JANGAN PERNAH MEMINJAM KREDIT DARI BANK, ini Alasannya

Bermula dari Meminjam Kredit ke BANK, Debitor Terkejut Ditagih dan Dijerat oleh RENTENIR PERORANGAN karena BANK Menjual Piutang kepada RENTENIR PERORANGAN Tanpa Persetujuan Debitor Pemilik Agunan

Ulasan Hukum ini Didedikasikan bagi Klien yang Telah Pernah / Sedang menjadi Korban MAFIA TANAH dan MAFIA LELANG, Pengalaman Buruk untuk Dipelajari oleh Masyarakat Luas agar Tidak Ada Lagi Jatuh Korban, dimana Kantor Lelang Negara justru Melegitimasi Praktik RENTENIR dengan Menyerahkan Seluruh Hasil Terjual Lelang kepada RENTENIR PEMOHON LELANG Sekalipun Terjadi “MARK UP Tagihan” dan Sekalipun Melampaui Nilai Pertanggungan dalam Sertifikat Hak Tanggungan

Dalam teori ilmu hukum, sudah lama dikenal istilah “caat kehendak”—yang menggambarkan kondisi dimana “jika sejak awal tahu akan menjadi demikian, maka tidak akan pernah disepakati”—maupun instrumen hukum yang tampak legal dan lazim bernama “cessie” alias perlihan piutang dari “kreditor penjual pituang” kepada “kreditor pembeli piutang”. Masalah paling utamanya ialah, praktik demikian terus terjadi tanpa terbendung, sekalipun sudah memakan banyak sekali korban. Hampir tiada kalangan hakim, akademisi, maupun praktisi hukum yang menyadari dan memahami bahaya laten dibalik cessie, dimana seseorang warga bermula meminjam sejumlah dana dari sebuah lembaga keuangan perbankan (BANK), bermuara ditagih, dijerat, dicekik, dan dilelang agunannya oleh RENTENIR PERORANGAN.

Hanya terdapat segelintir kalangan debitor yang menyadari ruang gerak bagi “mafia tanah” serta “mafia lelang” untuk bermain ini, dan lebih sedikit lagi yang berjuang dengan berani untuk melawan arus praktik “ilegal yang dilegalkan negara” ini, dimana negara justru hadir sebagai “KPKNL as a tool of RENTENIR” dengan tidak mencermati rincian tagihan yang mengandung modus “MARK UP tagihan” lewat “bunga terselubung” mengandung anasir “rentenir” (lintah darat kerah putih alias shark loan collar crime) bunga mencapai hampir 100% per tahun alias menyimpang dari pengaturan perihal suku bunga dalam Perjanjian Kredit kreditor penjual piutang, menjual lelang dengan harga hanya 1/3 dari NJOP (Nilai Jual Objek Pajak), hingga menyerahkan seluruh hasil terjual lelang kepada RENTENIR pemohon lelang melampaui nilai pertanggungan dalam “Sertifikat Hak Tanggungan”, maupun kejanggalan berupa klausul berupa “floating rate” sementara itu kreditor pembeli piutang yang menjadi pemohon lelang ialah RENTENIR PERORANGAN.

Semestinya, Kantor Lelang Negara selaku representasi negara, hadir untuk melindungi segenap warga dari modus-modus praktik para RENTENIR terlebih “mafia lelang”, bukan justru menjadi alat kejahatan bagi para “mafia tanah”, dimana Kantor Lelang Negara sama sekali tidak mencermati dokumen-dokumen validitas permohonan lelang maupun memfilter pemohon lelang, dan ketika telah ternyata pemohon lelang melakukan “fraud” dimana bahkan juga melakukan praktik RENTENIR, Kantor Lelang Negara lepas tanggung-jawab dan “cuci tangan” dengan melempar semua kesalahan kepada pihak pemohon lelang sekalipun pihak Kantor Lelang Negara turut andil serta dalam mata rantai kejahatan “mafia tanah dan lelang” ini—dalam terminologi hukum pidana, dikenal pelaku penyerta seperti menyediakan sarana dan fasilitas sehingga kejahatan terjadi secara sempurna.

Di mata mereka yang awam hukum maupun Sarjana Hukum yang kurang cermat disamping kurang bijaksana, instrumen hukum semacam cessie tampak sebagai hal yang lumrah, lazim, dan umum sifatnya. Namun bagi mereka yang : 1.) benar-benar paham hukum jaminan kebendaan dan cessie; serta 2.) kalangan debitor yang telah pernah atau sedang menjadi korban modus penyalah-gunaan cessie oleh “mafia tanah”; tidak akan pernah bersedia meminjam hutang ataupun kredit modal usaha maupun kredit kepemilikan rumah dari kalangan perbankan yang tampak legal, diatur oleh Undang-Undang Perbankan, sebagai konsumen lembaga keuangan, dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sekalipun. Mengapa? Karena dapat bermuara dengan terkejutnya sang debitor lewat datangnya tagihan dari RENTENIR PERORANGAN yang tidak dikenal, yang tidak diatur oleh Undang-Undang Perbankan, tidak terlindungi oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen, juga tidak diawasi oleh OJK.

