Ingatlah Baik-Baik untuk menjadi Konsumen (yang) Cerdas : AJB Bukanlah Alas Hak juga Bukanlah Tanda Bukti Kepemilikan, hanya Sertifikat BPN yang merupakan Tanda Bukti Kepemilikan Hak Atas Tanah yang SAH
Notaris PPAT Membuat & Menerbitkan AJB, sekalipun
Tanpa Adanya Bukti Kepemilikan Sertifikat BPN maupun Girik, merupakan Indikasi
Ciri-Ciri MAFIA TANAH
AJB Hanya Boleh Dibuat Notaris PPAT, bila Telah Ada /
Eksis Sertifikat Hak Atas Tanah atas Unit Properti Dimaksud. Diluar Itu, ILEGAL
Mafioso, gengster, ataupun triad, merupakan kriminil ber-jas dan ber-dasi, sementara “kelas teri”-nya ialah preman pasar berbaju dekil. Sama halnya, “mafia tanah” pun terbagi menjadi dua kelompok pelaku, yakni “mafia tanah” yang canggih dan memiliki sindikat luas, serta “mafia tanah” berwujud ataupun bernama Notaris-PPAT yang kantornya banyak bertebaran hingga di sudut-sudut perumahan warga. Korban dari “mafia tanah” yang berwujud kalangan profesi Notaris-PPAT, sudah sangat masif dan sudah sejak lama, setidaknya bukan satu atau dua kali penulis berpotensi menjadi korban dari modus penipuan “mafia tanah” yang memanfaatkan produk hukum terbitan sang Notaris-PPAT. Ulasan ini penulis susun, khususnya memberikan pemahaman bagi masyarakat luas agar tidak terjebak oleh modus para “mafia tanah” demikian.
Pada prinsipnya, jual-beli atas
tanah yang belum memiliki legalitas kepemilikan per setiap kapling / petak
tanah yang akan dibangun unit-unit rumah / properti, tidak dapat dilakukan AJB
(Akta Jual-Beli)—paling jauh bentuknya ialah PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual
Beli). Adapun modus yang selama ini dilakukan oleh banyak kalangan developer
perumahan, terutama developer perorangan, ialah memasarkan produk properti yang
telah dan baru dibangun, akan tetapi tidak mampu dan tidak bersedia
memperlihatkan sertifikat hak atas tanah unit properti dimaksud, dengan alasan
klise : “Sertifikatnya belum pecah di BPN”.
Menunggu dan terus menunggu, sekalipun para konsumennya telah membayar lunas
bertahun-tahun lampau, sertifikatnya belum kunjung pecah juga. Bisa jadi,
bahkan “sertifikat induk” pun sejatinya tidaklah benar-benar eksis, sehingga
konsekuensi logisnya ialah tiada sertifikat apapun yang dapat dipecah dan
diserahkan kepada pihak konsumen produk properti.
Dengan kata lain, alibi
“Sertifikatnya belum pecah di BPN”, merupakan kedok atau alibi belaka, dengan
maksud mengecoh dan menggiring calon konsumen agar masuk dalam perangkap, yakni
perangkap janji-janji dan iming-iming “sertifikat akan dipecah saat pembeli
telah melakukan pembayaran”. Logika sederhananya, agar masyarakat tidak
terkecoh dan tidak masuk dalam perangkap pihak pengembang perumahan yang tidak
bertanggung-jawab demikian ialah, jika memang semudah itu memecahkan
sertifikat hak atas tanah di Kantor Pertanahan, maka mengapa tidak terlebih
dahulu dipecah per kapling sebelum unit properti dibangun? Logika awam
sudah mampu menjelaskan, untuk membangun unit properti dibutuhkan waktu
berbulan-bulan, jika proses pemecahan sertifikat berlangsung secara paralel
dengan pembangunan rumah, maka mengapa sekalipun unit properti telah jadi terbangun
dan dipasarkan, sertifikat belum kunjung dalam kondisi telah dipecah per
kapling?
