Pancasila sebagai Ideologi Negara Republik Indonesia, merupakan Warisan Peninggalan Buddhisme Abad ke-1 sampai dengan Abad ke-15 di Nusantara
Umat Muslim Menikmati Toleransi yang diberikan Raja Majapahit
(Kerajaan Buddhistik) maupun Toleransi oleh para Buddhist Nenek-Moyang di
Nusantara Abab ke-15 ketika Ulama dari Arab masuk ke Nusantara. Kini, ketika
para Muslim telah Menjelma menjadi Mayoritas, mereka ingin Memberangus
Toleransi yang Dahulu mereka Nikmati—Pola “Anti Kekerasan dan Toleran” pada
Negara dimana Muslim adalah Minoritas, dan Menjelma “intoleran dan
Menyelesaikan setiap Masalah dengan Kekerasan Fisik” ketika Mereka telah
Menjelma Mayoritas [Kitab Sastra Jawa “DHARMO GHANDUL”]
Esensi paling utama dari Pancasila, ialah asas “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai jantung prinsip maupun jiwanya sebagai kohesi pemersatu bangsa yang majemuk dari segi suku, agama, golongan, maupun ras / etnik. Kitab Sutasoma atau Kakawin Sutasoma adalah kitab karangan Mpu Tantular, ditulis pada abad ke-14, menceritakan tentang kehidupan beragama di Kerajaan Majapahit—di dalam kitab inilah, tersurat sebuah istilah yang kini dipakai menjadi salah satu semboyan yang mencerminkan persatuan Indonesia, yakni “Bhinneka Tunggal Ika”, yang bermakna : berbeda-beda akan tetapi tetap satu.
Kitab Sutasoma yang menjadi
pencetus istilah “Bhinneka Tunggal Ika” merupakan peninggalan Majapahit,
kerajaan Buddhisme yang toleran. Sehingga, semua agama di Indonesia saat kini
berhutang budi (juga “hutang darah”, karena toleransi yang diberikan oleh umat
Buddhist di Nusantara justru kemudian diberangus oleh agama dari Arab yang
“mewabah” sehingga Buddhisme musnah sejak abad ke-15 bertepatan saat Majapahit
jatuh dan runtuh oleh gempuran Kerajaan Muslim-Demak, sebelum kemudian
Buddhisme kembali bangkit di Nusantara setelah Candi Borobudur ditemukan dan
direstorasi) kepada nenek-moyang penganut Buddhisme di Nusantara. Untuk
selengkapnya, lihat Kitab Jawa “DHARMO GHANDUL” yang meriwayatkan bahwa
toleransi yang diberikan Raja Majapahit justru menjadi petaka dikemudian hari
bagi warga umat Buddha maupun Kerajaan Majapahit itu sendiri.
Adalah bukan kalangan Muslim
yang kini telah menjelma menjadi umat mayoritas yang telah bersikap toleran
terhadap umat beragama lainnya, namun para nenek-moyang para Buddhist yang
telah toleran terhadap umat agama lain dengan mewariskan semangat dan jiwa toleran
sebagaimana menjadi inspirasi pencetus istilah “Bhinneka Tunggal Ika”. Dalam Kitab
Sutasoma, Istilah “Bhinneka Tunggal Ika” dijumpai pada pupuh 139 bait 5, dengan
kutipan disertai terjemahannya, sebagai berikut:
“Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wisma,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.”
Terjemahan:
“Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimana bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal.
Terpecah belahlah itu, tapi tetap satu jua, seperti tidak
ada kerancuan dalam kebenaran.”
Pembahasan “Bhinneka Tunggal
Ika” dalam Kitab Sutasoma sejatinya hanya menggambarkan potret kehidupan bermasyarakat
dan berbangsa yang penuh toleransi antar umat beragama, dimana para warga pemeluk
agama Hindu dan warga pemeluk Buddha dapat tetap hidup berdampingan dengan
rukun dan damai pada era Kerajaan Majapahit. Konsep “Bhinneka Tunggal Ika” demikian,
mensyaratkan toleransi, dimana tanpa itu maka konsep “Bhinneka Tunggal Ika” menjadi
sekadar jargon. Namun, Kitab Sutasoma bukanlah kitab yang mengajarkan para
pembacanya untuk bersikap toleran antar umat beragama, akan tetapi sekadar menggambarkan
potret kehidupan masyarakat pada zaman-nya di era Majapahit sebelum kemudian
dijajah oleh Kerajaan Muslim-Demak (agama Islam bisa masuk dan tumbuh ke
Nusantara, berkat toleransi yang diberikan Raja Majapahit masyarakat Buddhist
abad ke-15, namun membalasnya dengan penjajahan dan dimusnahkan)—identik dengan
apa yang tertuang dalam Kitab Jawa kuno yang berjudul “DHARMO GHANDUL”.