Bahkan, dengan memakai alibi ada diaturnya “floating rate” dalam klausul di Perjanjian Kredit, sang “RENTENIR PERORANGAN” yang notabene kreditor pembeli piutang, merasa berhak untuk “buat aturan suku bunga (secara) suka-suka” dan “tagih suka-suka”, dimana debitor dipaksa “by design” untuk gagal bayar tagihan “bunga terselubung” ala RENTENIR yang mencekik dan mustahil dibayar—jika dibayar artinya mengakui dan membenarkan tagihan RENTENIR demikian, sehingga tiada pilihan lain untuk menolak bayar namun diancam benar-benar dijual lelang objek agunan yang turut beralih saat piutang dialihkan—lantas sang RENTENIR pembeli piutang mengklaim bahwa sang debitor telah “ingkar janji” alias “wanprestasi” (play victim), sebentuk modus “wanprestasi teriak wanprestasi”. Berikut dua buah “law as tool of RENTENIR” untuk melancarkan modus-modus “mafia tanah” yang bersindikat dengan kalangan BANK di Indonesia:

- Klausul Baku dalam Perjanjian Kredit : “BANK berhak, tanpa perlu mendapat persetujuan berupa apapun dari Peminjam, untuk mengalihkan / memindahkan atau mengoperkan seluruh atau sebagian hak dan kewajiban Bank berdasarkan Perjanjian Kredit ini kepada pihak lain yang ditetapkan oleh BANK.”

- Pasal 613 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menjadi dasar hukum utama suatu perbuatan hukum bernama “Cessie”, tepatnya terdiri dari tiga ayat, yakni:

1.) Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik atau di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain.

2.) Penyerahan yang demikian bagi si berutang (debitor) tiada akibatnya, melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya, atau secara tertulis disetujui dan diakuinya.

3.) Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu, penyerahan tiap-tiap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen.

Merujuk pada kedua pasal di atas, yang tampak lazim dan lumrah saja karena selama ini telah dipraktikkan selama puluhan tahun lamanya, namun tidak banyak kalangan hakim yang memahami dan menyadari bahwa terdapat potensi “moral hazard” berupa kejahatan terselubung yang menyalah-gunakan instrumen bernama cessie atau peralihan piutang, mengingat kemungkinan skenario yang dapat terjadi ialah:

1. BANK menjual piutangnya kepada BANK lain—keduanya tunduk pada Undang-Undang Perbankan, nasabah debitor dilindungi Undang-Undang Perlindungan Konsumen, serta akuntabilitas keuangan maupun tagihan diawasi oleh OJK, disamping penerapan “floating rate” sifatnya dilaporkan kepada OJK. Adapun komponen pembentuk suku bunga pinjaman pada perbankan, terdiri atas tiga komponen, yaitu (i) biaya bunga dana (biaya yang dibayarkan perbankan terhadap dana masyarakat, baik berupa tabungan, giro, dan deposito), (ii) biaya operasional (overhead), dan (iii) marjin keutungan (profit margin). Karenanya, tiada urgensi ataupun justifikasi bagi RENTENIR PERORANGAN menerapkan “floating rate”, dimana antara BANK dan “Kreditor PERORANGAN” saling berbeda “nature”;

2. BANK menjual piutangnya kepada “Kreditor PERORANGAN”—dimana “Kreditor PERORANGAN” sifatnya patut diragukan akuntabilitas, itikad, maupun transparansi tagihan, tidak diawasi otoritas manapun, tidak merasa perlu tuntuk para Undang-Undang Perbankan, dan nasabah debitor menjadi tidak terlindungi oleh Undang-Undang manapun; maupun

3. BANK menjual piutangnya kepada “RENTENIR PERORANGAN”—dimana pemainnya biasanya ialah segelintir kalangan “mafia tanah” yang sudah kerap (profesinya) memeras debitor dengan menyandera dan melelang agunan jaminan pelunasan hutang, menagih secara menyimpang dari ketentuan suku bunga dalam Perjanjian Kredit, dimacetkan secara “by design” lewat “MARK UP tagihan”, lalu mengklaim bahwa debitornya telah “wanprestasi”, berlanjut hingga modus “MARK DOWN nilai agunan” dengan motif adanya “konflik kepentingan” dimana nominee (boneka utusan) suruhan sang RENTENIR yang membeli objek agunan dengan harga “OBRAL” di “Nilai Likuidasi” hasil penilaian KJPP “sponsored” sewaan (alias nilai hasil pesanan).

