Hanya PENJAHAT / PENDOSA yang Butuh PENGHAPUSAN DOSA (Abolition of Sins)—AGAMA BAGI PENJAHAT / PENDOSA, AGAMA DOSA
Kabar
Gembira bagi PENJAHAT / PENDOSA, merupakan Kabar Buruk / Duka bagi KORBAN.
Terhadap
Dosa dan Maksiat, Begitu Kompromistik. Namun Terhadap Kaum yang Berbeda
Keyakinan, Begitu Intoleran—Tuhanis, Humanis, Premanis, ataukah Hewanis?
Dosa Warisan? Harta Warisannya di-Korup Siapa?!
Seorang Ksatria Tidak Cuci Tangan ataupun Lempar
Tanggung Jawab, namun Memilih untuk BERTANGGUNG-JAWAB—AGAMA KSATRIA
Orang Suci Penuh Mawas Diri dan Kendali Diri,
Terlatih Ketat dalam SELF-CONTROL—AGAMA
SUCI
Bila disebutkan bahwa semua manusia dilahirkan untuk menjadi pendosa (born to be a SINNER), maka dogma demikian sejatinya sudah membuktikan bahwa agama bersangkutan tidak layak menyandang gelar sebagai “Agama SUCI”, melainkan “Agama DOSA” yang bersumber dari “Kitab DOSA”. Jika kita asumsikan dogma demikian adalah benar adanya, maka : 1.) bukan salah bunda mengandung, sifat nakal dan jahat manusia adalah ciptaan siapa? 2.) untuk apa juga menjadi sekadar “maling sandal” ataupun “maling ayam”, jadilah KORUPTOR kelas kakap; jangan menjadi pendosa yang “tanggung-tanggung”; 3.) apakah “are we SAFE”, hidup berdampingan dengan para pendosa yang merasa wajar dan normal saja hidup sebagai seseorang pendosa yang terjangkiti “virus dosa”, virus pikiran yang membuat yang bersangkutan merasa bebas berbuat dosa terhadap orang lain (menyakiti, melukai, maupun merugikan) seolah tanpa bahaya / konsekuensi dibaliknya? 4.) umur umat manusia sudah setua usia Planet Bumi ini, dimana jumlah nenek-moyang kita tidak lagi terhitung jumlahnya, apakah artinya seluruh nenek-moyang kita adalah pendosa dan masuk neraka? (sungguh Anda generasi yang “durhaka”, mengutuk nenek-moyang Anda sendiri); 5.) kekotoran batin dilestarikan dan dipelihara, lantas dimana letak “suci”-nya selain sekadar judul sampul “kitab / agama suci”?
Bagaimana tidak, “standar
moral” umat manusia kian terdegradasi seiring bertambahnya kaum “agamais” di
dunia ini pada umumnya maupun di Indonesia pada khususnya, jika yang dipeluk
alih-alih “Agama SUCI” maupun “Agama KSATRIA”, justru mayoritasnya
menghegemonikan diri dalam lingkaran “Agama DOSA”—yang memiliki jargon khas : buat
dosa, siapa takut?! Setelah melukai, menyakiti, maupun merugikan pihak
lain, korban gagal meminta pertanggung-jawaban ataupun si pelaku tidak may bertanggung-jawab,
lantas dimaknai sebagai “keuntungan” (seolah-olah dapat mencurangi kehidupan maupun
Hukum Karma), belum lagi berdelusi akan masuk alam surgawi setelah kematian
para pendosa tersebut, berkat jaminan (iming-iming) ideologi dogmatis
“penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”.
Menjadi kalangan korban (tidak
terkecuali menjadi seorang suciwan maupun ksatriawan), karenanya, adalah kaum
yang “merugi”. Sementara itu menjadi penjabat ataupun pendosa, adalah kaum yang
“beruntung”, semata karena mengoleksi segudang dosa, menimbun diri dengan
segunung dosa, berkubang dalam dosa, dan bersimbah dosa, masih juga yakin
seyakin-yakinnya akan masuk alam surgawi setelah ajal menjemput mereka—karena
itulah, mereka menjadi tidak peka serta meremehkan alias memandang “sebelah
mata” perbuatan-perbuatan jahat yang buruk nan tercela seperti menyakiti,
melukai, ataupun merugikan orang lain; dimana bahkan negeri “agamis” bernama
Indonesia ini terdapat sebuah budaya klise bernama : menyelesaikan setiap
masalah dengan kekerasan fisik ataupun berbohong.
Dapat kita simak dengan
mata-telinga-kepala kita sendiri, setiap harinya pemuka agama maupun tempat
ibadah mengumandangkan apa yang sejatinya memalukan serta tabu, yakni
iming-iming “penghapusan dosa”, seolah tidak kenal malu ataupun takut terhadap
dosa-dosa, terutama terhadap kalangan korban-korban mereka—sementara itu aurat
tubuh ditutup rapat-rapat dari ujung rambut sampai ujung kaki, namun mengumbar
“kekotoran batin” sejorok itu, sama sekali tanpa rasa malu, bahkan memakai
speaker pengeras suara eksternal tempat ibadah mereka—setiap harinya pula umat-umat
“Agama DOSA” berdoa memohon “penghapusan dosa”, dimana setiap tahunnya pada
hari raya keagamaan mereka diadakan pesta-pora obral-umbar iming-iming
(lagi-lagi) “penghapusan dosa” tahunan; dimana pula ketika sang dosawan
meninggal dunia (menjadi almarhum), sanak keluarga sang almarhum justru
mengumandangkan doa-doa permohonan “penghapusan dosa” bagi almarhum.
Praktis, sepanjang hidup para
“agamais” yang merasa diri mereka sebagai paling superior tersebut, tidak
pernah sekalipun mereka memikirkan nasib ataupun memberi keadilan yang selama
ini menjadi hak-hak korban mereka. Bahkan Tuhan pun mereka nista dengan
diilustrasikan merampas hak-hak keadilan kalangan korban, dengan menghapus
dosa-dosa para “pendosa penjilat penuh dosa” demikian. Yang dipandang sebagai
menyenangkan di mata banyak umat awam, adalah dipandang sebagai “dukkha / derita” di mata seorang Buddha.
Sama halnya, yang diyakini sebagai “keberuntungan” di mata seorang
“dunguwan” bernama “dosawan”, adalah dipandang sebagai menjijikkan di mata seorang
suciwan maupun ksatriawan. Memohon “penghapusan dosa”, jelas-jelas lebih
“aurat” daripada kelamin manusia dewasa sekalipun, akan tetapi justru diumbar
tanpa rasa malu sedikitpun, bahkan dipromosikan dan dikampanyekan setiap
harinya lewat pengeras suara. Terkadang penulis kerap merenungkan fenomena
“tidak waras” demikian, mereka itu, para “agamais” kita, adalah manusia ataukah
hewan, mengapa akal mereka justru menyerupai “akal sakit milik orang sakit”?
