Perbedaan antara Pembohong, Pembual, dan Penipu

Bila Pembohong Berbohong, maka Pembual Membual, dan Penipu Menipu

Question: Sering kita dengar istilah seperti tukang bohong (pembohong), pembuat bualan (pembual), dan penipuan (oleh penipu sebagai pelakunya), bukankah ketiganya ini sama saja maksud dan artinya?

Brief Answer: Ketiga istilah tersebut, meski tampak seperti merujuk hal yang asma, namun sejatinya memiliki makna serta gradasi aktual yang berlainan tingkat derajat ke-tercela-annya antara pembohong, pembual, dan penipu.

PEMBAHASAN:

Sederhananya, tidak semua pembohong adalah pembual ataupun penipu, dimana tidak semua pembual adalah penipu, sementara itu semua penipu adalah juga seorang pembohong dan pembual. Pembohong, lewat berbohong, membuat kebohongan—semisal, yang “tiada” dikatakan sebagai “masih ada”, yang “tidak ada” disebut olehnya sebagai “masih ada”, yang “buruk” dan mengandung “cacat tersembunyi” diklaim sebagai “utuh dan sempurna”, yang “jahat” dipromosikan sebagai “musang berbulu malaikat”. Namun, seorang pembohong hanya sampai sejauh itu saja derajat gradasi tingkat keparahan ataupun kejahatannya, tidak sampai melangkah lebih jauh lagi seperti menjelma dan menenggelamkan diri sebagai seorang pembual yang membuat bualan yang mencoba meyakinkan korbannya agar terperangkap masuk jebakan.

Salah satu bentuk variasi dari kebohongan, ialah “ingkar janji” yang dalam terminologi hukum dikenal juga dengan istilah sebagai “wanprestasi”. Seorang pembohong, ketika kebohongannya terbongkar, tidak akan berkelit “seribu satu alibi” seperti membuat-membuat alasan untuk menutupi kesalahan ataupun ketidak-benaran yang telah pernah dibuat olehnya. Terdapat beragam motif atau niat batin (mens rea) dari seorang pembohong, sehingga mereka berbohong. Salah satunya bisa karena faktor rasa takut, semisal takut dihukum bila berkata jujur bahwa yang bersangkutan tidak telah melakukan plagiat, bersikukuh bahwa karya seninya adalah orinisil ide otentik pribadinya sendiri, sekalipun semua orang bisa melihat bahwa yang bersangkutan telah melakukan plagiarisme terhadap hak cipta milik orang lain.

Penulis bahkan mengenal seseorang yang memandang berbohong dan kebohongan adalah cara paling efektif dan paling efisien untuk menyelesaikan setiap masalah (jalan pintas membungkam potensi sengketa), dimana pelakunya mungkin tidak memiliki niat jahat, namun “dungu”. Bukankah sungguh merepotkan dan membuat repot menghadapi orang-orang dengan karakter “dungu” (reckless and ignorant) demikian? Yang bersangkutan tidak menyelesaikan masalah, namun menutupi masalah, persis seperti tabiat seekor kucing yang menutupi kotorannya ketika buang air sembarangan di halaman depan rumah warga. Ada pandangan yang secara meluas telah menjangkiti alam bawah sadar masyarakat kita, bahwa “white lie” (kebohongan putih) adalah tidak jahat dan tidak buruk, yang jahat dan tercela hanyalah “black lie” (kebohongan hitam). Namun seperti disinggung oleh Ajahn Brahm, si pelaku “kebohongan putih” ini akan terjebak masuk ke dalam “gray lie” (kebohongan abu-abu) sebelum kemudian terperosok masuk ke dalam “black lie”.

Psikologi manusia pada umumnya memiliki cacat dan cenderung mengecoh diri mereka sendiri, menyerupai gradasi yang tidak disadari oleh si subjek itu sendiri, semisal ketika bobot tubuh seseorang hanya bertambah sedikit, meremehkannya, sebelum kemudian ia bertambah lebih berat sedikit, bertambah lebih berat sedikit, lebih sedikit, lebih sedikit, sehingga pada akhirnya hanya dalam hitungan kurang dari satu tahun, tubuhnya menjelma menyerupai “balon udara”. Ia membandingkan dengan gradasi sebelumnya yang hanya “bertambah sedikit”—inilah yang mengecoh, tidak menjadikan tolak-ukur ukuran tubuhnya saat masih “langsing”, yang tampak ekstrem dengan kondisi ia saat kini, namun membandingkan dengan gradasi sebelumnya yang hanya sekadar “bertambah sedikit”. Hal yang sama terjadi pula terhadap seseorang yang semula sebaik “malaikat” menjelma “iblis”. Sedikit demi sedikit, lama-kelamaan menggunung juga, begitu kata pepatah mengingatkan kita.