Istilah “Bhinneka Tunggal Ika”
berasal dari Bahasa Sansekerta, dimana “bhinneka” berasal dari gabungan kata “bhinna” yang bermakna “berbeda-beda” dan
“ika” yang bermakna “itu”, serta “tunggal” yang maknanya “satu”, diikuti “Ika” yang bermakna “itu”. Jika kita baca
dalam satu rangkaian, “Bhinneka Tunggal Ika” menjadi bermakna harfiah sebagai “yang
berbeda-beda itu dalam yang satu itu” atau “beraneka ragam namun satu jua”. Konsep
“Bhnineka Tunggal Ika” cukup serupa dengan semboyan negara Amerika Serikat,
yakni “E Pluribus Unum” yang memiliki
makna “bersatu walaupun berbeda-beda” atau “berjenis-jenis tetapi tunggal”.
Fenomena sosial tempo Buddhisme
di Nusantara kuno, yang bernafaskan “Bhinneka Tunggal Ika” sebagaimana
di-potret dalam buku Sutasoma, membahas perihal perbedaan kepercayaan pada era
Kerajaan Majapahit, akan tetapi tetap mampu hidup rukun dan saling berdampingan
dalam kemajemukan dan toleransi antar umat beragama. Dalam era modern negara
berbentuk Republik, “Bhinneka Tunggal Ika” menjadi simbol “negara keberagaman” dimana
para “founding fathers” mengamanatkan
pemerintah dan rakyatnya untuk mengakui serta menghormati, menghargai, dan mengakomodasi
eksistensi masyarakat Indonesia yang beragam pada berbagai lini maupun aspek
latar-belakang kehidupan, dimana kemajemukan bukan sebagai alasan untuk memecah-belah
nafas kebangsaan ataupun pembatasan ruang gerak dan restriksi terhadap kebebasan.
Fenomena pada era kehidupan
Buddhisme di Nusantara kuno, “Bhinneka Tunggal Ika”, kemudian dijadikan semboyan
yang tertuliskan pada lambang negara berupa Burung Garuda. Konon, pemerintah di
kawasan Timur-Tengah, sangat asing terhadap konsep “Bhinneka Tunggal Ika”,
serta ingin mengadopsinya. Toleransi maupun semangat kehidupan berbangsa “Bhinneka
Tunggal Ika” tidak akan pernah mampu dilahirkan terlebih dikembangkan dalam suatu
dogma yang membalas toleransi pemberian Raja Majapahit dan rakyat Buddhist di
Nusantara tempo dulu, dengan intoleransi berikut yang menjadi penjelasan
kemusnahan Majapahit dan Buddhisme pada abad ke-15: [membelas toleransi yang
dulu mereka nikmati dengan sikap intoleransi terhadap agama yang memberikan
kenikmatan hidup toleran, suatu “toleransi yang menjadi bumerang”, membalas
budi baik dengan pembunuhan dan pertumpahan darah]
- Umar bin al-Khattab, rekan Muhammad terusik dengan apa yang dilihatnya.
“Umar mendekati Batu Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan
lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun
tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat Utusan Allah
mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680]
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’,
menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan
kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN
DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]
- QS 9:14. Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka
dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan
menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman.
- QS 66:9. Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang
munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah
neraka Jahanam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.
- QS 2:191. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka,
dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah
itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka
di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika
mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah
balasan bagi orang-orang kafir. [NOTE : Balas dizolimi dengan pembunuhan, kapan
konflik akan berakhir dan apakah proporsional? Apakah itu bukan merupakan
“alasan pembenar” alias alibi atau justifikasi diri seolah berhak untuk
merampas hidup orang lain? Jangankan itu, kebaikan berupa toleransi saja dibalas
dengan pembunuhan.]
