Ambiguitas SURAT ELEKTRONIK, Disejajarkan sebagai Alat Bukti SURAT ataukah Diperlakukan sebagai Alat Bukti Elektronik?

Makna ALAT BUKTI Menurut Hukum Acara Pidana maupun Perdata

Kontraproduktif Alat Bukti Berupa Dokumen / Surat Elektronik, Diperlakukan secara Diskriminatif oleh Hakim di Pengadilan Perkara Perdata

Question: Apa makna atau maksud dari “alat bukti yang sah, bernilai, dan berharga di mata hukum” sehingga memiliki kekuatan hukum mengikat bagi pihak-pihak yang saling bersengketa di pengadilan maupun pihak ketiga?

Brief Answer: Yang dsebut sebagai “alat bukti”, baik dalam hukum acara pidana (dapat berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa) maupun dalam hukum acara perdata (berupa surat, pengakuan, sumpah, saksi, dan persangkaan). Adapun perluasan jenis-jenis “alat bukti” yang diakui oleh hukum, sejak terbitnya Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) maupun yang dinyatakan secara eksplisit pada masing-masing Undang-Undang sektoral, segala bentuk data digital yang bersifat elektronik, dinyatakan sebagai salah satu “alat bukti” yang juga sah, berkekuatan hukum, serta bernilai di mata hakim pemeriksa dan pemutus perkara di pengadilan.

Adapun ciri paling utama dari “alat bukti” ialah, tidak digantungkan pada kondisional diakui atau tidak diakuinya, dibantah atau tidak dibantahnya, maupun dibenarkan ataupun tidak dibenarkan oleh pihak lawan (yang berhadap-hadapan ialah : Penggugat Vs. Tergugat maupun Jaksa Penuntut Umum Vs. Terdakwa), “alat bukti” tersebut sejak semula telah bersifat utuh dan penuh (sempurna). Hakim di pengadilan tidak perlu menanyakan ataupun mencermati, apakah terhadap “alat bukti-alat bukti” yang dihadirkan oleh pihak Penggugat, sebagai contoh, dokumen Perjanjian Kredit yang telah ditanda-tangani dengan tanda-tangan “basah” (konvensional manual alias non-elektronik), diakui atau tidaknya oleh pihak Tergugat.

Sekalipun pihak Tergugat membantahnya, tetap saja “alat bukti” berupa Perjanjian Kredit (versi konvensional) memiliki nilai / bobot hukum sebagai “alat bukti” yang sah dan memiliki kekuatan hukum. Karena itulah, penulis menyebut atau memberikan istilah kepada apa-apa saja yang dikriteriakan sebagai “alat bukti” (konvensional non-digital), tidak digantungkan kepada faktor eksternal dari “alat bukti” itu sendiri, baik tidak diakui ataupun dibantah oleh pihak lawan, sama sekali tidak mengurangi keutuhan ataupun bobot dari “alat bukti” (konvensional) dimaksud.

Namun praktik peradilan kita di Indonesia hingga saat ulasan ini disusun, terutama dalam perkara gugatan perdata, masih terdapat diskriminasi serta penafsiran yang menyimpang alias kurang memadai terhadap “alat bukti” berwujud “dokumen elektronik”—sebagai contoh perlakuan hakim terhadap “alat bukti” berupa “surat elektronik” (surel), hakim menolak ketika pihak Penggugat / Tergugat berupaya menghadirkan “alat bukti” berupa “surat elektronik”, namun hanya bersedia disuguhkan “alat bukti” berupa “print out” (baik hasil cetak surel maupun hasil cetak tangkapan layar “screenshot” percakapan teks di layar perangkat digital)—fenomena praktik “standar ganda” di ruang persidangan perkara perdata—lalu diturunkan derajatnya menjadi “quasi alat bukti” atau “bukti bersyarat”, dalam artian bila tidak dibantah barulah ia menjadi “alat bukti”, sementara itu bila dibantah maka ia tidak memiliki kekuatan hukum untuk dapat disebut sebagai “alat bukti” yang sempurna.

