“Omnibus Law” secara Falsafah Tidak Pernah Sejalan dengan Partisipasi Publik yang Bermakna, karena Anti terhadap Demokrasi
Hukum Dibentuk secara Tidak Demokratis, namun
Diterapkan secara Komun!stik, Apa Jadinya?
Bagi para kalangan websmaster yang kerap berurusan dengan SEO (search engine optimatization) maupun “bot crawler”, indexing, hingga SERP (search engine result page), terdapat dua hal yang menjadi penentu hidup dan matinya ketermunculan dan visibilitas sebuah website : Pertama, “relevant content” (konten yang relevan); dan Kedua, “user experience”, pengalaman pengguna—dalam hal ini pengalaman para pembaca suatu website, sebagai penentu peringkat suatu website. Bila dianalogikan dengan analogi yang serupa dengan dunia webmaster, pembentukan Undang-Undang lewat mekanisme “omnibus law” ala “gado-gado” yang bersifat “sapu jagat”, memiliki “user experience” yang sangat teramat buruk—bila tidak dapat disebut sebagai “terburuk dari yang terburuk”.
Untuk memudahkan pemahaman para
pembaca, ilustrasi sederhana berikut dapat cukup menggambarkan betapa masyarakat
harus membayar mahal harga dibalik pembentukan dan pemberlakukan suatu “omnibus
law”. Katakanlah seorang warga hendak membuka bisnis ternak ikan mujair, lalu
mencari tahu apa hukum-hukum yang mengatur perihal bisnis ternak ikan mujair. Sang
warga mendengar ada Undang-Undang “sapu jagat” yang “gado-gado” isi muatan
materi substansi norma hukumnya, bernama “omnibus law”. Maka, sang warga (secara
terpaksa dan memaksakan diri) meluangkan / menyisihkan waktu kerja, waktu untuk
bersosialisasi, waktu untuk merawat diri, ataupun waktu istirahat maupun waktu
kebersamaan bersama keluarga, untuk mulai membaca dan mencari tahu isi “omnibus
law”, yang terdiri dari seribu halaman dan ribuan pasal-pasal di dalamnya.
Setelah beberapa hari atau beberapa
minggu atau beberapa bulan menyisihkan waktu yang sekalipun notabene “time is MONEY”, sang warga yang hendak
berbisnis ternak ikan mujair sampai pada satu kesimpulan : “Oh, ternyata Undang-Undang ‘omnibus law’ ini
tidak mengatur perihal ikan mujair. Mungkin ada diatur dalam Undang-Undang ‘omnibus
law’ yang lain.”—Anda lihat, satu orang warga ini harus “membakar uang”
(wasting time alias buang-buang waktu)
hanya untuk membaca konten materi pasal per pasal yang sama sekali tidak
relevan dengan apa yang perlu diketahui olehnya. Ketika sang warga kemudian
membuka berbagai “omnibus law”, barulah ia sampai pada kesimpulan “menyakitkan
hati” bahwa ternak ikan mujair telah ternyata tidak diatur dalam Undang-Undang “omnibus
law” manapun—rasanya lebih menyesakkan dan memilukan hati daripada menemukan
telah ternyata bisnis ternak ikan mujair diatur di dalamnya.
Lantas, apakah efek
bumerangnya? Sang warga menjadi “trauma” terhadap “omnibus law”, yang kemudian
terjadi korelasi atau pengondisian (asosiasi) antara “omnibus law” dan “irrelevant content” (konten-konten yang
tidak memiliki relevansinya”, yang pada muaranya timbul kesan tidak menyenangkan,
yakni “BUANG-BUANG WAKTU!” JIka Republik
Indonesia terdiri dari lebih dari dua ratus juta warga lokal maupun warga asing,
maka itu sama artinya “bakar-bakar uang” sebanyak ratusan juta warga demikian. Yang
sama artinya juga, pemerintah maupun regulator pembentuk “omnibus law” telah
tidak menghargai dan tidak menghormati waktu para anggota masyarakatnya
sendiri, seolah-olah masyarakat kita ialah para penduduk yang kurang kerjaan.
[NOTE : Teori Pavlov menggambarkan pentingnya serta potensi bahaya dibalik “asosiasiasi”.
Pavlov memelihara seekor anjing, yang dikondisikan sebagai berikut. Sebelum diberi
makan, Pavlov membunyikan denting bel untuk didengar sang anjing. Setelah beberapa
waktu praktik demikian dilangsungkan, pada suatu ketika Pavlov sekadar
membunyikan denting bel, tanpa bermaksud memberikan makan sang anjing. Telah ternyata
sang anjing sebagai respons diperdengarkan denting bel, meneteskan air liur.]