BANK menjual piutang “bad debt”-nya kepada BANK lain, adalah tampak terlampau ideal—adalah “naif” (naive), ketika kalangan hakim, akademisi, maupun praktisi hukum yang memercayai cessie adalah baik dan positif adanya tanpa “moral hazard” apapun dan tidak bisa merugikan debitor pemilik agunan. Fakta aktualnya, pembuktian cukup lewat “akal sehat”, tidak ada BANK yang mau merugi dengan membeli piutang yang “macet” dari BANK lain, lantas menagih dengan gaya lembaga keuangan perbankan yang diawasi oleh otoritas. Kemungkinan kedua yang juga “too good to be true”, yakni BANK menjual piutang kepada “Kreditor PERORANGAN”, faktanya ialah tiada pebisnis yang bersedia membeli “barang busuk”. Satu-satunya potensi yang tersisa ialah BANK menjual piutang kepada “RENTENIR PERORANGAN”—dan itulah yang tepatnya terjadi selama ini, dimana korban-korbannya sudah banyak berjatuhan dan sebagian diantaranya tidak sadar telah menjadi korban modus “mafia tanah” ala RENTENIR.

Bila ada diantara pembaca yang telah pernah atau sedang mengalaminya sendiri, BANK menjual piutangnya kepada “pihak lain”, maka salah satu indikator yang mudah dikenali ialah lewat menganalisa perihal “bunga terselubung” yang diterapkan pihak BANK berbanding “bunga terselubung” yang diberlakukan oleh pihak pembeli piutang—ialah dengan cara menghitung selisih atau peningkatan total akumulasi hutang dalam surat tagihan pertama dan surat tagihan-surat tagihan berikutnya dari BANK yang sama untuk dihitung berapa persen kah per tahun “bunga terselubung” yang diterapkan oleh BANK. Selanjutnya, kalkulasi “bunga terselubung” yang ditagihkan oleh kreditor pembeli piutang, dengan menghitung kenaikan total tagihan dalam surat tagihan kesatu dan surat tagihan-surat tagihan berikutnya dari kreditor pembeli piutang yang sama.

Ketika terdapat disparitas atau kesenjangan yang demikian lebar antara “bunga terselubung” yang diterapkan pihak BANK berbanding “bunga terselubung” yang diberlakukan oleh pihak pembeli piutang, maka itu menjadi bukti indikator nyata tidak terbantahkan bahwa pihak kreditor pembeli piutang telah menagih secara menyimpang dari Perjanjian Kredit. “Bunga terselubung” merupakan tingkat suku bunga secara “in concreto”, alias bukan secara abstrak sebagaimana dicantum dalam Perjanjian Kredit yang tidak menggambarkan kondisi perhitungan real yang ada atas berbagai tagihan “terselubung”.

Larangan “bunga terselubung” (RENTENIR) diatur dalam yurisprudensi Mahkamah Agung R.I. No. 2027 K/Pdt/1984, tanggal 23 April 1986 :  Bahwa meskipun persoalan denda (penalty) serta ongkos-ongkos lainnya telah diperjanjikan oleh para pihak, namun menurut Mahkamah Agung, karena denda yang telah diperjanjikan tersebut jumlahnya terlampau besar, sehingga pada hakekatnya merupakan suatu “BUNGA YANG TERSELUBUNG” maka berdasar atas rasa keadilan, hal tersebut tidak dapat dibenarkan oleh Mahkamah Agung. Karena itu tuntutan tentang pembayaran denda tersebut harus ditolak.” [Sumber : Majalah Hukum Varia Peradilan No. 18 Tahun II. Maret 1987 Hlm. 5.]

Dalam perkara tersebut, Berdasar Akta Puchase Agreement, Penggugat telah membeli dari Tergugat, suatu Debt Instrument-promissory more dengan nilai nominal US dollar 225.000,- yang ditarik dan ditandatangani oleh Tergugat dengan janji Tergugat akan dibebani bunga, denda serta ongkos lainnya, berupa biaya notaris, biaya penagihan, bila terjadi keterlambatan pada hari jatuh tempo. Pengadilan Negeri di dalam putusannya tidak dapat menerima gugatan Penggugat. Pengadilan Tinggi membatalkan putusan Pengadilan Negeri dengan mengabulkan sebagian gugatan Penggugat, yang menghukum Tergugat membayar kembali kepada Penggugat – nominal promessory note US dollar 225.000,- ditambah dengan bunga 6% per tahun. Mahkamah Agung R.I. dalam putusannya telah membenarkan pertimbangan judex facti dengan menolak keberatan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi, dengan pertimbangan tesebut.

