AGAMA DOSA : Tuhan Lebih PRO terhadap Pendosa dengan Menghapus Dosa-Dosa para Pendosa tersebut, alih-alih Bersikap Adil terhadap Korban-Korban dari sang Pendosa

BUAT DOSA, SIAPA TAKUT? ADA PENGHAPUSAN DOSA! Merugi bila Tidak Berbuat Dosa

KABAR GEMBIRA bagi Pendosa, artinya KABAR BURUK bagi Kalangan Korban

Question: Mengapa terkadang ada saja putusan (hakim di pengadilan) yang melukai perasaan rakyat, seolah tidak peka terhadap perasaan pihak-pihak yang menjadi korban yang kian trauma sebagai akibatnya?

Brief Answer: Pada bagian kepala atau “header” dari format baku dokumen putusan pengadilan di Indonesia, biasanya tertera apa yang dalam terminologi hukum dikenal dengan istilah “irah-irah”, berupa kalimat berikut : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Format penulisan tersebut sepenuhnya kontraproduktif terhadap semangat ataupun upaya penegakan hukum, mengingat Tuhan justru diyakini dan dilukiskan oleh berbagai agama samawi sebagai lebih PRO terhadap pendosa (penjahat) alih-alih memberikan keadilan terhadap kalangan korban dari sang pendosa tersebut yang dihapus dosa-dosanya oleh Tuhan sebelum kemudian dimasukkan ke surga, alih-alih ke neraka sebagai hukumannya. Karenanya, format baku “irah-irah” yang lebih ideal untuk kita tawarkan ialah, dengan rumusan kalimat sebagai berikut : “DEMI KEADILAN DAN PRINSIP KELUHURAN MARTABAT KITA SEMUA SEBAGAI MANUSIA BERADAB”.

PEMBAHASAN:

Yang disebut sebagai “Tuhanis”, tidak selalu identik lebih mulia dan lebih luhur ataupun lebih agung daripada sekadar “humanis”. JIka hakim di pengadilan dunia manusia, masih bisa lebih bersikap adil dengan menghukum pelaku kejahatan, demi tegaknya keadilan bagi pihak korban; akan tetapi bertolak-belakang dengan itu, sosok Tuhan (justru) lebih berpihak pada kalangan penjahat (pendosa) dengan menghapus dosa-dosa sang penjahat. Alhasil, korban hanya bisa “gigit jari”, dengan kembali menjadi korban untuk kali keduanya—yakni “korban perasaan”. Karenanya pula, keliru besar bila hakim dipengadilan diminta sekaligus diharapkan untuk menjadikan Tuhan sebagai suri-tauladan untuk diteladani ataupun ditiru.

Bila seorang suciwan penuh kendali diri (self-control) berkat terlatih dalam disiplin pengendalian dan mawas diri yang ketat (Agama SUCI), sementara kalangan ksatriawan memilih untuk bertanggung-jawab atas perbuatannya baik yang disengaja ataupun akibat kelalaiannya yang telah pernah menyakiti, melukai, ataupun merugikan pihak lain (Agama KSATRIA); maka seorang pen-dosa-wan mencandu “cuci tangan” dan “cuci dosa” (lari dari tanggung jawab) dengan melakukan ritual permohonan “penghapusan dosa” (Agama DOSA). Pendosa, hendak berceramah perihal hidup lurus, baik, jujur, mulia, agung, serta luhur? Itu ibarat “orang buta” hendak menuntun “orang-orang buta” lainnya, sang pendosa bahkan gagal menuntun dan mendidik dirinya sendiri.

Adapun sosok atau penggambaran mengenai watak Tuhan, telah ternyata berdiri di pihak alias memihak kalangan pendosa, alih-alih berdiri di pihak para korban, sebagaimana tampak dalam bukti dogma-dogma berikut, dimana tentunya kita ketahui bahwa hanya seorang pendosa yang butuh “penghapusan / pengampunan” maupun “penebusan dosa”—atau apapun itu istilahnya yang merujuk kepada iming-iming korup “too good to be true” bernama “abolition of sins”:

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]

- “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

- Menurut Lukas dalam bab 23, salah satu dari dua penjahat (penyamun) yang disalibkan bersama Yesus menantang-Nya. Seorang dari penjahat yang digantung itu menghujat Dia, katanya : “Bukankah Engkau adalah Kristus? Selamatkanlah diri-Mu dan kami!”