Pemerintah mendalilkan, “omnibus
law” adalah dalam rangka meningkatkan investasi, karena meniru konsep “omnibus
law” dari Amerika Serikat. Mengapa juga, “negara gagal” yang bahkan tidak mampu
membayar hutang dalam negerinya sendiri, yang juga kalah bersaing “perang
dagang” terhadap Tiongkok, ditiru oleh Indonesia? Bagaimana masyarakat kita
diharapkan mampu bersaing dengan kompetisi dunia global maupun investor asing
yang mampu menyewa tim pengacara maupun konsultan hukum papan atas, bilamana
warga usaha mikro, kecil, dan menengahnya menghabiskan banyak waktu untuk
membaca berbagai “irrelevant content”
bernama “omnibus law”?
Karena kesan yang telah
tercipta pada benak masyarakat luas ialah rumusan yang kontraproduktif terhadap
tingkat kepatuhan masyarakat, sebagai berikut : “omnibus law” = “IRRELEVANT CONTENT” + “WASTING TIME”—maka jangan pernah
kita dapat mengharapkan masyarakat akan mau bersedia menyentuh terlebih membuka
dan membaca isi pasal per pasal dari Undang-Undang “omnibus law”. Pada muaranya,
pemerintah Republik Indonesia yang harus membayar mahal “harga”-nya, yakni tingkat
kepatuhan masyarakat terhadap hukum menjadi rendah, karena tidak dapat kita
berdelusi bahwasannya “setiap warganegara dianggap tahu hukum juga tahu isi ‘omnibus
law’”. Masyarakat, bahkan memusuhi serta alegik terhadap “omnibus law”, itulah fakta
empirik dalam realita penerapan berbagai Undang-Undang bergenre “omnibus law”.
Bila dalam rezim perizinan yang
terkait lingkungan, kita mengenal Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL),
Analisis Mengenai Dampak Sosial (AMDS), maupun Analisis Mengenai Dampak
Lalu-Lintas (AMDLL), maka seyogianya pemerintah maupun pihak lembaga
legislatif, mencermati naskah non-akademik yang berisi analisis sosio-legal
yakni Analisis Mengenai Dampak (terhadap) Kepatuhan Hukum serta Efektifitas (AMDKHE).
Secara falsafah, “omnibus law” merupakan bentuk pembungkaman pemerintah
terhadap sifat kritis masyarakat. Ketika suatu Undang-Undang diterbitkan dengan
begitu “tebal” dan “gemuk” (penuh lemak “irrelevant
content”), maka tiada anggota masyarakat yang begitu kurang kerjaannya
hendak bersedia “buang-buang uang” untuk membaca dan mencermati isi draf dari “omnibus
law” untuk dikritisi.
Bila pemerintah menerbitkan Undang-Undang
dalam bentuk “tematik” (lawan kata dari “omnibus law”), sebagaimana praktik
penerbitan suatu Undang-Undang selama ini, semisal mengubah ketentuan norma
hukum terkait Ketenagakerjaan, maka pemerintah bersama lembaga legislatif dapat
membentuk, merancang, mensosialisasikan draf mengenai perubahan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Maka, para pihak yang menjadi “stakeholder”
seperti asosiasi pengusaha maupun para kalangan buruh luas yang bukan hanya sebatas
pengurus serikat pekerja, dapat mencermati dan mengkritisi isi di dalamnya,
tanpa banyak menyita waktu istirahat maupun waktu kerja mereka—mengingat sifatnya
“relevant content”.
Akan tetapi, akibat penerapan
konsep “omnibus law”, tidak banyak anggota masyarakat yang dapat mengetahui dan
memahami isi seluruh materi muatan substansi “omnibus law”. Baru membuka Undang-Undang
“omnibus law” saja, kita sudah langsung dibenturkan pada “first impression” yang tidak menyenangkan dan tidak berkesan, yakni
seribu halaman dan ribuan pasal-pasal “tidak relevan” yang “buang-buang waktu”
untuk dicermati. Akibatnya, terdapat dua kemungkinan yang paling realistik
terjadi : Pertama, baru membaca halaman-halaman awal, lalu merasa bosan dan tidak
lagi bersedia membuang-buang waktu membaca keseluruhan ataupun selebihnya.
Kedua, seketika langsung menutupnya dan “business
as usual” alias tidak bersedia membacanya sama sekali—seketika merasa muak,
mual, serta pusing.
Anda lihat, itulah cara “licik”
pemerintah kita membungkang demokrasi. Secara falsafah negara hukum, hukum
dibentuk secara demokratis dan diterapkan secara komun!stik. Namun, telah
ternyata, “omnibus law” tidak memenuhi kriteria paling awal dari falsafah
penerapan norma hukum demikian, yakni hukum dibentuk secara demokratis, karena metode
“omnibus law” dirancang dan disusun memang dengan “maksud terselubung” untuk
membungkam partisipasi maupun kritikan (dari) publik. Adapun “moral hazard” lainnya dari penerapan “omnibus
law” ialah, rawan ditunggangi oleh beberapa atau segilintir isu hukum yang
populis, lalu disusupi pasal-pasal yang sejatinya notabene melawan kepentingan masyarakat
luas, tanpa disadari oleh masyarakat.
