PENYIDIK PEMBANTU, Bukan Penyidik namun Bertingkah seperti PENYIDIK

Juper (Juru Periksa) Serasa Penyidik, Anomali Praktik Kepolisian RI yang Menyimpang dari Ketentuan Hukum Acara Pidana

Penyitaan, Penggeledahan, Penahanan, Interogasi, maupun Berita Acara Pemeriksaan yang Dibuat oleh BUKAN Penyidik, merupakan Objek PRAPERADILAN

Status “penyidik”, melekat pada suatu individu sehingga bersifat personal, mengingat “penyidik” bukanlah gelar atau jabatan semata, namun kualifikasi serta kompetensi. Itu adalah “law in abstracto” sebagaimana tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP). Namun fakta realitanya di lapangan (law in concreto), telah ternyata berkata lain, penyidik di lingkungan Kepolisian RI (POLRI), memperlakukan dirinya bak atau selayaknya seorang Kepala Kantor, dan terjadi aksi pembiaran secara berjemaah oleh Kepala Polsek, Kepala Polres, maupun Kepala Polda, tidak terkecuali oleh Kepala POLRI itu sendiri—dan itulah fokus bahasan kita dalam kesempatan ini.

Betapa terkejutnya penulis ketika membuka berkas-berkas penyidikan institusi Kepolisian dalam keperluan untuk proses pelimpahan berkas perkara kepada pihak institusi Kejaksaan selaku Penuntut Umum, telah ternyata terjadi pelanggaran serta penyimpangan secara terang-terangan terhadap ketentuan hukum acara pidana yang berlaku di republik bernama Indonesia ini. Aparatur penegak hukum yang semestinya memberikan teladan bagaimana menegakkan hukum acara pidana yang baik dan benar, telah ternyata tidak bersikap normatif, akan tetapi pragmatis, dimana tampaknya telah terjadi pembiaran yang bila terus dibiarkan terjadi maka akan (berpotensi) melahirkan “moral hazard” tersendiri, yakni “polisi juper (juru periksa)” yang bergaya seperti seorang penyidik (lengkap dengan segala atribut arogansinya).

Bahasan kita buka dengan menganalogikan status “ahli” yang memberikan keterangan sebagai “ahli” di persidangan, menjelma sebentuk salah-kaprah ketika “ahli” yang dihadirkan baik oleh pihak penggugat, tergugat, maupun jaksa penuntut umum, ataupun pihak terdakwa, dimintakan “surat tugas” dari akademi tempat sang ahli bernaung, dengan mengatas-namakan “syarat formil” sekalipun baik hukum acara pidana maupun hukum acara perdata tidak membuat persyaratan demikian, baik secara tersurat maupun secara tersirat—alias syarat yang mengada-ngada—mengingat status sebagai “ahli” melekat pada individu yang sifatnya personal, terkait kualifikasi serta kompetensi sang “ahli” bersangkutan.

Tidaklah dapat, sebagai contoh, seorang pakar hukum tentang hukum udara dan angkata, memberikan surat kuasa, surat dinas, surat perintah, atau apapun itu sebutannya, kepada asisten sang “ahli”, untuk menggantikan sang “ahli” maju ke persidangan, dengan memakai merek atau judul “ahli pengganti”. Bukankah ini logis (common sense)? Sayangnya, praktik di persidangan, penerapan hukum acara perdata terlebih hukum pidana, tidak jarang kerap mengedepankan apa yang disebut sebagai “common practice” alias kebiasaan yang selama ini menyimpang dari norma pengaturnya—alih-alih diluruskan, apa yang bengkok dan menyimpang justru dilestarikan dan dibakukan, menjelma “hukum tidak tertulis yang merongrong / mendegradasi supremasi hukum tertulis”.

Analogi kedua, ialah status advokat alias profesi pengacara. Seseorang yang memiliki atau menyandang status sebagai pengacara, tidaklah dapat, sekalipun telah pernah diberikan “surat kuasa disertai hak substitusi” oleh sang klien, memberikan “surat kuasa substitusi” kepada para paralegal yang bekerja kepada sang pengacara. Undang-Undang tentang Advokat telah secara gamblang serta eksplisit dan tegas mengatur, izin bersidang hanya dilekatkan bagi seseorang individu tertentu, artinya personal. Apapun yang terkait kompetensi ataupun keterampilan, tidak dapat disubsitusikan kepada mereka yang tidak memiliki kompetensi setaraf. Karena itulah, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahkan mengatur bahwa ketika Anda menyewa seorang pelukis, namun hasil lukisannya belum selesai dibuat saat sang pelukis yang Anda sewa meninggal dunia, tidaklah dapat kewajban melukis tersebut beralih kepada ahli waris sang pelukis. Itulah juga sebabnya, kantor pengacara berbentuk Perseroan Terbatas, merupakan sebentuk salah-kaprah yang cukup disayangkan meski kini trennya menjamur.

