Bila Pembohong Berbohong, maka Pembual Membual, dan Penipu Menipu
Question: Sering kita dengar istilah seperti tukang bohong (pembohong), pembuat bualan (pembual), dan penipuan (oleh penipu sebagai pelakunya), bukankah ketiganya ini sama saja maksud dan artinya?
Brief Answer: Ketiga istilah tersebut, meski tampak seperti
merujuk hal yang asma, namun sejatinya memiliki makna serta gradasi aktual yang
berlainan tingkat derajat ke-tercela-annya antara pembohong, pembual, dan
penipu.
PEMBAHASAN:
Sederhananya, tidak semua pembohong adalah pembual
ataupun penipu, dimana tidak semua pembual adalah penipu, sementara itu semua
penipu adalah juga seorang pembohong dan pembual. Pembohong, lewat berbohong,
membuat kebohongan—semisal, yang “tiada” dikatakan sebagai “masih ada”, yang
“tidak ada” disebut olehnya sebagai “masih ada”, yang “buruk” dan mengandung
“cacat tersembunyi” diklaim sebagai “utuh dan sempurna”, yang “jahat”
dipromosikan sebagai “musang berbulu malaikat”. Namun, seorang pembohong hanya
sampai sejauh itu saja derajat gradasi tingkat keparahan ataupun kejahatannya,
tidak sampai melangkah lebih jauh lagi seperti menjelma dan menenggelamkan diri
sebagai seorang pembual yang membuat bualan yang mencoba meyakinkan korbannya
agar terperangkap masuk jebakan.
Salah satu bentuk variasi dari
kebohongan, ialah “ingkar janji” yang dalam terminologi hukum dikenal juga
dengan istilah sebagai “wanprestasi”. Seorang pembohong, ketika kebohongannya
terbongkar, tidak akan berkelit “seribu satu alibi” seperti membuat-membuat
alasan untuk menutupi kesalahan ataupun ketidak-benaran yang telah pernah
dibuat olehnya. Terdapat beragam motif atau niat batin (mens rea) dari seorang pembohong, sehingga mereka berbohong. Salah
satunya bisa karena faktor rasa takut, semisal takut dihukum bila berkata jujur
bahwa yang bersangkutan tidak telah melakukan plagiat, bersikukuh bahwa karya
seninya adalah orinisil ide otentik pribadinya sendiri, sekalipun semua orang
bisa melihat bahwa yang bersangkutan telah melakukan plagiarisme terhadap hak
cipta milik orang lain.
Penulis bahkan mengenal
seseorang yang memandang berbohong dan kebohongan adalah cara paling efektif
dan paling efisien untuk menyelesaikan setiap masalah (jalan pintas membungkam
potensi sengketa), dimana pelakunya mungkin tidak memiliki niat jahat, namun “dungu”.
Bukankah sungguh merepotkan dan membuat repot menghadapi orang-orang dengan karakter
“dungu” (reckless and ignorant)
demikian? Yang bersangkutan tidak menyelesaikan masalah, namun menutupi masalah,
persis seperti tabiat seekor kucing yang menutupi kotorannya ketika buang air
sembarangan di halaman depan rumah warga. Ada pandangan yang secara meluas
telah menjangkiti alam bawah sadar masyarakat kita, bahwa “white lie” (kebohongan putih) adalah tidak jahat dan tidak buruk,
yang jahat dan tercela hanyalah “black
lie” (kebohongan hitam). Namun seperti disinggung oleh Ajahn Brahm, si
pelaku “kebohongan putih” ini akan terjebak masuk ke dalam “gray lie” (kebohongan abu-abu) sebelum
kemudian terperosok masuk ke dalam “black
lie”.
Psikologi manusia pada umumnya
memiliki cacat dan cenderung mengecoh diri mereka sendiri, menyerupai gradasi
yang tidak disadari oleh si subjek itu sendiri, semisal ketika bobot tubuh
seseorang hanya bertambah sedikit, meremehkannya, sebelum kemudian ia bertambah
lebih berat sedikit, bertambah lebih berat sedikit, lebih sedikit, lebih
sedikit, sehingga pada akhirnya hanya dalam hitungan kurang dari satu tahun,
tubuhnya menjelma menyerupai “balon udara”. Ia membandingkan dengan gradasi
sebelumnya yang hanya “bertambah sedikit”—inilah yang mengecoh, tidak
menjadikan tolak-ukur ukuran tubuhnya saat masih “langsing”, yang tampak
ekstrem dengan kondisi ia saat kini, namun membandingkan dengan gradasi
sebelumnya yang hanya sekadar “bertambah sedikit”. Hal yang sama terjadi pula terhadap
seseorang yang semula sebaik “malaikat” menjelma “iblis”. Sedikit demi sedikit,
lama-kelamaan menggunung juga, begitu kata pepatah mengingatkan kita.