Tetapi yang seorang menegor dia, katanya : “Tidakkah engkau takut, juga tidak kepada Allah, sedang engkau menerima hukuman yang sama? Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah.”

Lalu ia berkata: “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja” (Lukas 23: 39-41).

Yesus menjawab : “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya, hari ini juga Engkau berada bersama Aku di surga(Lukas: 23 :43). Yesus membersihkan penjahat ini dari dosa-dosanya, menerima dia dengan hati terbuka, dan memulihkannya tanpa syarat. Yesus menganugerahkan kepada orang berdosa itu karunia hidup kekal.

Bagi kaum suciwan maupun kalangan berjiwa ksatria, ideologi korup semacam “penghapusan dosa” tampak begitu kotor dan menjijikkan, penuh cela dan memalukan, “lebih aurat daripada aurat”. Akan tetapi, telah ternyata para pemeluk “Agama DOSA”, para dosawan, begitu tergila-gila “pesta dosa” dan setiap harinya berbondong-bondong mencandu doa-doa permohonan “penghapusan dosa” hingga mabuk-kepayang, ibarat menggadaikan jiwa, bahkan tanpa malu mempromosikannya lewat speaker pengeras suara pada tempat ibadah mereka, sekalipun sekujur tubuh mereka ditutupi dan tertutupi dengan busana serba tertutup. Adapun mengenai sikap bertanggung-jawab, tidak semua orang punya kemauan, keberanian, maupun komitmen untuk itu, dimana sikap penuh tanggung-jawab notabene justru melawan arus “mainstream” masyarakat kita di Indonesia, mengingat konsekuensinya ialah sebagaimana disabdakan oleh Sang Buddha dengan kutipan berikut:

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang mengikuti arus; orang yang melawan arus; orang yang kokoh dalam pikiran; dan orang yang telah menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan yang tinggi.

(1) “Dan apakah orang yang mengikuti arus? Di sini, seseorang menikmati kenikmatan indria dan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Ini disebut orang yang mengikuti arus.

(2) “Dan apakah orang yang melawan arus? Di sini, seseorang tidak menikmati kenikmatan indria atau melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Bahkan dengan kesakitan dan kesedihan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni. Ini disebut orang yang melawan arus.

Ajaran Sang Buddha dapat disebut melawan arus “mainstream”, dengan tidak menawarkan iming-iming “penghapusan dosa”—bahkan tegas menolaknya—akan tetapi menyusung jiwa serta sikap penuh tanggung-jawab atas diri dan perbuatan kita sendiri, sebagaimana dapat kita rujuk langsung khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, membabarkan “keajaiban pengajaran” dengan kutipan sebagai berikut:

60 (10) Sagārava

Brahmana Sagārava mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau … Kemudian, sambil duduk di satu sisi, Brahmana Sagārava berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut:

“Guru Gotama, kami para brahmana melakukan pengorbanan dan menyuruh orang lain untuk mempersembahkan pengorbanan. Sekarang baik seorang yang melakukan pengorbanan sendiri maupun seorang menyuruh orang lain untuk mempersembahkan pengorbanan, keduanya telah terlibat dalam praktik berjasa yang menjangkau banyak orang, yaitu, yang berdasarkan pada pengorbanan. Tetapi seorang yang meninggalkan keluarga dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah hanya menjinakkan dirinya sendiri, menenangkan dirinya sendiri, dan hanya dirinya sendiri yang mengarah menuju nibbāna. Dalam kasus demikian, ia terlibat dalam praktik berjasa yang menjangkau hanya satu orang, yaitu, yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian.”

“Baiklah, Brahmana, Aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu sehubungan dengan persoalan ini. Engkau boleh menjawabnya sesuai apa yang menurutmu benar. Bagaimana menurutmu, Brahmana? Di sini, seorang Tathāgata muncul di dunia, seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, sempurna menempuh sang jalan, pengenal dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci. Beliau berkata sebagai berikut: ‘Marilah, ini adalah jalan, ini adalah cara. Dengan berlatih menurut jalan ini, Aku telah merealisasi untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung puncak kehidupan spiritual yang tidak terlampaui dan mengenalkannya kepada orang lain. Marilah, kalian juga berlatih demikian. Dengan berlatih sesuai jalan ini, kalian juga akan merealisasi untuk diri kalian sendiri dengan pengetahuan langsung puncak kehidupan spiritual dan berdiam di dalamnya.’ Demikianlah Sang Guru mengajarkan Dhamma ini dan orang-orang lain [169] berlatih sesuai ajaranNya itu. Ada ratusan, ribuan, ratusan ribu yang melakukan demikian. Bagaimana menurutmu? Dalam kasus ini, apakah tindakan meninggalkan keduniawian itu adalah sebuah praktik berjasa yang menjangkau satu orang atau banyak orang?

