Mabuk serta Sombong terhadap Kesehatan, Usia Muda, dan Kehidupan
Pendosa yang Mencari-Cari Pengampunan Dosa, Sejatinya
merupakan KAUM TERKUTUK juga KAMPUNGAN
Question: Mengapa ada kalangan orang-orang yang tanpa merasa malu, risih, ataupun takut, melakukan kejahatan-kejahatan di pasar tradisional (preman pasar) maupun “kejahatan kerah putih” semacam korupsi? Ada juga orang-orang yang menutupi sekujur tubuhnya dengan busana, dari ujung rambut sampai ujung kaki, namun tidak sungkan berbuat jahat (merugikan, menyakiti, maupun melukai pihak lain) seolah-olah berbuat jahat bukanlah “aurat” itu sendiri, bahkan diumbar serta dipertontonkan secara vulgar.
Brief Answer: Karena mereka, para pelaku aksi kejahatan
tersebut, menyombongkan kesehatan mereka serta menyombongkan kehidupan mereka
(masih hidup) sekalipun sepanjang hidupnya telah banyak menimbun segudang
hingga segunung dosa (perbuatan-perbuatan buruk yang dapat dicela oleh para
bijaksana). Mereka bersikap seperti orang mabuk, seolah-olah si pelaku
(dikemudian hari) tidak dapat menua lalu menjadi sakit sebelum kemudian
meninggal dunia. Para dunguwan tersebut tidak mau menyadari, sekalipun dalam
kesehariannya melihat adanya fenomena orang-orang yang menua, sakit, dan
meninggal dunia—dimana dirinya sendiri sejatinya adalah tanpa terkecuali akan
mengalami kondisi atau keadaan serupa, cepat atau lambat, hanya perihal waktu,
menyisakan kesombongan yang bertopang pada delusi-diri.
PEMBAHASAN:
Dengan mudah dapat kita jumpai
ditengah-tengah masyarakat, orang-orang yang angkuh menyombongkan (kesombongan
atau kecongkakan) atas kesehatan maupun atas umurnya yang tergolong “masih
hidup” saat itu, lantas menyepelekan dan memandang remeh-temeh penyakit, wabah,
protokol kesehatan, ancaman dibalik polusi, polutan, maupun pencemaran, bahkan
seolah atau seakan menantang maut hingga “mencobai Tuhan” alih-alih “Tuhan yang
mencobai umat manusia”, semisal dengan mempromosikan gaya hidup berikut kepada
masyarakat umum : pemulung sampah atau tukang sampah saja ketika makan, tidak
pernah terlebih dahulu mencuci tangan mereka, akan tetapi ternyata tetap masih bisa
hidup. Saya tidak pakai protokol kesehatan ketika ada wabah atau pandemik
akibat virus menular antar manusia, ternyata masih hidup dan sehat hingga sekarang.
Berhati-hatilah bila Anda
memiliki keangkuhan ataupun kesombongan demikian, karena Anda akan terjebak
oleh kesombongan atas kesehatan maupun kesombongan atas kehidupan diri Anda
sendiri, Anda akan tergelincir melakukan berbagai kebodohan maupun kejahatan
yang akan Anda sesali sendiri dikemudian hari, sebagaimana khotbah Sang
Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical
Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012,
terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi
Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan sebagai berikut:
39 (9) Kelembutan
“Para bhikkhu, Aku dipelihara
dengan lembut, dipelihara dengan sangat lembut, dipelihara dengan luar biasa
lembut. Di kediaman ayahKu kolam-kolam teratai dibangun hanya demi
kesenanganKu: di salah satu kolamnya teratai biru bermekaran, di kolam lainnya
teratai merah, dan di kolam ke tiga teratai putih. Aku tidak menggunakan
cendana jika bukan yang berasal dari Kāsi dan penutup kepala, jubah luar, jubah
bawah, dan jubah atas yang Kupakai terbuat dari kain yang berasal dari Kāsi.
Siang dan malam sebuah kanopi putih selalu memayungiKu agar dingin dan panas,
debu, rumput, dan embun tidak mengenaiKu.
[Kitab Komentar : Kāsi adalah
salah satu dari enam belas negara besar di India, dengan ibu kota Bārāṇasī.]
“Aku memiliki tiga istana: satu
untuk musim dingin, satu untuk musim panas, dan satu untuk musim hujan. Aku
melewatkan empat bulan musim hujan di istana musim hujan, dengan dihibur oleh
para musisi, tidak ada di antaranya yang laki-laki, dan Aku tidak meninggalkan
istana. Sementara budak-budak, pekerja-pekerja, dan pelayan-pelayan di
rumah-rumah orang lain diberikan nasi basi dengan bubur asam sebagai makanan
mereka, namun di kediaman ayahKu mereka diberi beras gunung pilihan, daging
pilihan, dan nasi.
[Kitab Komentar : Ini adalah
ketiga musim di India utara: musim dingin berlangsung sekitar November hingga
Maret, musim panas dari Maret hingga Juli, dan musim hujan dari Juli hingga
November. Istana musim dingin bertingkat sembilan, yang rendah untuk mempertahankan
panas; istana musim panas bertingkat lima, yang tinggi agar udara menjadi
sejuk; dan istana musim hujan bertingkat tujuh, yang tidak tinggi juga tidak
rendah untuk memberikan temperatur sedang.