PEMBAHASAN:

Sudah lebih dari satu dekade lamanya, usia UU ITE yang menjadikan atau meng-kategorikan bukti elektronik yang berupa data digital maupun tampilannya disetarakan dan disejajarkan dengan “alat bukti-alat bukti” lainnya (konvensional) yang telah terlebih dahulu dikenal dalam hukum acara kita di Indonesia. Meski demikian, praktik kalangan hakim di peradilan, masih sangat ambigu dan “separuh hati”, seolah ”gagap teknologi” dan “memandang sebelah mata” terhadap “alat bukti elektronik”. Dalam konteks “alat bukti elektronik”, “alat bukti”-nya itu sendiri sejatinya iaiah berupa data digital pada komponen memori yang bisa berupa hardisk, kartu memori, maupun semacam “solid disk drive” (SDD) ataupun serupa “flash disk”—bukan perangkat penampil data digital juga bukan perangkat perekamnya.

Semisal, sebuah video atau audio direkam lewat perangkat CCTV, camcorder, ataupun handphone, maka yang perlu disita oleh penyidik bukanlah perangkat perekamnya juga bukan perangkat penampilnya—meskipun perangkat seperti handphone bisa langsung seketika “play” data hasil rekaman seketika setelah melakukan proses perekaman—akan tetapi data yang ada di dalam komponen penyimpan data pada perangkat perekam. Bahkan dalam dunia digitalisasi, komponen memorinya bisa berada diluar dari perangkat penampil maupun perangkat perekam. Contohnya ialah applikasi messenger pada ponsel Anda, percakapan selain tersimpan pada perangkat Anda, juga tersimpan pada server pengelola applikasi. Surel berbasis website, setiap kali kita hendak mengakses akun email kita untuk membaca, membalas, maupun mengirim pesan surel, maka kita akan mendapati proses “loading” pada perangkat penampil seperti komputer atau handphone kita, mengingat data digitalnya tersimpan pada server pengelola surel yang berada di negara lain.

Saat kini sedang tren surat perjanjian berbasis elektronik, seolah-olah perjanjian berbentuk “paperless” yang tanpa kertas fisik dan tanpa tanda-tangan maupun cap “basah”, diklaim sebagai cara berbisnis yang lebih efisien serta lebih menguntungkan. Faktanya, ketika terjadi sengketa pidana terkait surat perjanjian elektronik tersebut, maka pihak Penyidik Kepolisian maupun Jaksa Penuntut Umum perlu menyertakan hasil pemeriksaan / audit foreksik terhadap data digital berupa surat perjanjian elektronik, sehingga hakim pemeriksa dan pemutus perkara akan disodorkan selain “print out” (hasil cetakan) dari dokumen elektronik dimaksud, juga dibekali laporan hasil audit forensik atas surat perjanjian elektronik tersebut—alhasil, dokumen elektronik melahirkan fenomena “ekonomi biaya tinggi” pada muaranya, kecuali terhadap dokumen kependudukan elektronik yang dapat semudah dimintakan legalisir terhadap “print out” dari instansi pemerintah terkait.

Sekali lagi, ingatlah, bahwa dalam perkara perdata, hakim pemeriksa dan pemutus perkara pada praktiknya akan menolak “alat bukti elektronik” untuk disuguhkan ke hadapan hakim saat agenda acara pembuktian. Kalangan hakim hanya bersedia dihadirkan “print out” dari data elektronik, dan melekatkan padanya status sebagai sebagai “print out”. Untuk kali keduanya penulis menyampaikan, “print out” bukanlah “alat bukti”, karena itu hanyalah alat penampil (kertas hasil cetakan printer), sementara itu data digital yang menjadi sumber-nya (source) sama sekali tidak disentuh oleh sang hakim. Pernah terjadi pada suatu waktu di pengadilan yang tergolong daerah kota metropolitan di Pulau Jawa, Majelis Hakim menolak ketika pihak klien penulis mengajukan “alat bukti” berupa hasil cetak surel, hendak disandingkan / dibandingkan dengan data dokumen aslinya yang berupa data digital yang menjadi sumber dari hasil cetakan, pada perangkat penampil seperti laptop atau handphone.

