Antara COMMON PRACTICE
(Konvensi) dan COMMON SENSE (Akal
Sehat)
Pelangi itu Indah, itu Kata Bocah di Taman Kanak-Kanak yang Dibodohi oleh Konvensi
Antara konvensi dan postulat, adalah dua hal yang tidak selalu identik dan kerapkali tidak seiring sejalan. Seseorang harus menikah dan memiliki anak, laki-laki harus bekerja mencari nafkah dan wanita harus merawat anak di dalam rumah, adalah tabu bila kaum wanita memperlihatkan lekuk tubuhnya lewat busana yang serba terbuka “you can see” (kolot dan terkungkung dibalik penjara bernama busana), menyelesaikan setiap masalah dengan pukulan tinju (misi misionaris lewat kekerasan fisik), makan harus tiga kali sehari (penulis hanya makan dua kali sehari), orang yang berdiri diam mematung tanpa menyakiti manusia ataupun hewan sekalipun disebut warga yang melintas sebagai “orang gila” (disaat penulis berdiri menghirup udara segar sembari bermeditasi), dan segala fenomena sosial maupun norma adat lainnya, kesemua itu adalah wujud konvensi—kesepakatan tidak tertulis yang berlangsung turun-menurun, sekalipun tidak sejalan dengan “akal sehat” (common sense), sekadar mengikuti arus mainstream “common practice”, menyerupai sebuah budaya / kultur suatu bangsa—bukan postulat yang absolut kebenarannya tanpa dapat dibantah ataupun dikritisi. Bahkan, ada salah satu agama yang makna harfiahnya ialah “patuh secara mutlak” alias “membuta”, alih-alih mencerahkan namun membutakan.
Dalam era “global village” sekarang ini, dapat kita jumpai hegemoni berbagai
agama samawi dan sub-agama samawi (berupa sekte, aliran, ataupun mazhab), yang
masing-masing mengklaim sebagai agama satu-satunya yang benar dan menuju
keselamatan—agama maupun sub-agama lain mereka kutuk dan dihakimi sebagai agama
sesat menuju alam neraka sebagai vonis bagi para umatnya, sebentuk persekusi
itu sendiri—sehingga peluang bagi seseorang umat yang memilih untuk memeluk
salah satunya dan memeroleh keselamatan, kurang dari 50%, bahkan mungkin kurang
dari 1% bila menyertakan sekte atau aliran tertentu. Lantas, bagaimana
dengan nasib nenek-moyang kita yang sudah eksis sama tuanya dengan usia Planet
Bumi ini? Sungguh durhaka mengutuk nenek-moyang sendiri agar dilempar ke alam
neraka semata karena tidak meyakini sesosok Tuhan ataupun nabi tertentu.
Pertanyaannya bukanlah agama
yang memonopoli alam surga manakah yang akan kita pilih untuk dipeluk dan
diyakini, namun “untuk apakah juga kita memaksakan diri untuk memilih dan
memeluk salah satunya”? Mengkampanyekan “penghapusan dosa”, namun diberi
sampul merek “Agama SUCI”, itulah “kovensi”, meski lebih layak menyandang gelar
sebagai “Agama DOSA”, mengingat hanya seorang pendosa yang butuh “penghapusan
dosa”. Kabar baik bagi pendosa (dimasukkan ke surga), merupakan kabar buruk
bagi para kalangan korban (gigit jari dan mengelus dada). Mengadu pada Tuhan,
itu juga merupakan “konvensi”. Percuma lapor polisi? Faktanya, lebih percuma
lapor kepada Tuhan—mengingat Tuhan lebih PRO terhadap pendosa dengan menghapus dosa-dosa
para “pendosa penjilat penuh dosa” tersebut.
Manusia adalah makhluk
rasional, itu merupakan “konvensi”. Faktanya, manusia adalah makhluk yang
irasional, bahkan sebagian diantaranya adalah manusia-manusia yang dungu dan “ignorant”. Mereka begitu buta akibat
membiarkan kekotoran batin bersarang dalam diri mereka, sehingga penglihatan
mata-nurani mereka begitu keruh, bagai selubung yang menutupi indera
penglihatan mereka, sehingga apa yang kotor, buruk, jahat, dan busuk, masih
juga diyakini secara keras-kepala sebagai sesuatu hal / keyakinan yang lurus,
suci, bersih, benar, adil, dan layak untuk dipeluk, dipromosikan, ataupun
dikampanyekan. Dalam Anatalakkhana Sutta,
Sang Buddha membabarkan betapa seseorang cenderung menyakiti dirinya
sendiri, sebagai manifestasi “anatta”
alias tiada suatu diri yang ajeg maupun ber-inti bernama “AKU”—memerlihatkan
betapa “kebenaran hakiki” kerap bertolak-belakang dari “kebenaran konvensional”.