Preseden lainnya ialah putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung dalam Register Perkara Nomor 106/Pdt.G/2010/PN.BB tanggal 14 Maret 2011 yang dikukuhkan MA RI dalam kasasi No. 3180 K/Pdt/2012, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:

“Menimbang, ... , setelah diteliti oleh Majelis Hakim dengan seksama dari lampiran atas perincian yang diajukan di persidangan oleh Tergugat I, Majelis Hakim dapat menerima lampiran rincian untuk pengeluaran:

1. Pelunasan hutang Penggugat Rp.169.508.204,-

2. Biaya pengumuman lelang pada Harian Pikiran Rakyat Rp.7.199.500,-

3. Biaya pengumuman lelang pada Harian Galamedia Rp.2.323.200,-

4. Biaya pembayaran kekurangan PBB, dll, Rp.6.492.000,-

5. Pajak jual beli tanah a.n. WP Asep Saefudin (bukti P.6) Rp.16.704.000,-

6. Sehingga berjumlah = Rp.202.226.904,-

Untuk rincian lampiran pengeluaran selebihnya, Majelis Hakim menilai tidak cukup bukti dan (tidak) jelas peruntukannya dan tidak ada diperjanjikan sebelumnya oleh Tergugat I dengan Penggugat, sedangkan rincian untuk pengeluaran selebihnya karena tidak didukung dengan pembuktian pengeluarannya, maka rincian pengeluaran selain yang dipertimbangkan di atas patut untuk dikesampingkan.”

Modus paling klasik aksi RENTENIR ialah praktik “bunga majemuk” atau “bunga berjenjang” (compunded interest), dimana terhadap bunga maupun denda yang tidak terbayar pada periode sebelumnya dikenakan sebagai dasar acuan bersama pokok hutang untuk menentukan besaran beban bunga bulan berjalan. Secara analogi berlaku kaedah larangan sebagaimana Pasal 17 Ayat (7) Butir (d) Peraturan Bank Indonesia No.14/2/PBI/2012 tanggal 6 Januari 2012 : “biaya dan denda, serta bunga terutang dilarang digunakan sebagai komponen penghitungan bunga.”

  Modus Rentenir “menyelundupkan hukum” terkait suku bunga kredit, memiliki pola : bunga ditetapkan rendah, namun disaat bersamaan menetapkan DENDA yang mencekik. Karenanya, “bunga terselubung” tidak dibenarkan menyimpang dari acuan Suku Bunga Kredit yang ditetapkan oleh pemerintah untuk menutup ruang “bermain” (modus) bagi RENTENIR. Mengapa tidak membuat tagihan mengada-ngada lainnya secara menyimpang dari Perjanjian Kredit, seperti “bunga berbunga”, “bunga terhadap denda”, “uang lelah”, “denda terhadap denda”, “bunga terhadap bunga dari bunga”, ataupun istilah lainnya yang bersifat “redundant”? Merujuk norma preseden sebagaimana Putusan Mahkamah Agung RI No. 1772 K/Pdt/2011 tanggal 4 Januari 2010, dimana pihak Kreditor menuntut Bunga sebesar 5% per bulan, terhadapnya Mahkamah Agung menyatakan:

“Menimbang, bahwa akan tetapi amar putusan Judex Facti harus diperbaiki sepanjang mengenai besarnya bunga ganti rugi dengan pertimbangan sebagai berikut :

Bahwa pembebanan ganti rugi setiap bulan sebesar 2 % dipandang sangat memberatkan para Tergugat serta dirasa tidak adil sehingga menurut Mahkamah Agung besarnya ganti rugi yang memenuhi rasa keadilan sebesar 12 % per tahun.”

Yang menjadi definisi dari “RENTENIR”, dijumpai dalam yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 2680 K/Pdt/2012 tanggal 19 Juni 2013, dimana kreditor menuntut bunga 3% per bulan. Akan tetapi total klaim piutang Kreditor dipangkas oleh Pengadilan Tinggi, dengan pertimbangan hukum: “Menurut Majelis Hakim Banding apa yang dikemukakan oleh Tergugat I dimana Penggugat telah melakukan praktek rentenir (melakukan peminjaman dengan cara bunga tinggi melampaui batas praktek perbankan) adalah benar, yang dengan demikian terbukti pula hubungan hukum pinjam meminjam antara Penggugat dengan Tergugat adalah merupakan perjanjian yang bersifat riba (woeker contract) ... . Penggugat telah secara sewenang-wenang telah menciptakan bunga pinjaman menjadi hutang baru dengan membuat kwitansi kwitansi baru sebanyak 11 kali lagi seolah-olah pinjaman baru sehingga hutang pokok Rp10.000.000,00 menjadi Rp85.000.000,00.”