- QS 5:33. Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi
Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh
atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal
balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu
(sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh
siksaan yang besar. [NOTE : Maha Pengasih juga Maha Pengampun. Yang “Maha Pemurka” akan
seperti apa perintahnya?]
- QS 8:12. Ingatlah, ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat:
“Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang
telah beriman”. Kelak aku akan jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati
orang-orang kafir, maka PENGGALLAH KEPALA MEREKA dan PANCUNGLAH TIAP-TIAP
UJUNG JARI MEREKA.
- QS 9:5. Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah
orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah
mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. [NOTE: sekaligus sebagai
bukti, selama ini siapa yang menyerang dan siapa yang terlebih dahulu diserang.
Mengaku “dizolimi”, namun mengapa justru mengintai dan mengepung? Bagaimana
mungkin, mengaku diserang, namun yang diserang yang justru mengintai dan
mengepung yang menyerang?]
Kitab Sutasoma juga mengisahkan
sebuah kisah kehidupan seorang tokoh pada masanya, sebagaimana bersumber dari https://
www. kompas .com/stori/read/2021/05/06/150410179/kitab-sutasoma-pengarang-isi-dan-bhinneka-tunggal-ika?page=all,
diakses pada tanggal 03 Oktober 2023, dengan kutipan sebagai berikut:
Kitab Sutasoma berisi kisah
upaya Sutasoma sebagai titisan Sang Hyang Buddha untuk menegakkan dharma.
Sutasoma adalah putra Prabu Mahaketu dari Kerajaan Astina yang lebih menyukai
memperdalam ajaran Buddha Mahayana daripada harus menggantikan ayahnya menjadi
raja.
Maka pada suatu malam, Sutasoma
pergi ke hutan untuk melakukan semedi di sebuah candi dan mendapat anugerah.
Sutasoma kemudian pergi ke pegunungan Himalaya bersama beberapa pendeta.
Sesampainya di sebuah pertapaan, sang pangeran mendengarkan riwayat cerita
tentang raja, reinkarnasi seorang raksasa, bernama Prabu Purusada yang senang
memakan daging manusia.
Para pendeta dan Batari Pretiwi
membujuk Sutasoma agar membunuh Prabu Purusada. Namun, Sutasoma menolak karena
ingin melanjutkan perjalanan. Di perjalanan, sang pangeran bertemu dengan
raksasa berkepala gajah pemakan manusia dan ular naga. Si raksasa dan ular naga
yang tadinya ingin memangsa Sutasoma berhasil ditaklukkan.
Setelah mendengar khotbah dari
Sutasoma tentang agama Buddha, keduanya bersedia menjadi muridnya. Sang
pangeran juga bertemu dengan harimau betina yang akan memakan anaknya sendiri.
Sutasoma sempat mati karena bersedia menjadi mangsa harimau itu.
Lalu datanglah Batara Indra dan
Sutasoma dihidupkan kembali. Tersebutlah sepupu Sutasoma bernama Prabu
Dasabahu, berperang dengan anak buah Prabu Kalmasapada (Purusada). Anak buah
Prabu Kalmasapada kalah dan meminta perlindungan Sutasoma.
Prabu Dasabahu yang terus
mengejar akhirnya tahu bahwa Sutasoma adalah sepupunya, lalu di ajak ke
negerinya dan dijadikan ipar. Setelah kembali ke Astina, Sutasoma dinobatkan
sebagai raja bergelar Prabu Sutasoma.
Cerita dilanjutkan dengan kisah
Prabu Purusada dalam membayar kaul kepada Batara Kala supaya bisa sembuh dari
penyakitnya. Purusada telah mengumpulkan 100 raja, tetapi Batara Kala tidak mau
memakan mereka. Prabu Sutasoma bersedia menjadi santapan Batara Kala sebagai
ganti atas 100 raja sitaan Purusada.
Mendengar permintaan raja
Astina, Purusada menjadi sadar akan perbuatannya dan berjanji tidak akan
memakan daging manusia lagi.