Dapat menjelma begitu
irasionalnya umat manusia, mereka seakan secara sengaja mem-filter informasi
maupun fakta dan data aktual, dimana penilaian maupun keputusan mereka dikeruhkan
oleh anasir berupa harapan ataupun delusi sehingga memungkiri sebagian fakta
yang mereka lihat atau alami sendiri, bahwa seseorang yang sejatinya “iblis”
masih juga diyakini sebagai “malaikat”, ajaran yang mengampanyekan kekerasan
fisik dan intoleransi namun disaat bersamaan mempromosikan dosa dan maksiat
lewat ideologi “penghapusan dosa” dipandang sebagai “Agama SUCI” dan dibela secara
membuta, korban dipersalahkan dan dihakimi sementara pelakunya dibela dengan
tidak dikritik ataupun dicela, hingga kegagalan mereka untuk membedakan mana
yang baik dan yang buruk, mana yang bersih dan mana yang kotor.
Contoh paling sederhana ialah
lirik lagu yang kerap dinyanyikan bagi anak-anak kita di bangku Taman
Kanak-Kanak, bahwa “pelangi itu indah, bewarna-warni, pelukismu agung, siapakah
gerangan, pelangi pelangi ciptaan Tuhan”. Namun, mereka menutup mata dari
banyaknya manusia-manusia jahat ciptaan Tuhan (sampai-sampai Sinterklas takut
untuk muncul setiap hari dan setiap saat, orang baik adalah “mangsa empuk”)—lengkap
dengan sifat cacat maupun mentalitas kriminal mereka, sehingga mereka
diciptakan dan dilahirkan “born to be a
criminal”, karenanya untuk apa juga Tuhan yang notabene “Maha Tahu”
namun masih mencobai manusia ciptaannya sendiri, lantas Tuhan “cuci tangan”
dengan mencampakkan mereka (objek eksperimen gagal) ke alam neraka sekalipun
segala kejahatan terjadi atas seizin, rencana, dan kuasa Tuhan alias manusia
sekadar sebagai “pion catur” tanpa daya dan tanpa kuasa, sekalipun umur umat
manusia sudah sama tuanya dengan usia Planet Bumi ini—bencana alam yang
mengerikan dan mematikan (konvensi menyebutnya sebagai “the act of God”), kotor-joroknya rumah-rumah warga di pemukiman
kumuh, kondisi alam di negara-negara yang miskin dan tandus-gersang, pandemik,
penyakit fisik maupun penyakit kejiwaan, para “manusia sampah”, kriminalitas,
korupsi, hingga kondisi “a series of
unfortunate events” seperti gagal panen, stunting, busung lapar, tewas
akibat kelaparan, keadilan yang jauh dari jangkauan, hukum yang tumpul ke atas
dan tajam ke bawah, cacat akibat terjangkit penyakit saat balita, orang-orang
baik tersingkirkan dan berumur pendek, lengkap dengan segala tangisan dan tetesan
air mata lainnya dimana si jahat selalu lebih beruntung daripada si baik.
Sang Buddha dalam sutta menyebutkan, kumpulan tumpukan
tulang-belulang kita dari satu kelahiran ke kelahiran selanjutnya pada kehidupan-kehidupan
sebelumnya, lebih tinggi daripada gunung Himalaya, dimana air mata yang telah pernah
kita teteskan di kehidupan-kehidupan sebelumnya masih lebih banyak daripada air
tiga samudera dijadikan satu. Seorang bayi dilahirkan, para orangtua maupun
sanak-keluarga merasa berbahagia dan merayakannya, itu adalah “konvensi”. Ajahn
Chah mengungkapkan sebaliknya, semestinya orangtuanya merasa sedih, karena sang
bayi akan tumbuh dewasa, besar sebelum kemudian menua dan meninggal dunia
sebagai kodrat makhluk yang terlahirkan ke dunia ini. Yang meninggal dunia, sanak-keluarga
menangisi kepergian almarhum, juga merupakan “konvensi”, sekalipun almarhum
sedang terlahir kembali ke dalam wujud seorang bayi dari rahim orangtua
barunya.