Percuma lapor polisi (jika Anda
mendapati diri Anda menjadi korban)? Lebih percuma mengadu kepada Tuhan,
mengingat Tuhan digambarkan lebih suka umbar dan obral “penghapusan dosa” bagi
kalangan penjahat / pendosa / penyamun, alih-alih memberikan keadilan kepada
kalangan korban dari para pendosa tersebut, seolah korban tidak punya hak untuk
menuntut keadilan, dan seolah-olah Tuhan lebih menganak-emaskan seorang pendosa
dan disaat bersamaan menganak-tirikan korban-korban dari sang pendosa. Para
pendosa yang merangkap sebagai “agamais” ini, terlampau pengecut untuk
bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruk mereka yang telah menyakiti,
melukai, maupun merugikan pihak-pihak lainnya; dan disaat bersamaan terlampau
pemalas untuk menanam benih-benih Karma Baik untuk mereka petik-panen sendiri
(namun lebih sibuk menyembah, memuji, serta menjilat).
Sang Buddha menyebutkan, orang jahat seperti orang buta,
tidak mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk, mana yang memalukan dan
mana yang mulia, mana yang patut dicela dan mana yang patut didukung, maupun
membedakan mana yang disebut sebagai “dosa” maupun yang “suci”. Para
dosawan-butawan tersebut tidak mampu memilah dan membedakan, antara:
1.) Agama SUCI.
Sebagaimana namanya, umat pemeluknya ialah seorang suciwan, yang mana
tidak butuh ideologi korup-kotor-tercela-ternoda bernama “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Mengingat para suciwan tidak butuh
ideologi ataupun iming-iming korup demikian, maka timbul distingsi pembeda
(perbandingan) antara si “suciwan” dan si “pendosa”. Para suciwan memuliakan
Tuhan, dengan cara menjadi manusia yang mulia.
Para suciwan disebut demikian, suci dan suciwan,
semata karena lebih memilih hidup dalam latihan diri yang ketat dalam praktik
kontrol diri dan mawas diri (self-control),
dimana mawas diri dan perhatian terhadap perilaku, pikiran, dan ucapan sendiri
adalah objek perhatian utamanya, sehingga tiada seorang lainnya pun yang akan
disakiti, dirugikan, terlebih dilukai oleh sang suciwan. Mereka memurnikan
serta memuliakan dirinya dengan usaha diri mereka sendiri, tanpa noda, dan
tidak tersandera, tanpa cela, bebas sempurna, dan tercerahkan—yang dalam bahasa
Buddhistik, “break the chain of kamma”;
2.) Agama KSATRIA.
Sebagaimana namanya, umat pemeluknya ialah seorang ksatria, yang mana
memilih untuk bertanggung-jawab atas setiap perilaku maupun perbuatan buruknya
yang telah pernah ataupun masih dapat menyakiti, melukai, dan merugikan
pihak-pihak lainnya, baik secara disengaja maupun akibat kelalaiannya—dimana
korban-korbannya tidak perlu bersusah-payah menagih tanggung-jawab, bahkan sang
ksatria menyadari bahwa sekalipun ia bertanggung-jawab semisal dengan
ganti-rugi biaya berobat hingga korbannya sembuh, tetap saja sang korban masih
merugi waktu, merugi pikiran, merugi tenaga, belum lagi kenyataan fisiknya
tidak dapat pulih sempurna seperti sebelumnya. Singkat kata, para kaum ksatria
senantiasa “tahu diri”.
Ideologi bertanggung-jawab yang penuh
tanggung-jawab kalangan ksatria, dianggap sebagai ancaman maupun musuh terbesar
di mata kaum dosawan yang membuat para dosawan tersebut tampak sebagai “manusia
sampah” yang selama ini menjadi pecandu tetap iming-iming “pengampunan /
penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”—sementara kalangan ksatria justru
mempromosikan gerakan hidup bertanggung-jawab dan berke-jantan-an alih-alih
“cuci tangan” ataupun lari dari tanggung-jawab. Kalangan korban yang telah
dirugikan / terluka, tidak perlu sibuk menagih tanggung-jawab—terlebih
mengemis-ngemis tanggung-jawab—dari seseorang berjiwa ksatria. Karenanya,
seorang ksatria layak menyandang gelar sebagai seseorang yang “jantan”, alias
jentelmen, bukan “pengecut” yang lari dari tanggung-jawab maupun “cuci dosa” (sins laundring);
3.) Agama DOSA.
Sebagaimana namanya, umat pemeluknya disebut sebagai seorang pendosa, dimana
para dosawan menjadi umatnya, yang mana memilih untuk tetap berbuat dosa semata
agar dapat menjadi pecandu yang mencandu ideologi korup penuh kecurangan
bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” (abolition of sins)—masuk ke dalam
lingkaran komunitas “pendosa”, memakan dan termakan ideologi korup penuh
kecurangan, terjebak untuk selamanya, “point
of no return”.
Bagaikan raja yang lalim, yang senang ketika
dipuja-puji oleh hamba-hambanya, lalu memberikan hadiah, dan akan murka
sejadi-jadinya ketika tidak disembah-sujud sebelum kemudian memberikan hukuman,
maka para pendosa yang pandai menyanjung dan “menjilat” (pendosa penjilat penuh
dosa) akan dimasukkan ke alam surgawi—alam dimana telah sangat tercemari serta
ternodai oleh kekotoran batin para pendosa yang menjadi mayoritas penghuninya
jika tidak dapat disebut sebagai satu-satunya penghuni alam surgawi. Dengan
kata lain, secara tidak langsung, para dosawan mengilustrasikan sosok Tuhan
tidak ubahnya “raja yang lalim”.
Itulah penjelasannya, mengapa berbagai penjara di
Indonesia tidak pernah sepi dari para narapidana penghuninya, bahkan sepanjang
tahun selalu mengalami fenomena klise “overcapacity”
dan “overload” yang konon sepanjang
tahunnya hampir mendekati 200% kapasitas maksimum, sekalipun bangsa kita
dikenal “agamais” (kurang “agamais” apa, warga di negeri ini?), disamping fakta
aktual bahwasannya jauh lebih banyak aduan maupun laporan warga korban pelapor
yang diabaikan dan ditelantarkan oleh aparatur penegak hukum. Alam surgawi,
karenanya, menjadi menyerupai “dunia manusia jilid kedua”, dimana para pendosa
kembali beraksi tanpa “self-control”
(menyakiti, merugikan, maupun melukai) orang-orang maupun makhluk-makhluk
lainnya.
Terdapat sebuah artikel berisi
ulasan dogma yang “memalukan namun dipandang sebagai membanggakan” berjudul “Belajar
Dari Kedua Penjahat Yang Disalibkan Bersama Yesus” yang ditulis oleh P. Avensius
Rosis, CP. Seketika itu juga yang terbersit di benak penulis ialah : Belajar
dari penjahat? Itu ibarat “orang buta” hendak menuntun “orang-orang buta”
lainnya. Alih-alih belajar dan meneladani orang-orang suci maupun
orang-orang berjiwa ksatria, mereka para “agamais” tersebut, justru belajar dan
meniru serta menjadikan teladan seorang penyamun, penjahat, hewanis, premanis,
maupun para dosawan lainnya—dosa-dosanya menjadi semakin menjadi-jadi, karena terinspirasi
untuk melekat pada “kekotoran batin” yang bersarang kian tebal dalam diri—sebagaimana
ulasan dalam artikel tersebut dengan kutipan berikut:
Menurut Lukas dalam bab 23
tampak jelas bahwa salah satu dari penjahat yang disalibkan bersama Yesus
menantang-Nya. ‘Seorang dari penjahat yang digantung itu menghujat Dia, katanya
: “Bukankah Engkau adalah Kristus? Selamatkanlah diri-Mu dan kami!”
