BUAT DOSA, SIAPA TAKUT? ADA PENGHAPUSAN DOSA! Merugi
bila Tidak Berbuat Dosa
KABAR GEMBIRA bagi Pendosa, artinya KABAR BURUK bagi Kalangan Korban
Question: Mengapa terkadang ada saja putusan (hakim di pengadilan) yang melukai perasaan rakyat, seolah tidak peka terhadap perasaan pihak-pihak yang menjadi korban yang kian trauma sebagai akibatnya?
Brief Answer: Pada bagian kepala atau “header” dari format baku dokumen putusan pengadilan di Indonesia,
biasanya tertera apa yang dalam terminologi hukum dikenal dengan istilah “irah-irah”,
berupa kalimat berikut : “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Format penulisan tersebut sepenuhnya
kontraproduktif terhadap semangat ataupun upaya penegakan hukum, mengingat Tuhan
justru diyakini dan dilukiskan oleh berbagai agama samawi sebagai lebih PRO
terhadap pendosa (penjahat) alih-alih memberikan keadilan terhadap kalangan
korban dari sang pendosa tersebut yang dihapus dosa-dosanya oleh Tuhan sebelum
kemudian dimasukkan ke surga, alih-alih ke neraka sebagai hukumannya. Karenanya,
format baku “irah-irah” yang lebih ideal untuk kita tawarkan ialah, dengan rumusan
kalimat sebagai berikut : “DEMI KEADILAN
DAN PRINSIP KELUHURAN MARTABAT KITA SEMUA SEBAGAI MANUSIA BERADAB”.
PEMBAHASAN:
Yang disebut sebagai “Tuhanis”,
tidak selalu identik lebih mulia dan lebih luhur ataupun lebih agung daripada sekadar
“humanis”. JIka hakim di pengadilan dunia manusia, masih bisa lebih bersikap adil
dengan menghukum pelaku kejahatan, demi tegaknya keadilan bagi pihak korban;
akan tetapi bertolak-belakang dengan itu, sosok Tuhan (justru) lebih berpihak
pada kalangan penjahat (pendosa) dengan menghapus dosa-dosa sang penjahat. Alhasil,
korban hanya bisa “gigit jari”, dengan kembali menjadi korban untuk kali
keduanya—yakni “korban perasaan”. Karenanya pula, keliru besar bila hakim
dipengadilan diminta sekaligus diharapkan untuk menjadikan Tuhan sebagai
suri-tauladan untuk diteladani ataupun ditiru.
Bila seorang suciwan penuh
kendali diri (self-control) berkat
terlatih dalam disiplin pengendalian dan mawas diri yang ketat (Agama SUCI),
sementara kalangan ksatriawan memilih untuk bertanggung-jawab atas perbuatannya
baik yang disengaja ataupun akibat kelalaiannya yang telah pernah menyakiti,
melukai, ataupun merugikan pihak lain (Agama KSATRIA); maka seorang
pen-dosa-wan mencandu “cuci tangan” dan “cuci dosa” (lari dari tanggung jawab)
dengan melakukan ritual permohonan “penghapusan dosa” (Agama DOSA).
Pendosa, hendak berceramah perihal hidup lurus, baik, jujur, mulia, agung,
serta luhur? Itu ibarat “orang buta” hendak menuntun “orang-orang buta” lainnya,
sang pendosa bahkan gagal menuntun dan mendidik dirinya sendiri.
Adapun sosok atau penggambaran mengenai
watak Tuhan, telah ternyata berdiri di pihak alias memihak kalangan pendosa, alih-alih
berdiri di pihak para korban, sebagaimana tampak dalam bukti dogma-dogma berikut,
dimana tentunya kita ketahui bahwa hanya seorang pendosa yang butuh “penghapusan
/ pengampunan” maupun “penebusan dosa”—atau apapun itu istilahnya yang
merujuk kepada iming-iming korup “too
good to be true” bernama “abolition
of sins”:
- Aisyah bertanya kepada
Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah
Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan
datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang
banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]
- “Telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah
menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku
mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja
yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk
surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi
menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]
- Menurut Lukas dalam bab 23, salah
satu dari dua penjahat (penyamun) yang disalibkan bersama Yesus menantang-Nya. Seorang
dari penjahat yang digantung itu menghujat Dia, katanya : “Bukankah Engkau adalah Kristus? Selamatkanlah diri-Mu dan kami!”
Tetapi yang seorang menegor dia, katanya : “Tidakkah engkau takut, juga tidak kepada
Allah, sedang engkau menerima hukuman yang sama? Kita memang selayaknya
dihukum, sebab kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita,
tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah.”