“Jika kasusnya demikian, Guru Gotama, maka ini adalah praktik berjasa yang menjangkau banyak orang, yaitu, yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda berkata kepada Brahmana Sagārava: “Di antara kedua praktik ini, Brahmana, yang manakah yang lebih menarik bagimu sebagai yang lebih sederhana dan lebih tidak membahayakan, dan juga sebagai yang lebih berbuah dan bermanfaat?”

Kemudian Brahmana Sagārava berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Aku menganggap Guru Gotama dan Guru Ānanda layak menerima penghormatan dan pujian.”

[Kitab Komentar : Ia tidak ingin menjawab pertanyaan Ānanda, maka ia mencoba mengalihkan diskusi dengan kata-kata pujian.]

Untuk ke dua kalinya Yang Mulia Ānanda berkata kepada sang Brahmana: “Brahmana, aku tidak bertanya kepadamu tentang siapa yang engkau anggap layak menerima penghormatan dan pujian. Aku bertanya tentang yang mana di antara kedua praktik itu, manakah yang lebih menarik bagimu sebagai yang lebih sederhana dan lebih tidak membahayakan, dan juga sebagai yang lebih berbuah dan bermanfaat?”

Tetapi untuk ke dua kalinya Brahmana Sagārava menjawab:

“Aku menganggap Guru Gotama dan Guru Ānanda layak menerima penghormatan dan pujian.”

Untuk ke tiga kalinya Yang Mulia Ānanda berkata kepada sang Brahmana: “Brahmana, aku tidak bertanya kepadamu tentang siapa yang engkau anggap layak menerima penghormatan dan pujian. Aku bertanya tentang yang mana di antara kedua praktik itu, manakah yang lebih menarik bagimu sebagai yang lebih sederhana dan lebih tidak membahayakan, dan sebagai yang lebih berbuah dan bermanfaat?”

Tetapi untuk ke tiga kalinya Brahmana Sagārava menjawab:

“Aku menganggap Guru Gotama dan Guru Ānanda layak menerima penghormatan dan pujian.” [170]

Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Bahkan untuk ke tiga kalinya Brahmana Sagārava, ketika ditanya dengan pertanyaan sewajarnya oleh Ānanda, ia menjadi bimbang dan tidak menjawab. Biarlah Aku membebaskannya.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Brahmana Sagārava: “Perbincangan apakah, Brahmana, yang dibicarakan pada hari ini di antara para pengikut raja ketika mereka berkumpul dan duduk di istana kerajaan?”

“Perbincangannya adalah ini, Guru Gotama: ‘Sebelumnya ada lebih sedikit bhikkhu, tetapi lebih banyak yang memperlihatkan keajaiban kekuatan batin yang melampaui manusia. Tetapi sekarang ada lebih banyak bhikkhu, tetapi lebih sedikit yang memperlihatkan keajaiban kekuatan batin yang melampaui manusia.’ Ini adalah perbincangan yang muncul hari ini di antara para pengikut raja.”

“Ada, brahmana, tiga jenis keajaiban ini. Apakah tiga ini? Keajaiban kekuatan batin, keajaiban membaca pikiran, dan keajaiban pengajaran.

(1) “Dan apakah, Brahmana, keajaiban kekuatan batin? Di sini, seorang bhikkhu mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, ia menjadi banyak; dari banyak, ia menjadi satu; ia muncul dan lenyap; ia berjalan tanpa terhalangi menembus tembok, menembus dinding, menembus gunung seolah-olah melewati ruang kosong; ia menyelam masuk dan keluar dari dalam tanah seolah-olah di dalam air; ia berjalan di atas air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; dengan duduk bersila, ia terbang di angkasa bagaikan seekor burung; dengan tangannya ia menyentuh dan menepuk bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa; ia mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā. Ini disebut keajaiban kekuatan batin.