Tetapi yang seorang menegor
dia, katanya : “Tidakkah engkau takut, juga tidak kepada Allah, sedang engkau
menerima hukuman yang sama? Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita
menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak
berbuat sesuatu yang salah.” [NOTE : menurut litelatur, penjahat tersebut
merupakan seorang penyamun. Bagaimana mungkin, seorang penyamun tahu serta
membedakan mana orang yang baik dan mana orang yang bersalah?]
Lalu ia berkata: “Yesus,
ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja” (Lukas 23: 39-41).
Apa yang Yesus lakukan kemudian
adalah contoh yang indah dari pengertian, penerimaan, cinta dan belaskasihan
yang dibungkus dalam satu tindakan. Ini adalah gambaran kehidupan Yesus,
kekuatan dalam kesulitan. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya, hari ini juga
Engkau berada bersama Aku di surga” (Lukas: 23 :43). Kita dapat belajar
dari penjahat ini bahwa tidak ada kata terlambat untuk bertobat dan memohon
kepada Tuhan untuk menerima kita. Yesus membersihkan orang ini dari
dosa-dosanya, menerima dia dengan hati terbuka, dan memulihkannya tanpa syarat.
Dia menganugerahkan kepada orang berdosa itu karunia hidup kekal.
Siapapun mampu semudah berkata
bahwa kita telah bertobat. Namun perihal kemauan untuk bertanggung-jawab,
nihil. Diklaim penuh “cinta kasih”, namun justru mencintai dan PRO terhadap
penjahat, dan disaat bersamaan membuat “gigit-jari” korban-korban dari sang
penyamun yang dimasukkan ke surga oleh sang “pengobral surga”—bukankah itu
artinya alam surgawi menyerupai “dunia manusia jilid kedua”, dimana si dosawan
kembali berbuat dosa terhadap para penghuni alam surgawi lainnya, dimana bahkan
bisa jadi sang penjahat untuk kali-keduanya kembali merugikan, menyakiti,
maupun melukai korban-korban yang sama—bahkan memiliki “standar ganda”, yakni
penuh kebengisan dan kekejaman yang lebih otoriter daripada seorang Adolf
Hitler, mengingat umat manusia yang tidak “menggadaikan jiwanya” akan dilempar
ke neraka dan tersiksa abadi di alam yang terbakar. Sama sekali tidak mendidik
serta tidak mengusung budaya / semangat egaliter / meritokrasi selayaknya Hukum
Karma, dimana si baik masuk surga memetik buah manis kebaikan hatinya, dan si
jahat memetik buah pahit yang mereka tanam sendiri dengan masuk neraka.
Menjadi relevan ketika kita merujuk
langsung apa yang menjadi khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”,
diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom
Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press,
Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, perihal “keyakinan yang rasional Vs.
keyakinan yang irasional” dengan kutipan:
65 (5) Kesaputtiya [Note : Khotbah ini dikenal
dengan sebutan “Kālāma Sutta.”]
Pada suatu ketika Sang Bhagavā
sedang mengembara di antara penduduk Kosala bersama dengan sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu ketika Beliau tiba di sebuah
pemukiman para penduduk Kālāma bernama Kesaputta. Pada saat itu, para penduduk
Kālāma di Kesaputta telah mendengar: “Dikatakan bahwa Petapa Gotama, putra
Sakya yang meninggalkan keduniawian dari sebuah keluarga Sakya, telah tiba di
Kesaputta. Sekarang berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah beredar
sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan
sempurna … [seperti pada 3:63] … [dan] mengungkapkan kehidupan spiritual yang
lengkap dan murni sempurna.’ Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui
para Arahant demikian.”
Kemudian para penduduk Kālāma
di Kesaputta mendatangi Sang Bhagavā. Beberapa orang bersujud kepada Sang
Bhagavā dan duduk di satu sisi … [seperti pada 3:63] … beberapa hanya berdiam
diri dan duduk di satu sisi. Sambil duduk di satu sisi, para penduduk Kālāma
itu berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, ada beberapa petapa dan brahmana yang
datang ke Kesaputta. Mereka menjelaskan dan membabarkan doktrin-doktrin mereka sendiri,
tetapi meremehkan, menjelek-jelekkan, mencemooh, dan mencela doktrin yang lain.
Tetapi kemudian beberapa petapa dan brahmana lainnya datang ke Kesaputta, [189]
dan mereka juga menjelaskan dan membabarkan doktrin-doktrin mereka sendiri,
tetapi meremehkan, menjelek-jelekkan, mencemooh, dan mencela doktrin yang lain.
Kami menjadi bingung dan ragu-ragu, Bhante sehubungan dengan petapa mana
yang mengatakan yang sebenarnya dan yang mana yang berbohong.”
“Adalah selayaknya bagi kalian
untuk menjadi bingung, O penduduk Kālāma, adalah selayaknya bagi kalian untuk
menjadi ragu-ragu. Keragu-raguan telah muncul dalam diri kalian sehubungan
dengan suatu persoalan yang membingungkan. Marilah, O penduduk Kālāma, jangan
menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, kumpulan teks,
logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah merenungkan, pembabar
yang tampaknya cukup kompeten, atau karena kalian berpikir: ‘Petapa itu adalah
guru kami.’ Tetapi ketika, penduduk Kālāma, kalian mengetahui untuk diri kalian
sendiri: ‘Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela;
hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika diterima dan
dijalankan, akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan,’ maka kalian harus meninggalkannya.
[Kitab Komentar : Sepuluh
kriteria kebenaran yang tidak mencukupi ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga
kelompok:
(1) Yang pertama terdiri dari empat
kriteria pertama, semua dalil berdasarkan pada tradisi. Ini termasuk “tradisi
lisan” (anussava), yang biasanya
merujuk pada tradisi Veda; “silsilah” (paramparā)
menyiratkan penyampaian ajaran secara turun-temurun tanpa terputus; “kabar
angin” (atau “berita”; itikirā),
opini populer atau konsensus umum; dan “kumpulan teks” (piṭakasampadā), sekumpulan teks yang dianggap selalu benar. Pada masa Sang Buddha
hal-hal ini lebih disampaikan secara lisan daripada tulisan.
(2) Kelompok ke dua, juga
terdiri dari empat kriteria, yang merujuk pada empat jenis penalaran;
perbedaan-perbedaannya tidak perlu menahan kita di sini, tetapi karena Sang
Buddha sendiri sering menggunakan penalaran, maka penalaran di sini pasti semuanya
melibatkan penalaran dari alasan yang lebih bersifat dugaan daripada
pengamatan empiris.
(3) Kelompok ke tiga, terdiri dari
dua hal terakhir, merujuk pada dua jenis otoritas personal: yang pertama,
“tampak kompeten” (bhabbarūpatā),
adalah kharisma personal dari si pembabar (mungkin termasuk kualifikasi eksternalnya);
yang ke dua adalah otoritas si pembabar sebagai guru seseorang (Pāli garu identik dengan Sansekerta guru).]
(1) “Bagaimana menurut
kalian, para penduduk Kālāma? Ketika keserakahan muncul dalam diri seseorang,
apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”
[Kitab Komentar : Menurut Sang
Buddha, keserakahan, kebencian, dan delusi adalah tiga akar tidak bermanfaat (akusalamūlāni), yang mendasari segala perbuatan
tidak bermoral dan segala kondisi pikiran yang kotor. Karena tujuan dari ajaran-Nya
sendiri, nibbāna, adalah hancurnya
keserakahan, kebencian, dan delusi (SN 38:1, IV 251,16-20), maka Sang
Buddha secara halus menuntun para penduduk Kālāma untuk membenarkan ajaranNya
hanya dengan merefleksikan pengalaman mereka sendiri, tanpa perlu bagiNya untuk
memaksakan otoritasNya pada mereka.]