Lalu ia berkata: “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja”
(Lukas 23: 39-41).
Yesus menjawab : “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya, hari ini juga Engkau berada
bersama Aku di surga” (Lukas: 23 :43). Yesus membersihkan penjahat ini
dari dosa-dosanya, menerima dia dengan hati terbuka, dan memulihkannya tanpa
syarat. Yesus menganugerahkan kepada orang berdosa itu karunia hidup kekal.
Bagi kaum suciwan maupun
kalangan berjiwa ksatria, ideologi korup semacam “penghapusan dosa” tampak
begitu kotor dan menjijikkan, penuh cela dan memalukan, “lebih aurat daripada aurat”.
Akan tetapi, telah ternyata para pemeluk “Agama DOSA”, para dosawan, begitu tergila-gila
“pesta dosa” dan setiap harinya berbondong-bondong mencandu doa-doa permohonan “penghapusan
dosa” hingga mabuk-kepayang, ibarat menggadaikan jiwa, bahkan tanpa malu
mempromosikannya lewat speaker pengeras suara pada tempat ibadah mereka,
sekalipun sekujur tubuh mereka ditutupi dan tertutupi dengan busana serba
tertutup. Adapun mengenai sikap bertanggung-jawab, tidak semua orang punya
kemauan, keberanian, maupun komitmen untuk itu, dimana sikap penuh
tanggung-jawab notabene justru melawan arus “mainstream” masyarakat kita di Indonesia, mengingat konsekuensinya
ialah sebagaimana disabdakan oleh Sang Buddha dengan kutipan berikut:
“Para bhikkhu, ada empat jenis
orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang mengikuti arus; orang
yang melawan arus; orang yang kokoh dalam pikiran; dan orang yang telah
menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan
yang tinggi.
(1) “Dan apakah orang yang
mengikuti arus? Di sini, seseorang menikmati kenikmatan indria dan melakukan
perbuatan-perbuatan buruk. Ini disebut orang yang mengikuti arus.
(2) “Dan apakah orang yang
melawan arus? Di sini, seseorang tidak menikmati kenikmatan indria atau
melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Bahkan dengan kesakitan dan kesedihan,
menangis dengan wajah basah oleh air mata, ia menjalani kehidupan spiritual
yang lengkap dan murni. Ini disebut orang yang melawan arus.
Ajaran Sang Buddha dapat
disebut melawan arus “mainstream”,
dengan tidak menawarkan iming-iming “penghapusan dosa”—bahkan tegas menolaknya—akan
tetapi menyusung jiwa serta sikap penuh tanggung-jawab atas diri dan perbuatan kita
sendiri, sebagaimana dapat kita rujuk langsung khotbah Sang Buddha dalam
“Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”,
diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom
Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta
Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, membabarkan “keajaiban
pengajaran” dengan kutipan sebagai berikut:
60 (10) Saṅgārava
Brahmana Saṅgārava mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar
sapa dengan Beliau … Kemudian, sambil duduk di satu sisi, Brahmana Saṅgārava berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut:
“Guru Gotama, kami para
brahmana melakukan pengorbanan dan menyuruh orang lain untuk mempersembahkan
pengorbanan. Sekarang baik seorang yang melakukan pengorbanan sendiri maupun
seorang menyuruh orang lain untuk mempersembahkan pengorbanan, keduanya telah
terlibat dalam praktik berjasa yang menjangkau banyak orang, yaitu, yang
berdasarkan pada pengorbanan. Tetapi seorang yang meninggalkan keluarga dan meninggalkan
keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah hanya
menjinakkan dirinya sendiri, menenangkan dirinya sendiri, dan hanya dirinya
sendiri yang mengarah menuju nibbāna. Dalam kasus demikian, ia terlibat dalam praktik
berjasa yang menjangkau hanya satu orang, yaitu, yang berdasarkan pada
pelepasan keduniawian.”
“Baiklah, Brahmana, Aku akan
mengajukan pertanyaan kepadamu sehubungan dengan persoalan ini. Engkau boleh menjawabnya
sesuai apa yang menurutmu benar. Bagaimana menurutmu, Brahmana? Di sini,
seorang Tathāgata muncul di dunia, seorang Arahant, tercerahkan sempurna,
sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, sempurna menempuh sang jalan, pengenal
dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva
dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci. Beliau berkata sebagai berikut:
‘Marilah, ini adalah jalan, ini adalah cara. Dengan berlatih menurut jalan ini,
Aku telah merealisasi untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung puncak kehidupan
spiritual yang tidak terlampaui dan mengenalkannya kepada orang lain. Marilah,
kalian juga berlatih demikian. Dengan berlatih sesuai jalan ini, kalian juga
akan merealisasi untuk diri kalian sendiri dengan pengetahuan langsung puncak
kehidupan spiritual dan berdiam di dalamnya.’ Demikianlah Sang Guru
mengajarkan Dhamma ini dan orang-orang lain [169] berlatih sesuai ajaranNya itu.