Konon, Undang-Undang “omnibus
law” Cipta Kerja disusupi satu atau lebih pasal yang hanya menguntungkan pihak
pengusaha bisnis tambang batubara. Semisal, suatu Undang-Undang “omnibus law”
terdapat versi “draf pertama” berisi seribu halaman, lalu pemerintah “mengakali”
rakyatnya sendiri dengan beberapa waktu kemudian menerbitkan “draft versi kedua”
dengan ketebalan yang sama, “draft ketiga”, dan seterusnya. Pertanyaan logis
yang patut kita ajukan ialah, siapa yang hendak bersedia membuang-buang waktu
untuk mengevalusi isi muatan berbagai versi draft tersebut? Ceritanya akan berbeda
bilamana pemerintah mensosialisasikan berbagai versi draf Undang-Undang yang
disusun secara “tematik”, dimana kita dapat memantau tanpa kesulitan berarti,
mengingat sifatnya senantiasa “relevant
content”.
Sebagai contoh, pemerintah tahu
betul isu hukum kesehatan yang paling sensuil dan paling strategis untuk
dijadikan “komoditas” popolis, ialah perihal izin praktik kalangan tenaga
perawat yang selama ini bersifat lima tahunan juga kerumitan prosedurnya hingga
biaya “siluman” yang tidak sedikit untuk mendapatkan perpanjangan izin praktik
tersebut. Pemerintah bersama lembaga legislatif lalu membentuk rancangan “omnibus
law” Undang-undang Kesehatan, yang salah satu isi pasal didalamnya ialah mengubah
ketentuan izin praktik tenaga perawat menjadi berlaku untuk seumur hidup. Tampak
seolah “omnibus law” Undang-Undang Kesehatan ini memiliki semangat keberpihakan
terhadap masyarakat luas. Namun, benarkah demikian? Kita tidak pernah tahu isi
ratusan atau bahkan ribuan pasal-pasal di dalamnya, apakah betul-betul diwarnai
semangat keberpihakan terhadap rakyat ataukah sebaliknya, disusupi berbagai “konflik
kepentingan” hingga “hidden agenda”. Jangan
harap terlebih menuntut masyarakat untuk membaca isi Undang-Undang Kesehatan,
mengingat sifatnya penuh akan materi yang tidak relevan dengan keperluan kita,
sehingga tidak realistis masyarakat dituntut membaca “omnibus law”.
Pemerintah bersikap seolah-olah
tanpa metode “omnibus law”, maka negara tidak dapat menerbitkan norma hukum Undang-Undang.
Bila selama ini saja, meski berbagai Undang-Undang diterbitkan secara “tematik”
(lawan kata dari “omnibus law” si Undang-Undang “sapu jagat”), tingkat
kepatuhan masyarakat selaku subjek pengemban hukum, demikian rendah, maka
terlebih tingkat kepatuhan masyarakat umum terhadap keberluan dan pemberlakuan Undang-Undang
bergaya / bergenre “omnibus law”? Kita pun dengan demikian patut bertanya-tanya,
apa maksud dan tujuan dibalik kerasnya dan bersikukuh-nya pihak pemerintah
menerbitkan Undang-Undang maupun Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang)
dalam wujud “omnibus law”?
Bila betul bahwa pemerintah
memiliki niat baik dan PRO terhadap rakyat, maka mengapa memaksakan diri membentuk
dan menerbitkan Undang-Undang yang “arogan” (pamer kekuasaan) bernama “omnibus
law”, bilamana pemerintah maupun lembaga legislatif bisa saja menyusun,
merancang, serta menebitkan Undang-Undang bernuansa “tematik” sehingga “partisipasi
publik secara bermakna” dapat benar-benar diberlakukan secara demokratis? Singkat
kata, Undang-Undang bergaya “omnibus law” tidak pernah dapat benar-benar mengakomodasi
apa yang disebut sebagai “meaningful
public participation”, alias tidak demokratis, penuh pembungkaman secara
terselubung.
Kembali kepada analogi dalam
dunia webmaster, bilamana para netizen (warganet) hendak mencari tahu aturan
hukum mengenai suatu bidang spesifik, sukar sekali Undang-Undang “omnibus law”
akan muncul pada “page one SERP”. Mengapa?
Karena memang sifatnya penuh dengan “irrelevant
content” yang sangat tidak “user
friendly” akibat tidak memerhatikan kaedah-kaedah terkait “user experience”—dengan kata lain, itikad
pemerintah terhadap kepentingan rakyat luas, patut kita ragukan dan
pertanyakan, mengapa memaksakan diri menyusun dan menerbitkan Undang-Undang berdasarkan
metoda “omnibus law”, betulkah bagi kepentingan publik dan masyarakat luas?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.