Dalam tingkat kasasi, MA RI membuat pertimbangan hukum : “...putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur, ternyata tidak salah dalam menerapkan hukum dan telah memberi pertimbangan yang cukup, karena Penggugat ternyata terbukti telah melakukan perbuatan hukum pinjam meminjam yang bersifat riba (woeker contract) dan bertentangan dengan azas kepatutan dan keadilan.”

Woeker Ordonantie” Staatsblad 1938 Nomor 524 (“woeker” berarti “penghisapan”), memberikan kekuasaan kepada hakim untuk membatalkan perjanjian, jikalau ternyata antara kedua belah pihak telah diletakkan kewajiban secara timbal-balik, namun satu sama lain jauh tidak seimbang dan ternyata pula, satu pihak telah berbuat secara bodoh, kurang pengalaman, atau dalam keadaan terpaksa. [Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2005), hlm. 76.]

Dalam perkara penyalahgunaan keunggulan ekonomi yang disimbolikkan oleh Kasus Bovag II, Hoge Raad pada 11 Januari 1957 (NH 1959, 57) membuat pertimbangan hukum: suatu perjanjian dapat kehilangan causa yang sahih dalam hubungan dengan terjadinya perjanjian itu, apabila pihak yang satu sangat dirugikan sebagai akibat penyalahgunaan keadaan oleh pihak yang lain. Dalam komentarnya, Van Dunne menuliskan bahwa Hoge Raad berpendirian bahwa apabila di dalam suatu perjanjian, satu pihak karena tekanan keadaan secara tidak fairness memiliki beban yang sangat merugikan, maka perjanjian itu dapat dinyatakan sebagai perjanjian yang memiliki causa tidak sahih. [H.P. Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan Sebagai Alasan (Baru) Untuk Pembatalan Perjanjian, Edisi Revisi Kedua, (Yogyakarta: Liberty, 2010), hlm. 52—53.]

Dalam Arres Hoge Raad tanggal 7 Desember 1934, Hoetink 93, dinyatakan bahwa sesuatu sebab yang bertentangan dengan undang-undang akan menyebabkan perjanjiannya menjadi batal sebagaimana juga perjanjian itu menyebabkan timbulnya akibat yang bertentangan dengan undang-undang atau yang membahayakan kepentingan umum (public interest/policy). [Elly Erawati dan Herlien Budiono, Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian, (Jakarta: Nasional Legal Reform Program, 2010), hlm. 81.] Kontrak yang tak berimbang dan timpang, diibaratkan seorang warga negara yang menghapus/menyerahkan kebebasannya sendiri. Namun, oleh undang-undang tak dibenarkan. [J. Satrio, Hukum Perjanjian : Perjanjian pada Umumnya, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), hlm. 339.]

Bunga yang ditentukan berdasarkan undang-undang adalah bunga sebesar 6% (enam persen) setahun, hal ini dilihat dari S.1848: No. 22.—konteks “normal”, bukan “resesi” krisis ekonomi. Praktik peradilan (preseden) secara konsisten mendefinisikan “RENTENIR”, salah satunya Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 130/PDT/2012/PT.DKI tanggal 24 Juli 2012:

“Menimbang, ... menurut Majelis Hakim Banding apa yang dikemukakan Tergugat dimana Penggugat telah melakukan praktek rentenir (melakukan perminjaman dengan cara bunga tinggi melampaui batas praktek perbankan) adalah benar dengan demikian terbukti hubungan hukum pinjam-meminjam antara Penggugat dengan Tergugat adalah merupakan perjanjian yang bersifat riba (bertentangan dengan kepatutan dan keadilan). Bahwa karena Tergugat tidak mampu membayar hutang kepada Penggugat, maka Penggugat secara sewenang-wenang telah menyalahgunakan keadaan dengan menciptakan bunga tinggi hingga 30 %, hutang pokok Rp. 60.000.000,- menjadi Rp.123.000.000,-“

Pihak BANK menjual piutangnya kepada RENTENIR PERORANGAN tanpa persetujuan debitor selaku pemilik agunan, sehingga atas dasar hak apa pihak kreditor pembeli piutang menagih “biaya administrasi” maupun biaya-biaya lain yang “ditagih (secara) sesuka hati”? Merujuk Putusan Pengadilan Tinggi Maluku Utara dalam Register Perkara No.20/PDT/2012/PT.MALUT tanggal 04 Februari 2013:

“Menimbang, bahwa bentuk dari Pernyataan Pengakuan Hutang tanggal 16 Desember 2009 tersebut sengaja dibuat untuk alat bukti dimana Mahmud Usman benar-benar berhutang kepada Ny. Umi Salama sebesar Rp.50.000.000,- dengan jaminan hutang Sertifikat Hak Milik No.417/Desa Kalumata oleh karena itu isinya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, hukum, kelayakan, kesusilaan, dan ketertiban umum.”