Selangkah lebih ekstrem, ialah membual, pelakunya disebut sebagai pembual dan produk perbuatan buruknya ini dinamakan sebagai bualan. Bualan, adapun fungsinya ialah, untuk mengisi kebohongan, agar tampak menyerupai sebentuk rangkaian kisah yang logis dan tampak nyata (realistik namun fiktif), akan tetapi kesemua itu hanyalah rekayasa yang diada-adakan alias mengada-ngada. Mereka sungguh pandai “mengarang bebas” rangkaian-rangkaian kejadian fiktif seolah-olah nyata dan real terjadi, serta merasa bangga tanpa sedikit pun menyiratkan perasaan bersalah ataupun malu ketika membuat serangkaian bualan, bahkan bisa begitu meyakinkan. Istilah pendusta, lebih tepat dialamatkan kepada kaum pembohong, dimana untuk kalangan pembual lebih layak dan patut diberi gelar sebagai “tukang membual”, alias suka membuat-membuat bualan. Bila pembohong adalah pendusta, maka pembual adalah pembual.

Salah satu indikator paling nyata dari seorang pembual yang kurang terampil ialah, ia begitu mengobral iming-iming, dimana kita yang berhadapan dengannya perlu mengingatkan diri kita sendiri untuk bersikap realistik, kita menjadi sadar bahwa itu merupakan sekadar bualan mengingat bualannya “too good to be true”. Contoh paling ekstrem ialah ketika seseorang mempromosikan suatu keyakinan keagamaan tertentu, dengan sesumbar bahwa alam surgawi (yang mereka sebut-sebut sebagai “kerajaan Tuhan”) menyerupai—mohon maaf—“rumah bord!l” dimana kenikmatan yang ditawarkan bagi para pendosa (namun menjejali surga sebagai penghuni surga karena menjadi pelanggan tetap yang mencandu ideologi “penghapusan dosa”) ialah bersifat “kenikmatan duniawi”, maka para pendosa “hidung belang” tentu akan berbondong-bondong memeluknya dan tanpa ragu membuang jauh-jauh otak pemberian Tuhan untuk berpikir secara kritis : bagaimana mungkin memahami alam surgawi dengan memakai standar ukuran “kacamata” seorang manusia yang kotor pandangan batinnya, yang mana terbiasa memanjakan diri dengan kesenangan duniawi? Adalah lebih niscaya bahwasannya “kebahagiaan surgawi” berwujud setara dengan “kebahagiaan meditatif”, dimana pintu-pintu inderawi terkendali alih-alih tidak terkontrol dan tidak terbendung secara liar.

Seorang pembohong maupun pembual belum tentu jahat maksud batin si pelaku bualan, niatannya bisa berupa faktor ke-iseng-an belaka, meski tetap saja membuat jengkel orang lain yang berpotensi atau jelas-jelas akan merasa terganggu maupun dirugikan karena ke-usil-annya. Masih ingatkah para pembaca atas kisah klasik berikut ini. Once upon a time, seorang bocah berteriak lantang, “Ada MACAN, ada Macan!” Warga berdatangan dengan paniknya lengkap dengan senjata lengkap, namun ternyata hanya kelakar konyol sang bocah. Meski warga menjadi tenang dan merasa bersyukur hidup damai tanpa diganggu macan yang mendatangi kandang ternak mereka, tetap saja mengganggu dan membuat “dongkol”. Sang bocah, menyadari trik nakalnya tidak akan efektif untuk kedua kalinya, kini menerapkan siasat baru dengan membuat kisah seolah nyata, sang bocah berlari ke rumah kepala desa, lalu bercerita dengan panik penuh keyakinan, “Ada HARIMAU, tingginya tiga kaki dan panjangnya enam kaki! Ia sudah ada di kaki bukit sebelah Utara!” Ternyata, hanya sebuah bualan. Ada pula sebentuk bualan (prank) yang sejak semula tidak dimaksudkan untuk menyakiti ataupun merugikan individu atau makhluk lainnya, yakni sebuah lelucon ala “stand up comedy” yang dirangcang khusus untuk menghibur, meski ada kalanya lelucon yang “tidak cerdas” dengan menjadikan kekurangan orang lain sebagai objek tertawaan, yang “tidak lucu” tentunya. Akan tetapi, sejahat-jahatnya seorang pembual, mereka tidak akan sampai sejauh “maling teriak maling”.