Dengan mengatas-namakan telah terbit “surat perintah penyidikan” dari sang penyidik kepada para “polisi juper (juru periksa)”, maka para “juper” tersebut bersikap selayaknya seorang penyidik dalam artian “de facto”, seperti melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, hingga proses pembuatan berita acara pemeriksaan (BAP) terhadap saksi dan tersangka, maupun melimpahkan berkas perkara disertai tahanan kepada pihak Kejaksaan selaku penuntut umum—praktik demikian jelas-jelas dan terang-terangan menyimpang dari rambu yang telah digariskan oleh hukum acara pidana. Adapun terkait “surat perintah penyidikan”, semestinya diterbitkan oleh Kepala Kantor Kepolisian kepada para atau salah seorang penyidik yang bernaung di atap Kantor Kepolisian bersangkutan, bukan menjadikan dan membiarkan sang penyidik bersikap selayaknya quasi Kepala Kantor Kepolisian.

Sebagai contoh, di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “surat perintah penyidikan” diterbitkan oleh Ketua KPK, dan diperuntukkan atau ditujukan kepada aparatur penyidik yang bernaung dibawah atap KPK. Terlagipula, sebagaimana namanya, “surat perintah penyidikan” atau yang kerap disingkat sebagai “sprindik”, konteksnya ialah dalam rangka menyidik. Menyidik, merupakan kewenangan PERSONAL pihak penyidik—dimana tidak semua anggota kepolisian merupakan penyidik—sehingga tidaklah mengherankan bila tidak seluruh anggota kepolisian berwenang menyidik, karena bagaimana mungkin, semisal staf tata usaha yang selama ini mengurusi bidang administrasi di kantor kepolisian, diberikan “sprindik” oleh sang penyidik, lantas berstatus sebagai “penyidik pembantu”?

Jangankan “pembantunya penyidik” (membuat cerminan istilah “penyidik pembantu”), asisten dari sang penyidik saja tidak berwenang melakukan penyidikan ataupun “acting like a penyidik”—setidaknya itu dalam perspektif normatif hukum acara pidana. Bila aparatur penegak hukum justru menjadi aktor-aktor yang membengkokkan norma hukum, apa jadinya republik ini dikemudian hari, “republik bengkok”? Tiada tawaran “keadilan hukum” tanpa “kepastian hukum”. Apakah dengan diterbitkannya “sprindik” kepada pihak-pihak yang sejatinya “bukan penyidik”, maka menjadi legitimasi bagi sang “bukan penyidik” untuk “acting like a penyidik”? Semestinya, segala produk terbitan sang “penyidik pembantu” tidaklah laku di persidangan. Bahkan bukan lagi sekadar berakting seperti selayaknya seorang penyidik, namun benar-benar mengambil-alih fungsi dan tugas pokok maupun kewenangan seorang penyidik yang sesungguhnya.

Jika praktik menyimpang demikian terus dibiarkan terjadi, maka pertanyaannya ialah, mengapa tidak semua anggota kepolisian saja dijadikan atau ditunjuk sebagai “penyidik pembantu”, dimana semua polisi akan mengklaim dirinya sebagai seorang “penyidik”, atau setidaknya bersikap seakan-akan merupakan seorang “penyidik” karena betul-betul melakukan penyitaan, penggeledahan, bahkan membuat BAP terhadap seorang tersangka maupun memanggil pihak-pihak yang dietapkan sebagai saksi, termasuk menjemput paksa pihak terlapor. Sang anggota polisi pun tidak akan merasa terpanggil untuk menjadi seorang “penyidik”, toh realitanya dalam keseharian ia telah “acting as a penyidik”. Banyak kita jumpai, seseorang yang selama ini mengendalikan suatu korporasi, namun namanya tidak tercantum sebagai pengurus dalam Anggaran Dasar korporasi tersebut, merasa tidak akan perlu mencantumkan namanya sebagai direksi. Toh ia telah “acting as a director”. Tidak penting nama status, yang penting kekuasaan yang real ia pegang dan dapat efektif ia berlakukan.

Faktanya, tidak seluruh anggota kepolisian kompeten melakukan penyidikan, dimana mereka tidak paham prinsip mendasar hak warganegara sebagaimana digariskan oleh “Miranda Rule” yang menjadi salah satu pilar hukum terpenting dalam hukum acara pidana. Tidak sedikit kejadian yang penulis alami sendiri, seorang polisi membentak penulis sembari berkata : “JIKA DITANYA, MAKA DIJAWAB, JANGAN DIAM SAJA!” Belum menjadi tersangka saja, penulis sudah diperlakukan sedemikian arogan oleh anggota kepolisian [Miranda Rule : “YOU HAVE RIGHT TO REMAIN SILENT!”]. Bagaimana jadinya, polisi se-dungu demikian, “acting as a penyidik”? Yang bersangkutan ialah anggota polisi lalu-lintas di kantor pembayaran pajak kendaraan bermotor.

