Apakah Ahli, menjadi Monopoli Kalangan Profesi Dosen?

AHLI Wajib Membawa Surat Tugas ke Persidangan? AHLI yang mana Dulu, Akademisi ataukah Praktisi?

Contoh ATURAN TIDAK TERTULIS yang Menjelma DURI DALAM DAGING

Question: Pengacara saya menuntut yang aneh-aneh saja. Setelah susah-payah mencari dan mendapatkan kesediaan seorang tokoh (praktisi profesional) yang tidak sedikit sewa tarif jasanya, bahkan butuh waktu pendekatan untuk membujuknya agar mau hadir di pengadilan sebagai Ahli, sehingga dapat didengar keterangannya agar menjadi terang-benderang sengketa hukum yang sedang saya hadapi, namun mendadak pengacara yang jadi kuasa hukum saya meminta agar Ahli tersebut memberikan “surat tugas”, dengan alasan sebagai persyaratan untuk bisa hadir di persidangan sebagai Ahli.

Apakah memang betul, ada aturan semacam itu? Ahli yang saya undang tersebut tidak memiliki gelar pendidikan formil, akan tetapi merupakan seorang expert yang telah diakui luas sebagai pakar dibidangnya, akan tetapi tidak merangkap sebagai dosen juga bukan seorang Aparatur Sipil Negara, sehingga mau meminta “surat tugas” dari mana, dari Tuhan? Bukankah itu sama artinya atau mereka mau berkata, yang bisa menjadi Ahli di persidangan, merupakan monopolisir kalangan profesi dosen maupun pejabat di pemerintahan?

Brief Answer: Itu merupakan fenomena “salah kaprah” yang juga dapat kita jumpai pada fenomena berbagai kantor hukum profesi pengacara yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas, meskipun Undang-Undang tentang Advokat menegaskan bahwa izin beracara bersifat individual, alias melekat pada seorang individu, bukan diberikan kepada suatu lembaga. Sama halnya, perihal keterampilan, expertize, maupun kepakaran, melekat pada seorang subjek hukum individu (natuurlijk persoon) yang sifatnya unik dan khas personal, bukan dilekatkan pada sebuah subjek hukum badan hukum yang mengenal jenjang hierarkhi dan rantai komando (recht persoon) bernama instansi.

Hukum acara perdata maupun Hukum Acara Pidana sejatinya tidak membuat syarat yang tidak rasional seperti praktik yang selama ini terjadi di ruang persidangan untuk dapat dihadirkannya seorang Ahli. Sebagai contoh sederhana, Anda mengundang seorang tokoh atau negarawan yang namanya sudah terkenal sebagai seorang pakar atau ahli dibidangnya—sebagai contoh seorang mantan Ketua Mahkamah Agung RI sebagai Ahli di persidangan perkara pidana maupun perkara perdata. Pertanyaannya, mengapa selama ini praktik persidangan tidak pernah menuntut Ahli tersebut untuk memberikan “surat tugas”?

Terjadi “standar ganda” di sini, bila memang pengacara Anda menuntut “surat tugas” ketika Anda menunjuk seorang pakar ataupun tokoh sebagai Ahli yang tidak berlatar-belakang sebagai seorang tenaga pengajar di perguruan tinggi. Bukanlah persoalan “nama sang Ahli merupakan tokoh yang sudah terkenal”, akan tetapi kepakaran atau keahlian Ahli bersangkutan. Jangan lihat sosok orangnya, namun lihat bobot keterampilan ataupun kedalaman keilmuan seseorang yang ditampilkan ke persidangan sebagai seorang Ahli, yang mana dapat dilihat serta disimpulkan dari level tingkat kedalaman keterangan-keterangan yang mampu ia suguhkan lewat proses tanya-jawab.

Terdapat ribuan dosen di luar sana, namun tidak semua dosen mampu menulis sebuah buku yang berbobot ilmu pengetahuannya dan dikenal luas oleh masyarakat serta diakui sebagai seorang pakar. Seorang dosen atau akademisi, kerap hidup berliang di dalam “menara gading”, yang kadang tidak membumi serta tidak “menjejak” di Bumi. Praktisi, sebaliknya, sangat lekat pada unsur kerelevansian akibat bersentuhan dengan fakta aktual di lapangan, mereka mengetahui betul seluk-beluk suatu bidang hingga luar dan dalam, dari A hingga Z, karenanya bobot seseorang tidak dapat ditentukan oleh secarik surat bernama “surat tugas”. Seorang akademisi dibidang teknik sipil, sebagai contoh, kerap terjun ke lapangan untuk meminta dan menimba ilmu dari para kontraktor lapangan agar mengetahui (up to date) inovasi-inovasi terbaru dibidang konstruksi, bukan sebaliknya.

