Saksi AHLI AKADEMISI Vs. AHLI PRAKTISI, Ambigunya Praktik Hukum Acara dalam Konteks Agenda Acara Keterangan AHLI

Semua Pertanyaan yang Relevan bagi Ahli (Pemberi Keterangan sebagai Ahli di Persidangan), Sudah Pasti Menyentuh Materi Pokok Perkara

Question: Kabarnya pihak pencari keadilan dalam persidangan perkara perdata yang menghadirkan saksi ahli, tidak boleh bertanya terkait “pokok perkara” kepada ahli yang diundang untuk hadir. Pertanyaannya, bila kita tidak diperkenankan untuk mengajukan pertanyaan yang “masuk ke dalam pokok perkara” kepada pihak ahli yang kami hadirkan, lantas untuk apa juga kami susah-payah mengundang seorang ahli dan juga mengajukan pertanyaan kepada sang ahli? Apakah seorang ahli forensik, sebagai contoh, hanya boleh ditanya perihal teori-teori saja, tidak boleh membedah alat bukti yang nyata-nyata menjadi “jantung” dari perkara?

Jika hanya boleh mengajukan pertanyaan yang umum-umum saja sifatnya, semisal apa itu yang dimaksud dengan penggelapan, apa yang dimaksud dengan wanprestasi, atau teori-teori yang sebenarnya sudah banyak materi bahasannya di text book ilmu hukum, maka bukankah cukup mengajukan keterangan seorang mahasiswa hukum saja atau bahkan cukup berikan buku teks ilmu hukum kepada sang hakim? Falsafah dihadirkannya ahli, bukankah memang dalam rangka untuk mengaudit materi perkara hukum atau permasalahan yang menjadi pokok perkara, untuk dapat diberikan analisa, penilaian, kesimpulan ataupun opini wajar atau tidak wajarnya sesuatu isu hukum tertentu terkait pokok perkara, sesuai kompetensi sang ahli?

Brief Answer: Dalam perkara pidana, hukum acara pidana melarang pihak Ahli memberikan keterangan yang menyatakan bahwa pihak Terdakwa adalah bersalah atau tidak bersalah. Namun demikian, praktik “law in concreto”-nya kerap kali berkata lain. Sementara itu dalam hukum acara perdata di Indonesia, terdapat “aturan tidak tertulis” bahwa pihak Ahli sifatnya terlarang untuk ditanyakan sesuatu yang sifatnya “masuk ke dalam pokok perkara”—artinya hanya dibuka kesempatan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak memiliki relevansi apapun dengan materi “pokok perkara”. Sedikit saja Anda membuat pertanyaan yang memiliki relevansi dengan “pokok perkara” terhadap sang Ahli, maka seketika itu pula biasanya kuasa hukum pihak lawan akan menyela dengan mengajukan pernyataan “keberatan, pertanyaan telah masuk dalam materi pokok perkara!”.

Berangkat dari paradigma berpikir demikian, memang logis bagi kita untuk mempertanyakan, maka untuk apa pula bersusah-payah menghadirkan keterangan seorang Ahli di persidangan maupun untuk mengajukan pertanyaan terhadap sang Ahli, bila yang dimungkinkan untuk dinyatakan ialah hanya sebatas dan terlimitasi pada hal-hal yang tidak memiliki relevansi terhadap materi “pokok sengketa”? Dengan logika dasar orang awam sekalipun, kita dapat menemukan bahwa bilamana pertanyaan yang hanya dapat diajukan kepada Ahli ialah selain yang masuk kedalam “pokok perkara”, maka pertanyaan-pertanyaan yang terbuka kesempatannya untuk ditanyakan ialah hanya sebatas pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya tidak memiliki relevansi apapun terhadap materi pokok perkara.

Jika itu yang terjadi dalam praktik di persidangan, pertanyaan-pertanyaan Anda bagi pihak Ahli yang sudah susah-payah Anda hadirkan ke persidangan untuk diperdengarkan keterangannya, di-intervensi kuasa hukum lawan yang menyatakan berkeberatan atas pertanyaan Anda yang dinilai “masuk dalam pokok perkara” dan hakim menyetujuinya, pertanyaan yang Anda ajukan ialah sudah masuk kedalam materi “pokok perkara”, maka inilah yang dapat Anda jawab sebagai kontra-argumen tersebut : “JIka kami hanya boleh mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak relevan terhadap pokok perkara, lalu untuk apa kami hadirkan Ahli ke persidangan ini? Seorang Ahli Forensik saja boleh memeriksa dan memberikan penilaian terhadap alat bukti yang menunjukkan siapa pelakunya”.