Mencari dan menemukan orang
jujur, jauh lebih sukar daripada mencari dan menemukan logam mulia di berbagai
toko emas yang bahkan tersebar di berbagai pasar tradisional maupun ritel
modern. Alam semesta dipenuhi oleh planet-planet mati hingga lubang hitam yang
mamakan dan menghisap bintang-bintang bercahaya, kesenjangan sosial antara si
kaya dan si miskin dimana kian berdisparitas lebar—yang kaya semakin kaya dan
yang miskin semakin miskis—dimana sebagian besar kekuasaan ekonomi dikuasai
oleh segelintir konglomerat dan korporasi raksasa. Oligarkhi para elit politik
namun dikemas dalam busana demokrasi. Aparatur penegak hukum justru
menjual-belikan hukum. Kalangan orangtua yang selama ini kerap men-zolimi anak,
namun anak yang selalu diancam oleh doktrin-doktrin perihal durhaka—seolah
hanya anak yang bisa durhaka. Para dewasa pamer arogansi terhadap junior
mereka, alih-alih melindungi dan memberikan teladan yang baik. Para guru justru
mempertontonkan kedunguan karakter bagi para peserta didiknya yang diperlakukan
seperti keledai alih-alih, sebagai generasi penerus bangsa (“bonus” demografi).
Rakyat mengkritik dan mengutuk para elit penguasa dan politik sebagai koruptor
yang harus dihukum mati, sekalipun faktanya rakyat jelata kita sendiri dalam
kesehariannya tidak kalah korup dengan para elit yang mereka cela.
Sang Buddha menyatakan bahwa “kehidupan adalah dukkha (tidak memuaskan dan tidak dapat
terpuaskan, sekalipun segala keinginan inderawi dipenuhi dan dipuaskan secara
temporer sifatnya. Ajahn Chah memberi perumpamaan kenikmatan inderawi sebagai
seseorang yang memegang ekor ular lalu sang ular mematuk orang tersebut)”,
dimana para bijaksanawan menyatakan hal senada, bahwa “truth always BITTER”—kebenaran selalu PAHIT adanya—namun beragam
agama samawi justru mengobral murah alam surgawi lewat iming-iming “penghapusan
/ pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” (aboliton of sins) bagi para pendosa, tentunya, karena para ksatria
penganut “Agama KSATRIA” memilih untuk bertanggung-jawab sementara itu para
suciwan pemeluk “Agama SUCI” penuh disiplin diri latihan mawas diri dan “self control”—“Agama DOSA”, disebut
demikian karena mengkampanyekan dosa dan maksiat alih-alih mempromosikan gaya
hidup higienis dari dosa—dimana para pendosa berlomba-lomba memeluknya agar
tidak “merugi” (tidak menikmati dosa-dosa), sembari tetap “bussiness as usual”, yakni menimbun diri dengan dosa, mengoleksi
dosa, menimbun segudang dosa, memproduksi dosa, dan berkubang dalam dosa-dosa,
namun masih juga mengharap dan berdelusi yakin terjamin masuk alam surgawi.
Bukankah itu “too good to be true”?