Adapun latar-belakang sang klien ialah, ketika pihak pemilik “alat bukti” berupa surat hendak mengajukan surat-surat konvensional (non-elektronik) sebagai “alat bukti”, maka surat tersebut harus di-fotokopi terlebih dahulu, barulah hakim akan mencocokkan antara fotokopi yang menjadi arsip bagi berkas perkara pengadilan terhadap sumber asilnya, yakni Surat Perjanjian, dimana bila isi antara sumber dan fotokopi (secara sepintas) telah ternyata sama, maka akan diberi status sebagai “sesuai dengan ASLI”. “Print out”, sejatinya disejajarkan dengan fotokopi, mengingat sumber data elektroniknya bukanlah pada hasil cetakan, namun berupa data digital pada perangkat digital.

Pihak klien mencoba menyodorkan perangkat penampil surel lewat laptop ke hadapan hakim, namun hakim menolaknya dengan hanya bersedia menerima “print out” surel, sebelum kemudian menggantungkannya kepada adanya atau tiadanya itikad dari pihak lawan, apakah akan membantahnya ataukah mengakuinya. Jika diakui, maka menjelma “alat bukti sempurna”, sementara itu bila dibantah, maka akan turun derajat secara “terjun bebas” menjelma sebatas “print out” yang setara “fotokopi tanpa dapat dipertunjukkan dokumen aslinya”. Berangkat dari fakta yang fenomenal demikian di ruang-ruang persidangan perkara perdata, maka tidak akan pernah kita jumpai “print out email sesuai dengan aslinya”, sekalipun Anda mampu dan punya kemampuan bersusah-payah untuk berupaya menyuguhkan / menyodorkan sumber data elektroniknya lewat perangkat penayang ke hadapan Majelis Hakim. Yang ada ialah “print out email yang masih akan bergantung dibantah atau tidak dibantahnya oleh pihak lawan”.

Lantas, bagaimana dengan nasib perangkat penampil email berupa laptop ataupun handphone ketika sang klien mencoba mendorong sang hakim agar bersedia untuk menaikkan status “print out” menjadi “print out sesuai dengan aslinya”? Sang hakim mengancam pihak klien selaku pemilik alat bukti elektronik, akan menyita laptop milik sang klien—sekalipun data elektroniknya tidak tersimpan pada perangkat penampil, namun pada server pengelola surel di luar negeri, dan ini perkara perdata, bukan pidana. Lantas pula, bagaimana tanggapan Mahkamah Agung RI, selaku pengawas dan pembina kalangan profesi kehakiman? Pihak dari Mahkamah Agung menyebutkan, dokumen elektronik, sebelum disodorkan sebagai alat bukti dalam perkara perdata di pengadilan, perlu diajukan audit forensik digital kepada penyedia jasa forensik data digital, dimana pihak penyedia jasa audit forensik data digital akan membuat laporan tertulis hasil analisa dan audit data digital, bahwa benar “print out” sesuai dengan aslinya, yakni “hasil cetak” data digital surel yang ada pada server pengelola surel, alias sekadar melegalisir “print out sesuai dengan sumber aslinya”.