Sekadar sebagai perbandingan, di dalam internal manajemen jabatan jaksa pada institusi Kejaksaan Republik Indonesia, juga terdapat seorang “Jaksa Penyidik”—jaksa penuntut umum, juga sekaligus penyidik yang memiliki kewenangan untuk menyidik suatu tindak pidana—meski lingkupnya terbatas terhadap kasus-kasus korupsi, pembalakan liar, maupun tindak pidana kehutanan. Akan tetapi yang membedakan dengan manajemen penyidik pada POLRI, instisusi Kejaksaan tidak mengenal istilah semacam “penyidik pembantu”. Jika praktik di POLRI serta jajaran dibawahnya terus-menerus dibiarkan berlangsung tanpa adanya upaya koreksi yang bermakna dari petinggi POLRI, terkait “penyidik pembantu” yang secara “de facto” mengambil-alih seluruh ataupun sebagian kewenangan seorang penyidik, maka mengapa institusi Kejaksaan tidak meniru jejak rekan aparatur penegak hukum-nya tersebut, yakni menjadikan seluruh jaksa sebagai “penyidik pembantu”?

Bercermin serta berangkat dari uraian-uraian di atas, tanpa perlu berpanjang-lebar menguraikan dan membahas pasal-pasal terkait penyidik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sejatinya pihak-pihak yang didudukkan sebagai berstatus tersangka ataupun terdakwa, dapat menjadikan segala bentuk aksi penyidikan oleh “penyidik pembantu” sebagai objek gugatan PRAPERADILAN ke Pengadilan Negeri, dimana status penahanan, penggeledahan, penyitaan, maupun penetapan status sebagai tersangka, terdakwa, tidak terkekecuali BAP, dapat dibatalkan oleh pengadilan—mengingat (sejauh sepengetahuan penulis) tidak ada dasar hukum bagi institusi Kepolisian untuk secara mengada-ngada mengalih-wujudkan mereka yang “bukan penyidik” sebagai “penyidik dengan disertai embel-embel pembantu”, alias “penyidik jadi-jadian”. Apakah artinya juga, pembantu rumah-tangga-nya sang penyidik, juga merupakan “penyidik pembantu” yang berhak menyidik selayaknya kewenangan sang majikan?

Sungguh tidak dapat penulis pahami, sudah selama bertahun-tahun lamanya praktik menyimpang demikian terjadi secara terang-terangan—tanpa malu-malu, seolah ada yang permisif sehingga praktik demikian terus berlangsung dan masih akan berlangsung—namun baik institusi Kejaksaan selaku penuntut umum maupun kalangan Hakim pemeriksa dan pemutus perkara di persidangan, membiarkan praktik menyimpang demikian terjadi, sekalipun jelas-jelas merongrong supremasi norma hukum acara pidana, yang dilestarikan lewat kebiasaan yang menjelma “konvensi”. Sudah saatnya ditinjau ulang, apa yang perlu dibenahi serta diluruskan, maka perlu disikapi secara tegas selayaknya seorang Sarjana Hukum—alih-alih “Sarjana Tidak Patuh Hukum”.

Bila kita mencoba meng-kaji praktik penuh dilema di atas secara falsafah, kita patut bertanya : mengapa tidak sedari sejak awal berdirinya institusi POLRI, tidak semua anggota kepolisian atau mengapa tidak semua polisi ditetapkan sebagai penyidik? Apa jawabannya, menurut hemat Anda? Justru semata karena tidak semua polisi kompeten untuk urusan menyidik dan melakukan penyidikan, oleh sebab itulah penetapan sebagai penyidik bersifat “person to person”—alias personal individu polisi tertentu, tidak bagi seluruh anggota kepolisian. Terdapat kualifikasi serta pendidikan tertentu bagi anggota Kepolisian yang hendak menjadi seorang penyidik. Bila hanya sekadar untuk membuat “sprindik”, bahkan seorang mahasiswa atau staf tata usaha pun mampu.

Kini, falsafah berdirinya institusi POLRI justru diingkari serta dinegasikan oleh aparatur dalam tubuh PORLI sendiri, dengan membuat rekaan tanpa dasar hukum bernama “penyidik pembantu”. Jika “asistennya penyidik” saja, tidak berwenang menyidik, terlebih “pembantunya penyidik”. Setujukah Anda? Mengapa tidak semua pegawai di Kejaksaan, berstasus sebagai “jaksa”? Mengapa juga, tidak ada istilah “Jaksa Pembantu”? Jangan lupa pertanyakan pula, mengapa tidak ada “hakim pembantu”, sehingga dapat menggantukan tugas dan fungsi pokok seorang hakim, dimana sang hakim cukup membuat “surat perintah menghakimi” kepada pegawai kantin di pengadilan, lalu menggelar persidangan oleh sang “hakim pembantu”? Justru karena tidak semua pegawai pengadilan kompeten menjadi hakim, karenanya status hakim bersifat personal alias individual. Sesederhana itu saja logika berpikirnya, Anda tidak harus menjadi seorang profesor untuk memahami keganjilan dalam praktik hukum di lapangan.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.