Bhinneka Tunggal Ika Kakawin
Sutasoma dikutip oleh pendiri bangsa Indonesia dalam merumuskan semboyan
negara, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Kutipan frasa Bhinneka Tunggal Ika terdapat
dalam Kakawin Sutasoma pada pupuh 139 bait 5, berikut bunyinya. Rwaneka dhatu
winuwus Buddha Wiswa Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen Mangka ng Jinatwa
kalawan Siwatatwa tunggal Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa Dalam
bait tersebut dikatakan bahwa meskipun Buddha dan Siwa berbeda tetapi dapat
dikenali. Sebab kebenaran Buddha dan Siwa adalah tunggal. Berbeda tetapi
tunggal, sebab tidak ada kebenaran yang mendua.
Bila diterjemahkan tiap kata,
bhinneka artinya beraneka ragam, tunggal berarti satu dan ika berarti itu.
Sehingga pengertian Bhinneka Tunggal Ika adalah berbeda-beda tetapi tetap satu.
Referensi: Behrend, T.E dan Alan H. Feinstein. (1990).
Toleransi merupakan sumber “ketahanan
berbangsa dan bernegara” ditengah-tengah situasi dan kondisi bangsa yang
majemuk alias heterogen akar budaya maupun alam kepercayaan masyarakatnya,
bukan homogen dan tidak pernah homogen sejak dahulu kala. Kemajemukan itu sendiri
merupakan warisan dari nenek-moyang Buddhist yang sudah ada sejak abad ke-1
sampai dengan ke-15 Masehi di Nusantara, dimana kita sebagai generasi penerus
tidaklah pada proporsinya untuk memungkiri sejarah bangsa maupun
mengesampingkan warisan dari generasi sebelumnya. Sumber lainnya dari https:// www.
kompas .com/stori/read/2023/02/09/130000579/asal-usul-bhinneka-tunggal-ika?page=all#:~:text=Sebab%2C%20semboyan%20Bhinneka%20Tunggal%20Ika,agama%20yang%20berbeda%20di%20Nusantara,
diakses pada tanggal 03 Oktober 2023, membahas asal-usul konsepsi “Bhinneka
Tunggal Ika”, dengan kutipan sebagai berikut:
Asal-usul Asal-usul Bhinneka
Tunggal Ika bermula pada abad ke-14, masa Kerajaan Majapahit. Sebab, semboyan
Bhinneka Tunggal Ika terdapat dalam kitab kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular
yang digubah pada masa kekuasaan Raja Rajasanagara Majapahit, yaitu Hayam
Wuruk.
Dalam Kitab Sutasoma, Mpu
Tantular menyebutkan bahwa Bhinneka Tunggal Ika dijadikan sebagai titik temu
agama-agama yang berbeda di Nusantara. Kitab karya Mpu Tantular ini mengajarkan
toleransi antar agama dan menjadi ajaran yang dianut oleh pemeluk agama Hindu
dan Buddha.
Adapun sajak penuh dalam Kitab
Sutasoma yang menyebutkan kata Bhinneka Tunggal Ika ada pada kutipan dari pupuh
139, bait 5, berbunyi sebagai berikut: Rwâneka dhâtu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa
tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. Artinya: Konon Buddha
dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi
bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah
tunggal Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan
dalam kebenaran.
Sumber alternatif lainnya
berikut memberikan gambaran yang lebih jelas dan lugas kaitannya antara “warisan
toleransi” dari nenek-moyang kita dan lambang negara modern kita di Nusantara, sebagaimana
bersumber dari https:// www. detik .com/edu/detikpedia/d-5691874/sejarah-kitab-sutasoma-penulis-isi-dan-asal-mula-bhinneka-tinggal-ika,
oleh Novia Aisyah dari detikEdu diakses pada tanggal 03 Oktober 2023, dengan
kutipan sebagai berikut:
Kitab ini digubah di bawah
naungan Sri Ranamanggala. Gubahan dilakukan pada sekitar tahun 1365-1369 saat
pemerintahan Hayam Wuruk. Gubahan tersebut sangat penting karena memuat ide-ide
religius, khususnya tentang agama Buddha Mahayana dan hubungannya dengan agama
Siwa.