Contoh, seseorang yang menulis hingga belasan buku, ribuan artikel telah ia publikasikan dan menjadi konsumsi rakyat satu Indonesia, serta merupakan seorang praktisi, meski tidak bergelar akademik tinggi, akan tetapi kedalaman pengetahuannya jauh melampaui seorang profesor, dimana juga siswa-didiknya berjumlah satu Indonesia (dari Sabang hingga Merauke)—meski, tidak bergabung dalam suatu institusi pendidikan resmi, yang karenanya mustahil menuntut beliau untuk memberikan “surat tugas”. Sudah menjadi “rahasia umum”, kalangan hakim di persidangan pun lebih menyukai keterangan-keterangan yang disampaikan oleh seorang “Ahli Praktisi” alih-alih keterangan seorang “Ahli Akademisi” yang kerap menjemukan dan membosakan hanya mampu mem-beo isi teks buku.

PEMBAHASAN :

Terkadang, bila tidak dapat disebut sebagai acapkali, “aturan tidak tertulis” yang sifatnya tidak logis, menjelma “duri dalam daging” dalam negara hukum yang semestinya menerapkan prinsip “lex certa” alias segala bentuk norma hukum seharusnya berbentuk tertulis, alias berlaku “asas legalitas” dimana norma hukum dibentuk terlebih dahulu lewat mekansime peraturan perundang-undangan yang dipublikasikan secara tertulis ke tengah-tengah masyarakat yang menjadi subjek pengemban hukum. Sekalipun “norma tidak tertulis” sejatinya tidak memiliki pijakan berupa fondasi legalitasnya, fakta realita kerap memperlihatkan betapa ia kerap begitu otoriter dalam pemberlakuannya.

Mengapa “norma tidak tertulis”, patut diberi label sebagai “duri dalam daging”? Sering terjadi, bahkan teramat sering disalah-gunakan sebagai alibi, mereka yang membuat persyaratan maupun prosedur ataupun formalitas dalam birokrasi pemerintahan, tidak terkecuali pemberlakuan hukum acara di persidangan, notabene tidak terdapat acuan tertulis yang melarang ataupun mewajibkan dilakukan atau tidak dilakukannya sesuatu oleh warga, namun sang penerap persyaratan maupun prosedur kemudian mendalilkan ketika mendapati argumentasi bahwa tiada pasal peraturan perundang-undangan yang mengatur larangan ataupun kewajiban demikian, semudah menjadikan sebagai alibi alasan berikut : “Ini adalah ATURAN TIDAK TETULIS!”—Anda lihat, bisa menjelma begitu diktator-nya alibi “aturan tidak tertulis”, diberlakukan ketika dirasa memiliki kepentingan dan di-peti-es-kan ketika dirasa tidak lagi berkepentingan.

Adapun relevansinya dengan ulasan hukum dalam kesempatan kali ini, pada khususnya ialah perihal diwajibkannya pihak Ahli yang dihadirkan dan dihadapkan ke persidangan perkara pidana maupun perdata, untuk membawa serta dan menyerahkan “surat tugas” dari institusi tempat si Ahli bertugas. Fakta realita demikian, terjadi dan seoleh terlembagakan sebagai standar baku, yang notabene “aturan tidak tertulis”, mengingat tiada “norma tertulis” yang mensyaratkan demikian. Efek dominonya kemudian ialah, diterapkannya “norma tidak tertulis” secara kaku, membuta, linear, serta otoriter—bahkan menjelma sebentuk sistem yang dicemari pola korup itu sendiri, dimana bila tidak mengikuti dan mengindahkannya, maka proses tidak dapat dilanjutkan atau tidak akan diterima. Akibatnya, seorang Ahli tanpa berbekal “surat tugas”, sekalipun dirinya benar-benar berkompeten dibidangnya, tidak dapat dikualifikasi sebagai seorang Ahli secara formalitas.