[Kitab Komentar juga
menyebutkan bahwa bukan hanya para musisi, melainkan semua posisi dalam istana
ditempati oleh para perempuan (itthiyo).
Demikianlah selama empat bulan kaum laki-laki tidak menemuinya.]
(1) “Di tengah-tengah kehidupan
yang megah dan lembut demikian, Aku berpikir: ‘Seorang kaum duniawi yang tidak
terpelajar, walaupun dirinya tunduk pada penuaan, tidak terbebas dari
penuaan, merasa muak, malu, dan jijik ketika ia melihat orang lain yang tua,
dengan mengabaikan keadaannya sendiri. Sekarang, Aku juga tunduk pada
penuaan dan tidak terbebas dari penuaan. Karena itu, jika Aku merasa muak,
malu, [146] dan jijik ketika melihat orang lain yang tua, maka itu tidaklah
selayaknya bagiKu.’ Ketika Aku merefleksikan demikian, maka kemabukanKu akan
kemudaan sepenuhnya ditinggalkan.
(2) “[Kemudian, Aku berpikir:]
‘Seorang kaum duniawi yang tidak terpelajar, walaupun dirinya tunduk pada
penyakit, tidak terbebas dari penyakit, merasa muak, malu, dan jijik ketika ia
melihat orang lain yang sakit, dengan mengabaikan keadaannya sendiri.
Sekarang, Aku juga tunduk pada penyakit dan tidak terbebas dari penyakit.
Karena itu, jika Aku merasa muak, malu, dan jijik ketika melihat orang lain
yang sakit, maka itu tidaklah selayaknya bagiKu.’ Ketika Aku merefleksikan
demikian, maka kemabukanKu akan kesehatan sepenuhnya ditinggalkan.
(3) “[Kemudian, Aku berpikir:]
‘Seorang kaum duniawi yang tidak terpelajar, walaupun dirinya tunduk pada
kematian, tidak terbebas dari kematian, merasa muak, malu, dan jijik ketika ia
melihat orang lain yang mati, dengan mengabaikan keadaannya sendiri.
Sekarang, Aku juga tunduk pada kematian dan tidak terbebas dari kematian.
Karena itu, jika Aku merasa muak, malu, dan jijik ketika melihat orang lain
yang mati, maka itu tidaklah selayaknya bagiKu.’ Ketika Aku merefleksikan
demikian, maka kemabukanKu akan kehidupan sepenuhnya ditinggalkan.
“Ada, para bhikkhu, tiga jenis
kemabukan ini. Apakah tiga ini? Kemabukan pada kemudaan, kemabukan pada
kesehatan, dan kemabukan pada kehidupan.
(1) Seorang kaum duniawi yang
tidak terpelajar, karena mabuk pada kemudaan, melakukan perbuatan buruk
melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Dengan hancurnya jasmani, setelah
kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di
alam rendah, di neraka.
(2) Seorang kaum duniawi yang
tidak terpelajar, karena mabuk pada kesehatan, melakukan perbuatan buruk
melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Dengan hancurnya jasmani, setelah
kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di
alam rendah, di neraka.
(3) Seorang kaum duniawi yang
tidak terpelajar, karena mabuk pada kehidupan, melakukan perbuatan buruk
melalui jasmani, [147] ucapan, dan pikiran. Dengan hancurnya jasmani, setelah
kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di
alam rendah, di neraka.
“Karena mabuk pada kemudaan,
seorang bhikkhu meninggalkan latihan dan kembali pada kehidupan rendah; atau
karena mabuk pada kesehatan, ia meninggalkan latihan dan kembali pada kehidupan
rendah; atau karena mabuk pada kehidupan, ia meninggalkan latihan dan kembali
pada kehidupan rendah.
“Kaum duniawi tunduk pada
penyakit, penuaan, dan kematian, menjadi jijik [karena orang lain] yang muncul
sesuai dengan sifat alaminya.
“Jika Aku menjadi jijik pada
makhluk-makhluk dengan sifat demikian, itu tidaklah selayaknya bagiKu karena
Aku juga memiliki sifat alami yang sama.
“Ketika Aku sedang berdiam
demikian, setelah mengetahui keadaan tanpa perolehan, Aku mengatasi segala
kemabukan – kemabukan pada kesehatan, pada kemudaan, dan pada kehidupan –
setelah melihat keamanan dalam pelepasan keduniawian.
“Kemudian kemauan muncul padaKu
ketika Aku dengan jelas melihat nibbāna. Sekarang Aku tidak mampu lagi
menuruti kenikmatan-kenikmatan indria. Dengan bersandar pada kehidupan
spiritual, Aku tidak akan pernah berbalik.”
[Kitab Komentar mengatakan
bahwa syair ini merujuk pada kegigihan Sang Buddha sendiri sewaktu Beliau
sedang duduk di bawah pohon bodhi.]