(2) “Dan apakah, Brahmana, keajaiban membaca pikiran? Ada seseorang yang, melalui suatu petunjuk, menyatakan: ‘Pikiranmu demikian, demikianlah apa yang engkau pikirkan, pikiranmu dalam kondisi demikian.’ Dan bahkan jika ia mengucapkan banyak pernyataan, maka pernyataan-pernyataan itu adalah tepat seperti itu dan bukan sebaliknya.

[Kitab Komentar menjelaskannya seolah-olah ini berarti suatu petunjuk yang tidak berhubungan dengan situasi ini, tetapi ini mungkin merupakan isyarat atau ekspresi wajah – apa yang sekarang kita kenal sebagai “bahasa tubuh” – yang mengungkapkan kondisi pikiran seseorang kepada pengamat yang terampil.]

“Kemudian, seseorang tidak menyatakan [kondisi pikiran] dengan berdasarkan suatu petunjuk, [171] tetapi ia mendengarkan suara orang-orang, makhluk-makhluk tak tampak, atau dewa-dewa [berbicara] dan kemudian menyatakan: ‘Pikiranmu demikian, demikianlah apa yang engkau pikirkan, pikiranmu dalam kondisi demikian.’ Dan bahkan jika ia mengucapkan banyak pernyataan, maka pernyataan-pernyataan itu adalah tepat seperti itu dan bukan sebaliknya.

“Kemudian, seseorang tidak menyatakan [kondisi pikiran] dengan berdasarkan suatu pertanda, atau dengan ia mendengarkan suara orang-orang, makhluk-makhluk tak tampak, atau dewa-dewa [berbicara], tetapi ia mendengarkan suara pancaran pikiran ketika seseorang sedang berpikir dan memeriksa [suatu hal] dan kemudian menyatakan: ‘Pikiranmu demikian, demikianlah apa yang engkau pikirkan, pikiranmu dalam kondisi demikian.’ Dan bahkan jika ia mengucapkan banyak pernyataan, maka pernyataan-pernyataan itu adalah tepat seperti itu dan bukan sebaliknya.

{Kitab Komentar : suara halus yang mungkin terpancar melalui pikiran namun tidak diungkapkan secara verbal.]

“Kemudian, seseorang tidak menyatakan [kondisi pikiran] dengan berdasarkan suatu pertanda, atau dengan ia mendengarkan suara orang-orang, makhluk-makhluk tak tampak, atau dewa-dewa [berbicara], atau dengan mendengarkan suara pancaran pikiran ketika seseorang sedang berpikir dan memeriksa [suatu hal], tetapi dengan pikirannya sendiri ia melingkupi pikiran dari seorang yang telah mencapai konsentrasi tanpa pemikiran dan pemeriksaan dan ia memahami: ‘Aktivitas pikiran orang ini begitu terencana sehingga segera setelahnya ia akan memikirkan pemikiran ini.’ Dan bahkan jika ia mengucapkan banyak pernyataan, maka pernyataan-pernyataan itu adalah tepat seperti itu dan bukan sebaliknya. Ini disebut keajaiban membaca pikiran.

[Kitab Komentar : Ini pasti merujuk pada seseorang yang berada dalam level kultivasi jhāna (kemampuan batin berupa kesaktian akibat berlatih pada ‘objek konsentrasi’ tertentu) tingkat ke dua atau lebih tinggi.]

(3) “Dan apakah, Brahmana, keajaiban pengajaran? Di sini, seseorang mengajarkan [orang lain] sebagai berikut: ‘Berpikirlah seperti ini dan bukan seperti itu! Perhatikanlah ini dan bukan itu! Tinggalkanlah ini dan masuk dan berdiamlah dalam itu!’ Ini disebut keajaiban pengajaran.

[Kitab Komentar memberikan contoh : Memikirkan pemikiran-pemikiran tanpa-keinginan, bukan pemikiran-pemikiran indriawi, dan sebagainya. Memperhatikan gagasan ketidak-kekalan, dan sebagainya, bukan pada kekekalan, dan sebagainya. Meninggalkan nafsu pada kenikmatan indria dan memasuki jalan dan buah yang melampaui keduniawian.]

