Laporan Visum yang Ideal, Tidak Mencantumkan Kriteria Berat-Ringannya Luka yang Diderita oleh Korban Pelapor
Disparitas Persepsi Kalangan Profesi Kedokteran Vs.
Profesi Hukum
Banyak sekali pertanyaan dalam praktik, perihal berat-ringannya luka yang diderita oleh korban. Mulai dari isu hukum bahwa apakah kriteria “luka berat”, hanya berlaku untuk luka fisik? Bagaimana jika luka yang bersifat psikis, semisal trauma, membuat korban tidak lagi dapat beraktiivitas normal secara wajar seperti sedia kala seperti bekerja ataupun belajar secara hampir permanen (dunia psikiater mengenalnya dengan istilah “trauma berat” sehingga diresepkan obat penenang), apakah dapat dikategorikan sebagai “luka berat”? Namun dalam kesempatan ini penulis akan mengajak para pembaca mendalami isu hukum perihal kriteria berat-ringannya luka yang diderita korban dari segi fisik alias lahiriah. Luka fisik pun, terbagi menjadi dua golongan, yakni luka fisik bagian luar, dan luka fisik bagian dalam tubuh yang sukar diobservasi ataupun direkam potret secara kasat-mata (semisal pendarahan otak ataupun patah tulang). Untuk melakukan observasi adanya luka dalam, proses visum oleh dokter yang memiliki kewenangan melakukan visum, menjadi penting sifatnya.
Permasalahan pun timbul, mengingat
adanya persepsi di kalangan aparatur penegak hukum, baik Penyidik Kepolisian
maupun Jaksa Penuntut Umum, laporan visum (visum
et repertum) wajib hukumnya untuk mencantumkan apakah luka yang diderita
oleh korban, di-kriteria-kan sebagai “luka berat” ataukah “luka ringan”. Secara
pribadi penulis menilai, praktik demikian tidaklah ideal, mengingat definisi “luka
berat” dan “luka ringan” dalam perspektif ilmu medik-kedokteran bisa jadi tidak
sejalan dengan perspektif ilmu hukum pidana. Disamping itu, tiada norma hukum yang
mewajibkan laporan visum mencantumkan
kriteria luka. Bahkan, ilmu medik-kedokteran mengenal istilah “luka sedang”
yang tidak dikenal dalam norma hukum pidana. Aparatur penegak hukum mendalilkan,
penting agar dokter mencantumkan kriteria luka dalam laporan visum, agar pasal
yang disangkakan maupun didakwakan dapat ditentukan dari laporan visum sang
dokter.
Pandangan demikian kurang dapat
dipertanggung-jawabkan, mengingat Jaksa Penuntut Umum berhak menyusun dakwaan
dengan rumusan “pasal berlapis”, semisal “penganiayaan berat” disubsidairkan dengan
pasal alternatif yakni “penganiayaan ringan”. Perihal siapakah yang pada
muaranya akan menentukan kriteria luka yang telah pernah diderita oleh korban,
merupakan domain Majelis Hakim selaku pemeriksa dan pemutus perkara. Baik dokter
visum, penyidik, maupun Jaksa Penuntut Umum, kurang ideal bila melakukan “fetakompli”
terhadap kewenangan maupun independensi hakim dalam menilai dan memutus sedalam
atau separah apakah tingkat luka yang diderita oleh korban. Bagaimana jika pada
saat Terdakwa disidangkan, kondisi luka korban berangsur-angsur memulih dengan
cepat? Itulah peran laporan visum, yakni mendeskripsikan luka korban saat luka
tersebut masih dapat diobservasi sesaat maupun setelah kejadian yang mengakibatkan
timbulnya luka, alias direkam dan dipotret kedalam bentuk deskripsi.
Fungsi atau peran dihadirkannya
korban pelapor di persidangan, bukanlah untuk menjadi objek pengamatan hakim dalam
menilai derajat tingkat keparahan luka sang korban, namun untuk diperdengarkan
keterangannya sebagai kualifikasi “saksi korban” disamping “saksi mata”,
meskipun boleh saja pihak Jaksa Penuntut Umum meminta keterangan sang “saksi
korban” bagaimana kondisi luka fisik yang diderita oleh sang korban setelah kejadian
yang menimpanya itu terjadi. Bila keluarga korban dengan segera melarikan sang korban
ke rumah sakit yang kompeten, besar kemungkinan luka cepat sembuh dan korban pulih
seperti sedia kala.