Ada ratusan, ribuan, ratusan ribu yang melakukan demikian. Bagaimana menurutmu?
Dalam kasus ini, apakah tindakan meninggalkan keduniawian itu adalah sebuah
praktik berjasa yang menjangkau satu orang atau banyak orang?”
“Jika kasusnya demikian, Guru
Gotama, maka ini adalah praktik berjasa yang menjangkau banyak orang, yaitu,
yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian.”
Ketika hal ini dikatakan, Yang
Mulia Ānanda berkata kepada Brahmana Saṅgārava: “Di antara kedua praktik ini, Brahmana, yang manakah yang lebih
menarik bagimu sebagai yang lebih sederhana dan lebih tidak membahayakan,
dan juga sebagai yang lebih berbuah dan bermanfaat?”
Kemudian Brahmana Saṅgārava berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Aku
menganggap Guru Gotama dan Guru Ānanda layak menerima penghormatan dan pujian.”
[Kitab Komentar : Ia tidak
ingin menjawab pertanyaan Ānanda, maka ia mencoba mengalihkan diskusi dengan
kata-kata pujian.]
Untuk ke dua kalinya Yang Mulia
Ānanda berkata kepada sang Brahmana: “Brahmana, aku tidak bertanya kepadamu
tentang siapa yang engkau anggap layak menerima penghormatan dan pujian. Aku
bertanya tentang yang mana di antara kedua praktik itu, manakah yang lebih
menarik bagimu sebagai yang lebih sederhana dan lebih tidak membahayakan, dan
juga sebagai yang lebih berbuah dan bermanfaat?”
Tetapi untuk ke dua kalinya
Brahmana Saṅgārava menjawab:
“Aku menganggap Guru Gotama dan
Guru Ānanda layak menerima penghormatan dan pujian.”
Untuk ke tiga kalinya Yang
Mulia Ānanda berkata kepada sang Brahmana: “Brahmana, aku tidak bertanya
kepadamu tentang siapa yang engkau anggap layak menerima penghormatan dan pujian.
Aku bertanya tentang yang mana di antara kedua praktik itu, manakah yang lebih
menarik bagimu sebagai yang lebih sederhana dan lebih tidak membahayakan, dan
sebagai yang lebih berbuah dan bermanfaat?”
Tetapi untuk ke tiga kalinya
Brahmana Saṅgārava menjawab:
“Aku menganggap Guru Gotama dan
Guru Ānanda layak menerima penghormatan dan pujian.” [170]
Kemudian Sang Bhagavā berpikir:
“Bahkan untuk ke tiga kalinya Brahmana Saṅgārava, ketika ditanya dengan pertanyaan sewajarnya oleh Ānanda, ia
menjadi bimbang dan tidak menjawab. Biarlah Aku membebaskannya.”
Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada
Brahmana Saṅgārava: “Perbincangan apakah, Brahmana, yang dibicarakan pada hari ini di
antara para pengikut raja ketika mereka berkumpul dan duduk di istana
kerajaan?”
“Perbincangannya adalah ini,
Guru Gotama: ‘Sebelumnya ada lebih sedikit bhikkhu, tetapi lebih banyak yang
memperlihatkan keajaiban kekuatan batin yang melampaui manusia. Tetapi sekarang
ada lebih banyak bhikkhu, tetapi lebih sedikit yang memperlihatkan keajaiban
kekuatan batin yang melampaui manusia.’ Ini adalah perbincangan yang muncul
hari ini di antara para pengikut raja.”
“Ada, brahmana, tiga jenis
keajaiban ini. Apakah tiga ini? Keajaiban kekuatan batin, keajaiban membaca
pikiran, dan keajaiban pengajaran.
(1) “Dan apakah, Brahmana,
keajaiban kekuatan batin? Di sini, seorang bhikkhu mengerahkan berbagai jenis
kekuatan batin: dari satu, ia menjadi banyak; dari banyak, ia menjadi satu; ia
muncul dan lenyap; ia berjalan tanpa terhalangi menembus tembok, menembus
dinding, menembus gunung seolah-olah melewati ruang kosong; ia menyelam masuk
dan keluar dari dalam tanah seolah-olah di dalam air; ia berjalan di atas air
tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; dengan duduk bersila, ia terbang di angkasa
bagaikan seekor burung; dengan tangannya ia menyentuh dan menepuk bulan dan
matahari begitu kuat dan perkasa; ia mengerahkan kemahiran dengan jasmani
hingga sejauh alam brahmā. Ini disebut keajaiban kekuatan batin.
