Beda antara PERKAWINAN PUTUS KARENA PERCERAIAN dan
PEMBATALAN PERKAWINAN
Pembatalan Perkawinan Berbentuk GUGATAN, Bukan PERMOHONAN
Question: Memangnya ada bedanya, antara bercerai dan membatalkan perkawinan menurut hukum di Indonesia?
Brief Answer: Kesamaan diantara keduanya, yakni sama-sama berbentuk
format “gugatan”, bukan “permohonan”. Akan tetapi terdapat perbedaan yang
signifikan serta kontras antara “perkawinan yang putus akibat perceraian” dan “dibatalkannya
suatu perkawinan”. Pertama, bila perceraian dapat terjadi akibat kesepakatan
suami-istri diluar pengadilan maupun akibat sengketa gugatan perceraian di
ruang pengadilan, maka pembatalan perkawinan hanya dapat terjadi lewat suatu
gugatan, tidak bisa berupa kesepakatan antar suami-istri (agar instrumen hukum
perkawinan ini tidak disalah-gunakan disamping juga dibatalkannya suatu
perkawinan tidak dapat dimaknai merugikan pihak ketiga yang beritikad-baik).
Perbedaan prinsipil kedua yang signifikan ialah, putusnya
/ berakhirnya perkawinan akibat perceraian mengakibatkan terbitnya konsekuensi
yuridis berupa “harta gono-gini” maupun perkawinan (harta bersama maupun hutang
bersama) telah pernah terjadi selama tempo rentang waktu tertentu, yakni selama
masa perkawinan. Sementara itu dalam pembatalan perkawinan, maka konsekuensi
yuridisnya ialah segala sesuatunya kembali seperti keadaan semula, yakni
keadaan seperti sebelum perkawinan berlangsung alias seolah-olah tidak pernah
terjadi perkawinan sama sekali—alias berlaku secara surut yang karenanya tidak
ada istilah “harta gono-gini”, “harta bersama”, maupun “ahli waris”.
PEMBAHASAN:
Pernah terjadi, seorang warga
menikahi istri keduanya secara “nikah siri”. Saat sang suami meninggal dunia, almarhum
meninggalkan berbagai harta berupa berbagai hak atas tanah bernilai tinggi,
dimana kemudian memicu niat jahat sang istri keduanya ini untuk menguasai aset-aset
peninggalan almarhum. Berangkat dari itu, salah seorang praktisi hukum kemudian
memberikan opini hukum yang menyesatkan bagi sang istri kedua dari almarhum—mengingat
istri “nikah siri” tidak memiliki apa yang disebut sebagai “harta bersama”,
begitupula anak-anak hasil “nikah siri” hanya memiliki hubungan hukum dengan sang
ibu dan tidak tergolong sebagai ahli waris dari almarhum—yakni : melakukan
isbat / itsbat nikah. Namun, apakah rekomendasi tersebut merupakan rekomendasi langkah
hukum yang tepat, ataukah justru menjerumuskan sang klien?
Isbat nikah menyerupai upaya “pemutihan”,
yakni pengesahan nikah seorang laki-laki dan perempuan (pasangan suami-istri,
pasutri) yang pernikahannya telah dilaksanakan secara adat maupun keagamaan,
akan tetapi tidak dicatatkan kepada pihak otoritas. Dengan kata lain, itsbat
nikah adalah cara untuk melakukan pengesahan atas perkawinan siri, alias permohonan
pengesahan nikah yang diajukan ke pengadilan untuk dinyatakan sah-nya
pernikahan sepasang pasutri yang selama ini tidak pernah tercatat pada
administrasi kependudukan, dimana kemudian pasangan yang menikah siri demikian akan
mendapat “buku nikah” apabila telah dilakukannya isbat nikah di pengadilan. Petakanya,
sang suami telah almarhum, alias sang istri kedua sejatinya menikahi mayat / jenasah
/ almarhum saat isbat nikah dilangsungkan. Gaibnya, pengadilan meloloskan serta
mengabulkan permohonan isbat nikah yang dimohonkan oleh sang istri kedua.
Buntutnya, kejadian demikian
memicu / menyulut kemarahan pihak ahli waris istri pertama dari almarhum yang mana
menikah secara sah tercatat pada administrasi kependudukan sebagai pasutri. Muaranya,
efek dominonya begitu berantai dan fatal, sang istri kedua digugat serta dilaporkan
secara pidana oleh ahli waris pihak istri pertama yang merasa berkepentingan
atas harta-harta peninggalan almarhum suami / ayah mereka. Sekalipun upaya
hukum berupa perdata maupun pidana dilancarkan secara bertubi-tubi, telah
ternyata terdapat satu tahapan yang luput diperhatikan dan disadari oleh pihak
ahli waris istri pertama, yakni tidak pernah mengajukan “pembatalan pernikahan”
terhadap isbat sang suami dan istri keduanya—praktis, isbat nikah “gaib bin
ajaib” demikian masih sah dan berlaku mengingat produknya ialah berupa putusan
pengadilan.