Namun, akibat dosa-dosa mereka
telah demikian menggunung, akibat memakan dan termakan iming-iming “korup”
demikian, dimana para pendosa menjadi umatnya, maka tiada pilihan lain bagi
mereka selain meyakini secara membuta akibat “too big to fall”. Dapat Anda bayangkan, mengumpulkan penghasilan
atau harta kekayaan dengan cara-cara jahat dan kotor, lantas mengharap
“membersihkan harta” (money laundring)
dengan cara cukup bersedekah 2,5%? Tetap saja si miskin terjerat kemiskinan,
dan si korup tetap kaya-raya menikmati hasil-hasil kejahatannya. Iming-iming selalu
bersifat semanis madu, terkadang sangat tidak rasional dan para korbannya
adalah mereka yang kurang mampu berpikir kritis dan realistis. Sebagai contoh,
dikampanyekan “berpuasa (cukup) satu bulan, maka dosa-dosa selama setahun akan
dihapuskan”. Sebaliknya, kebenaran bahwa “hidup adalah dukkha”, dimana Sang Buddha menyebutkan bahwa para makhluk
di alam dewa dikuasai ketakutan hebat ketika diberitahu bahwa para makhluk dewata
tidaklah kekal dan akan meninggal dunia saat buah Karma Baiknya habis. Akan tetapi
seperti kata pepatah, yang pahit jangan langsung dibuang, dan yang manis jangan
langsung ditelan—karenanya, kedewasaan berpikir menjadi penting, alih-alih menjadikan
otak dan IQ (akal sehat milik orang sehat) sebagai musuh dari SQ. Kenikmatan
surgawi digambarkan tidak ubahnya kenikmatan duniawi (“mata keranjang” milik
para “hidung belang”). Kenikmatan surgawi lebih mendekati berupa kenikmatan
meditatif, dimana bagi mereka yang anti atau alergik bermeditasi, maka dapat
dipastikan tidak akan betah masuk ke alam surgawi, mereka akan menyerupai hidup
dalam siksaan rertet meditasi yang ketat, tidak boleh ini dan tidak boleh itu. Bila
Anda ingin maksiat “as usual”, maka Anda
akan lebih betah di alam neraka, “penghapusan dosa” menjadi bumerang bagi kegembiraan
Anda.
Merasa sakit dan jatuh sakit
adalah ketidaknormalan, itu juga merupakan “konvensi”. Sebaliknya, cara
berpikir Buddhistik sangat bertolak-belakang dari “mainstream” (istilah lain
dari “konvensi”). Sebagai contoh, bhikkhu bernama Ajahn Brahm, mengungkap bahwa
ketika kita merasa sakit dan pergi ke dokter, inilah yang perlu kita sampaikan
pada sang dokter, “Dok, ada yang BERES
dengan diri saya, saya sakit.”—alih-alih “Dok, ada yang TIDAK BERES dengan diri saya, saya sakit.” Menjadi
tua, sakit, dan meninggal, itulah “nature”
dari makhluk yang terlahir dari dalam rahim. Siapa suruh Anda dilahirkan. Dunia
ini indah, pelangi itu indah, kelahiran ini indah, benarkah demikian? Lalu, apakah
surga itu indah? Bila penghuninya ialah para manusia pendosa yang selama hidupnya
menjadi pelanggan tetap ideologi “korup” bernama “penghapusan dosa”, maka apa
bedanya alam surgawi dengan “dunia manusia jilid kedua” dimana si pendosa yang
satu menyakiti para pendosa lainnya sebagai sesama penghuni surga?
Adapun khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The
Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa
Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra
Anggara, tidak
menawarkan pandangan yang sejalan dengan pandangan konvensi “mainstream”, secara rasional dan
realistik menyatakan sebaliknya, dengan kutipan sebagai berikut: [Note : Tidak mengherankan
bila para perumah-tangga pada masa itu yang berseru lantang seusai Sang
Buddha membabarkan Dhamma : “Bagus
sekali, Guru Gotama! Bagus sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan
Dhamma dalam banyak cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik,
mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang
tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang
berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk.”]
333 (1) – 347 (15) 182
(333) “Seperti halnya, para
bhikkhu, di Jambudīpa ini, taman-taman, hutan-hutan, pemandangan-pemandangan
yang indah adalah sedikit, sedangkan lebih banyak bukit-bukit dan lereng-lereng,
sungai-sungai yang sulit diseberangi, tempat-tempat dengan tunggul-tunggul
pohon dan duri, dan barisan pegunungan, demikian pula makhluk-makhluk yang
terlahir kembali di atas tanah kering adalah lebih sedikit; lebih banyak
makhluk-makhluk yang terlahir di air.”
(334) “… demikian pula
makhluk-makhluk yang terlahir kembali di antara manusia adalah lebih sedikit;
lebih banyak makhluk-makhluk yang terlahir kembali di tempat selain daripada di
antara manusia.”
(335) “… demikian pula
makhluk-makhluk yang terlahir kembali di wilayah tengah adalah lebih sedikit;
lebih banyak makhluk-makhluk yang terlahir kembali di wilayah terpencil di
antara orang-orang asing yang kasar.”
(336) “… demikian pula terdapat
lebih sedikit makhluk-makhluk yang bijaksana, cerdas, cerdik, mampu memahami
apa yang telah dinyatakan dengan baik dan dinyatakan dengan buruk; lebih banyak
makhluk-makhluk yang tidak bijaksana, bodoh, tumpul, tidak mampu memahami apa
yang telah dinyatakan dengan baik dan dinyatakan dengan buruk.”