Tidak ada pertanyaan yang relevan terhadap materi “pokok sengketa”, yang sedikit atau banyaknya tidak menyentuh “pokok perkara”. Realita yang terjadi di ruang persidangan selama ini, Ahli-Ahli dalam perkara pidana sekalipun, secara tidak langsung maupun secara terselubung menunjuk hidung sang Terdakwa sebagai telah bersalah atau sebagai sosok pelaku sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Namun, satu hal yang perlu penulis ingatkan bagi para kalangan litigator, berhati-hatilah terhadap apa yang disebut “pembalasan”, dikemudian hari ketika mereka mengajukan Ahli di persidangan, bisa jadi dan tidak tertutup kemungkinan pihak kuasa hukum lawan mereka akan mengajukan “keberatan” serupa, bahwa pertanyaan mereka terhadap pihak Ahli akan dinyatakan telah menyentuh “pokok perkara”.

Prinsip emas berlaku disini : perlakukan orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan, dan jangan perlakukan pihak lain sebagaimana Anda tidak ingin diperlakukan. Ini menyerupai “kutukan” yang senantiasa melingkupi kaum profesi pengacara, mereka kerap membuat “eksepsi” bahwa surat gugatan semestinya diajukan dalam bentuk “wanprestasi”, meski perjanjian permodalan usaha ditindak-lanjuti oleh adanya unsur pidana penipuan oleh salah satu pihak, alih-alih dalam bentuk gugatan “perbuatan melawan hukum” sebagaimana surat gugatan pihak penggugat. Kelak, surat gugatan yang mereka ajukan yang akan di-“eksepsi” oleh kalangan pengacara lainnya dengan dalil mengada-ngada senada. Litigator yang cerdas, tidak akan menanam “ranjau” yang bisa jadi akan terinjak oleh diri mereka sendiri di masa yang akan datang.

Bagaimana bila seorang Ahli, berdusta di persidangan, senantiasa bersikap subjektif demi kepentingan pihak yang menyewa sang Ahli? Maka itu sungguh tergolong “Ahli” yang “dungu”—betapa tidak, dengan tarif jasa tidak setara dengan nilai tuntutan ganti-rugi dalam surat gugatan, menjelma “Ahli sponsored”, lalu merugikan pihak pencari keadilan akibat keterangannya yang tidak objektif, dengan nilai kerugian yang ditimbulkannya jauh berkali-kali lipat dari tarif jasa yang ia terima, maka dosanya ialah sebesar kerugian yang ia timbulkan demikian, sangat tidak sebanding antara tarif yang ia terima dan dosa yang telah ia tanam.

Meminjam penuturan salah seorang Klien kepada penulis : Mengapa kita tidak boleh mengajukan pertanyaan yang membahas “pokok perkara” kepada Ahli yang sudah susah-payah kita hadirkan ke persidangan, bukankah Majelis Hakim tetap bebas dan merdeka untuk sekalipun membuat putusan yang tidak sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Ahli? Adalah merupakan domain atau wewenang mutlak hakim pemeriksa dan pemutus perkara, untuk sependapat atau tidaknya, untuk mengambil-alih atau tidaknya, untuk sejalan atau tidaknya dengan apa yang disampaikan oleh Ahli di persidangan. Bukankah begitu?

PEMBAHASAN:

Pernah terjadi, beberapa tahun lampau, keterangan dari seorang Ahli dihadirkan ke hadapan persidangan perkara perdata sengketa tanah antara dua Yayasan di Jakarta Barat.  Pihak kuasa hukum Penggugat mengajukan saksi Ahli, menyangkut sebuah objek berupa bangunan yang disengketakan oleh dua buah Yayasan yang saling berkonflik dan mendaku sebagai pemilik lahan. Pokok perkara ialah perihal adanya izin domisili palsu yayasan dari Tergugat. Berikut ini pernyataan pihak kuasa hukum Penggugat kepada media pers, seusai persidangan dengan agenda acara keterangan Ahli, “Kami dari (pihak) Penggugat, bertanya kepada (pihak) Ahli (yakni) Bapak ... , apakah ketika terdapat izin domisili palsu atas sebuah yayasan yang (perkara pidana pemalsuan aktanya) telah memiliki kekuatan hukum tetap, dapat dibatalkan? Jawaban Ahli (ialah), bila terdapat suatu keterangan palsu berupa keterangan domisili, maka itu cacat hukum dan dapat dibatalkan.”—perhatikan, substansi pertanyaan dan jawaban bukan lagi sekadar masuk dan menyentuh “pokok perkara”, namun tepat tertuju serta mengorek “jantung perkara”.