Adapun derajat dengan tingkat ekstem tertinggi, puncaknya diduduki oleh kaum penipu. Niat batin mereka selalu jahat, tidak jarang hingga mencelakai orang lain, hendak menipu yang pastinya akan merugikan sang korban, baik kerugian material maupun kerugian psikis dan fisik. Seorang “pria gombal”, menjanjikan akan menikahi sang gadis yang dikencani olehnya, bilamana sang gadis bersedia melepas keperawanannya kepada sang pria, ternyata bukan hanya ingkar janji, namun sedari sejak semula memang niat batinnya ialah sekadar sebagai iming-iming alias modus untuk menjebak korban-korbannya agar masuk ke dalam perangkap sang pelaku penipuan. Pelakunya, layak disebut sebagai seorang penipu.

Seorang debitor meminjam modal usaha, dengan alasan hendak memodali bisnis gerai butiknya, ternyata bukan sekadar ingkar janji melunasi hutangnya kepada sang kreditor, sang pelaku justru menggelapkan modal usaha yang dipinjamkan dan dipercayakan kepadanya, untuk keperluan pribadi diluar bisnis gerai butiknya. Dari sejak awal, niat batin sang pelaku ialah memang hendak mengecoh serta merugikan korbannya. Begitupula ketika seseorang mengaku-ngaku sebagai pemilik tambang yang membutuhkan suntikan modal investasi dari calon investor, telah ternyata baru diketahui oleh korban dikemudian hari bahwasannya sang peminjam modal sama sekali tidak punya pertambangan apapun. Palakunya, adalah penipu, karenanya dijerat pasal pemidanaan sebagai Terdakwa kasus pidana penipuan. Tepat mengutip isi pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) perihal penipuan, dimana rumusan jantung pasalnya ialah “serangkaian kata-kata bodong maupun tipu muslihat”, dengan maksud menggerakkan hati calon korbannya agar masuk dalam perangkap sang “predator”. Indikatornya mudah, apakah kita telah menjadi korban penipuan atau tidaknya, dengan menjawab pertanyaan berikut ini : bila dari sejak awal kita mengetahui bahwa “wajah aslinya” adalah demikian adanya, maka apakah kita akan memilih untuk membeli produknya / menikahinya / menyewanya / memberi pinjaman kepadanya / memberi kepercayaan kepadanya, dan lain sebagainya? Singkatnya, tidak terjadi “sama sama ikhlas” pada muaranya, yang ada ialah “cacat kehendak”.

Karenanya, para pelaku tindak pidana penggelapan maupun penipuan, sudah pasti wanprestasi, namun ketika digugat statusnya bukanlah tergugat atas gugatan wanprestasi, namun gugatan “perbuatan melawan hukum” dimana penggugat berhak menuntut pula ganti-kerugian moril disamping tuntutan ganti-kerugian materiil. Mengapa? Karena derajat kejahatannya ataupun kesalahannya merupakan derajat dengan tingkat paling ekstrem. Bahkan, telah terdapat sebuah putusan pidana pada suatu Pengadilan Negeri yang mana Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum yang memberatkan vonis hukuman terhadap sang terdakwa yang didakwa dengan pasal penipuan ialah, sifat penipuan merupakan “kejahatan yang sangat jahat” itu sendiri, karenanya layak menjatuhkan hukuman yang diperberat bagi pihak terdakwa pelaku aksi penipuan.

Pepatah juga mengingatkan, mulutmu (adalah) harimaumu. Relevansinya dengan  itu, tepat kiranya kita merujuk langsung khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan sebagai berikut:

36 (6) Utusan-utusan.

“Para bhikkhu, ada tiga utusan surgawi ini. Apakah tiga ini? “Di sini, para bhikkhu, seseorang terlibat dalam perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai akibatnya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Di sana para penjaga neraka mencengkeramnya pada kedua lengannya dan membawanya kepada Raja Yama, [dengan berkata]: ‘Orang ini, Baginda, tidak berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayahnya; ia tidak berperilaku selayaknya terhadap para petapa dan brahmana; dan ia tidak menghormati saudara-saudara yang lebih tua dalam keluarga. Silakan Baginda menjatuhkan hukuman kepadanya!’