Dapat mulai para pembaca bayangkan, betapa berbiaya tinggi dan merepotkannya pembuktian berupa adanya data digital seperti percakapan teks pada gawai / gadget Anda, surel pada komputer Anda, foto pada perangkat kamera perekam foto Anda, dan lain sebagainya, termasuk alat bukti berupa tangkapan layar telah berhasil mentransfer sejumlah dana antar rekening lewat perangkat aplikasi ebanking yang saat kini sudah menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat kita dewasa ini. Mendapati adanya “tembok tebal” berupa sifat “kolot” kalangan hakim yang sejatinya masih berusia muda dan pastilah juga pemakai aktif fasilitas email demikian, mencoba berdebat tampaknya tidak akan membuahkan hasil, maka sang klien kemudian memutar otak dimana secara brilian didapati solusi berikut, yakni menanyakan kepada hakim bersangkutan, apakah ingin memperlakukan / meng-kategorikan “surat elektronik” sebagai “alat bukti surat” yang dapat dibandingkan dengan sumber aslinya sehingga dinyatakan “surat elektronik sesuai dengan asli” saat pembuktian di persidangan, ataukah disebut sebagai “alat bukti elektronik” yang butuh dokumen laporan hasil digital forensik untuk pembuktiannya?

Karenanya, terdapat disparitas yang demikian lebar antara teori, peraturan perundang-undangan, terhadap praktik kalangan hakim pemeriksa perkara di persidangan. Bila dalam perspektif “law in abstracto”, “dokumen elektronik” merupakan “alat buktI” yang sah dan sempurna. Namun dalam tataran “law in concreto”, pihak hakim menolak bukti elektronik yakni sumber “surat elektronik” yang dapat ditampilkan dari perangkat digital penayang, namun hanya sekedar mau menerima “hasil cetakan” dengan status “menggantung” pada itikad lawan—sekalipun secara yuridis-formil, “hasil cetakan” (print out) bukanlah “alat bukti elektronik”. Bukti elektroniknya ialah data digital yang ada di server ataupun para kartu memori perangkat “hardware” yang menjadi sumber data untuk dicetak oleh perangkat pencetak (printer).

Secara pribadi penulis menilai bahwa “surat elektronik” memang tergolong sebagai “alat bukti surat”—sesuai sifat hakekatnya, tetaplah bertujuan sebagai sarana surat-menyurat, namun yang membedakan dengan surat konvensional ialah surel bersifat “paperless”—yang semestinya dapat dicocokkan sesuai dengan asli di persidangan semudah dengan menyodorkan handphone ataupun laptop yang menjadi perangkat penayang sumber data digital. Karenanya, sifatnya bukanlah lagi sekadar “print out”, akan tetapi “hasil cetak sesuai dengan ASLI”. Server pengelola email ada di luar negeri, mengapa juga laptop atau ponsel pihak pencari keadilan yang hendak disita oleh hakim, perkara perdata pula, sekalipun perangkat-perangkat tersebut sekadar sebagai perangkat penampil data digital?

Panjang lebar pihak Mahkamah Agung menyatakan bukti elektronik adalah bukti yang sah. Faktanya berkata lain dalam praktik di persidangan, selama ini Pengadilan Negeri perkara perdata hanya mau menerima “hasil cetakan” alias produk turunan semata, dan menolak alat bukti elektronik yang sesungguhnya yakni data yang ada di komputer ataupun handphone yang menjadi sumber data digital yang dicetak oleh printer. Begitu pula banyak kalangan, terutama penyedia jasa pembuatan dokumen elektronik, yang mengkampanyekan dan mempromosikan kelebihan-kelebihan dokumen elektronik dibanding dokumen konvensional, salah satunya seperti lebih menghemat biaya cetak kertas dan lebih “ramah lingkungan”—itu betul, sepanjang atau dengan syarat tidak terjadi sengketa antara para pihak di kemudian hari.

Jika terjadi sengketa, barulah menjelma kerumitan tersendiri, harus membayar mahal jasa forensik digital disamping segala kerepotan dibaliknya. Kalangan pelaku usaha kecil, mikro, maupun menengah, sangat tidak cocok menerapkan kebijakan dokumen “paperless” dalam operasional perkantoran maupun dalam berbisnis, sementara itu kalangan pengusaha besar tidak merasa perlu menghemat anggaran pembuatan dokumen berbasis kertas, jadilah suatu kerancuan penuh blunder antara wacana, peraturan perundang-undangan, dan tataran praktiknya di persidangan perkara perdata.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.