Seperti yang pernah terjadi
dalam sebuah persidangan pidana, korban penikaman dengan sebilah pisau pada
bagian perutnya, ternyata dapat pulih dengan cepat, atas dasar pertimbangan itulah
Majelis Kakim kemudian membuat penilaian bahwa Terdakwa hanya sekadar melakukan
“penganiayaan ringan”—meskipun teori ilmu hukum pidana perihal “kesengajaan
sebagai kemungkinan” telah menyatakan bahwa menikam dengan pisau dapat sangat mematikan.
Praktik demikian sangat tidak logis dan jauh dari “akal sehat” (common sense), apakah keluarga korban
harus membiarkan kondisi korban mengalami luka sefatal itu, semata agar
pelakunya didakwa dan divonis dengan kriteria “penganiayaan berat”? Namun praktik
persidangan pidana kita di Indonesia, masih menjadikan “common practice” sebagai supremasinya, mengesampingkan dan
mengalahkan “common sense”.
Jika metabolisme korban lemah,
maka perbuatan Terdakwa akan dikategorikan sebagai kejahatan “berat”. Sementara
itu bila (kebetulan) daya tahan fisik korban kuat, maka Terdakwa hanya akan
dapat divonis sebagai telah melakukan kejahatan “ringan”. Semestinya hukum
pidana membuat penilaian berdasarkan perbuatan Terdakwa yang melanggar hukum,
bukan menajdikan faktor daya tahan tubuh korban sebagai penentunya. Kembali kepada
isu utama kita, menyerahkan kewenangan untuk menentukan jenis kriteria luka
berat-ringannya yang diderita korban, kepada dokter pembuat laporan visum,
berpotensi menimbulkan blunder yang bisa jadi tidak diharapkan oleh kesemua
pihak—alias berpeluang melahirkan “salah paham” dan “salah kaprah”.
Pernah terjadi, seorang dokter
ketika diminta penyidik kepolisian untuk membuat visum, laporan visum yang
diterbitkan oleh sang dokter tidak mencantumkan kriteria berat-ringannya luka,
namun sekadar mendeskripsikan luka fisik yang diderita oleh sang korban. Atas arahan
pihak Kejaksaan, penyidik Kepolisian lalu meminta keterangan sang dokter visum
ke dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) untuk menyatakan apakah “berat” ataukah
“ringan” yang menjadi kriteria luka yang diderita oleh korban Pelapor. Yang unik
ialah, sang dokter menyatakan bahwa luka yang diderita oleh korban ialah berkategori
“luka sedang”. Jika keterangan perihal “luka sedang” oleh sang dokter visum,
baik dalam laporan visum maupun dalam keterangannya dalam BAP, dihadapkan ke
persidangan perkara pidana terhadap Terdakwa, maka akan timbul kerancuan,
mengingat norma hukum pidana tidak mengenal kriteria “luka sedang”.
Seperti yang telah penulis
uraikan di atas, laporan visum yang tidak membuat kesimpulan perihal kriteria
berat-ringannya luka yang diderita oleh korban, namun sebatas mendeskripsikan kedalaman
luka, sefatal apakah, maupun sejauh apa dampak derita yang diakibatkan oleh
luka yang dialami oleh korban, sudah cukup ideal dan memadai. Selebihnya,
menjadi domain atau kewenangan Majelis Hakim pemeriksa dan pemutus perkara
untuk menentukan, berdasarkan despripsi luka dalam laporan visum, dalam rangka
menutup potensi “salah kaprah” ataupun “gap” / kesenjangan persepsi antara
dunia medik-kedokteran dan profesi aparatur penegak hukum. Contoh konkretnya
ialah seperti ilustrasi di atas, telah ternyata dunia medik-kedokteran mengenal
istilah “luka sedang”, sehingga dapat kita tarik kesimpulan bahwa adanya
ketidak-sinkronan definisi antara dunia bidang disiplin ilmu tersebut.