Faktanya, selama ini sudah kita kenal pula dua kriteria Ahli, yakni “ahli akademisi” yang menguasai disiplin akademik, dan “ahli praktisi” yang notabene seorang profesional yang kompeten dibidangnya (mengingat dalam keseharian berkecimpung dibidangnya). Yang bersifat akademik, biasanya kelembagaan ataupun institusional, termasuk juga dalam kriteria ini ialah “pejabat fungsional” dalam suatu institusi pemerintahan, dan tipe tipihal Ahli yang pertama inilah yang dapat dimintakan dan dibekali oleh “surat tugas” oleh kepala instansi yang bersangkutan.

Sistem yang kaku demikian kemudian menjadikan berbagai kalangan profesional, yang hendak diundang sebagai Ahli untuk memberikan keterangan terkait kompetensi bidangnya yang relevan dengan pokok perkara, terbentur oleh ketentuan kaku “tidak tertulis” dimaksud sebagai prasyarat, sekalipun seorang profesional atau praktisi notabene jelas-jelas dan nyata-nyata tidak bersifat kelembagaan, kerapkali independen dan dikenal luas ketenaran nama atas nama diri sendiri—bahkan seringkali “stand alone” dalam karir kepakarannya dalam praktik bidang yang dikuasai olehnya. Siapa yang tidak mengenal sosok Yahya Harahap, mantan hakim yang selepas masa tugasnya yang telah pensiun sebagai hakim, kerap diundang oleh para litigator sebagai Ahli di persidangan. Sang mantan hakim tidak dapat menunjukkan “surat tugas”, mengingat dirinya telah pensiun dari lembaga kehakiman, akan tetapi keterangan sang Ahli tetap diterima dan diakui oleh persidangan.

Seseorang yang dihadirkan sebagai Ahli di persidangan untuk didengarkan keterangan sesuai ke-pakar-annya, terkait erat dengan apa yang disebut sebagai kualifikasi maupun kompetensi. Secara garis besar, seseorang menjadi seorang pakar dibidangnya, berkat dua cara. Pertama, hasil dari penelitian sebagaimana profesinya, semisal seorang ilmuan ataupun seorang intelektual dibidang hukum. Kedua, ialah mereka yang mendalami seluk-beluk profesinya serta berpengalaman pada bidang yang ia geluti dalam tataran praktik. Kriteria pertama, biasanya berlatar-belakang seorang akademisi, meski tidak selalu orang-orang yang mendalami dan menggeluti bidang penelitian ataupun kajian litelatur merupakan kalangan akademisi yang memiliki gelar akademik secara formal. Adapun yang mereka yang tergolong sebagai kriteria kedua, bisa jadi sama sekali tidak memiliki gelar akademik, namun ia menjadi seorang pakar karena pengalaman kerja maupun pengalaman yang dibangun dari praktik di lapangan.

Kualifikasi alias kompetensi ini, menentukan bobot keahlian seseorang individu, baik akademisi maupun praktisi. Kualifikasi atau kompetensi mana disandang oleh diri pribadi seorang individu, karenanya bersifat personal—sehingga tidak bersifat institusional, mengingat tidak semua pakar adalah berkarir dalam sebuah lembaga maupun organisasi tempat ia berkarya dan mengasah pengalaman, keterampilan, maupun pengetahuan dirinya. Atas pertimbangan itulah, menjadi sebentuk salah-kaprah ketika seorang Ahli yang dihadirkan ke hadapan persidangan, dipersyaratkan secara formalitas berupa “surat tugas” dari lembaga tempat sang Ahli membangun ke-ahli-annya. Bukan menjadi masalah bila sang Ahli merupakan akademisi yang bekerja pada sebuah lembaga seperti universitas atau perguruan tinggi. Akan tetapi menjadi masalah tersendiri, ketika seorang Ahli yang hendak dihadirkan oleh pencari keadilan ialah berlatar-belakang praktisi yang independen dan tidak tergabung dalam anggota sebuah lembaga.