“Demi bahaya baginya, Bhante.”
“Para penduduk Kālāma, seseorang yang penuh keserakahan, dikendalikan
oleh keserakahan, pikirannya dikuasai oleh keserakahan, akan melakukan
pembunuhan, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan pelanggaran dengan
istri orang lain, dan mengucapkan kebohongan; dan ia menganjurkan orang lain
untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan bahaya dan penderitaan
baginya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
(2) “Bagaimana menurut
kalian, para penduduk Kālāma? Ketika kebencian muncul dalam diri seseorang,
apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”
“Demi bahaya baginya, Bhante.”
“Para penduduk Kālāma, seseorang yang penuh kebencian, dikendalikan
oleh kebencian, pikirannya dikuasai oleh kebencian, akan melakukan pembunuhan …
dan ia menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan
mengakibatkan bahaya dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
(3) “Bagaimana menurut
kalian, para penduduk Kālāma? Ketika delusi muncul dalam diri seseorang, apakah
hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”
“Demi bahaya baginya, Bhante.”
[190]
“Para penduduk Kālāma, seseorang yang penuh delusi, dikendalikan
oleh delusi, pikirannya dikuasai oleh delusi, akan melakukan pembunuhan … dan
ia menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan
mengakibatkan bahaya dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
“Bagaimana menurut kalian, para
penduduk Kālāma? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau tidak
bermanfaat?” – “Tidak bermanfaat, Bhante.” - “Tercela atau tidak
tercela?” – “Tercela, Bhante.” – “Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?”
– “Dicela oleh para bijaksana, Bhante.” – “Jika diterima dan dijalankan,
apakah hal-hal ini mengarah menuju bahaya dan penderitaan atau tidak, atau
bagaimanakah kalian menganggapnya?” – “Jika diterima dan dijalankan,
maka hal-hal ini akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan. Demikianlah
kami menganggapnya.”
“Demikianlah, para penduduk
Kālāma, ketika kami berkata: ‘Marilah, para penduduk Kālāma, jangan menuruti
tradisi lisan … Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri:
“Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela
oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan
mengarah menuju bahaya dan penderitaan,” maka kalian harus meninggalkannya,’
adalah karena alasan ini maka hal ini dikatakan.
“Marilah, para penduduk Kālāma.
Jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, kumpulan
teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah merenungkan,
pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau karena kalian berpikir: ‘Petapa
itu adalah guru kami.’ Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian
sendiri: ‘Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela;
hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan
dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,’ maka kalian harus
hidup sesuai dengannya.
(1) “Bagaimana menurut kalian,
para penduduk Kālāma? Ketika ketidak-serakahan muncul dalam diri seseorang,
apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”
“Demi kesejahteraan baginya,
Bhante.”
“Para penduduk Kālāma, seseorang yang tanpa keserakahan, tidak
dikendalikan oleh keserakahan, pikirannya tidak dikuasai oleh keserakahan,
tidak akan melakukan pembunuhan, tidak mengambil apa yang tidak diberikan,
tidak melakukan pelanggaran dengan istri orang lain, dan tidak mengucapkan
kebohongan; dan ia juga tidak akan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal
serupa. [191] Apakah itu akan mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan baginya
untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
(2) “Bagaimana menurut kalian,
para penduduk Kālāma? Ketika ketidak-bencian muncul dalam diri seseorang,
apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”
“Demi kesejahteraan baginya,
Bhante.”
“Para penduduk Kālāma,
seseorang yang tanpa kebencian, tidak dikendalikan oleh kebencian, pikirannya
tidak dikuasai oleh kebencian, tidak akan melakukan pembunuhan … dan ia juga
tidak akan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan
mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan baginya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
(3) “Bagaimana menurut kalian,
para penduduk Kālāma? Ketika ketidak-delusian muncul dalam diri seseorang,
apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”
“Demi kesejahteraan baginya,
Bhante.”
“Para penduduk Kālāma,
seseorang yang tidak terdelusi, tidak dikendalikan oleh delusi, pikirannya
tidak dikuasai oleh delusi, tidak akan melakukan pembunuhan … dan ia juga tidak
akan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan
mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan baginya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
“Bagaimana menurut kalian, para
penduduk Kālāma? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau tidak bermanfaat?” –
“Bermanfaat, Bhante.” - “Tercela atau tidak tercela?” – “Tidak tercela,
Bhante.” – “Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?” – “Dipuji oleh para
bijaksana, Bhante.” – “Jika diterima dan dijalankan, apakah hal-hal ini
mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan atau tidak, atau bagaimanakah
kalian menganggapnya?” – “Jika diterima dan dijalankan, maka hal-hal ini akan
mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan. Demikianlah kami menganggapnya.”
“Demikianlah, para penduduk
Kālāma, ketika kami berkata: ‘Marilah, para penduduk Kālāma, jangan menuruti
tradisi lisan … Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri:
“Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal ini
dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan
mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,” maka kalian harus [192] hidup
sesuai dengannya,’ adalah karena alasan ini maka hal ini dikatakan.
“Kemudian, para penduduk Kālāma,
siswa mulia itu, yang hampa dari kerinduan, hampa dari niat buruk, tidak
bingung, memahami dengan jernih, penuh perhatian, berdiam dengan meliputi
satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta-kasih … dengan pikiran yang
dipenuhi dengan belas-kasihan … dengan pikiran yang dipenuhi dengan kegembiraan
altruistik … dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, demikian
pula dengan arah ke dua, ke tiga, dan ke empat. Demikian pula ke atas, ke
bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk
seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia
dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, luas, luhur, tanpa batas,
tanpa permusuhan, tanpa niat buruk.
“Siswa mulia ini, para penduduk
Kālāma, yang pikirannya tanpa permusuhan seperti ini, tanpa niat buruk,
tidak kotor, dan murni, telah memenangkan empat jaminan dalam kehidupan ini.
“Jaminan pertama yang ia
menangkan adalah sebagai berikut: ‘Jika ada dunia lain, dan jika ada buah
dan akibat dari perbuatan baik dan buruk, maka adalah mungkin bahwa dengan
hancurnya jasmani, setelah kematian, aku akan muncul di alam tujuan yang baik,
di alam surga.’
“Jaminan ke dua yang ia
menangkan adalah sebagai berikut: ‘Jika tidak ada dunia lain, dan jika tidak
ada buah dan akibat dari perbuatan baik dan buruk, tetap saja di sini, dalam
kehidupan ini, aku hidup dalam kebahagiaan, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk,
bebas dari kesulitan.
“Jaminan ke tiga yang ia menangkan adalah
sebagai berikut: ‘Seandainya kejahatan menimpa si pelaku kejahatan. Maka,
karena aku tidak bermaksud jahat terhadap siapa pun, bagaimana mungkin
penderitaan menimpaku, karena aku tidak melakukan perbuatan jahat?’
“Jaminan ke empat yang ia
menangkan adalah sebagai berikut: ‘Seandainya kejahatan tidak menimpa si
pelaku kejahatan. Maka di sini aku akan melihat diriku dimurnikan dalam kedua
hal.’