Dalam praktik peradilan selama
ini maupun sebagaimana telah diakomodir oleh Undang-Undang tentang Perkawinan, “pembatalan
perkawinan” bukanlah hal baru, alias sangat dimungkinkan. Salah satu contoh
ilustrasinya dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk sebagaimana tertuang
dalam putusan Pengadilan Agama Mojokerto Nomor 152/Pdt.G/2017/PA.Mr Tanggal 8
Februari 2017, dengan kutipan amar putusan sebagai berikut:
“MENGADILI
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
2. Membatalkan perkawinan seorang laki-laki yang bernama
NURHIDAYAT bin M.LASIMAN dengan seorang perempuan yang bernama LILI NUR JAYANTI
binti SANTOSO;
3. Menyatakan Akta Nikah beserta Kutipan Akta Nikah Nomor :
0579/038/XII/2016 tanggal 22 Desember 2016, tidak mempunyai kekuatan hukum;
4. Memerintahkan Panitera untuk menyampaikan salinan putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap kepada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama
Kecamatan Jetis Kabupaten / Kota Mojokerto;”
Senada dengan putusan di atas,
yakni putusan Pengadilan Agama MALANG Nomor 1050/Pdt.G/2018/PA.MLG Tanggal 9
Juli 2018, yang mengabulkan gugatan “pembatatalan pernikahan”, dengan amar
sebagai berikut:
“M E N G A D I L I
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
2. Menetapkan batal pernikahan Termohon I (Muji Widodo bin
Saripin) dengan Termohon II (Siti Nur Cholifah binti Mat Sanusi) yang
dilangsungkan pada tanggal 20 April 2018 di Kantor Urusan Agama Kecamatan
Kedungkandang Kota Malang;
3. Menyatakan Buku Kutipan Akta Nikah Nomor : 0555/125/IV/2018 tanggal
20 April 2018 tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat;”
Meskipun kerap disebut sebagai “permohonan
pembatalan nikah”, namun bentuk formalnya ialah “gugatan”, sebagaimana dapat SHIETRA
& PARTNERS rujuk preseden berupa putusan Mahkamah Agung RI register Nomor
417K/Pdt/2017 tanggal 31 Mei 2017, perkara antara:
- SUDALIYAH, yang bertindak
mewakili anak kandungnya Kristiana Nawangsari, sebagai Pemohon Kasasi, semula
selaku Pemohon; melawan
- YUSEP KRISTANTO, sebagai Termohon
Kasasi, semula selaku Termohon.
Pemohon adalah orang tua (Ibu)
dari Kristiana, dimana Kristianadengan Termohon pada tahun 2011 telah melangsungkan
perkawinan sebagaimanaakta dicatat dan terdaftar di Kantor Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kota Semarang tertanggal 18 Mei 2011. Pada tanggal 11 April
2016, datang seorang wanita yang diketahui bernama Lestari bersama-sama dengan beberapa
orang dari Kelurahan Salamanmloyo, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang dan didampingi
oleh kakak dan adik beserta anaknya di kediaman Pemohon. Ssetibanya di rumah
Pemohon, Hutapea menerangkan bahwa dirinya merupakan istri dari Termohon dan anak
yang bersamanya adalah hasil dari perkawinannya dengan Termohon, menikah pada tahun
2008, dengan bukti pernikahan berupa Akta Pernikahan yang diterbitkan oleh Gereja
dan Kartu Keluarga dari Kantor Catatan Sipil di Jakarta, serta foto-foto dokumentasi
pernikahannya dengan Termohon.
Setelah mendengarkan keterangan
serta surat-surat yang ditunjukkan oleh Lestari, Pemohon akhirnya mengetahui bahwa
Termohon sebelum melangsungkan perkawinan dengan anak Pemohon, Termohon ternyata
masih terikat hubungan perkawinan dengan seorang perempuan bernama Lestari.
Pemohon lalu merujuk ketentuan Pasal
23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur bahwa yang
dapat mengajukan pembatalan perkawinannya itu para keluarga dalam garis keturunan
lurus ke atas dari suami atau istri. Pasal 24 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
mengatur pula : “Barangsiapa karena perkawinan
masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih
adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru...”
Berdasarkan alasan-alasan
demikian, Pemohon memohon kepada Pengadilan Negeri Semarang agar memberikan
putusan sebagai berikut:
- Menyatakan batal Perkawinan
antara Termohon dan anak Pemohon yang dilaksanakan pada tahun 2011 dengan Kutipan
Akta Perkawinan yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kota Semarang;
- Menyatakan Kutipan Akta
Perkawinan antara Termohon dengan anak Pemohon yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan
dan Pencatatan Sipil Kota Semarang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
- Memerintahkan Kepala Kantor
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Semarang untuk mencatat Akta
Perkawinan Termohon dengan Anak Pemohon dalam registernya sebagai akta yang tidak
mempunyai kekuatan hukum.
Terhadap permohonan sang ibu
dari istri, Pengadilan Negeri Semarang kemudian menjatuhkan Penetapan Nomor
192/Pdt.P/2016/PN Smg. tanggal 30 Agustus 2016, dengan amar sebagai berikut:
- Menyatakan tidak dapat diterima permohonan Pemohon untuk
seluruhnya;”
Pihak Pemohon mengajukan upaya
hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta
amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut tidak
dapat dibenarkan oleh karena Judex Facti tidak salah dalam menerapkan hukum dan
pertimbangan Judex Facti sudah tepat dan benar;
“Bahwa sesuai dengan ketentuan
Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maka perkara pembatalan perkawinan
harus diajukan sesuai dengan pengajuan gugatan perceraian yaitu melalui gugatan
biasa, hal ini disebabkan perkara a quo mengandung sengketa contentiosa
antara kedua belah pihak yang tidak dapat diajukan secara voluntair;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, ternyata Putusan Judex Facti / Pengadilan Negeri Semarang
dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka
permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi SUDALIYAH tersebut harus
ditolak;
“M E N G A D I L I :
- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi SUDALIYAH tersebut;”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.