Dalam praktik peradilan di Indonesia, lebih spesifiknya saat agenda acara pembuktian, baik register perkara dakwaan pidana maupun sengketa perdata, acapkali seorang ahli sebelum memberikan keterangan di hadapan hakim, dimintakan “surat tugas” dari institusi tempat ia bekerja, sekalipun nyata-nyata bahwa seorang Ahli dihadirkan dalam rangka memperdengarkan keterangan sang Ahli sebagaimana kompetensinya, sama sekali terlepas dari nama institusi, mengingat kehadirkan sang Ahli tidak mengatas-namakan lembaga manapun, serta yang diundang ialah individu sang Ahli, bukan suatu lembaga. Itulah yang penulis sebut, kompetensi dan kualifikasi (keahlian), sifatnya ialah personal pada pribadi sang Ahli. Disamping itu, persyaratan formalitas demikian berupa “surat tugas”, senyatanya tidak dipersyaratkan oleh hukum acara baik pidana maupun perdata.

Sekalipun kalangan hakim menyandang gelar sebagai kaum yang “ius curia novit” (hakim dianggap tahu hukumnya), sehingga keterangan seorang Ahli dibidang hukum tidak lagi dibutuhkan dan tiada urgensinya, mengingat sang hakim juga merupakan seorang Sarjana Hukum, pandangan demikian dalam realitanya tidak akurat sepenuhnya. Tidak sedikit dapat kita jumpai dalam tataran praktik di persidangan, bobot putusan yang tidak berkualitas akibat atau sebagai output dari pemahaman hukum yang memprihatinkan dari Majelis Hakim pemeriksa dan pemutus sengketa—patut kita sayangkan, akan tetapi dapat kita maklumi mengingat dalam dan luasnya bidang-bidang kajian serta cakupan norma hukum yang berkembang dalam praktik maupun dari segi regulasi, lengkap dengan segala dinamikanya dewasa ini, mengakibatkan seorang Sarjana Hukum maupun kalangan “jurist” tidaklah lagi dapat menjadi seorang “generalis”, akan tetapi spesialis yang terspesialisasi dan itulah tepatnya peran yang diisi oleh kalangan Ahli hukum.

Adapun konsekuensi dari pemilahan dua kategori besar kalangan Ahli, ialah berdampak dua kemungkinan berikut. Pertama, keterangan seorang “Ahli Akademisi” mengenai suatu permasalahan yang menjadi topik perkara di persidangan atas dasar suatu pengetahuan atau pengalaman Ahli yang dinyatakan di persidangan tanpa memerlukan suatu telaah ataupun audit terhadap alat-alat bukti dalam suatu sengketa hukum maupun dakwaan pemidanaan, dimana keterangan-keterangannya bersifat umum saja. Kedua, keterangan sang “Ahli Praktisi” atas dasar suatu observasi yang telah ia lakukan sebelum maupun saat di persidangan, sebagai contoh ialah melakukan uji forensik terhadap alat bukti berupa amunisi ataupun keaslian salinan rekaman video yang diekstraksi dari memori sebuah alat perekam gambar. Ahli linguistik menganalisa maksud dan motif dari sesuatu perkataan dikatakan maupun tidak dikatakan, lengkap dengan cara kata itu disampaikan oleh seorang Terdakwa saat di TKP (tempat kejadian perkara). Karenanya, menjadi tidak benar bila suatu pihak menyebutkan bahwa seluruh kalangan Ahli tidak dibenarkan untuk ditanya maupun membahas materi “pokok perkara”.

Perbedaan kedua ialah perbedaan yang sangat signifikan antara kedua kriteria Ahli di atas, yakni seorang “Ahli Akademisi” tidak diperkenankan memberikan konklusi perihal bersalah atau telah tidak bersalahnya seorang Terdakwa yang sedang disidangkan. Akan tetapi, prinsip ketat demikian selama ini tidak diberlakukan terhadap keterangan seorang “Ahli Praktisi”, mengingat seorang Ahli berjenis ini melakukan audit maupun penelitian terhadap alat bukti untuk menunjukkan siapa pelaku dari suatu tindak kejahatan, serta penilaian telah bersalah atau tidaknya pihak Terdakwa. Begitupula ketika seorang praktisi berupa auditor finansial dihadirkan ke persidangan sebagai “Ahli Praktisi”, ia berwenang melakukan audit terhadap alat-alat bukti dalam suatu sengketa perdata, sekalipun artinya menyentuh masuk ke dalam jantung dari “Pokok Perkara”, sebagai dasar justifikasi dalil-dalil oleh pihak yang menghadirkan sang Ahli. Apapun itu, kekuatan pembuktian berupa keterangan Ahli, secara teoretik digolongkan sebagai alat bukti yang bersifat bebas, dalam artian dapat digunakan maupun tidak digunakan oleh hakim sebagai landasan ketika memutus perkara.

