistemnya.
Betapa tidak, sekalipun Surat Keterangan Kematian telah diterbitkan pihak
otoritas kelurahan setempat almarhum meninggal dunia, namun hingga
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tidak kunjung diterbitkan oleh prakarsa
sendiri pihak berwenang untuk menerbitkan Akta Kematian, yakni kelurahan yang
berkoordinasi dengan Disdukcapil. Akibatnya, terbuka lebar ruang celah yang
menjadi kesempatan bagi aktor-aktor nakal untuk bermain. Seperti anekdot
klasik, yang tetap relevan hingga saat kini : kejahatan terjadi, bukan hanya
karena adanya niat jahat, namun juga adanya kesempatan.
Apakah Anda tahu, mimpi buruk
terbesar kalangan penggugat? Inilah yang selalu ditekankan oleh klien dari
penulis ketika mengajukan gugatan terhadap pihak-pihak yang didudukkan sebagai
pihak tergugat : “Saya paling takut dan
cemas jika gugatan saya ini nantinya (sekalipun menang), namun ‘menang diatas
kertas’ karena ternyata tergugat sudah mengalihkan harta-hartanya sebelum
sempat diputus pengadilan!” Apa boleh dikata, hukum acara perdata kita di
Indonesia masih sangat terbelakang, bagaimana mungkin sita jaminan baru dapat
dikabulkan permohonannya menjelang akan putusan dalam artian setelah proses
pembuktian yang memakan waktu berlarut-larut? Karenanya, wacana perihal
undang-undang “perampasan aset” juga relevan dalam perkara perdata. Sekalinya
tergugat punya niat buruk untuk mengalihkan harta kekayaannya sebelum sita
jaminan diputus oleh hakim, maka itu artinya mimpi buruk para pencari keadilan
benar-benar menjadi kenyataan dan sudah banyak terjadi dalam praktik
persidangan perkara perdata di Indonesia.
Kini, kita balik sudut
pandangnya. Kuasa hukum dari pihak tergugat tahu betul bahwa kliennya telah
meninggal dunia, namun sanak keluarga almarhum memiliki genetik “kriminil”
sehingga mencoba “bermain di air keruh”, dengan tidak kunjung membuat Akta
Kematian atas almarhum, namun sebatas Surat Keterangan Kematian saat memakamkan
almarhum. Posisi kuasa hukum tergugat pun menjadi rapuh seperti cangkan / kulit
telur, yang mudah pecah sewaktu-waktu, serba-salah. Bila yang bersangkutan
mengakui ke hadapan persidangan, bahwa klien-nya telah meninggal dunia, maka
hakim yang taat asas kependudukan akan meminta buktinya, yakni berupa Akta
Kematian—bukan Surat Keterangan Kematian.
Karena memang almarhum
(tergugat) tidak pernah diterbitkan Akta Kematian terhadapnya, maka secara “de jure” status kependudukan yang
bersangkutan masih aktif sebagai warga, dimana juga KTP yang bersangkutan masih
diakui dan sah secara hukum. Maka, mengaku secara inisiatif sang kuasa hukum
itu sendiri bahwa klien-nya telah meninggal dunia, namun hanya berbekal Surat
Keterangan Kematian, bukanlah pilihan pragmatis untuk dipilih. Pilihan yang
paling rasional menurutnya, ialah dengan tetap diam bungkam “seribu bahasa”
perihal telah meninggal dunianya pihak tergugat, dan “business as usual” dengan tetap melanjutkan proses
gugat-menggugat—alias sang pengacara menjadi “pengacara (dari) hantu”, dimana
hantu menjadi klien sang pengacara.
Namun demikian, sikap diam
bungkam “pura-pura tidak tahu” demikian bukan tanpa resiko, mengingat bisa jadi
pihak penggugat mengendus gelagat informasi bahwa pihak yang ia gugat telah
meninggal dunia, melakukan investigasi pribadi selayaknya seorang detektif, dan
menemukan fakta mengejutkan bahwasannya tergugat telah meninggal dunia, lengkap
dengan keberadaan makam dan batu nisan pihak tergugat. Pihak kelurahan maupun
dinas pemakaman pun bahkan menerbitkan surat keterangan bahwa warga atas nama
almarhum betul telah dimakamkan atas permohonan anaknya. Alhasil, ketika hasil
investigasi ini diangkat oleh penggugat ke hadapan persidangan, terkuak sudah
bahwa kuasa hukum tergugat telah “pura-pura bodoh” selama sekian lama, ibarat
mempermainkan persidangan, meledaklah kemarahan baik pihak penggugat maupun
pihak Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara.
Akibat lainnya yang juga pernah
terjadi, Surat Keterangan Kematian terbit terlebih dahulu, namun Akta Kematian
terbit lama sesudahnya. Pertanyaanya, mengingat negara Indonesia adalah negara
hukum sehingga segala sesuatunya dinilai sah atau tidaknya ialah berdasarkan
pertimbangan sudut pandang “de jure”,
akan tetapi menimbang kematian seorang warga secara “de jure” baru hanya dapat dibuktikan lewat keberadaan Akta
Kematian, maka apakah seseorang pihak ketiga dapat menggugat penjualan yang
dilakukan oleh almarhum yang terjadi sebelum Akta Kematian terbit? Lalu,
bagaimana juga jika seumur hidup atau bahkan selama belasan tahun lamanya
sanak-keluarga almarhum tidak kunjung mengurus Akta Kematian almarhum?
Tentu kita sering mendengar
pemberitaan kasus dimana seseorang sudah meninggal dunia, namun masih juga
mendapat uang tunjangan hari tua, uang pensiun, jaminan sosial, menempati rumah
dinas, atau istilah sejenis lainnya, akan tetapi senyatanya yang bersangkutan
telah meninggal dunia, dimana yang menikmatinya ialah sanak-keluarga almarhum
ataupun pihak ketiga dengan bersikap seolah-olah almarhum masih hidup? Itulah
akibat terbitnya Surat Keterangan Kematian hanya bersifat “de facto”, sementara itu adalah Akta Kematian yang bersifat “de jure” menghapus data kependudukan
dari sistem pangkalan data Dukcapil. Bukankah sepanjang basis data kependudukan
masih mencantum data sang warga sebagai penduduk, maka ia berhak mendapatkan
undangan untuk menyalurkan suara dalam pemilihan umum, mendapat bantuan sosial
dari pemerintah, bahkan melakukan praktik jual-beli sebagaimana warga yang
masih hidup dan sehat?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.