(337) “… demikian pula terdapat
lebih sedikit makhluk-makhluk yang memiliki mata kebijaksanaan yang mulia;
lebih banyak makhluk-makhluk yang bingung dan tenggelam dalam ketidaktahuan.”
(338) “… … demikian pula
terdapat lebih sedikit makhluk-makhluk yang dapat melihat Sang Tathāgata; lebih
banyak makhluk-makhluk yang tidak dapat melihat Beliau.”
(339) “… demikian pula terdapat
lebih sedikit makhluk-makhluk yang dapat mendengar Dhamma dan disiplin yang
dibabarkan oleh Sang Tathāgata; lebih banyak makhluk-makhluk yang tidak dapat
mendengarnya.”
(340) “… demikian pula terdapat
lebih sedikit makhluk-makhluk yang, setelah mendengar Dhamma, kemudian
mengingatnya; lebih banyak makhluk-makhluk yang setelah mendengar Dhamma, dan
tidak mengingatnya.”
(341) “… demikian pula terdapat
lebih sedikit makhluk-makhluk yang memeriksa makna dari ajaran-ajaran setelah
mengingatnya; lebih banyak makhluk-makhluk yang tidak memeriksa makna dari
ajaran-ajaran setelah mengingatnya.”
(342) “… demikian pula terdapat
lebih sedikit makhluk-makhluk yang
memahami makna dan Dhamma dan kemudian mempraktikkan sesuai Dhamma;
lebih banyak makhluk-makhluk yang tidak memahami makna dan Dhamma dan tidak
mempraktikkan sesuai Dhamma.”
(343) “… demikian pula terdapat
lebih sedikit makhluk-makhluk yang memperoleh rasa keterdesakan atas hal-hal
yang menginspirasi keterdesakan; lebih banyak makhluk-makhluk yang tidak
memperoleh rasa keterdesakan atas hal-hal yang menginspirasi keterdesakan.”
[NOTE : Kitab Komentar menguraikan
“delapan landasan bagi rasa keterdesakan” (aṭṭha saṃvegavatthūni): kelahiran, usia tua, penyakit, kematian;
penderitaan di alam sengsara; penderitaan yang berakar dalam masa lalu saṃsāra
seseorang; penderitaan yang harus dialami di masa depan saṃsāra
seseorang; dan penderitaan yang berakar dalam pencarian makanan.]
(344) “… demikian pula terdapat
lebih sedikit makhluk-makhluk yang, ketika terinspirasi oleh rasa keterdesakan,
kemudian berusaha dengan seksama; lebih banyak makhluk-makhluk yang, ketika
terinspirasi oleh rasa keterdesakan, tidak berusaha dengan seksama.”
(345) “… demikian pula terdapat
lebih sedikit makhluk-makhluk yang memperoleh konsentrasi, keterpusatan
pikiran, yang berdasarkan pada pelepasan; lebih banyak makhluk-makhluk yang
tidak memperoleh konsentrasi, keterpusatan pikiran, yang berdasarkan pada
pelepasan.”
[Kitab Komentar : Berdasarkan
pada kebebasan (vavassaggārammaṇaṃ karitvā): kebebasan adalah nibbāna. Maknanya adalah: setelah menjadikan itu sebagai
objek. Memperoleh konsentrasi (labhanti
samādhiṃ): mereka memperoleh konsentrasi sang jalan dan
konsentrasi buah.” Ungkapan ini juga digunakan dalam definisi indria konsentrasi
pada sutta-sutta lainnya. Mungkin awalnya hanya bermakna suatu kondisi
samādhi yang didorong oleh aspirasi untuk mencapai kebebasan. Dalam sutta
lain, jalan mulia berunsur delapan, tujuh faktor pencerahan, dan lima indria
spiritual sering digambarkan sebagai vossaggapariṇāmiṃ, “berkembang menuju kebebasan”
atau “matang dalam kebebasan,” vossagga
dan vavassagga adalah bentuk
alternatif dari kata yang sama.]
(346) “… demikian pula terdapat
lebih sedikit makhluk-makhluk yang memperoleh makanan-makanan lezat; lebih
banyak makhluk-makhluk yang tidak memperoleh makanan demikian tetapi bertahan
dari makanan-makanan sisa di dalam mangkuk.”