[Kitab Komentar : Kedua jenis
pemurnian ini adalah (1) tidak melakukan perbuatan jahat apa pun, dan (2) mengembangkan
pikiran murni melalui praktik empat kondisi tanpa batas (cinta kasih, dan
seterusnya).]
“Siswa mulia ini, para penduduk
Kālāma, yang pikirannya tanpa permusuhan seperti ini, tanpa niat buruk, tidak
kotor, dan murni, telah memenangkan empat jaminan ini dalam kehidupan ini.”
[Kitab Komentar : Empat jaminan
dimaksud adalah sebagai berikut:
(1) Jika ada dunia ini dan
dunia lain, jika ada akibat dari perbuatan baik dan buruk, maka aku memperoleh
kamma yang berhubungan dengan pandangan benar; aku menegakkannya dan memilikinya.
Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, aku pasti akan pergi ke alam yang
baik, bahkan kelahiran kembali di alam surga.
(2) Jika dunia ini dan dunia
lain tidak ada, dan tidak ada akibat dari perbuatan baik dan buruk, tetap saja,
bahkan dalam kehidupan ini, aku tidak dapat disalahkan oleh orang lain
sehubungan dengan [perbuatanku], melainkan aku akan dipuji oleh para bijaksana.
Akan tetapi, mereka yang berusaha dan berpandangan benar mengatakan bahwa ada
[dunia ini, dunia lain, dan akibat karma].
(3) Jika segala sesuatunya
selesai, tentu saja aku tidak melakukan kejahatan, aku tidak memikirkan hal
jahat. Karena aku tidak melakukan kejahatan, bagaimana mungkin penderitaan
muncul bagiku?
(4) Jika segala sesuatunya
selesai, tentu saja aku tidak melakukan kejahatan. Aku tidak melanggar apa yang
menakutkan dan tidak menakutkan di dunia ini. Aku selalu memiliki cinta dan
belas kasihan kepada seluruh dunia. Pikiranku tidak kejam pada makhluk-makhluk
hidup; tanpa noda, gembira dan bahagia.]
“Demikianlah, Sang Bhagavā!
Demikianlah, Yang Sempurna! Siswa mulia ini, yang pikirannya tanpa permusuhan
seperti ini, tanpa niat buruk, tidak kotor, dan murni, [193] telah memenangkan
empat jaminan dalam kehidupan ini. “Jaminan pertama yang ia menangkan …
[seperti di atas, hingga:] … Jaminan ke empat yang ia menangkan adalah sebagai berikut:
‘Seandainya kejahatan tidak menimpa si pelaku kejahatan. Maka di sini aku akan
melihat diriku dimurnikan dalam kedua hal.’
“Siswa mulia ini, Bhante, yang
pikirannya tanpa permusuhan seperti ini, tanpa niat buruk, tidak kotor, dan murni,
telah memenangkan empat jaminan ini dalam kehidupan ini.
“Bagus sekali, Bhante! Bagus
sekali, Bhante! Sang Bhagavā telah menjelaskan Dhamma dalam banyak cara,
seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi,
menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam
kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk.
Kami berlindung kepada Sang Bhagavā, kepada Dhamma, dan kepada Saṅgha. Sudilah Sang Bhagavā menganggap kami sebagai
umat-umat awam yang telah menerima perlindungan sejak hari ini hingga akhir
hidup kami.”
~0~
66 (6) Sāḷha
Demikianlah yang kudengar. Pada
suatu ketika Yang Mulia Nandaka sedang menetap di Sāvatthī di Istana Migāramātā
di Taman Timur. Kemudian Sāḷha, cucu dari Migāra, dan Rohaṇa, cucu dari Pekkhuniya, mendatangi Yang Mulia Nandaka, bersujud kepadanya,
dan duduk di satu sisi. Kemudian Yang Mulia Nandaka berkata kepada Sāḷha:
“Marilah, Sāḷha, jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun,
kabar angin, kumpulan teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan
pandangan setelah merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau
karena engkau berpikir: ‘Petapa itu adalah guru kami.’ Tetapi ketika engkau
[194] mengetahui untuk dirimu sendiri: ‘Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat;
hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal
ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju bahaya dan
penderitaan,’ maka engkau harus meninggalkannya.
(1) “Bagaimana menurutmu, Sāḷha, apakah ada keserakahan?”
“Ada, Bhante.”
“Aku katakan bahwa ini berarti
kerinduan. Seorang yang serakah, penuh kerinduan, akan melakukan pembunuhan,
mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan pelanggaran dengan istri orang lain,
dan mengucapkan kebohongan; dan ia mendorong orang lain untuk melakukan
hal serupa. Akankah itu mengarah pada bahaya dan penderitaannya untuk waktu
yang lama?”
“Benar, Bhante.”
(2) “Bagaimana menurutmu, Sāḷha, apakah ada kebencian?”
“Ada, Bhante.”
“Aku katakan bahwa ini berarti
niat buruk. Seorang yang penuh kebencian, dengan pikiran berniat buruk, akan
melakukan pembunuhan … dan ia mendorong orang lain untuk melakukan hal serupa.
Akankah itu mengarah pada bahaya dan penderitaannya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
(3) “Bagaimana menurutmu, Sāḷha, apakah ada delusi?”
“Ada, Bhante.”
“Aku katakan bahwa ini berarti
ketidak-tahuan. Seorang yang terdelusi, terbenam dalam ketidak-tahuan, akan
melakukan pembunuhan … dan ia mendorong orang lain untuk melakukan hal serupa.
Akankah itu mengarah pada bahaya dan penderitaannya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
“Bagaimana menurutmu, Sāḷha? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau
tidak bermanfaat?” – “Tidak bermanfaat, Bhante.” - “Tercela atau tidak
tercela?” – “Tercela, Bhante.” – “Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?” –
“Dicela oleh para bijaksana, Bhante.” – “Jika diterima dan dijalankan, apakah
hal-hal ini mengarah menuju bahaya dan penderitaan atau tidak, atau
bagaimanakah engkau menganggapnya?” [195] – “Jika diterima dan dijalankan, maka
hal-hal ini akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan. Demikianlah kami
menganggapnya.”
“Demikianlah, Sāḷha, ketika kami berkata: ‘Marilah, Sāḷha, jangan menuruti tradisi lisan … Tetapi ketika
engkau mengetahui untuk dirimu sendiri: “Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat;
hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal
ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan,”
maka engkau harus meninggalkannya,’ adalah karena alasan ini maka hal ini
dikatakan.
“Marilah, Sāḷha, jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun,
kabar angin, kumpulan teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan
pandangan setelah merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau
karena engkau berpikir: ‘Petapa itu adalah guru kami.’ Tetapi ketika engkau mengetahui
untuk dirimu sendiri: ‘Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak
tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan
dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,’ maka
engkau harus hidup sesuai dengannya.
(1) “Bagaimana menurutmu, Sāḷha, apakah ada ketidak-serakahan?”
“Ada, Bhante.”
“Aku katakan bahwa ini berarti
ketiadaan kerinduan. Seorang yang tanpa keserakahan, tanpa kerinduan, tidak
akan melakukan pembunuhan, tidak mengambil apa yang tidak diberikan, tidak melakukan
pelanggaran dengan istri orang lain, dan tidak mengucapkan kebohongan; dan ia
juga tidak akan mendorong orang lain untuk melakukan hal-hal tersebut. Akankah
itu mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaannya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
(2) “Bagaimana menurutmu, Sāḷha, apakah ada ketidak-bencian?”