Norma bentukan yurisprudensi lainnya sebagaimana putusan Mahkamah Agung No. 3393 K/Pdt/2012 tanggal 28 November 2014 ini menguatkan putusan judex factie dengan menetapkan bunga yang layak dibebankan pada debitor ialah sebesar 6 % per tahun sehingga mengeliminir ketentuan bunga dari kontrak sebesar 2,5 % per bulannya. Dalam perkara tersebut, Penggugat meminta pengadilan agar akta perjanjian hutang-piutang dibatalkan dengan alasan terjadi praktik rentenir. Perjanjian Hutang-Piutang yang dibuat dibawah tangan serta Akta Otentik Pengakuan Hutang, mengatur, bila Penggugat tidak membayar angsuran beserta bunganya, maka penggugat dikenakan denda sebesar 0,5% per hari dari jumlah pembayaran yang terlambat pembayarannya—hakim menilainya sebagai “bunga terselubung”. Penggugat mengakui mempunyai pinjaman tersebut, namun Penggugat memohon pengadilan agar pinjaman Penggugat kepada Tergugat dilakukan restrukturisasi ulang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai dengan ketentuan bunga bank pada umumnya. Bunga yang disepakati dalam perjanjian ialah sebesar 1,35 % per bulan, sementara denda sebesar 0,5 % per hari dari jumlah pembayaran yang terlambat.

Preseden serupa dijumpai dalam putusan Pengadilan Negeri Sleman No. 27/Pdt.G/2014/PN.Slmn tanggal 9 September 2014, dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim menguraikan: 

“Menimbang, bahwa selanjutnya menurut ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Dengan demikian, setiap perjanjian diperlengkapi dengan aturan-aturan yang terdapat dalam undang-undang, dalam adat kebiasaan (di suatu tempat dan di suatu kalangan tertentu), sedangkan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh kepatutan (norma-norma kepatutan) harus juga diindahkan;

“Menimbang, bahwa selanjutnya Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Putusan Nomor 2818 K/Pdt/2000 tertanggal 29 Juli 2002 dalam putusannya memberikan pertimbangan pada pokoknya sebagai berikut: ‘... walaupun masalah bunga antara pemohon kasasi dengan termohon kasasi telah disepakati sebesar 5% per bulan, namun karena perjanjian kredit tersebut mengandung unsur pemerasan / riba, maka sesuai Undang-undang Riba Stbl.1938 No.523, Hakim karena Jabatannya berwenang menentukan bunga yang pantas yaitu 2% per bulan.’

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, menurut hemat Majelis Hakim bunga pinjaman sebesar 1,35 % tiap bulan adalah masih dalam batas bunga pinjaman wajar, akan tetapi untuk denda keterlambatan sebesar 0,5 % per hari dari jumlah pembayaran yang terlambat adalah suatu bunga yang tidak wajar dan melanggar kepatutan, sehingga dengan demikian Majelis Hakim berkesimpulan menyatakan terhadap Perjanjian Hutang Piutang No.Ja.007/SP/08/2012 harus dibatalkan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

“Menimbang, ... Bahwa perbuatan tersebut merupakan Perbuatan Melawan Hukum, karena dalam membuat perjanjian dengan tidak mengindahkan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata yang mewajibkan untuk dilaksanakan perjanjian dengan itikat baik (tegoeder trouw), dan melanggar norma kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata;”

Adapun terkait “Kreditor PERORANGAN” pembeli piutang yang tidak pernah menyepakati “fixed rate” dengan debitornya, telah terdapat preseden sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI Nomor 737 K/Pdt/2022 tanggal 5 April 2022 :

“Bahwa hubungan hukum pokok dalam gugatan a quo adalah utang piutang antara Penggugat dengan Tergugat dan dari fakta-fakta persidangan terbukti Tergugat telah wanprestasi tidak membayar utangnya kepada Penggugat sehingga Tergugat berkewajiban untuk membayar utang pokok ditambah bunga 6% (enam persen) per tahun sejak perkara didaftarkan di Pengadilan Negeri.”