Mungkin publik merasa penasaran, apakah diperlukan bagi kita untuk membuat distingsi, dimana  keterangan Ahli di perkara Pidana termasuk sebagai kriteria “Alat Bukti”, akan tetapi di dalam perkara Perdata, keterangan Ahli tidak termasuk dalam kriteria sebagai “Alat Bukti”? Betul bahwa dalam perkara pidana, alat bukti yang dikenal alam Hukum Acara Pidana salah satunya ialah “Ahli”, disamping ada alat bukti “saksi”. Masalah atau dilemanya, dalam hukum acara perdata, hanya dikenal krieteria “saksi”. Lalu, dipaksakanlah menjadi “saksi fakta peristiwa” dan “saksi ahli”. Padahal, ahli bukanlah saksi mata yang melihat, mengalami, ataupun mendengar sendiri, ia sekadar menganalisa dan memberi “umpan balik” (feedback) berupa opini.

Masyarakat selaku publik pun akan bertanya, sementara di perkara pidana yang dibuktikan notabene ialah Kebenaran Material, sementara itu dalam perkara perdata yang dibuktikan ialah Kebenaran Formil. Tingkat kedalaman Ahli dimaksud yang dihadirkan untuk dimintakan pendapatnya terkait substansi “pokok perkara”, dapatkah dipandang berbeda? Isu hukum tersebut cukup ambigu. Alat bukti “saksi” sekalipun, sebenarnya sudah merujuk kepada tujuan pembuktian materiil—sifstnya bukan lagi formil belaka—sekalipun itu di perkara perdata.

Terdapat perbedaan “nature” antara Ahli yang berangkat dari latar-belakang kalangan akademisi (domain akademik) dan ahli dari praktisi (kalangan profesional yang berkecimpung dalam keseharian sebagai profesinya), masing-masing menjelaskan dengan tipikal karakter berbeda. Yang disebut perkata, kerap bersifat umum dan sumir, cenderung “text book” tekstual yang terkadang menjemukan dan kurang menyentuh aspek empirik disamping kurang “menjejak”. Kontras dengan yang disebut kedua, seorang Ahli yang memang pakar dibidangnya karena menjadi profesi dalam keseharian, mengetahui betul seluk-beluk aspek terkait teknis maupun non-teknis. Apapun itu, tentunya tujuannya untuk meyakinkan hakim, dari kepentingan kedua belah pihak yang saling berlawanan, antara “Penggugat Vs. Tergugat” dan “Penuntut Umum Vs. Terdakwa”.

Yang paling ganjil dari praktik peradilan perihal “aturan tidak tertulis” berupa “larangan bagi Ahli untuk ditanya maupun menerangkan apa yang terkait dengan materi pokok perkara”, bukankah akan menjadi absurd, mengingat pertanyaan maupun keterangan yang tidak ada relevansinya dengan “pokok perkara”, akan menyerupai perdebatan dua pihak yang tidak jelas ujung pangkalnya, karena memang tidak beranjak dari dan tidak berpijak pada materi “pokok perkara”? Itulah dia, hakim pun jadi bingung, ini sebenarnya membahas apa si pemanggil Ahli dan jawaban si Ahli. Bila tidak boleh “menyentuh kedalam pokok perkara”, lalu ini membahas apa? Apa juga relevansinya untuk dibahas, sekadar “wasting time”?

Bukankah apapun itu, semua keterangan “Saksi Mata” maupun “Saksi Ahli”, diberikan dibawah sumpah dan putusan ada di tangan kalangan Hakim pemeriksa dan pemutus perkara? Mengapa kita maupun pihak lawan, harus meributkan ketentuan perihal pertanyaan kepada Ahli dengan batasan tidak diperkenankan menyentuh “pokok perkara”? Selama itu tentang keahlian sang Ahli yang dihadirkan, dan bukan dalam rangka fetakompli (mengambil-alih) kewenangan hakim dalam memutus, mengapa para pihak harus keberatan? Pandangan di atas, diberikan oleh salah seorang Klien yang tidak berlatar-belakang pendidikan tinggi hukum, namun pemahamannya bisa melampaui seorang bergelar Sarjana Hukum di Indonesia.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.