Dalam ilmu komunikasi, dikenal
teknik “menyamakan persepsi”, agar tidak berpotensi menimbulkan “gagal paham”
ataupun “salah kaprah” yang bisa fatal akibatnya. Istilah “mengamankan” dalam
dunia kepolisian dan militer, jelas berbeda dengan pemaknaan dalam dunia
kalangan medik. Bahkan, kalangan profesi hukum maupun aparatur penegak hukum perihal
persepsi “luka berat” pun seringkali meleset dari apa yang telah diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sebagai contoh, menurut Anda, bila akibat
perbuatan Terdakwa, salah satu bola mata korban menjadi buta total secara
permanen, maka apakah akan Anda kategorikan sebagai “luka berat”, ataukah
sebatas “luka ringan”? Anda akan terkejut mendapati jawabannya berikut ini, dan
menemukan asumsi Anda meleset sepenuhnya. Pernah terjadi dalam praktik
persidangan, Jaksa Penuntut Umum mendakwa dengan pasal “luka berat”, karena
korban mengalami luka berupa buta permanen pada salah satu bola matanya.
Namun, hakim kemudian
menyatakan tidak sependapat dengan dakwaan pihak Penuntut Umum, dengan alasan
bahwa yang dimaksud dengan “luka berat” menurut KUHP ialah, menjadi tidak
berfungsinya salah satu PANCA INDERA—bukan salah satu BOLA MATA—sehingga
dimaknai oleh pihak Majelis Hakim dalam perkara pidana tersebut, korban masih
dapat melihat dengan salah satu bola mata lainnya yang masih berfungsi normal,
karenanya tidak dapat dikategorikan sebagai mengalami “luka berat”, alias hanya
sekadar dikategorikan sebagai menderita “luka ringan”. Dengan demikian,
pemidanaan selalu merugikan alias tidak pernah menguntungkan posisi korban,
dimana diri sang korban menderita buta permanen pada salah satu bola matanya,
sementara itu pihak Terdakwa hanya dapat dihukum pidana dengan kriteria “luka
ringan”, alias diputus bukan dengan ancaman hukuman sebagaimana diatur dalam
pasal “pidana dengan pemberatan”, namun sebatas ancaman hukuman maksimum
sebagaimana dalam pasal “pidana tanpa pemberatan”.
Pada titik itulah, terjadi antiklimaks,
pihak Terdakwa ketika selesai menjalani masa hukuman penjara selama beberapa
tahun lamanya, bebas menghirup udara segar, sementara itu korban masih akan
mendapati nasib hidupnya mengalami kebutaan permanen pada salah satu bola
matanya. Itu bukanlah solusi, juga bukan “kemenangan”, namun selalu menjadi “kekalahan”
dan “kerugian” bagi pihak korban pelapor. Demikianlah absurd-nya hukum pidana
kita di Indonesia, sangat tidak logis, sehingga tidaklah mungkin dunia
medik-kedokteran memiliki persepsi yang absurd sebagaimana persepsi dalam dunia
ilmu hukum pidana. Pastilah definisi dunia medik tidak sejalan dengan definisi dalam
dunia ilmu hukum pidana. Bila terdapat di antara para pembaca yang tidak
percaya, silahkan membuka langsung KUHP Anda, rujuk pada pasal yang mengatur
perihal definisi “luka berat”, maka Anda akan mendapati frasa “PANCA INDERA”—alias
indera penglihatan—bukan “BOLA MATA”. Penulis bahkan ragu, apakah kalangan
dokter medik paham perihal definisi “luka berat” sebagaimana diatur dalam KUHP.
Berangkat dari latar belakang itulah,
penulis berpendirian bahwa kalangan profesi kedokteran tidak perlu dicemarkan
oleh “ke-insane-an” kalangan profesi
hukum, terutama hukum pidana, dengan tidak memasuki zona kritera “luka berat”
ataukah “luka ringan”. Dengan tidak dikenalnya saja dengan “luka sedang”,
sejatinya norma hukum pidana telah memaksakan keadaan (dengan segala
keterbatasan serta ke-kaku-annya), yang pada gilirannya berpotensi merugikan
warga selaku Korban Pelapor. Ketidakadilan bahkan telah diciptakan oleh negara
dari sejak awal dan seolah dilestarikan, ketika korban pelapor yang justru harus
membayar dari kantung sakut sendiri biaya visum yang tidak murah—itu pun pihak
penyidik kepolisian memonopolistik rumah sakit tertentu yang diberikan surat pengantar
bagi korban pelapor, yang disinyalir adanya unsur kolusi antara rumah sakit dan
pihak penyidik. Bila Anda berharap mendapatkan solusi dari hukum pidana di Indonesia,
itu adalah delusi. Terkadang hukum pidana menjadi kontra-solusi bagi
kepentingan korban. Justru karena penulis berprofesi dibidang hukum di Indonesia,
karenanya tahu betul apa yang penulis bicarakan dan ungkap di atas.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.