Asas “kebebasan berkontrak” (pacta sunt servanda) tidaklah mutlak, dimana cessie menjadi ilegal bilamana melanggar asas kepatutan maupun Undang-Undang. peralihan piutang dari BANK kepada RENTENIR PERORANGAN, jelas telah melanggar prinsip-prinsip dan asas-asas etis peralihan piutang, secara analogi merujuk kaedah preseden “landmark decision MA RI” terkait hak-hak nasabah debitor dalam peristiwa hukum Cessie / Subrogasi sebagaimana tertuang dalam Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI tahun 2021, yakni putusan Mahkamah Agung RI Nomor 881 K/Ag/2020 tanggal tanggal 23 November 2020:

“Bahwa terjadinya sengketa antara para pihak dalam perkara a quo merupakan fakta tidak adanya kerelaan. ... , kerelaan di sini dapat berarti kerelaan melakukan suatu bentuk muamalat, maupun kerelaan dalam arti kerelaan dalam menerima dan atau menyerahkan harta yag dijadikan objek perikatan dan bentuk muamalat lainnya. Atas dasar itu, mesti pula diterapkan asas ‘adamul gharar yang berarti pada setiap bentuk muamalat tidak boleh ada gharar atau tipu daya atau sesuatu yang menyebabkan salah satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lainnya sehingga mengakibatkan hilangnya unsur kerelaan salah satu pihak dalam melakukan suatu transaksi;

“Bahwa setiap orang harus menghindari hal-hal yang batil dalam melakukan transaksi, karena prinsip yang harus dijunjung adalah tidak ada kezaliman, kecurangan, dan ketidakjujuran yang dirasa pihak-pihak yang terlibat, semuanya harus sama-sama rela dan adil sesuai takarannya;

“Bahwa menolak kemudharatan harus lebih didahulukan dari pada mengambil manfaat atau keuntungan;

“Bahwa transaksi hawalatul haq atau cassie yang terjadi dalam perkara a quo hanya sebatas mengganti shohibul maal saja, yaitu dari Muhal (Tergugat I) kepada Muhal Alaih (Tergugat II), kemudian nasabah diwajibkan untuk membayar da’in kepada Tergugat II. Atas dasar itu, Tergugat I dan Tergugat II perlu memaksimalkan usaha-usahanya untuk berkompromi dengan Penggugat agar sejalan dengan prinsip kejujuran dan kebenaran sebagaimana diatur dalam ekonomi syariah. Prinsip kejujuran dan kebenaran tersebut tercermin dalam setiap transaksi yang mengutamakan kepentingan sosial dan memiliki manfaat berdasarkan suka sama suka dan tidak ada unsur paksaan, serta tidak merugikan dan tidak pula mengandung riba;

“Bahwa transaksi hawalatul haq atau cessie harus memperhatikan prinsip keadilan, karena keadilan adalah suatu prinsip yang sangat penting dalam mekanisme ekonomi syariah. Bersikap adil dalam ekonomi tidak hanya didasarkan pada nash tetapi juga berdasarkan pada pertimbangan hukum alam. Alam diciptakan berdasarkan atas prinsip keseimbangan dan keadilan. Adil dalam transaksi hawalatul haq atau cessie dapat diterapkan dalam penentuan jumlah utang, kualitas akad pembiayaan, perlakuan terhadap nasabah, dan dampak yang timbul dari kebijakan shohibul maal (pemilik modal);”

Sehingga kriteria / parameter penentu boleh atau tidaknya Cessie dilakukan, ialah dipenuhi dan dipatuhinya prinsip-prinsip di atas, yang telah ternyata dilanggar oleh BANK selaku kreditor penjual piutang. Penulis berhasil mengungkap hingga terang-benderang modus-modus dibalik “mafia tanah” yang juga merangkap sebagai “mafia lelang” demikian, namun permasalahan utamanya bukanlah kesukaran penulis menghadapi pengacara-pengacara Para Tergugat yang menyerupai sindikat mulai dari BANK penjual piutang, RENTENIR PERORANGAN pembeli piutang, KJPP appraiser sewaan “sponsored” pihak pembeli piutang, pembeli lelang “nominee”, hingga Kantor Lelang Negara yang saling melindungi dan menyudutkan debitor pemilik agunan selaku korban; akan tetapi sifat EGO, stubborn, reckless, “sok pintar” (namun kelirutahu, tahu namun keliru), dan “keras kepala” (kepala batu) para pengacara dari Klien penulis. Pepatah mengatakan, 1.000 orang dokter umum tidak lebih kompeten daripada seorang dokter spesialis.

Sebagai penutup, Prof. Z. Asikin Kusumah Atmadja, S.H., dalam ulasan hukumnya mengenai “Pemberantasan Rentenir Sebagai Perwujudan Pemerataan Keadilan” dan dimuat dalam Varia Peradilan Tahun II, Nomor 17, Februari 1987, beliau ada mengajukan tiga pertanyaan sebagai berikut:

a. Apakah kita sudah yakin bahwa praktek rentenir harus diberantas karena tidak sesuai dengan kesadaran hukum bangsa Indonesia?

b. Apakah hukum sebagai suatu living institution mampu untuk memberantas praktek rentenir?

c. Apakah kita sanggup memberi isi kepada hukum yang berlaku sehingga pada umumnya mampu mengayomi masyarakat dan khususnya mampu untuk memberantas praktek rentenir?