Tantang balik pihak penjual,
sampaikan bahwa jika memang semudah itu memecahkan sertifikat tanah, maka
silahkan dipecah dahulu, barulah setelah itu menawarkannya kepada calon
konsumen. Kasus-kasus dimana pihak pengembang properti yang ingkar janji atau
gagal menyerah-terimakan sertifikat hak atas tanah atas unit properti yang
telah dibayar lunas oleh konsumen, terjadi masif dan meluas pada setiap
kabupaten maupun kota di Indonesia, selama bertahun-tahun dan puluhan tahun
lamanya, dimana negara tidak pernah benar-benar hadir untuk melindungi
masyarakat dari praktik-praktik tidak sehat yang sangat merugikan konsumen
produk properti—sekalipun bisa jadi konsumen telah menabung selama puluhan
tahun ia bekerja mencari nafkah, namun bermuara pada pembelian properti tanpa
pernah mendapatkan kepastian perihal sertifikat tanda bukti kepemilikan tanah.
Praktik demikian tidak boleh
lagi dibiarkan seolah dilestarikan dan dipelihara oleh negara, sekalipun negara
memiliki fungsi mengatur dan mengawasi setiap sendi kehidupan rakyat, terutama
mengingat rumah / tempat tinggal (papan) merupakan kebutuhan pokok disamping
sandang dan pangan. Itu baru satu persoalan, sebagai cerminan bahwa adanya
“sertifikat induk” sekalipun tidak menjamin bahwa konsumen / pembeli unit
properti akan mendapatkan haknya berupa sertifikat hak atas tanah. Maka
pertanyaannya ialah, bagaimana terhadap properti yang sama sekali tidak
memiliki legalitas tanda bukti kepemilikan—alias tanpa bukti berupa SHM, SHGB,
maupun setidaknya berupa girik (tanah hukum adat yang teregistrasi pada masing-masing
kantor kelurahan ataupun kepala desa)?
Disitulah tepatnya ruang
bermain para “mafia tanah” yang berkomplot dengan kalangan Notaris-PPAT yang
tidak etis berprofesi, seolah-olah belum cukup makmur dari memonopoli pembuatan
akta peralihan hak atas tanah berupa SHM, SHGB, SHGU, maupun Girik, yang besar
tarif jasanya ialah dengan angka “persenan” dari nilai transaksi, ataupun
pendapatan dari monopoli jasa pembuatan akta pendirian dan perubahan Anggaran
Dasar perseroan, namun masih juga dengan penuh keserakahan (disamping tidak etis),
berani membuatkan AJB terhadap objek tanah yang sama sekali tidak memiliki
legalitas bukti kepemilikan. Ini sangat berbahaya, dan mengandung resiko “moral hazard” dibaliknya. Mengapa? Untuk
tujuan itulah artikel ini penulis susun, yakni untuk memetakan bahaya laten
dibalik praktik “mafia tanah” berjubah Notaris-PPAT demikian, yang mana marak
serta meluas sifatnya, di masing-masing provinsi di Tanah Air.
Pertama-tama kita perlu
terlebih dahulu sepakat dan menyatukan persepsi, bahwa AJB hanya dapat dibuat
dan diterbitkan Notaris-PPAT, ketika legalitas kepemilikannya adalah telah
eksis adanya, baik itu berupa SHM, SHGB, SHGU, maupun Girik, serta bersifat “on hand” di tangan pihak calon penjual
(dalam artian tidak digadaikan ataupun diagunkan, terlebih praktik nominee). Artinya, dengan kata lain, apapun
alasannya, kalangan profesi Notaris-PPAT dilarang menerbitkan AJB ketika
sertifikat hak atas tanah belum pecah per unit kapling maupun per unit rumah
susun (rusun). Contoh, ketika sebuah rumah susun (apartemen) belumlah
terbit Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Unit Rumah Susun (SHMRS) per
masing-masing unit apartemen, maka jual-beli hanya sebatas bersifat PPJB, bukan
AJB. Puluhan tahun sekalipun setelah transaksi jual-beli dan pembayaran lunas,
namun SHMRS belum juga kunjung terbit per masing-masing unit, maka selama itu
pula AJB hanya sekadar “diawang-awang”—dan itulah yang banyak terjadi dalam
praktik, aparatemen telah dibangun selama belasan tahun, namun SHMRS belum
kunjung diterima pembeli unit rusun.