“Ada, Bhante.”
“Aku katakan bahwa ini berarti
niat baik. Seorang yang tanpa kebencian, dengan pikiran berniat baik, tidak
akan melakukan pembunuhan … dan ia juga tidak akan mendorong orang lain untuk melakukan
hal-hal tersebut. Akankah itu mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaannya
untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
(3) “Bagaimana menurutmu, Sāḷha, apakah ada ketidak-delusian?”
“Ada, Bhante.”
“Aku katakan bahwa ini berarti
pengetahuan sejati. Seorang yang tidak terdelusi, [196] yang telah sampai pada
pengetahuan sejati, tidak akan melakukan pembunuhan … dan ia juga tidak akan mendorong
orang lain untuk melakukan hal-hal tersebut. Akankah itu mengarah pada
kesejahteraan dan kebahagiaannya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
“Bagaimana menurutmu, Sāḷha? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau
tidak bermanfaat?” – “Bermanfaat, Bhante.” - “Tercela atau tidak tercela?” –
“Tidak tercela, Bhante.” – “Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?” – “Dipuji
oleh para bijaksana, Bhante.” – “Jika diterima dan dijalankan, apakah hal-hal
ini mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan atau tidak, atau bagaimanakah
engkau menganggapnya?” – “Jika diterima dan dijalankan, maka hal-hal ini akan
mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan. Demikianlah kami menganggapnya.”
“Demikianlah, Sāḷha, ketika kami berkata: ‘Marilah, Sāḷha, jangan menuruti tradisi lisan … Tetapi ketika
engkau mengetahui untuk dirimu sendiri: “Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal
ini adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini,
jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan
kebahagiaan,” maka engkau harus hidup sesuai dengannya,’ adalah karena alasan
ini maka hal ini dikatakan.
“Kemudian, Sāḷha, siswa mulia itu – yang hampa dari kerinduan, hampa
dari niat buruk, tidak bingung, memahami dengan jernih, penuh perhatian,
berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan
cinta-kasih … dengan pikiran yang dipenuhi dengan belas-kasih … dengan pikiran
yang dipenuhi dengan kegembiraan altruistik … dengan pikiran yang dipenuhi
dengan keseimbangan, demikian pula dengan arah ke dua, ke tiga, dan ke empat.
Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan
kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi
seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, luas, luhur,
tanpa batas, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk.
“Kemudian ia memahami sebagai
berikut: ‘Ada ini; ada yang hina; ada yang mulia; ada jalan membebaskan
diri dari apa pun yang berhubungan dengan persepsi.’ Ketika ia mengetahui dan melihat
demikian, pikirannya terbebaskan dari noda indriawi, dari noda penjelmaan,
dan dari noda ketidak-tahuan. [197] Ketika terbebaskan muncullah
pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan,
kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan,
tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.’
“Ia memahami sebagai berikut: ‘Sebelumnya,
ada keserakahan; itu tidak bermanfaat. Sekarang tidak ada lagi; dengan demikian
ini bermanfaat. Sebelumnya, ada kebencian; itu tidak bermanfaat. Sekarang tidak
ada lagi; dengan demikian ini bermanfaat. Sebelumnya, ada delusi; itu tidak
bermanfaat. Sekarang tidak ada lagi; dengan demikian ini bermanfaat.’
“Demikianlah dalam kehidupan
ini ia berdiam tanpa lapar, terpuaskan dan sejuk, mengalami kebahagiaan,
setelah dirinya sendiri menjadi brahma.”
~0~
134 (5) 323
“Para bhikkhu, dengan memiliki
dua kualitas, orang dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan
dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para
bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan. Apakah dua ini? Tanpa
menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela. Tanpa
menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji.
Dengan memiliki dua kualitas ini, orang dungu, yang tidak kompeten, dan jahat
mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela
oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan.
“Para bhikkhu, dengan memiliki
dua kualitas, orang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan
dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka; ia tanpa cela dan di luar
celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa. Apakah dua
ini? Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencela seorang yang
layak dicela. Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji
seorang yang layak dipuji. Dengan memiliki dua kualitas ini, orang
bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya dalam kondisi
tidak-celaka dan tidak-terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para
bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa.”
~0~
15 (5) Pacetana
Pada suatu ketika Sang Bhagavā
sedang menetap di Bārāṇasī di Taman Rusa di Isipatana. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para
bhikkhu: “Para bhikkhu!” [111]
“Yang Mulia!” para bhikkhu itu
menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
“Para bhikkhu, di masa lalu ada
seorang raja bernama Pacetana. Kemudian Raja Pacetana berkata kepada seorang pembuat
kereta: ‘Sahabat pembuat kereta, enam bulan dari sekarang akan ada sebuah
peperangan. Dapatkan engkau membuatkan untukku sepasang roda?’ – ‘Dapat,
Baginda,’ pembuat kereta itu menjawab. Setelah enam bulan kurang enam hari si
pembuat kereta itu telah menyelesaikan satu roda. Raja Pacetana berkata kepada
si pembuat kereta: ‘Enam hari dari sekarang akan ada peperangan. Apakah
sepasang roda itu telah selesai?’ [Si pembuat kereta menjawab:] ‘Dalam waktu
enam bulan kurang enam hari yang lalu, Baginda, saya telah menyelesaikan satu
roda.’ – ‘Tetapi, sahabat pembuat kereta, dapatkah engkau menyelesaikan roda ke
dua untukku dalam enam hari ke depan?’ – ‘Dapat, Baginda,’ si pembuat kereta
menjawab. Kemudian, setelah enam hari berikutnya, si pembuat kereta menyelesaikan
roda ke dua. Ia membawa sepasang roda itu kepada Raja Pacetana dan berkata:
‘Ini adalah sepasang roda baru yang telah kubuat untukmu, Baginda.’ – ‘Apakah
perbedaannya, sahabat pembuat kereta, antara roda yang memakan waktu enam bulan
kurang enam hari untuk diselesaikan dan roda yang memakan enam hari untuk
diselesaikan? Aku tidak melihat perbedaan apa pun antara keduanya.’ – ‘Ada
sebuah perbedaan, Baginda. Amatilah perbedaannya.’
“Kemudian si pembuat kereta
menggelindingkan roda yang memakan waktu enam hari untuk diselesaikan. Roda itu
menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya, dan kemudian terhuyung-huyung
dan jatuh ke tanah. Tetapi roda yang memakan waktu enam bulan [112] kurang enam
hari untuk diselesaikan menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya dan
kemudian berdiri diam seolah-olah terpasang pada sumbunya.
“[Kemudian raja bertanya:]
‘Mengapakah, sahabat pembuat kereta, bahwa roda yang memakan waktu enam hari
untuk diselesaikan menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya, dan kemudian
terhuyung-huyung dan jatuh ke tanah, sedangkan roda yang memakan waktu enam
bulan kurang enam hari untuk diselesaikan menggelinding sejauh daya dorongnya
membawanya dan kemudian berdiri diam seolah-olah terpasang pada sumbunya?’
“[Si pembuat kereta menjawab:]
‘Roda yang memakan waktu enam hari untuk diselesaikan, Baginda, memiliki
lingkar yang berlekuk, cacat, dan tidak sempurna; jari-jari yang berlekuk,
cacat, dan tidak sempurna; dan poros yang berlekuk, cacat, dan tidak sempurna.