Prof. Asikin kemudian memberi jawabannya sebagai berikut: “Kalau semua pertanyaan dijawab secara positif maka tidak ada notaris yang akan membuat perjanjian yang bersifat rentenir, tidak ada pengacara yang bersedia membela seorang rentenir dan Hakim selalu akan menolak gugatan yang diajukan seorang rentenir.”—begitupula Kantor Lelang Negara semestinya menolak permohonan lelang yang diajukan oleh rentenir. Senada dengan pendapat Prof. Asikin diatas, Pasal 14 Undang-Undang Pelepas Uang (Stb. 1938 Nomor 523) melarang Notaris membuat Akta Notaris atas pengakuan hutang dan mengeluarkan grosse akta-nya untuk perjanjian hutang-piutang dengan seorang pelepas uang (rentenir).

Terdapat cacat falsafah perihal cessie. Berdasarkan “argumentum per analogiam”, dalam konstruksi “over kredit” dimana terjadi peralihan debitor, dari “debitor lama” kepada “debitor baru”, perjanjian “over kredit” berlangsung secara tripartit antara “debitor lama”, “debitor baru”, serta pihak “kreditor”, barulah perjanjian menjadi sah mengikat para pihak sesuai asas kebebasan berkontrak. Kedua, ialah logika dibalik kaedah hukum sebagaimana Putusan MA RI No. 653 K/PDT/2002 Tanggal 16 Desember 2004: “Perjanjian kredit yang menjaminkan tanah tanpa melibatkan persetujuan dari pemilik tanah adalah perbuatan melawan hukum sehingga harus dibatalkan demi hukum.”

Nilai Pasar" (Market Value) didefinisikan sebagai “pemasarannya dilakukan secara layak” (KEPI & SPI Edisi Vi-2015 SPI 101-3.1). Sementara itu “Nilai Likuidasi” (Liquidation Value) didefinisikan sebagai penjualan suatu aset dalam jangka waktu yang relatif pendek untuk dapat memenuhi jangka waktu pemarasan (yang layak) sebagaimana dimaksud dalam definisi NIlai Pasar. Pembeli yang membeli dengan mengetahui situasi yang tidak menguntungkan penjual (KEPI & SPI Edisi VI-2015 SPI 102-3.7.1)—dimana inilah yang pada tepatnya disalah-gunakan oleh RENTENIR PERORANGAN yang berkolaborasi dengan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) swasta pesanan “sponsored”. Kantor Lelang Negara, semestinya mengakui dan menghormati NJOP yang merupakan hasil penilaian oleh tim penilai dari Pemerintah Daerah—mengingat salah satu fungsi NJOP lainnya ialah sebagai “safety nett” (jaring pengaman), mengingat bila terjadi pembebasan lahan untuk kepentingan umum, maka warga pemilik hak atas tanah minimum mendapatkan ganti-kerugian senilai NJOP.

KUHPerdata versi baru di Belanda telah mengakomodasi pelindungan terhadap pihak yang lemah terhadap pihak yang lebih kuat. Begitupula pengaturan mengenai “perlawanan terhadap memperkaya diri atas beban orang lain secara tidak sah” (countering unjustified enrichment). A person who has been unjustifiably enriched at the expense of another must, to the extent that this is reasonable, make reparation for the damage suffered by that other person up to the amount of his enrichment (Art. 6:212 (1) New Dutch Civil Code). [Henk Snijders dan Jaap Hijma, The Netherlands New Civil Code : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda yang Baru. Jakarta: National Legal Reform Program, 2010), hlm. 23.]

Suatu perjanjian dikatakan “batal demi hukum” apabila perjanjian itu memiliki tujuan yang tidak diperkenankan oleh ketentuan perundang-undangan, sehingga perjanjian itu sejak saat semula tidak memiliki akibat hukum. Kebatalannya berlaku sejak semula, sejak saat diadakannya perjanjian itu (ex tunc). [Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 208]—doktrin ilmu hukum mengenalnya juga dengan sebutan sebagai adanya “CACAT KEHENDAK” maupun adanya “CACAT TERSEMBUNYI” berupa niat buruk pihak BANK yang telah ternyata bersekongkol dengan kalangan RENTENIR PERORANGAN. Clam delinquens magis punitur quam palam. Seseorang yang melakukan kekeliruan secara rahasia akan dihukum lebih keras daripada mereka yang melakukannya secara terbuka.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.