Kitab Sutasoma adalah sebuah
karya sastra yang unik karena cerita tokoh keturunan Pandawa telah diganti
menjadi kisah Buddhis. Di dalamnya terdapat kisah hidup Sutasoma yang berpola
cerita hidup Buddha dan kisahnya diambil dari cerita faktual.
Kakawin Sutasoma juga cenderung
memaparkan peringatan tentang timbulnya gejala-gejala pertentangan antara
keraton barat dengan keraton timur. Pertentangan kedua keturunan Hayam Wuruk
ini kemudian meletus menjadi perang secara bertahap yang dikenal sebagai Perang
Paregreg.
Kitab Sutasoma berisikan pula
anjuran agar pertentangan kedua kubu ini diselesaikan secara damai berdasarkan
prinsip Buddhis. Kakawin ini juga menggambarkan bahwa Hayam Wuruk adalah
penjelmaan raja Buddhis yang ideal.
Seperti dikatakan sebelumnya
bahwa Kakawin Sutasoma bercerita tentang agama Buddha Mahayana dan kaitannya
dengan Siwa. Dikutip dari laman Kemdikbud, pada sebuah teks yang tercantum
dalam kitab ini, dikatakan bahwa Buddha dan Siwa adalah berbeda.
Kendati begitu, keduanya dapat
dikenali karena kebenaran Buddha dan Siwa merupakan hal yang tunggal. Berbeda,
namun tunggal karena tidak ada kebenaran yang mendua.
Di samping itu, menurut buku
Pasti Bisa Ilmu Pengetahuan Sosial untuk SD/MI kelas IV karya Tim Tunas Karya
Guru, masyarakat Majapahit sudah mengenal berbagai agama, meskipun yang utama
adalah Hindu dan Buddha.
Dan karena keragaman ini,
pemerintah Majapahit menciptakan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana
Dharma Mangrua” yang juga diambil dari Kitab Sutasoma. Tujuan diciptakannya
semboyan ini adalah untuk menciptakan kerukunan beragama di antara rakyatnya.
Visi dan misi Buddhisme, ialah
memepuk kebajikan, menghindari perbuatan buruk yang dapat dicela oleh para
bijaksana, serta memurnikan diri serta pikiran, sebagaimana khotbah Sang
Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical
Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012,
terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi
Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan sebagai berikutt:
48 (8) Gunung
“Para bhikkhu, berdasarkan pada
pegunungan Himalaya, raja pegunungan, pepohonan sal besar tumbuh dalam tiga
cara. Apakah tiga ini? Pepohonan itu menumbuhkan dahan-dahan, dedaunan, dan
kerimbunan; (2) pepohonan itu menumbuhkan kulit pohon dan tunas-tunas; dan (3)
pepohonan itu menumbuhkan kayu lunak dan inti kayu. Berdasarkan pada pegunungan
Himalaya, raja pegunungan. pepohonan sal besar tumbuh dalam tiga cara ini.
“Demikian pula, ketika
kepala keluarga memiliki keyakinan, maka orang-orang dalam keluarga yang
bergantung padanya tumbuh dalam tiga cara. Apakah tiga ini? (1) Mereka
menumbuhkan keyakinan; (2) mereka menumbuhkan perilaku bermoral; dan (3) mereka
menumbuhkan kebijaksanaan. Ketika kepala keluarga memiliki keyakinan, maka
orang-orang dalam keluarga yang bergantung padanya tumbuh dalam tiga cara ini.”
Seperti halnya pepohonan yang
tumbuh dengan bergantung pada pegunungan berbatu dalam hutan belantara yang
luas akan menjadi “raja hutan kayu,” demikian pula, ketika kepala keluarga di
sini memiliki keyakinan dan moralitas, istri, anak-anak, dan sanak-saudaranya semuanya
tumbuh dengan bergantung padanya; demikian pula teman-teman, lingkaran
keluarganya, dan mereka yang bergantung padanya. [153]
Mereka yang memiliki kearifan,
melihat perilaku baik orang bermoral itu, kedermawanan dan perbuatan-perbuatan
baiknya, akan meniru teladannya. Setelah hidup di sini sesuai
Dhamma, jalan yang menuju alam tujuan yang baik, mereka yang menginginkan
kenikmatan indria akan bergembira, bersenang-senang di alam deva.