Selangkah lebih ekstrem, ialah
membual, pelakunya disebut sebagai pembual dan produk perbuatan buruknya ini
dinamakan sebagai bualan. Bualan, adapun fungsinya ialah, untuk mengisi
kebohongan, agar tampak menyerupai sebentuk rangkaian kisah yang logis dan
tampak nyata (realistik namun fiktif), akan tetapi kesemua itu hanyalah
rekayasa yang diada-adakan alias mengada-ngada. Mereka sungguh pandai
“mengarang bebas” rangkaian-rangkaian kejadian fiktif seolah-olah nyata dan
real terjadi, serta merasa bangga tanpa sedikit pun menyiratkan perasaan bersalah
ataupun malu ketika membuat serangkaian bualan, bahkan bisa begitu meyakinkan.
Istilah pendusta, lebih tepat dialamatkan kepada kaum pembohong, dimana untuk
kalangan pembual lebih layak dan patut diberi gelar sebagai “tukang membual”,
alias suka membuat-membuat bualan. Bila pembohong adalah pendusta, maka pembual
adalah pembual.
Salah satu indikator paling
nyata dari seorang pembual yang kurang terampil ialah, ia begitu mengobral iming-iming,
dimana kita yang berhadapan dengannya perlu mengingatkan diri kita sendiri untuk
bersikap realistik, kita menjadi sadar bahwa itu merupakan sekadar bualan mengingat
bualannya “too good to be true”. Contoh
paling ekstrem ialah ketika seseorang mempromosikan suatu keyakinan keagamaan
tertentu, dengan sesumbar bahwa alam surgawi (yang mereka sebut-sebut sebagai “kerajaan
Tuhan”) menyerupai—mohon maaf—“rumah bord!l” dimana kenikmatan yang ditawarkan bagi
para pendosa (namun menjejali surga sebagai penghuni surga karena menjadi
pelanggan tetap yang mencandu ideologi “penghapusan dosa”) ialah bersifat “kenikmatan
duniawi”, maka para pendosa “hidung belang” tentu akan berbondong-bondong memeluknya
dan tanpa ragu membuang jauh-jauh otak pemberian Tuhan untuk berpikir secara kritis
: bagaimana mungkin memahami alam surgawi dengan memakai standar ukuran “kacamata”
seorang manusia yang kotor pandangan batinnya, yang mana terbiasa memanjakan diri
dengan kesenangan duniawi? Adalah lebih niscaya bahwasannya “kebahagiaan
surgawi” berwujud setara dengan “kebahagiaan meditatif”, dimana pintu-pintu
inderawi terkendali alih-alih tidak terkontrol dan tidak terbendung secara liar.
Seorang pembohong maupun
pembual belum tentu jahat maksud batin si pelaku bualan, niatannya bisa berupa
faktor ke-iseng-an belaka, meski tetap saja membuat jengkel orang lain yang berpotensi
atau jelas-jelas akan merasa terganggu maupun dirugikan karena ke-usil-annya.
Masih ingatkah para pembaca atas kisah klasik berikut ini. Once upon a time, seorang bocah berteriak lantang, “Ada MACAN, ada Macan!” Warga berdatangan
dengan paniknya lengkap dengan senjata lengkap, namun ternyata hanya kelakar
konyol sang bocah. Meski warga menjadi tenang dan merasa bersyukur hidup damai
tanpa diganggu macan yang mendatangi kandang ternak mereka, tetap saja
mengganggu dan membuat “dongkol”. Sang bocah, menyadari trik nakalnya tidak
akan efektif untuk kedua kalinya, kini menerapkan siasat baru dengan membuat kisah
seolah nyata, sang bocah berlari ke rumah kepala desa, lalu bercerita dengan
panik penuh keyakinan, “Ada HARIMAU,
tingginya tiga kaki dan panjangnya enam kaki! Ia sudah ada di kaki bukit
sebelah Utara!” Ternyata, hanya sebuah bualan. Ada pula sebentuk bualan (prank) yang sejak semula tidak dimaksudkan
untuk menyakiti ataupun merugikan individu atau makhluk lainnya, yakni sebuah
lelucon ala “stand up comedy” yang dirangcang khusus untuk
menghibur, meski ada kalanya lelucon yang “tidak cerdas” dengan menjadikan
kekurangan orang lain sebagai objek tertawaan, yang “tidak lucu” tentunya. Akan
tetapi, sejahat-jahatnya seorang pembual, mereka tidak akan sampai sejauh “maling
teriak maling”.