Karena alasan ini, maka roda itu menggelinding sejauh daya dorongnya
membawanya, dan kemudian terhuyung-huyung dan jatuh ke tanah. Tetapi
roda yang memakan waktu enam bulan kurang enam hari untuk diselesaikan
menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya dan kemudian berdiri diam
seolah-olah terpasang pada sumbunya memiliki lingkar yang tanpa lekukan, tanpa
cacat, dan tanpa ketidak-sempurnaan; memiliki jari-jari yang tanpa lekukan,
tanpa cacat, dan tanpa ketidak-sempurnaan; dan memiliki poros yang tanpa
lekukan, tanpa cacat, dan tanpa ketidaksempurnaan. Karena alasan ini, maka roda
itu menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya dan kemudian berdiri diam
seolah-olah terpasang pada sumbunya.’
“Mungkin saja, para bhikkhu,
kalian berpikir: ‘Pada saat itu si pembuat kereta adalah orang lain.’ Tetapi
jangan kalian berpikir demikian. Pada saat itu, Aku sendirilah si pembuat
kereta itu. Pada saat itu Aku terampil dalam lekukan, cacat, dan ketidaksempurnaan
sehubungan dengan kayu. Tetapi sekarang Aku adalah Sang Arahant, Yang
Tercerahkan Sempurna, (1) terampil dalam lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan
jasmani; (2) terampil dalam lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan ucapan;
(3) terampil dalam lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan pikiran.
“Bhikkhu atau bhikkhunī mana
pun yang belum meninggalkan lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan
jasmani, ucapan, dan pikiran [113] telah jatuh dari Dhamma dan disiplin ini,
seperti halnya roda yang diselesaikan dalam enam hari [akan jatuh ke tanah].
“Bhikkhu atau bhikkhunī mana
pun yang telah meninggalkan lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan
jasmani, ucapan, dan pikiran adalah kokoh dalam Dhamma dan disiplin ini,
seperti halnya roda yang diselesaikan dalam enam bulan kurang enam hari [akan
tetap berdiri].
“Oleh karena itu, para bhikkhu,
kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan meninggalkan lekukan,
cacat, dan ketidaksempurnaan jasmani; kami akan meninggalkan lekukan, cacat,
dan ketidak-sempurnaan ucapan; kami akan meninggalkan lekukan, cacat, dan
ketidak-sempurnaan pikiran.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”
~0~
VIII. Pertemanan Yang Baik
71 (1)
“Para bhikkhu, Aku tidak
melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan kualitas-kualitas
bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas tidak
bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang selain daripada pertemanan
yang baik. Bagi seorang dengan teman-teman yang baik, maka
kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas
tidak bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang.”
[NOTE : Tentang pentingnya
pertemanan yang baik (kalyāṇamittatā) dalam kehidupan spiritual.]
72 (2)
“Para bhikkhu, Aku tidak
melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan kualitas-kualitas tidak
bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas bermanfaat
yang telah muncul menjadi berkurang selain daripada pengejaran
kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas
bermanfaat. Melalui pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan
tanpa-pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat, maka kualitas-kualitas tidak bermanfaat
yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas bermanfaat yang telah
muncul menjadi berkurang.”
73 (3)
“Para bhikkhu, Aku tidak
melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan kualitas-kualitas
bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas tidak
bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang selain daripada pengejaran
kualitas-kualitas bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas tidak
bermanfaat. Melalui pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat dan tanpa-pengejaran
kualitas-kualitas tidak bermanfaat, maka kualitas-kualitas bermanfaat yang
belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang telah
muncul menjadi berkurang.”
74 (4)
“Para bhikkhu, Aku tidak
melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan faktor-faktor pencerahan
yang belum muncul menjadi tidak muncul dan faktor-faktor pencerahan yang telah
muncul tidak mencapai pemenuhan melalui pengembangan selain daripada pengamatan
tidak seksama. Bagi seseorang yang mengamati dengan tidak seksama, maka
faktor-faktor pencerahan yang belum muncul menjadi tidak muncul dan
faktor-faktor pencerahan yang telah muncul tidak mencapai pemenuhan melalui
pengembangan.”
75 (5)
“Para bhikkhu, Aku tidak
melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan faktor-faktor pencerahan
yang belum muncul menjadi muncul dan faktor-faktor pencerahan yang telah muncul
mencapai pemenuhan melalui pengembangan selain daripada pengamatan seksama.
[15] Bagi seorang yang mengamati dengan seksama, maka faktor-faktor pencerahan
yang belum muncul menjadi muncul dan faktor-faktor pencerahan yang telah muncul
mencapai pemenuhan melalui pengembangan.”
76 (6)
“Tidak penting, para bhikkhu,
kehilangan sanak-saudara. Hal yang paling buruk adalah kehilangan
kebijaksanaan.”
77 (7)
“Tidak penting, para
bhikkhu, peningkatan sanak-saudara. Hal yang paling baik untuk ditingkatkan
adalah kebijaksanaan. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih
sebagai berikut: ‘Kami akan meningkat dalam hal kebijaksanaan.’ Demikianlah
kalian harus berlatih.”
78 (8)
“Tidak penting, para bhikkhu,
kehilangan harta kekayaan. Hal yang paling buruk adalah kehilangan
kebijaksanaan.”
79 (9)
“Tidak penting, para bhikkhu,
peningkatan harta kekayaan. Hal yang paling baik untuk ditingkatkan adalah
kebijaksanaan. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai
berikut: ‘Kami akan meningkat dalam hal kebijaksanaan.’ Demikianlah kalian
harus berlatih.”
80 (10)
“Tidak penting, para
bhikkhu, kehilangan kemasyhuran. Hal yang paling buruk adalah kehilangan
kebijaksanaan.”
81 (11)
“Tidak penting, para bhikkhu,
peningkatan kemasyhuran. Hal yang paling baik untuk ditingkatkan adalah
kebijaksanaan. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai
berikut: ‘Kami akan meningkat dalam hal kebijaksanaan.’ Demikianlah kalian
harus berlatih.” [16]
IX. Kelengahan
82 (1)
“Para bhikkhu, Aku tidak
melihat bahkan satu hal pun yang mengarah pada bahaya besar selain daripada
kelengahan. Kelengahan mengarah pada bahaya besar.”
83 (2)
“Para bhikkhu, Aku tidak melihat
bahkan satu hal pun yang mengarah pada manfaat besar selain daripada
kewaspadaan. Kewaspadaan mengarah pada manfaat besar.”
84 (3) – 97 (16)
(84) “Para bhikkhu, Aku tidak
melihat bahkan satu hal pun yang mengarah pada bahaya besar selain daripada
kemalasan … (85) … yang mengarah pada manfaat besar seperti pembangkitan
kegigihan …”
(86) “… keinginan kuat …
(87) … sedikitnya keinginan …”
(88) “… ketidak-puasan …
(89) … kepuasan …”
(90) “… pengamatan tidak
seksama … (91) … pengamatan seksama …”
(92) “ … kurangnya pemahaman
jernih … (93) … pemahaman jernih …”
(94) “… pertemanan yang
buruk … (95) … pertemanan yang baik …”
(96) “… pengejaran
kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas
bermanfaat … (97) … pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat dan
tanpa-pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat mengarah pada manfaat besar.”