~0~
49 (9) Semangat
“Para bhikkhu, dalam tiga kasus
semangat harus dikerahkan. Apakah tiga ini? (1) Semangat harus dikerahkan untuk
tidak memunculkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang belum
muncul. (2) Semangat harus dikerahkan untuk memunculkan kualitas-kualitas yang
bermanfaat yang belum muncul. (3) Semangat harus dikerahkan untuk menahankan
perasaan-perasaan jasmani yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk,
mengerikan, tidak menyenangkan, melemahkan vitalitas seseorang. Dalam
ketiga kasus ini semangat harus dikerahkan.
“Ketika seorang bhikkhu
mengerahkan semangat untuk tidak memunculkan kualitas-kualitas buruk yang tidak
bermanfaat yang belum muncul, untuk memunculkan kualitas-kualitas yang bermanfaat
yang belum muncul, dan untuk menahankan perasaan-perasaan jasmani yang
menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan,
melemahkan vitalitas seseorang, maka ia disebut seorang bhikkhu yang tekun,
awas, dan penuh perhatian untuk mengakhiri penderitaan sepenuhnya.”
~0~
50 (10) Pencuri Ulung
“Para bhikkhu, dengan memiliki
tiga faktor, seorang pencuri ulung menerobos masuk ke dalam rumah-rumah,
merampas harta kekayaan, melakukan kejahatan, dan menyerang di jalan-jalan
raya. Apakah tiga ini? Di sini, seorang pencuri ulung bergantung pada permukaan
yang tidak rata, pada belantara, dan pada orang-orang berkuasa.
(1) “Dan bagaimanakah seorang
pencuri ulung bergantung pada permukaan yang tidak rata? Di sini, seorang
pencuri ulung bergantung pada sungai-sungai yang sulit diseberangi dan pegunungan
bergelombang. Dengan cara inilah seorang pencuri ulung bergantung pada
permukaan yang tidak rata.
(2) “Dan bagaimanakah seorang
pencuri ulung bergantung pada belantara? Di sini, seorang pencuri ulung
bergantung pada hutan rotan, [154] belantara pepohonan, semak belukar, atau
hutan lebat. Dengan cara inilah seorang pencuri ulung bergantung pada belantara.
(3) “Dan bagaimanakah
seorang pencuri ulung bergantung pada orang-orang berkuasa? Di sini, seorang
pencuri ulung bergantung pada raja-raja atau para menteri kerajaan. Ia
berpikir: ‘Jika siapa pun menuduhku melakukan apa pun, maka raja-raja atau para
menteri kerajaan akan membatalkan perkara itu.’ Jika siapa pun menuduhnya
melakukan apa pun, maka raja-raja atau para menteri kerajaan akan membatalkan
perkara itu. Dengan cara inilah seorang pencuri ulung bergantung pada
orang-orang berkuasa.
“Adalah dengan memiliki
ketiga faktor ini, seorang pencuri ulung menerobos masuk ke dalam rumah-rumah,
merampas harta kekayaan, melakukan kejahatan, dan menyerang di jalan-jalan raya.
“Demikian pula, para bhikkhu,
dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu jahat mempertahankan dirinya
dalam kondisi celaka dan terluka, tercela dan dicela oleh para bijaksana, dan menghasilkan
banyak keburukan. Apakah tiga ini? Di sini, seorang bhikkhu jahat bergantung
pada permukaan yang tidak rata, pada belantara, dan pada orang-orang berkuasa.
(1) “Dan bagaimanakah seorang
bhikkhu jahat bergantung pada permukaan yang tidak rata? Di sini, seorang
bhikkhu jahat terlibat dalam perbuatan tidak baik melalui jasmani, ucapan, dan
pikiran. Dengan cara inilah seorang bhikkhu jahat bergantung pada permukaan
yang tidak rata.
(2) “Dan bagaimanakah seorang
bhikkhu jahat bergantung pada belantara? Di sini, seorang bhikkhu jahat
menganut pandangan salah, mengadopsi pandangan ekstrim. Dengan cara inilah
seorang bhikkhu jahat bergantung pada belantara.