[NOTE Kitab Komentar: “Orang (yang) tua, orang sakit (dukkha), dan mayat (kematian) disebut ‘utusan-utusan surgawi’ (devadūta) karena mereka mendorong munculnya rasa keterdesakan, seolah-olah memperingatkan seseorang: ‘Sekarang engkau harus pergi menuju kematian.’”]

[Raja Yama merupakan “Dewa Kematian” legendaris dan hakim bagi takdir masa depan seseorang, dikenal pula sebagai Raja Alam Neraka.]

(1) “Kemudian Raja Yama menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya tentang utusan surgawi pertama: ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi pertama yang muncul di antara manusia?’ Dan ia menjawab: ‘Tidak, Tuan, aku tidak melihatnya.’ “Kemudian Raja Yama berkata kepadanya: “Tetapi, tidak pernahkah engkau melihat di antara manusia seorang laki-laki atau seorang perempuan, berumur delapan puluh, sembilan puluh, atau seratus tahun, lemah, bungkuk seperti rusuk atap, bungkuk, berjalan terhuyung-huyung dengan ditopang oleh tongkat, menderita penyakit, tiada kemudaan, dengan gigi tanggal, dengan rambut memutih atau botak, dengan kulit keriput, dengan bercak pada bagian-bagian tubuh?’ Dan orang itu menjawab: ‘Pernah, Tuan, aku pernah melihat hal ini.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah terpikir olehmu, seorang manusia yang cerdas dan dewasa: “Aku juga tunduk pada penuaan, aku tidak terbebas dari penuaan. Biarlah aku sekarang melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ [139] - ‘Tidak, Tuan, aku tidak mampu, aku lalai.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai kelalaianmu. Kamma burukmu ini bukan dilakukan oleh ibu atau ayahmu, juga bukan oleh saudara laki-laki atau saudara perempuanmu, juga bukan oleh teman-teman dan kerabatmu, juga bukan sanak saudara dan anggota keluargamu, juga bukan oleh para dewa, juga bukan oleh para petapa dan brahmana. Sebaliknya adalah engkau sendiri yang melakukan kamma buruk itu, dan engkau sendiri yang akan mengalami akibatnya.’

(2) “Ketika Raja Yama telah menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya tentang utusan surgawi pertama, kemudian ia menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya tentang utusan surgawi kedua: ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi kedua yang muncul di antara manusia?’ Dan ia menjawab: ‘Tidak, Tuan, aku tidak melihatnya.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah engkau melihat di antara manusia seorang laki-laki, atau seorang perempuan, yang sakit, menderita, sakit keras, berbaring di atas kotoran dan air kencingnya sendiri, harus diangkat oleh beberapa orang dan dibaringkan oleh beberapa orang lainnya?’ Dan ia menjawab: ‘Pernah, Tuan, aku pernah melihat hal ini.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah terpikir olehmu, seorang manusia yang cerdas dan dewasa: “Aku juga tunduk pada penyakit, aku tidak terbebas dari penyakit. Biarlah aku sekarang melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ - ‘Tidak, Tuan, aku tidak mampu, aku lalai.’

“Kemudian Raja Yama berkata: [140] ‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai kelalaianmu. Kamma burukmu ini bukan dilakukan oleh ibu atau ayahmu, juga bukan oleh saudara laki-laki atau saudara perempuanmu, juga bukan oleh teman-teman dan kerabatmu, juga bukan sanak saudara dan anggota keluargamu, juga bukan oleh para dewa, juga bukan oleh para petapa dan brahmana. Sebaliknya adalah engkau sendiri yang melakukan kamma buruk itu, dan engkau sendiri yang akan mengalami akibatnya.’