Contoh ilustrasi di atas, bila
konteksnya ialah Notaris-PPAT yang taat asas serta mematuhi ketentuan hukum
yang berlaku. Akan tetapi ketika sang Notaris-PPAT memasuki ranah “ruang hampa
hukum”, semisal transaksi jual-beli tanah / properti tanpa bukti kepemilikan
apapun, baik itu SHM ataupun Girik, dengan lancang dan tanpa sedikitpun merasa
sungkan, membuatkan AJB atas transaksi jual-beli tersebut, transaksi mana bisa
jadi benar adanya, namun tidak jarang juga fiktif adanya. Apa yang kemudian
terjadi, ialah disalah-gunakannya AJB terbitan kalangan Notaris-PPAT, untuk
diperjual-belikan dan ditawarkan kepada khalayak, lengkap dengan diserta
iming-iming delusif penuh jebakan yang mengecoh, lewat kalimat dengan kutipan
berikut : “Nanti AJB-nya bisa
ditingkatkan jadi SHM, kami bantu tingkatkan AJB-nya menjadi SHM”—konteksnya
ialah tanah / rumah tersebut sama sekali TANPA bukti kepemilikan berupa SHM
ataupun setidaknya Girik.
Ingatlah baik, wahai masyarakat
calon pembeli produk properti di Indonesia, jadilah konsumen yang cerdas, agar
“tidak keluar dari mulut buaya, namun masuk ke dalam mulut harimau”, terlebih
ini perihal dana yang Anda kumpulkan lewat bekerja membanting-tulang selama
puluhan tahun lamanya, lalu “menguap” begitu saja. Pihak penjual ataupun agen
properti yang menawarkannya kepada pembeli, dapat dipastikan akan “hit and run” ketika gimmick “AJB-nya nanti bisa ditingkatkan menjadi SHM” ternyata
hanya “pepesan kosong” yang mengecoh serta dilandasi niat jahat untuk me-manipulasi
penuh tipu-daya, sehingga hanya merugikan pihak pembeli.
Salah satu contoh konkretnya
ialah pemilik nomor seluler 08158131316 dari seorang agen properti PENIPU
(iblis berbulu malaikat, penipu namun bersikap bak seorang malaikat sebagai
bagian dari intrik mengecoh dan menipu calon konsumen) yang mengaku bernama Supriyadi
dari “idrumah .com”, pada muaranya mencoba menjerumuskan calon pembeli
rumah dengan iming-iming bombastis “too
good to be true” dengan kutipan ucapan berikut : “AJB (saja bukti legalitas rumah yang saya tawarkan ini). AJB-nya nanti
bisa ditingkatkan menjadi SHM”. Masyarakat awam yang tidak paham hukum,
dapat dipastikan akan terkecoh, merasa tergiur, sebelum kemudian memercayai
ucapan tidak bertanggung-jawab sang penipu dan jatuh ke dalam perangkap—tergila-gila
mencoba menipu dan menjerumuskan sesama anak bangsa yang selama puluhan tahun
bekerja banting-tulang menabung untuk membeli rumah, demi imbalan / komisi yang
membutakan mata-nurani sang agen properti penipu. Jangan pula kita bicara
bangsa dari negara lain seperti Palestina, bangsa kita di Indonesia kerap
merugikan, melukai, serta menyakiti (memangsa) sesama anak bangsa sekalipun
satu bangsa, satu bahasa, satu etnik, bahkan satu agama.
Yang sepatutnya menjadi
pertanyaan utama kita bukanlah mempertanyakan tingkat moralitas sang penjual
ataupun pihak agen properti yang menawarkan iming-iming delusif penuh tipu-daya
demikian, namun mengapa pihak Notaris-PPAT berani dan dengan tega-nya
membuat serta menerbitkan AJB atas suatu objek tanah / rumah yang sama sekali
tidak memiliki alat bukti kepemilikan apapun, sehingga kemudian Akta Jual-Beli
dari tersebut disalah-gunakan oleh pihak-pihak tidak bertanggung-jawab, untuk
menjerumuskan masyarakat, dalam hal ini calon konsumen awam hukum, seolah-olah
jika membeli rumah yang ada AJB dari Notaris-PPAT, maka aman sifatnya karena
ada stempel basah dengan logo Burung Garuda, dan bisa jadi benar adanya seperti
penuturan sang agen properti ketika menawarkan, bahwa “AJB-nya nanti bisa
ditingkatkan menjadi SHM”.