Pada mulanya Majelis Hakim merasa tidak perlu dilakukan Pemeriksaan Setempat. Namun setelah mendengar keterangan sang Ahli demikian, Majelis Hakim kemudian menilai adanya sengketa kepemilikan dengan objek berupa bangunan, dan harus dilaksanakan. Uniknya dari perkara persidangan keterangan Ahli tersebut, baik pihak lawan maupun hakim, tidak menyatakan adanya keberatan karena “substansi pertanyaan bagi Ahli dan jawaban Ahli telah masuk dalam pokok perkara”. Sejatinya, tidak ada satupun pertanyaan kepada pihak Ahli yang sifatnya bebas dari materi “pokok perkara”—alias kesemua pertanyaan yang relevan pastilah menyentuh materi “pokok perkara”. Sedikit-banyaknya, pastilah ada memiliki relevansi atau sangkut-pautnya (jika tidak, maka untuk apa ditanyakan?), baik metode tanya-jawab secara langsung maupun secara berputar-putar, diplomatis, ataupun yang sifatnya terselubung dan tidak langsung.

Cobalah tanyakan kepada diri Anda sendiri, apapun latar-belakang profesi Anda, baik Anda berkedudukan sebagai pihak Penggugat maupun sebagai pihak Tergugat, jika pihak yang mengajukan Ahli tidak boleh membuat pertanyaan yang menyinggung “pokok perkara”, lalu untuk apa bertanya kepada sang Ahli dan untuk apa mendatangkan seorang Ahli jika bukan untuk membuat penilaian terhadap materi “pokok perkara”? Jawaban yang logis dan rasional ialah, jelas untuk memeriksa “pokok sengketa”, untuk diberi penilaian oleh sang Ahli. Katakan kita berhasil mendatangkan seorang ahli dengan kompetensi sebagai akuntan atau seorang auditor, apakah kita juga tidak boleh bertanya mengenai wajar atau tidak wajarnya, surat somasi berisi tagihan atas tunggakan yang dikirimkan oleh pihak kreditor yang berperilaku sebagaimana seorang rentenir yang membuat penetapan “bunga terselubung” secara mencekik diluar batas kewajaran?

Contoh sederhananya ialah kasus pembunuhan dengan menggunakan kopi yang mengandung racun sianida beberapa tahun lalu (kasus yang terkenal beberapa tahun lampau, yakni “Jessica Kopi Sianida”), pihak Jaksa Penuntut Umum menghadirkan Ahli Forensik untuk memeriksa rekaman video hasil rekaman CCTV di Tempat Kejadian Perkara (TKP) dimana bahkan pihak Penuntut Umum menghadirkan pula seorang Ahli Kriminologi yang menyatakan bahwa Terdakwa adalah seorang pembohong dan juga pelakunya adalah terdakwa dilihat dari bahasa tubuh sang Terdakwa saat di persidangan. Namun mengapa hakim maupun kuasa hukum pihak Terdakwa tidak keberatan Ahli-Ahli tersebut membahas mengenai “pokok perkara” maupun alat bukti? Jawabannya ialah karena kuasa hukum pihak Terdakwa juga mengajukan Ahli-Ahli yang membuat penilaian terhadap “pokok perkara” yang secara langsung maupun tidak langsung menyatakan bahwa sang Terdakwa tidaklah bersalah.

Tujuan atau filosofi dibalik menanyakan pihak Ahli yang dihadirkan ke persidangan, baik perkara pidana maupun perdata, tidak lain tidak bukan ialah untuk membuat terang “pokok perkara”. Pertanyaannya ialah, bagaimana caranya membuat terang “duduk perkara” bila tidak menyentuh materi “pokok perkara”? Yakni membuat pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya RELEVAN dengan “pokok perkara”. Masalahnya ialah, setiap pertanyaan yang sifatnya RELEVAN terhadap “pokok perkara”, selalu menyentuh masuk pada substansi “pokok perkara”, sedikit atau banyaknya, pertanyaan “direct” maupun “indirect”. Sebagai ilustrasi, bila Anda mengajukan gugatan dengan jenis kriteria “wanprestasi”, maka untuk apa pula Anda bertanya kepada Ahli Hukum Perdata yang Anda hadirkan ke persidangan, perihal “gugatan perbuatan melawan hukum”? Yang relevan tentu saja mengajukan pertanyaan terkait “gugatan wanprestasi”, dan Anda telah menyentuh “pokok perkara”.