Adapun derajat dengan tingkat
ekstem tertinggi, puncaknya diduduki oleh kaum penipu. Niat batin mereka selalu
jahat, tidak jarang hingga mencelakai orang lain, hendak menipu yang pastinya
akan merugikan sang korban, baik kerugian material maupun kerugian psikis dan
fisik. Seorang “pria gombal”, menjanjikan akan menikahi sang gadis yang
dikencani olehnya, bilamana sang gadis bersedia melepas keperawanannya kepada
sang pria, ternyata bukan hanya ingkar janji, namun sedari sejak semula memang
niat batinnya ialah sekadar sebagai iming-iming alias modus untuk menjebak korban-korbannya
agar masuk ke dalam perangkap sang pelaku penipuan. Pelakunya, layak disebut
sebagai seorang penipu.
Seorang debitor meminjam modal
usaha, dengan alasan hendak memodali bisnis gerai butiknya, ternyata bukan
sekadar ingkar janji melunasi hutangnya kepada sang kreditor, sang pelaku
justru menggelapkan modal usaha yang dipinjamkan dan dipercayakan kepadanya,
untuk keperluan pribadi diluar bisnis gerai butiknya. Dari sejak awal, niat
batin sang pelaku ialah memang hendak mengecoh serta merugikan korbannya.
Begitupula ketika seseorang mengaku-ngaku sebagai pemilik tambang yang
membutuhkan suntikan modal investasi dari calon investor, telah ternyata baru
diketahui oleh korban dikemudian hari bahwasannya sang peminjam modal sama
sekali tidak punya pertambangan apapun. Palakunya, adalah penipu, karenanya
dijerat pasal pemidanaan sebagai Terdakwa kasus pidana penipuan. Tepat mengutip
isi pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) perihal penipuan, dimana
rumusan jantung pasalnya ialah “serangkaian kata-kata bodong maupun tipu
muslihat”, dengan maksud menggerakkan hati calon korbannya agar masuk dalam
perangkap sang “predator”. Indikatornya mudah, apakah kita telah menjadi korban
penipuan atau tidaknya, dengan menjawab pertanyaan berikut ini : bila dari
sejak awal kita mengetahui bahwa “wajah aslinya” adalah demikian adanya, maka
apakah kita akan memilih untuk membeli produknya / menikahinya / menyewanya /
memberi pinjaman kepadanya / memberi kepercayaan kepadanya, dan lain
sebagainya? Singkatnya, tidak terjadi “sama sama ikhlas” pada muaranya, yang
ada ialah “cacat kehendak”.
Karenanya, para pelaku tindak
pidana penggelapan maupun penipuan, sudah pasti wanprestasi, namun ketika
digugat statusnya bukanlah tergugat atas gugatan wanprestasi, namun gugatan
“perbuatan melawan hukum” dimana penggugat berhak menuntut pula ganti-kerugian
moril disamping tuntutan ganti-kerugian materiil. Mengapa? Karena derajat
kejahatannya ataupun kesalahannya merupakan derajat dengan tingkat paling
ekstrem. Bahkan, telah terdapat sebuah putusan pidana pada suatu Pengadilan
Negeri yang mana Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum yang memberatkan vonis
hukuman terhadap sang terdakwa yang didakwa dengan pasal penipuan ialah, sifat
penipuan merupakan “kejahatan yang sangat jahat” itu sendiri, karenanya layak
menjatuhkan hukuman yang diperberat bagi pihak terdakwa pelaku aksi penipuan.
Pepatah juga mengingatkan,
mulutmu (adalah) harimaumu. Relevansinya dengan itu, tepat kiranya kita merujuk langsung khotbah
Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical
Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012,
terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi
Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan sebagai berikut:
36 (6) Utusan-utusan.
“Para bhikkhu, ada tiga utusan
surgawi ini. Apakah tiga ini? “Di sini, para bhikkhu, seseorang terlibat
dalam perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai akibatnya,
dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam
sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Di sana
para penjaga neraka mencengkeramnya pada kedua lengannya dan membawanya kepada
Raja Yama, [dengan berkata]: ‘Orang ini, Baginda, tidak berperilaku selayaknya
terhadap ibu dan ayahnya; ia tidak berperilaku selayaknya terhadap para petapa
dan brahmana; dan ia tidak menghormati saudara-saudara yang lebih tua dalam
keluarga. Silakan Baginda menjatuhkan hukuman kepadanya!’