X. Internal
98 (1)
“Di antara faktor-faktor
internal, para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu faktor pun yang mengarah
pada bahaya besar selain daripada kelengahan. Kelengahan mengarah pada
bahaya besar.”
99 (2)
“Di antara faktor-faktor
internal, para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu faktor pun yang
mengarah pada manfaat besar selain daripada kewaspadaan. [17] Kewaspadaan
mengarah pada manfaat besar.”
100 (3) – 113 (16)
(100) “Di antara faktor-faktor
internal, para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu faktor pun yang mengarah
pada bahaya besar selain daripada kemalasan … (101) … yang mengarah pada
manfaat besar selain daripada pembangkitan kegigihan …”
(102) “… keinginan kuat … (103)
… sedikitnya keinginan …”
(104) “… ketidak-puasan … (105)
… kepuasan …”
(106) “… pengamatan tidak
seksama … (107) … pengamatan seksama …”
(108) “… kurangnya pemahaman
jernih … (109) … pemahaman jernih …”
(110) “Di antara
faktor-faktor eksternal, para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu faktor pun
yang mengarah pada bahaya besar selain daripada pertemanan yang buruk …”
(111) “Di antara
faktor-faktor eksternal, para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu faktor pun
yang mengarah pada manfaat besar selain daripada pertemanan yang baik …”
(112) “Di antara faktor-faktor
internal, para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu faktor pun yang mengarah
pada bahaya besar selain daripada pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat
dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat … (113) … yang mengarah pada
manfaat besar selain daripada pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat dan
tanpa-pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat. Pengejaran
kualitas-kualitas bermanfaat dan tanpa pengejaran kualitas-kualitas tidak
bermanfaat mengarah pada manfaat besar.”
114 (17)
“Para bhikkhu, Aku tidak
melihat bahkan satu hal pun yang begitu mengarah pada kemunduran dan lenyapnya
Dhamma sejati selain daripada kelengahan. Kelengahan mengarah pada
kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.”
115 (18)
“Para bhikkhu, Aku tidak
melihat bahkan satu hal pun yang begitu mengarah pada kelangsungan,
ketidak-munduran, dan ketidaklenyapan Dhamma sejati selain daripada kewaspadaan.
[18] Kewaspadaan mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan
ketidak-lenyapan Dhamma sejati.”
116 (19) – 129 (32)
(116) “Para bhikkhu, Aku tidak
melihat bahkan satu hal pun yang begitu mengarah pada kemunduran dan lenyapnya
Dhamma sejati selain daripada kemalasan … (117) … yang begitu mengarah pada
kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati selain
daripada pembangkitan kegigihan …”
(118) “… keinginan kuat … (119)
… sedikitnya keinginan …”
(120) “… ketidak-puasan … (121)
… kepuasan …”
(122) “… pengamatan seksama …
(123) … pengamatan tidak seksama …”
(124) “… kurangnya pemahaman
jernih … (125) … pemahaman jernih …”
(126) “… pertemanan yang buruk
… (127) … pertemanan yang baik …”
(128) “… pengejaran
kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas
bermanfaat … (129) … pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat dan
tanpa-pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat. Pengejaran
kualitas-kualitas bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas tidak
bermanfaat mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan
Dhamma sejati.”
130 (33)
“Para bhikkhu, para bhikkhu itu
yang menjelaskan bukan Dhamma sebagai Dhamma sedang bertindak demi
bahaya banyak orang, ketidak-bahagiaan banyak orang, demi kehancuran, bahaya,
dan penderitaan banyak orang, deva dan manusia. Para bhikkhu ini menghasilkan
banyak keburukan dan menyebabkan Dhamma sejati ini menjadi lenyap.”
[Kitab Komentar : Sepuluh kamma
bermanfaat adalah Dhamma; Sepuluh kamma tidak bermanfaat adalah bukan-Dhamma.
Demikian pula, tiga puluh tujuh bantuan menuju pencerahan – yaitu, empat
penegakan perhatian, empat usaha benar, empat landasan kekuatan batin, lima indria,
lima kekuatan, tujuh faktor pencerahan, dan Jalan Mulia Berunsur Delapan –
adalah Dhamma; tiga penegakan perhatian, tiga usaha benar, tiga landasan
kekuatan batin, enam indria, enam kekuatan, delapan faktor pencerahan, dan
Jalan Mulia Berunsur Sembilan [adalah bukan-Dhamma.]
Empat jenis kemelekatan, lima rintangan,
tujuh kecenderungan tersembunyi, dan delapan jenis yang salah [lawan dari
faktor-faktor jalan mulia] adalah bukan-Dhamma.
Mereka mengajarkan bukan-Dhamma
sebagai Dhamma ketika mereka memilih salah satu jenis bukan-Dhamma dan
berpikir, ‘Kami akan mengajarkan hal ini sebagai Dhamma. Dengan demikian kelompok
guru kami akan terbebaskan, dan kami akan menjadi terkenal di dunia ini.’
Dengan metode Vinaya (disiplin anggota monastik
ke-bhikkhu-an), Dhamma adalah perbuatan disiplin yang harus dilakukan menurut
klaim tersebut, setelah ditegur, setelah diingatkan, menurut landasan yang
benar.
Bukan-Dhamma adalah perbuatan
disiplin yang dilakukan tanpa sebuah klaim, tanpa teguran, tanpa diingatkan,
menurut landasan yang salah.”
Tidak perlu terlampau terkejut,
Anda bukanlah orang pertama yang merasa “remuk” setelah membaca langsung
khotbah-khotbah Sang Buddha (karena kini Anda bisa membuat perbandingan,
betapa “kotor-tercela dan penuh noda”-nya diri Anda dan betapa “agung serta
luhur-murni-sempurna”-nya seorang Buddha. Namun, akibat dosa-dosa yang
para dowasan tersebut telah cetak dan kumpulkan sepanjang hidupnya, telah
menggunung—menyerupai segunung dosa—maka akibat “too big to fall”, karenanya tiada pilihan lain bagi mereka selain
meyakini secara membuta ideologi korup penuh iming-iming berupa dogmatis
“penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” yang sekalipun seorang
anak kecil juga tahu bahwa hanya seorang pendosa yang butuh “penghapusan dosa”
(atau apapun itu istilahnya) dimana juga sifatnya “too good to be true”.
Akibat sifat kekanak-kanakan (childish), banyak orang dewasa yang
terjebak dan terperangkap oleh kedangkalan berpikir demikian, sebelum menemukan
dirinya telah menjadi pecandu dan pelanggan tetap ideologi korup “penghapusan
dosa” yang berdelusi sebagai kaum yang paling “beruntung”, sementara
korban-korban mereka adalah kaum yang “merugi”. Orang-orang Barat-lah yang telah
memperkenalkan ideologi kekanakan demikian, sehingga menjadi tahulah kita
betapa kekanakan dan terbelakang cara berpikir masyarakat Barat—sehingga tidak
heran bila kalah bersaing menghadapi kecerdasan berpikir masyarakat di Timur
(terutama Tiongkok). Jika Anda ingin belajar bisnis, usaha, budaya, maupun
teknologi dan ideologi, maka belajarlah ke Timur. Anda keliru jika mengirim
putera atau puteri Anda ke Barat. Kini, orang Barat mulai “ketimur-timuran”
(rajin meditasi), sementara masyarakat kita justru kian “kebarat-baratan”.