Sampai sejauh apa, seorang Ahli boleh menyentuh atau masuk ke dalam materi “pokok perkara”? Penulis secara pribadi, meski pandangan penulis belum diterima secara luas oleh para aparatur penegak hukum, seorang Ahli dibedakan menjadi dua kriteria, yakni : Ahli AKADEMISI dan Ahli PRAKTISI. Seorang Ahli Praktisi, sebagai contoh ialah kalangan profesi akuntan, dokter, apoteker, forensik, konsultan, penilai, kontraktor, mekanik, dan lain sebagainya. Kriteria kedua, ialah seorang Ahli Akademisi, yang tidak lain tidak bukan iaiah mereka yang dalam kesehariannya berkecimpung murni dalam urusan akademik, seperti mengajar sebagai seorang dosen di perguruan tinggi pada berbagai fakultas yang terakreditasi.

Seorang Ahli Praktisi, praktik selama ini dibenarkan untuk masuk dalam “jantung perkara” dengan memberi penilaian terhadap alat bukti maupun klaim-klaim dan dalil-dalil dalam “substansi perkara”. Kontras dengan itu, seorang Ahli Akademisi hanya diperkenankan untuk ditanyakan dan menjawab hal-hal yang bersifat umum saja, tanpa menyentuh materi “pokok perkara”, sehingga kerap kali keterangan sang Ahli sifatnya cukup monoton, membosankan, baku ala “text book”, serta kurang relevan terhadap “pokok perkara”. Yang paling menarik dalam intrik persidangan ialah, dihadirkannya Ahli Praktisi, biasanya hakim mengakui otoritatif keterangan sang Ahli yang memberikan penilaian terhadap klaim-klaim maupun dalil-dalil tidak terkecuali alat-alat bukti dalam suatu perkara yang disidangkan.

Teruntuk kalangan litigator yang kerap meng-intervensi jalannya persidangan dengan mengajukan “keberatan” sebagaimana disinggung dalam bahasan ini, maka inilah pertanyaan logika untuk mereka : Jika hanya boleh bertanya yang tidak menyangkut “pokok perkara”, itu artinya hanya boleh bertanya hal-hal yang tidak ada relevansinya (tidak ada sangkut-pautnya) dengan “pokok perkara”. Lantas, untuk apa menghadirkan dan juga bertanya pada sang Ahli untuk hal-hal yang sama sekali tidak ada relevansinya dengan permasalahan dalam perkara yang disengketakan? Tentulah harus “nyambung” dan “sinkron”, tidak lain tidak bukan ialah mengajukan pertanyaan yang menyentuh “kulit” maupun masuk tepat ke dalam “jantung” dari “pokok sengketa”.

Baru-baru ini, penulis bahkan pernah mendapati adanya serangkaian materi tanya-jawab dengan pihak Ahli yang dihadirkan oleh kuasa hukum pihak Penggugat, akan tetapi pertanyaan-pertanyaan mana sifatnya sama sekali tidak relevan terhadap pokok perkara. Apakah yang kemudian terjadi atau hasilnya? Hasilnya ialah tidak ada bedanya dengan Ahli tersebut sama sekali tidak pernah dihadirkan, sekalipun tarif jasa sang Ahli hampir mencapai seratus juta rupiah untuk sekali hadir ke persidangan untuk didengarkan keterangannya sebagai Ahli berdasarkan kompetensi profesinya. Ibarat “machine gun”, memuntahkan banyak amunisi berupa pertanyaan-pertanyaan, namun tiada satupun yang tepat pada sasaran, alias “meleset” akibat tingkat akurasinya yang buruk.

Kontras dengan itu, seorang sniper, cukup satu buah amunisi, namun tepat menyasar dan mengenai pada “jantung” dari target. Cobalah dudukkan diri Anda sebagai seorang hakim, tiada yang lebih membosankan dan membuang waktu daripada pertanyaan-pertanyaan yang tidak menyentuh materi “pokok sengketa”. Jika pihak kuasa hukum lawan, masih juga “berkeberatan”, maka debatlah dengan kontra-narasi berikut agar dipertimbangkan oleh Majelis Hakim yang memimpin jalannya persidangan : “Ahli Forensik saja boleh, memberikan penilaian terhadap alat bukti yang menjadi jantung dari pokok perkara!

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.