(347) “… demikian pula terdapat
lebih sedikit makhluk-makhluk yang memperoleh rasa makna, rasa Dhamma, rasa
kebebasan; lebih banyak makhluk-makhluk yang tidak memperoleh rasa makna, rasa
Dhamma, rasa kebebasan. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih
sebagai berikut: ‘Kami akan memperoleh rasa makna, rasa Dhamma, rasa
kebebasan.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”
[“Dhamma dan disiplin ini hanya
memiliki satu rasa, yaitu rasa kebebasan” (ayaṃ dhammavinayo ekaraso vimuttiraso).]
348 (16) – 377 (45)
(348) – (350) 350 “Seperti
halnya, para bhikkhu, di Jambudīpa ini, taman-taman, hutan-hutan,
pemandangan-pemandangan yang indah adalah sedikit, sedangkan lebih banyak
bukit-bukit dan lereng-lereng, sungai-sungai yang sulit diseberangi,
tempat-tempat dengan tunggul-tunggul pohon dan duri, dan barisan pegunungan,
demikian pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia,
kemudian terlahir kembali di tengah-tengah manusia lebih sedikit. Lebih
banyak makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, kemudian
terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang
menderita.”
(351) – (353) 353 “… demikian
pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, kemudian
terlahir kembali di antara para deva lebih sedikit. Lebih banyak
makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, kemudian terlahir
kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang menderita.”
(354) – (356) 365 “… demikian
pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai deva, kemudian
terlahir kembali di antara para deva lebih sedikit. Lebih banyak
makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai deva, kemudian terlahir
kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang menderita.”
(357) – (359) 359 “… demikian
pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai deva, kemudian
terlahir kembali di antara para manusia lebih sedikit. Lebih banyak
makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai deva, kemudian terlahir
kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang menderita.”
(360) – (362) 362 “… demikian
pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam neraka, kemudian
terlahir kembali di antara para manusia lebih sedikit. Lebih banyak
makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam neraka, kemudian
terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang
menderita.”
(363) – (365) 365 “… demikian
pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam neraka, kemudian
terlahir kembali di antara para deva lebih sedikit. Lebih banyak
makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam neraka, kemudian
terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang
menderita.”
(366) – (368) 368 “… demikian
pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam binatang, kemudian
terlahir kembali di antara para manusia lebih sedikit. Lebih banyak
makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam binatang, kemudian
terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang
menderita.”
(369) – (371) 371 “… demikian
pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam binatang, kemudian
terlahir kembali di antara para deva lebih sedikit. Lebih banyak
makhluk-makhluk [38] yang, ketika meninggal dunia dari alam binatang, kemudian
terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang
menderita.”
(372) – (374) 374 “… demikian
pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam hantu menderita,
kemudian terlahir kembali di antara para manusia lebih sedikit. Lebih banyak
makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam hantu menderita,
kemudian terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu
yang menderita.”
(375) – (377) 377 “… demikian
pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam hantu menderita,
kemudian terlahir kembali di antara para deva lebih sedikit. Lebih banyak
makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam hantu menderita,
kemudian terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu
yang menderita.”
Bila berbagai agama samawi
menawarkan “surga murahan” yang di-OBRAL murah bagi para pendosa, sekalipun
bila memang itu bisa terjadi, maka itu bukanlah akhir dari segalanya. Kehidupan
ini menyerupai “never ending stories”,
segalanya bersifat “to be continue...”,
siklus tiada berkesudahan dan tiada akhir dari lingkaran samsara, adalah “dukkha” itu sendiri, akibat kemelakatan
dan kekotoran batin, seseorang kembali menjelma di berbagai alam kehidupan. Hanyalah
ajaran yang memberikan petunjuk jalan menuju “akhir dari dukkha” dan “jalan menuju akhir
dari dukkha” setelah memahami “akar
penyebab dukkha”, seseorang
barulah dapat tertolong dan terselamatkan, yakni “break the chain of karmic law” (Nibbana, suatu yang “tidak lagi
terkondisikan”, karena belenggu rantai karma telah terputus sepenuhnya)—kesemua
ini dikenal dengan istilah sebagai “empat kebenaran mulia” (four noble truth).
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.