“Ini, Brahmana, adalah ketiga jenis keajaiban. Di antara ketiga jenis keajaiban ini, yang manakah yang menarik bagimu sebagai yang paling baik dan luhur?”

“Di antara ini, Guru Gotama, ketika seseorang melakukan keajaiban yang dengannya ia mengerahkan berbagai kekuatan batin … mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā, hanya orang yang melakukan keajaiban ini yang mengalaminya dan itu terjadi hanya pada dirinya. Keajaiban ini tampak bagiku seperti tipuan sulap.

“Kemudian, Guru Gotama, ketika seseorang melakukan keajaiban yang dengannya ia menyatakan kondisi pikiran orang lain dengan berdasarkan pada petunjuk … dengan mendengarkan suara orang-orang, makhluk-makhluk halus, atau para dewa … dengan mendengar suara pancaran pikiran sewaktu seseorang sedang berpikir dan memeriksa [suatu hal] … dengan pikirannya sendiri ia melingkupi pikiran dari seorang yang telah mencapai konsentrasi tanpa pemikiran dan pemeriksaan dan ia memahami:

[172] ‘Aktivitas pikiran orang ini begitu terencana sehingga segera setelahnya ia akan memikirkan pemikiran ini,’ dan bahkan jika ia mengucapkan banyak pernyataan, maka pernyataan-pernyataan itu adalah tepat seperti itu dan bukan sebaliknya – ini juga, hanya orang yang melakukan keajaiban ini yang mengalaminya dan itu terjadi hanya pada dirinya. Keajaiban ini juga, tampak bagiku seperti tipuan sulap.

“Tetapi, Guru Gotama, ketika seseorang melakukan keajaiban ini yang dengannya ia mengajarkan [orang lain] sebagai berikut: ‘Berpikirlah seperti ini dan bukan seperti itu! Perhatikanlah ini dan bukan itu! Tinggalkanlah ini dan masuk dan berdiamlah dalam itu!’ – keajaiban ini menarik bagiku sebagai yang paling baik dan luhur di antara ketiga keajaiban itu.

“Sungguh mengagumkan dan menakjubkan, Guru Gotama, betapa baiknya hal ini telah dinyatakan oleh Guru Gotama! Kami menganggap Guru Gotama sebagai seorang yang dapat melakukan ketiga keajaiban ini. Karena Guru Gotama mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin … mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā. Guru Gotama dengan pikiranNya melingkupi pikiran seseorang yang telah mencapai konsentrasi yang tanpa pemikiran dan pemeriksaan sehingga Beliau memahami: ‘Aktivitas pikiran orang ini begitu terencana sehingga segera setelahnya ia akan memikirkan pemikiran ini.’ Dan Guru Gotama mengajarkan [orang lain] sebagai berikut: ‘Berpikirlah seperti ini dan bukan seperti itu! Perhatikanlah ini dan bukan itu! Tinggalkanlah ini dan masuk dan berdiamlah dalam itu!’”

“Tentu saja, Brahmana, kata-katamu itu menyelidiki dan lancang. Namun demikian, Aku akan menjawabmu. Aku memang mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin … mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā. Aku memang dengan pikiranKu melingkupi pikiran seseorang yang telah mencapai konsentrasi yang tanpa pemikiran dan pemeriksaan sehingga Aku memahami: ‘Aktivitas pikiran orang ini begitu terencana sehingga segera setelahnya ia akan memikirkan pemikiran ini.’ Dan Aku memang mengajarkan [orang lain] sebagai berikut: ‘Berpikirlah seperti ini dan bukan seperti itu! Perhatikanlah ini dan bukan itu! Tinggalkanlah ini dan masuk dan berdiamlah dalam itu!’”

“Tetapi, Guru Gotama, adakah satu saja bhikkhu lain selain Guru Gotama yang dapat melakukan ketiga jenis keajaiban ini?”

Bukan hanya seratus, dua ratus, tiga ratus, empat ratus, atau lima ratus, tetapi bahkan lebih dari itu yang dapat melakukan ketiga keajaiban ini.”

“Tetapi di manakah para bhikkhu itu berdiam sekarang?” [173]

“Persis di sini, Brahmana, dalam Sagha para bhikkhu ini.”

“Bagus sekali, Guru Gotama! Bagus sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam banyak cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung kepada Guru Gotama, kepada Dhamma, dan kepada Sagha para bhikkhu. Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.