Mereka yang menyombongkan serta
mabuk atas kecantikannya, cepat atau lambat akan merasa kecewa ketika kemudian
kecantikan ataupun rupawan wajahnya akan memudar seiring dengan waktu,
sebagaimana kita melihat semua orang yang paruh baya menjelma menjadi berkeriput,
bertubuh gembul, serta rambut memutih. Mereka yang menyombongkan serta mabuk
atas kekuatan fisiknya, cepat atau lambat akan mengalami kemerosotan
kepercayaan diri ketika kekuatan fisiknya menjadi melemah seiring dengan
bertambahnya umur, menjelma orang paruh baya yang bungkuk serta lemah, bahkan
mudah patah tulang, berjalan tertatih-tatih serta keropos. Mereka yang
menyombongkan dan mabuk atas kecerdasannya, cepat atau lambat akan merasa takut
ketika mendapati bahwa kepandaian otaknya akan menjelma demensia sebagaimana dialami
orang-orang yang sudah menua manapun. Mereka yang menyombongkan dan mabuk akan
harta-kekayaannya, akan mendapati dirinya tidak dapat memakan makanan apapun,
didera diabetes maupun hipertensi, keterbatasan daya makan atau bahkan
kehilangan selera makan, harus duduk di kursi roda sepanjang sisa hidupnya,
sebelum kemudian meninggal dunia tanpa membawa apapun dan menyisakan warisan
yang menjadi biang-keladi sengketa antar ahli waris yang saling memperebutkan harta-harta
peninggalan.
Namun masih dikenal satu jenis
kesombongan lainnya, yang jauh lebih berbahaya sifatnya, yang baru dimunculkan
atau diperkenalkan kepada umat manusia—lebih tepatnya “para kalangan pendosa”—sejak
lahirnya agama-agama samawi. Apakah kesombongan yang paling berbahaya tersebut?
Tidak lain tidak bukan ialah arogansi mereka yang merasa dirinya yakin
seyakin-yakinnya akan masuk alam surgawi berkat memakan dan termakan
iming-iming korup “too good to be true”
bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” (abolition of sins). Mereka menjadi
mabuk, lengah, abai atas pikiran maupun perilakunya sendiri, tidak terkendali,
dimabukkan dan dinina-bobokan oleh dogma-dogma penuh kecurangan demikian,
sehingga meremehkan dan menyepelekan bahaya dibalik perbuatan-perbuatan buruk,
seolah perbuatan-perbuatan buruk yang menyakiti, merugikan, ataupun melukai
pihak-pihak lainnya tidak membawa konsekuensi maupun bahaya apapun bagi si
pelaku dikemudian hari.
Akibat termakan dan memakan
iming-iming korup demikian, para pendosa tersebut menjadi sombong atas
keyakinan delusif yang kekanakan demikian, lantas mengabaikan peran penting “kendali
diri” (self-control) seorang manusia (yang
konon) berakal-budi, meremehkan pengendalian maupun mawas diri, serta
menyepelekan akibat ataupun bahaya dibalik berbuat buruk yang dapat merugikan,
menyakiti, maupun melukai pihak-pihak lainnya. Para “pemabuk dosa” tersebut,
kemudian berbondong-bondong serta berlomba-lomba mencetak serta memproduksi
segunung dosa, mengoleksi hamparan dosa, menabur berhektar-hektar ladang dosa, berkubang
dalam dosa, bersimbah dosa, hidup dari dosa, menghamba pada dosa, mencandu
dosa-dosa yang begitu adiktif, bahkan hingga taraf ketergantungan terhadap
dosa-dosa—dan disaat bersamaan berdelusi yakin-seyakinnya akan masuk alam
surgawi setelah para pendosa tersebut meninggal dunia, sekalipun segudang atau
segunung dosa yang telah mereka buat dan cetak bersifat “too big to fall”.
Singkat kata, betapa korosif
serta iritatif dampak merusaknya dogma-dogma berisi ideologi korup penuh
kecurangan demikian, dimana dosa-dosa dan maksiat seakan dipromosikan dan
disaat bersamaan gaya hidup “higienis dari dosa” dipandang sebagai “merugi”
semata kerena menjadi “mubajir” iming-iming “penghapusan dosa” yang jelas-jelas
“too good to be true” (pola pikir
kekanakan alias “akal sakit milik orang sakit”). Standar moral umat manusia pun
bergeser, dari semula tiada penjahat yang yakin akan masuk alam surgawi setelah
ajal menjemput mereka, menjelma yakin seyakin-yakinnya akan masuk alam surga,
terjamin, sementara itu sang pendosa setiap harinya hingga akhir hayatnya
senantiasa “business as usual”—yakni
berbuat dan mencandu dosa. Terhadap dosa dan maksiat demikian kompromistis,
namun disaat bersamaan begitu intoleran terhadap kaum yang berbeda keyakinan
maupun etnik maupun suku bangsa. Kian hari moralitas umat manusia kian
tergerus, kian lama kian merosot, apalah yang kini membedakan kaum manusia
pecandu ideologi korup demikian dengan kaum barbarik yang tidak mengenal kata
beradab?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.