(3) “Ketika Raja Yama telah menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya tentang utusan surgawi kedua, kemudian ia menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya tentang utusan surgawi ketiga : ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi ketiga yang muncul di antara manusia?’ Dan ia menjawab: ‘Tidak, Tuan, aku tidak melihatnya.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah engkau melihat di antara manusia seorang laki-laki atau seorang perempuan, satu, dua, atau tiga hari setelah mati, membengkak, memucat, dan bernanah?’ Ia berkata: ‘Pernah, Tuan, aku pernah melihat hal ini.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah terpikir olehmu, seorang manusia yang cerdas dan dewasa: “Aku juga tunduk pada kematian, aku tidak terbebas dari kematian. Biarlah aku sekarang melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ - ‘Tidak, Tuan, aku tidak mampu, aku lalai.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai kelalaianmu. Kamma burukmu ini bukan dilakukan oleh ibu atau ayahmu, juga bukan oleh saudara laki-laki atau saudara perempuanmu, juga bukan oleh teman-teman dan kerabatmu, juga bukan sanak saudara dan anggota keluargamu, juga bukan oleh para dewa, juga bukan oleh para petapa dan brahmana. Sebaliknya adalah engkau sendiri yang melakukan kamma buruk itu, dan engkau sendiri yang akan mengalami akibatnya.’

“Ketika, para bhikkhu, Raja Yama telah menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya sehubungan dengan utusan surgawi ketiga, ia berdiam diri. [141] Kemudian para penjaga neraka menyiksanya dengan lima tusukan. Mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus satu tangan, dan menusukkan sebatang pancang besi membara menembus tangan lainnya; mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus satu kakinya, dan menusukkan sebatang pancang besi membara menembus kaki lainnya; mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus dadanya. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk, namun ia tidak mati selama akibat dari kamma buruknya belum habis.

“Kemudian para penjaga neraka melemparnya ke bawah dan mengulitinya dengan kapak. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk, namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis. Kemudian para penjaga neraka menggantungnya dengan kaki di atas dan kepala di bawah dan mengulitinya dengan alat pengukir kayu ... Kemudian para penjaga neraka mengikatnya pada sebuah kereta dan menariknya kesana-kemari di atas tanah yang terbakar, menyala, dan berpijar ... Kemudian para penjaga neraka menyuruhnya memanjat naik dan turun di atas gundukan bara api yang terbakar, menyala, dan berpijar ... Kemudian para penjaga neraka menggantungnya dengan kaki di atas dan kepala di bawah dan mencelupkannya ke dalam panci logam panas yang terbakar, menyala, dan berpijar. Ia direbus di sana di dalam pusaran buih. Dan ketika ia direbus di sana di dalam pusaran buih, ia kadang-kadang terhanyut ke atas, kadang-kadang ke bawah, kadang-kadang ke sekeliling. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk, namun ia tidak mati selama akibat dari kamma buruknya belum habis.

“Kemudian para penjaga neraka melemparnya ke dalam Neraka Besar. Sekarang, para bhikkhu, sehubungan dengan Neraka Besar: “Neraka ini memiliki empat sudut dan empat pintu dan terbagi dalam ruang-ruangan terpisah; dikelilingi oleh dinding besi dan ditutup dengan atap besi. [142]

“Lantainya juga terbuat dari besi dan dipanaskan dengan api hingga berpijar. Luasnya seratus yojana penuh yang mencakup seluruh wilayah itu.

“Suatu ketika, para bhikkhu, di masa lampau Raja Yama berpikir: ‘Mereka yang di dunia melakukan perbuatan-perbuatan jahat sungguh akan mengalami berbagai jenis siksaan. Oh, semoga aku terlahir kembali menjadi manusia! Semoga seorang Tathāgata, Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna muncul di dunia! Semoga aku dapat melayani Sang Bhagavā itu! Semoga Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma kepadaku, dan semoga aku memahami DhammaNya!’

Para bhikkhu, Aku tidak mengulangi sesuatu yang Kudengar dari petapa atau brahmana lain, tetapi sebaliknya Aku membicarakan tentang sesuatu hal yang benar-benar Kuketahui, Kulihat, dan kupahami oleh diriKu sendiri.”

Walaupun diperingatkan oleh para utusan surgawi, orang-orang itu yang tetap lalai menderita untuk waktu yang lama, setelah mengembara di alam rendah. Tetapi orang-orang baik di sini yang, ketika diperingatkan oleh para utusan surgawi, tidak menjadi lalai sehubungan dengan Dhamma mulia; yang, setelah melihat bahaya dalam kemelekatan sebagai asal-mula kelahiran dan kematian, terbebaskan melalui ketidak-melekatan dalam padamnya kelahiran dan kematian: orang-orang berbahagia itu telah mencapai keamanan; mereka telah mencapai nibbāna dalam kehidupan ini. Setelah mengatasi segala permusuhan dan bahaya, mereka telah melampaui segala penderitaan.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.