Dengan demikian, “mafia tanah”
bukanlah sebuah sindikat yang elit dan tidak kasat mata, tinggi jauh
diawang-awang bayangan kita. “Mafia tanah”, sejatinya eksis di depan mata kita,
bertebaran memasang jaring, berkeliaran mencari mangsa, dengan korban-korban
yang terus berjatuhan, namun tetap saja kalangan profesi Notaris-PPAT
memakmurkan (memperkaya) dirinya sendiri sementara itu tidak memiliki
sedikitpun tanggung-jawab moril terhadap akta yang dibuat oleh sang “persenan
lewat monopoli” tersebut. itulah sebabnya, penulis masih jauh “alergik”
terhadap kalangan Notaris-PPAT ketimbang kalangan pengacara. Kalangan
Notaris-PPAT masih jauh tidak bertanggung-jawab dan jauh lebih “serakah” bila
dibandingkan dengan kalangan pengacara yang sudah menjadi rahasia umum sebagai
“kalangan profesi yang tidak dapat dipercaya ucapannya”. Bagi kalangan
Notaris-PPAT yang berkeberatan atas pernyataan penulis di atas, penulis membuka
diri seluas-luasnya undangan untuk berdebat secara terbuka, agar masyarakat mulai
terbuka matanya dan menaruh waspada terhadap kalangan Notaris-PPAT.
Faktanya, kemana pun penulis berkunjung,
banyak dijumpai rumah-rumah yang tidak memiliki bukti kepemilikan apapun, namun
gaibnya memiliki AJB Notaris. Artinya, penulis membuat hipotesis sekaligus
mulai menyimpulkan dari realita empirik di lapangan, AJB tersebut bukanlah
produk yang dibuat “oknum Notaris”, namun memang oleh kalangan profesi “Notaris
BERJEMAAH”. Mereka adalah “mafia tanah” itu sendiri, dimana jumlah kuantitas
korbannya sudah sangat banyak, mengingat produk akta yang mereka terbitkan,
berupa AJB (tanpa SHM ataupun Girik), jelas serta pastinya pada gilirannya berpotensi
akan disalah-gunakan untuk mengecoh serta memperdaya calon konsumen lainnya
dikemudian hari. Kasus-kasus demikian, pernah penulis alami sendiri sebagai
“calon korban”, untuk kesekian kalinya—dimana dapat penulis pastikan, siapapun
akan terkecoh bila memakan dan termakan ucapan pihak agen yang memasarkan
“properti AJB” dimaksud. Ingin atau bermaksud hati hendak “untung”, karena
harga yang ditawarkan tergolong murah, jauh dibawah harga pasar, namun berakhir
dalam kondisi “buntung”.
Sekali lagi, bila Anda yang
bisa jadi merupakan anggota dari lingkaran profesi Notaris-PPAT, objek properti
yang belum pecah setifikat saja tidak boleh AJB, hanya diperbolehkan PPJB,
namun mengapa banyak kalangan profesi Notaris-PPAT berani membuat AJB meski tanpa
alas hak apapun, semisal tanpa girik maupun tanpa adanya sertifikat dari BPN?
Kejahatan terjadi, bukan hanya karena ada niat jahat, namun juga karena adanya
kesempatan yang justru dibuka ruangnya dan dilakoni oleh kalangan profesi
Notaris-PPAT, secara tidak bertanggung-jawab—seolah-olah mereka tidak bisa
hidup mencari nafkah, tanpa membuat AJB “tanah abal-abal” demikian, perbuatan
hina-rendah serta tercela di mata penulis, sekalipun busana dan kantor kalangan
mereka tergolong “mentereng”.
Sebagai penutup serta sebagai
obat penangkalnya, berikut himbauan dari penulis, agar tiada lagi masyarakat
luas yang menjadi korban potensial : AJB bukanlah alas hak juga bukan bukti
kepemilikan hak atas tanah, sehingga adalah tidak logis serta absurd ketika
Notaris-PPAT yang sama maupun Notaris-PPAT lainnya hendak membuatkan surat “AJB
terhadap AJB”. Yang ada hanya “AJB terhadap SHM”, “AJB terhadap SHGU”, “AJB
terhadap SHGB”, maupun “AJB terhadap Girik”—diluar itu, dapat dipastikan
merupakan modus penipuan yang sesat-mengecoh serta menjerumuskan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.