[NOTE Kitab Komentar: “Orang (yang)
tua, orang sakit (dukkha), dan mayat
(kematian) disebut ‘utusan-utusan surgawi’ (devadūta)
karena mereka mendorong munculnya rasa keterdesakan, seolah-olah memperingatkan
seseorang: ‘Sekarang engkau harus pergi menuju kematian.’”]
[Raja Yama merupakan “Dewa Kematian”
legendaris dan hakim bagi takdir masa depan seseorang, dikenal pula sebagai
Raja Alam Neraka.]
(1) “Kemudian Raja Yama
menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya tentang utusan surgawi pertama:
‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi pertama yang muncul di
antara manusia?’ Dan ia menjawab: ‘Tidak, Tuan, aku tidak melihatnya.’
“Kemudian Raja Yama berkata kepadanya: “Tetapi, tidak pernahkah engkau melihat
di antara manusia seorang laki-laki atau seorang perempuan, berumur delapan
puluh, sembilan puluh, atau seratus tahun, lemah, bungkuk seperti rusuk atap,
bungkuk, berjalan terhuyung-huyung dengan ditopang oleh tongkat, menderita
penyakit, tiada kemudaan, dengan gigi tanggal, dengan rambut memutih atau
botak, dengan kulit keriput, dengan bercak pada bagian-bagian tubuh?’ Dan orang
itu menjawab: ‘Pernah, Tuan, aku pernah melihat hal ini.’
“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak
pernahkah terpikir olehmu, seorang manusia yang cerdas dan dewasa: “Aku juga
tunduk pada penuaan, aku tidak terbebas dari penuaan. Biarlah aku sekarang
melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ [139] -
‘Tidak, Tuan, aku tidak mampu, aku lalai.’
“Kemudian Raja Yama berkata:
‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik melalui
jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai
kelalaianmu. Kamma burukmu ini bukan dilakukan oleh ibu atau ayahmu, juga bukan
oleh saudara laki-laki atau saudara perempuanmu, juga bukan oleh teman-teman
dan kerabatmu, juga bukan sanak saudara dan anggota keluargamu, juga bukan oleh
para dewa, juga bukan oleh para petapa dan brahmana. Sebaliknya adalah
engkau sendiri yang melakukan kamma buruk itu, dan engkau sendiri yang akan
mengalami akibatnya.’
(2) “Ketika Raja Yama telah
menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya tentang utusan surgawi pertama,
kemudian ia menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya tentang utusan surgawi
kedua: ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi kedua yang muncul di
antara manusia?’ Dan ia menjawab: ‘Tidak, Tuan, aku tidak melihatnya.’ Kemudian
Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah engkau melihat di antara manusia seorang
laki-laki, atau seorang perempuan, yang sakit, menderita, sakit keras,
berbaring di atas kotoran dan air kencingnya sendiri, harus diangkat oleh
beberapa orang dan dibaringkan oleh beberapa orang lainnya?’ Dan ia menjawab:
‘Pernah, Tuan, aku pernah melihat hal ini.’
“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak
pernahkah terpikir olehmu, seorang manusia yang cerdas dan dewasa: “Aku juga
tunduk pada penyakit, aku tidak terbebas dari penyakit. Biarlah aku sekarang
melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ - ‘Tidak, Tuan,
aku tidak mampu, aku lalai.’
“Kemudian Raja Yama berkata:
[140] ‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik
melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu
sesuai kelalaianmu. Kamma burukmu ini bukan dilakukan oleh ibu atau ayahmu,
juga bukan oleh saudara laki-laki atau saudara perempuanmu, juga bukan oleh
teman-teman dan kerabatmu, juga bukan sanak saudara dan anggota keluargamu,
juga bukan oleh para dewa, juga bukan oleh para petapa dan brahmana. Sebaliknya
adalah engkau sendiri yang melakukan kamma buruk itu, dan engkau sendiri yang
akan mengalami akibatnya.’
(3) “Ketika Raja Yama telah
menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya tentang utusan surgawi kedua,
kemudian ia menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya tentang utusan surgawi
ketiga : ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi ketiga yang muncul
di antara manusia?’ Dan ia menjawab: ‘Tidak, Tuan, aku tidak melihatnya.’
“Kemudian Raja Yama berkata:
‘Tidak pernahkah engkau melihat di antara manusia seorang laki-laki atau
seorang perempuan, satu, dua, atau tiga hari setelah mati, membengkak, memucat,
dan bernanah?’ Ia berkata: ‘Pernah, Tuan, aku pernah melihat hal ini.’
“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak
pernahkah terpikir olehmu, seorang manusia yang cerdas dan dewasa: “Aku juga
tunduk pada kematian, aku tidak terbebas dari kematian. Biarlah aku sekarang
melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ - ‘Tidak,
Tuan, aku tidak mampu, aku lalai.’