(2) “Dan apakah, Brahmana,
keajaiban membaca pikiran? Ada seseorang yang, melalui suatu petunjuk,
menyatakan: ‘Pikiranmu demikian, demikianlah apa yang engkau pikirkan,
pikiranmu dalam kondisi demikian.’ Dan bahkan jika ia mengucapkan banyak pernyataan,
maka pernyataan-pernyataan itu adalah tepat seperti itu dan bukan sebaliknya.
[Kitab Komentar menjelaskannya
seolah-olah ini berarti suatu petunjuk yang tidak berhubungan dengan situasi
ini, tetapi ini mungkin merupakan isyarat atau ekspresi wajah – apa yang
sekarang kita kenal sebagai “bahasa tubuh” – yang mengungkapkan kondisi pikiran
seseorang kepada pengamat yang terampil.]
“Kemudian, seseorang tidak
menyatakan [kondisi pikiran] dengan berdasarkan suatu petunjuk, [171] tetapi ia
mendengarkan suara orang-orang, makhluk-makhluk tak tampak, atau dewa-dewa [berbicara]
dan kemudian menyatakan: ‘Pikiranmu demikian, demikianlah apa yang engkau pikirkan,
pikiranmu dalam kondisi demikian.’ Dan bahkan jika ia mengucapkan banyak
pernyataan, maka pernyataan-pernyataan itu adalah tepat seperti itu dan bukan sebaliknya.
“Kemudian, seseorang tidak
menyatakan [kondisi pikiran] dengan berdasarkan suatu pertanda, atau dengan ia mendengarkan
suara orang-orang, makhluk-makhluk tak tampak, atau dewa-dewa [berbicara],
tetapi ia mendengarkan suara pancaran pikiran ketika seseorang sedang berpikir
dan memeriksa [suatu hal] dan kemudian menyatakan: ‘Pikiranmu demikian,
demikianlah apa yang engkau pikirkan, pikiranmu dalam kondisi demikian.’ Dan
bahkan jika ia mengucapkan banyak pernyataan, maka pernyataan-pernyataan itu
adalah tepat seperti itu dan bukan sebaliknya.
{Kitab Komentar : suara halus
yang mungkin terpancar melalui pikiran namun tidak diungkapkan secara verbal.]
“Kemudian, seseorang tidak
menyatakan [kondisi pikiran] dengan berdasarkan suatu pertanda, atau dengan ia mendengarkan
suara orang-orang, makhluk-makhluk tak tampak, atau dewa-dewa [berbicara], atau
dengan mendengarkan suara pancaran pikiran ketika seseorang sedang berpikir dan
memeriksa [suatu hal], tetapi dengan pikirannya sendiri ia melingkupi pikiran dari
seorang yang telah mencapai konsentrasi tanpa pemikiran dan pemeriksaan dan ia
memahami: ‘Aktivitas pikiran orang ini begitu terencana sehingga segera
setelahnya ia akan memikirkan pemikiran ini.’ Dan bahkan jika ia mengucapkan
banyak pernyataan, maka pernyataan-pernyataan itu adalah tepat seperti itu dan
bukan sebaliknya. Ini disebut keajaiban membaca pikiran.
[Kitab Komentar : Ini pasti
merujuk pada seseorang yang berada dalam level kultivasi jhāna (kemampuan batin berupa kesaktian akibat berlatih pada ‘objek
konsentrasi’ tertentu) tingkat ke dua atau lebih tinggi.]
(3) “Dan apakah, Brahmana,
keajaiban pengajaran? Di sini, seseorang mengajarkan [orang lain] sebagai
berikut: ‘Berpikirlah seperti ini dan bukan seperti itu! Perhatikanlah ini dan
bukan itu! Tinggalkanlah ini dan masuk dan berdiamlah dalam itu!’ Ini disebut keajaiban
pengajaran.
[Kitab Komentar memberikan
contoh : Memikirkan pemikiran-pemikiran tanpa-keinginan, bukan
pemikiran-pemikiran indriawi, dan sebagainya. Memperhatikan gagasan
ketidak-kekalan, dan sebagainya, bukan pada kekekalan, dan sebagainya.
Meninggalkan nafsu pada kenikmatan indria dan memasuki jalan dan buah yang melampaui
keduniawian.]
“Ini, Brahmana, adalah ketiga
jenis keajaiban. Di antara ketiga jenis keajaiban ini, yang manakah yang
menarik bagimu sebagai yang paling baik dan luhur?”
“Di antara ini, Guru Gotama,
ketika seseorang melakukan keajaiban yang dengannya ia mengerahkan berbagai
kekuatan batin … mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam
brahmā, hanya orang yang melakukan keajaiban ini yang mengalaminya dan itu
terjadi hanya pada dirinya. Keajaiban ini tampak bagiku seperti tipuan
sulap.
“Kemudian, Guru Gotama, ketika
seseorang melakukan keajaiban yang dengannya ia menyatakan kondisi pikiran
orang lain dengan berdasarkan pada petunjuk … dengan mendengarkan suara
orang-orang, makhluk-makhluk halus, atau para dewa … dengan mendengar suara
pancaran pikiran sewaktu seseorang sedang berpikir dan memeriksa [suatu hal] …
dengan pikirannya sendiri ia melingkupi pikiran dari seorang yang telah
mencapai konsentrasi tanpa pemikiran dan pemeriksaan dan ia memahami:
[172] ‘Aktivitas pikiran orang
ini begitu terencana sehingga segera setelahnya ia akan memikirkan pemikiran
ini,’ dan bahkan jika ia mengucapkan banyak pernyataan, maka
pernyataan-pernyataan itu adalah tepat seperti itu dan bukan sebaliknya – ini
juga, hanya orang yang melakukan keajaiban ini yang mengalaminya dan itu terjadi
hanya pada dirinya. Keajaiban ini juga, tampak bagiku seperti tipuan
sulap.
“Tetapi, Guru Gotama, ketika
seseorang melakukan keajaiban ini yang dengannya ia mengajarkan [orang lain]
sebagai berikut: ‘Berpikirlah seperti ini dan bukan seperti itu! Perhatikanlah
ini dan bukan itu! Tinggalkanlah ini dan masuk dan berdiamlah dalam itu!’ – keajaiban
ini menarik bagiku sebagai yang paling baik dan luhur di antara ketiga
keajaiban itu.
“Sungguh mengagumkan dan
menakjubkan, Guru Gotama, betapa baiknya hal ini telah dinyatakan oleh Guru
Gotama! Kami menganggap Guru Gotama sebagai seorang yang dapat melakukan ketiga
keajaiban ini. Karena Guru Gotama mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin …
mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā. Guru Gotama
dengan pikiranNya melingkupi pikiran seseorang yang telah mencapai konsentrasi
yang tanpa pemikiran dan pemeriksaan sehingga Beliau memahami: ‘Aktivitas
pikiran orang ini begitu terencana sehingga segera setelahnya ia akan
memikirkan pemikiran ini.’ Dan Guru Gotama mengajarkan [orang lain] sebagai
berikut: ‘Berpikirlah seperti ini dan bukan seperti itu! Perhatikanlah ini dan
bukan itu! Tinggalkanlah ini dan masuk dan berdiamlah dalam itu!’”
“Tentu saja, Brahmana,
kata-katamu itu menyelidiki dan lancang. Namun demikian, Aku akan menjawabmu.
Aku memang mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin … mengerahkan kemahiran
dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā. Aku memang dengan pikiranKu
melingkupi pikiran seseorang yang telah mencapai konsentrasi yang tanpa
pemikiran dan pemeriksaan sehingga Aku memahami: ‘Aktivitas pikiran orang ini
begitu terencana sehingga segera setelahnya ia akan memikirkan pemikiran ini.’
Dan Aku memang mengajarkan [orang lain] sebagai berikut: ‘Berpikirlah seperti
ini dan bukan seperti itu! Perhatikanlah ini dan bukan itu! Tinggalkanlah ini
dan masuk dan berdiamlah dalam itu!’”
“Tetapi, Guru Gotama, adakah
satu saja bhikkhu lain selain Guru Gotama yang dapat melakukan ketiga jenis
keajaiban ini?”
“Bukan hanya seratus, dua ratus,
tiga ratus, empat ratus, atau lima ratus, tetapi bahkan lebih dari itu yang
dapat melakukan ketiga keajaiban ini.”
“Tetapi di manakah para bhikkhu
itu berdiam sekarang?” [173]
“Persis di sini, Brahmana,
dalam Saṅgha para bhikkhu ini.”
“Bagus sekali, Guru Gotama!
Bagus sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam banyak
cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang
tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan
pelita dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat
bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung kepada Guru Gotama, kepada Dhamma, dan
kepada Saṅgha para bhikkhu. Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat
awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.