“Kemudian Raja Yama berkata:
‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik melalui
jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai
kelalaianmu. Kamma burukmu ini bukan dilakukan oleh ibu atau ayahmu, juga bukan
oleh saudara laki-laki atau saudara perempuanmu, juga bukan oleh teman-teman
dan kerabatmu, juga bukan sanak saudara dan anggota keluargamu, juga bukan oleh
para dewa, juga bukan oleh para petapa dan brahmana. Sebaliknya adalah engkau
sendiri yang melakukan kamma buruk itu, dan engkau sendiri yang akan mengalami
akibatnya.’
“Ketika, para bhikkhu, Raja
Yama telah menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya sehubungan dengan utusan
surgawi ketiga, ia berdiam diri. [141] Kemudian para penjaga neraka menyiksanya
dengan lima tusukan. Mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus
satu tangan, dan menusukkan sebatang pancang besi membara menembus tangan
lainnya; mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus satu kakinya,
dan menusukkan sebatang pancang besi membara menembus kaki lainnya; mereka
menusukkan sebatang pancang besi membara menembus dadanya. Di sana ia
merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk, namun ia tidak mati selama
akibat dari kamma buruknya belum habis.
“Kemudian para penjaga neraka
melemparnya ke bawah dan mengulitinya dengan kapak. Di sana ia merasakan
perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk, namun ia tidak mati selama akibat dari
perbuatan jahatnya belum habis. Kemudian para penjaga neraka menggantungnya
dengan kaki di atas dan kepala di bawah dan mengulitinya dengan alat pengukir
kayu ... Kemudian para penjaga neraka mengikatnya pada sebuah kereta dan
menariknya kesana-kemari di atas tanah yang terbakar, menyala, dan berpijar ...
Kemudian para penjaga neraka menyuruhnya memanjat naik dan turun di atas
gundukan bara api yang terbakar, menyala, dan berpijar ... Kemudian para
penjaga neraka menggantungnya dengan kaki di atas dan kepala di bawah dan
mencelupkannya ke dalam panci logam panas yang terbakar, menyala, dan berpijar.
Ia direbus di sana di dalam pusaran buih. Dan ketika ia direbus di sana di
dalam pusaran buih, ia kadang-kadang terhanyut ke atas, kadang-kadang ke bawah,
kadang-kadang ke sekeliling. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan,
menyiksa, menusuk, namun ia tidak mati selama akibat dari kamma buruknya belum
habis.
“Kemudian para penjaga neraka
melemparnya ke dalam Neraka Besar. Sekarang, para bhikkhu, sehubungan dengan
Neraka Besar: “Neraka ini memiliki empat sudut dan empat pintu dan terbagi
dalam ruang-ruangan terpisah; dikelilingi oleh dinding besi dan ditutup dengan
atap besi. [142]
“Lantainya juga terbuat dari
besi dan dipanaskan dengan api hingga berpijar. Luasnya seratus yojana penuh
yang mencakup seluruh wilayah itu.
“Suatu ketika, para bhikkhu, di
masa lampau Raja Yama berpikir: ‘Mereka yang di dunia melakukan
perbuatan-perbuatan jahat sungguh akan mengalami berbagai jenis siksaan.
Oh, semoga aku terlahir kembali menjadi manusia! Semoga seorang Tathāgata,
Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna muncul di dunia! Semoga aku dapat melayani
Sang Bhagavā itu! Semoga Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma kepadaku, dan semoga
aku memahami DhammaNya!’
“Para bhikkhu, Aku tidak
mengulangi sesuatu yang Kudengar dari petapa atau brahmana lain, tetapi
sebaliknya Aku membicarakan tentang sesuatu hal yang benar-benar Kuketahui,
Kulihat, dan kupahami oleh diriKu sendiri.”
Walaupun diperingatkan oleh
para utusan surgawi, orang-orang itu yang tetap lalai menderita untuk waktu
yang lama, setelah mengembara di alam rendah. Tetapi orang-orang baik di sini
yang, ketika diperingatkan oleh para utusan surgawi, tidak menjadi lalai
sehubungan dengan Dhamma mulia; yang, setelah melihat bahaya dalam
kemelekatan sebagai asal-mula kelahiran dan kematian, terbebaskan melalui
ketidak-melekatan dalam padamnya kelahiran dan kematian: orang-orang
berbahagia itu telah mencapai keamanan; mereka telah mencapai nibbāna dalam
kehidupan ini. Setelah mengatasi segala permusuhan dan bahaya, mereka telah
melampaui segala penderitaan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.