(3) “Dan bagaimanakah seorang
bhikkhu jahat bergantung pada orang-orang berkuasa? Di sini, seorang bhikkhu
jahat bergantung pada raja-raja atau para menteri kerajaan. Ia berpikir: ‘Jika
siapa pun menuduhku melakukan apa pun, maka raja-raja atau para menteri
kerajaan akan membatalkan perkara itu.’ Jika siapa pun menuduhnya melakukan apa
pun, maka raja-raja atau para menteri kerajaan akan membatalkan perkara itu.
Dengan cara inilah seorang bhikkhu jahat bergantung pada orang-orang berkuasa.
[155]
“Adalah dengan memiliki
ketiga kualitas ini, seorang bhikkhu jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi
celaka dan terluka, tercela dan dicela oleh para bijaksana, dan menghasilkan
banyak keburukan.”
~0~
I. Brahmana
51 (1) Dua Brahmana (1)
Dua brahmana yang sepuh, tua,
terbebani tahun demi tahun, lanjut usia, sampai pada tahap akhir, berusia
seratus dua puluh tahun, mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa
dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah itu, mereka duduk di
satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:
“Kami adalah para brahmana,
Guru Gotama, sudah sepuh, tua … berusia seratus dua puluh tahun. Tetapi kami
belum pernah melakukan apa pun yang baik dan bermanfaat, juga kami tidak membuat
naungan untuk diri kami sendiri. Sudilah Guru Gotama mendorong kami dan
memberikan instruksi kepada kami yang mengarah pada kesejahteraan dan
kebahagiaan kami untuk waktu yang lama!”
“Memang benar, para brahmana,
kalian sudah sepuh, tua, terbebani tahun demi tahun, berusia lanjut, sampai
pada tahap akhir, berusia seratus dua puluh tahun, tetapi kalian belum pernah melakukan
apa pun yang baik dan bermanfaat, juga kalian tidak membuat naungan untuk diri
kalian sendiri. Sesungguhnya, dunia ini terhanyutkan oleh usia tua,
penyakit, dan kematian. Tetapi walaupun dunia ini terhanyutkan oleh usia
tua, penyakit, dan kematian, ketika seseorang meninggal dunia maka pengendalian
diri atas jasmani, ucapan, dan pikiran akan memberikan naungan, pelabuhan,
pulau, perlindungan, dan penyokong.”
Kehidupan terhanyutkan, umur
kehidupan adalah singkat, tidak ada naungan bagi seorang yang telah berusia
tua. Melihat dengan jelas bahaya dalam kematian ini, seseorang harus
melakukan perbuatan-perbuatan berjasa yang membawa kebahagiaan.
Ketika seseorang meninggalkan [kehidupan ini],
pengendalian diri atas jasmani, ucapan, dan pikiran, dan perbuatan-perbuatan
berjasa yang ia lakukan selagi hidup, mengarahkannya pada kebahagiaannya. [156]
~0~
52 (2) Dua Brahmana (2)
Dua brahmana yang sepuh, tua,
terbebani dengan tahun demi tahun, lanjut usia, sampai pada tahap akhir,
berusia seratus dua puluh tahun, mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:
“Kami adalah para brahmana,
Guru Gotama, sudah sepuh, tua … berusia seratus dua puluh tahun. Tetapi kami
belum pernah melakukan apa pun yang baik dan bermanfaat, juga kami tidak membuat
naungan untuk diri kami sendiri. Sudilah Guru Gotama mendorong kami dan
memberikan instruksi kepada kami yang mengarah pada kesejahteraan dan
kebahagiaan kami untuk waktu yang lama!”
“Memang benar, para brahmana,
kalian sudah sepuh, tua, terbebani dengan tahun demi tahun, lanjut usia, sampai
pada tahap akhir, berusia seratus dua puluh tahun, tetapi kalian belum pernah melakukan
apa pun yang baik dan bermanfaat, juga kalian tidak membuat naungan untuk diri
kalian sendiri. Sesungguhnya, dunia ini terbakar oleh usia tua, penyakit, dan
kematian. Tetapi walaupun dunia ini terbakar oleh usia tua, penyakit, dan
kematian, ketika seseorang meninggal dunia maka pengendalian-diri atas jasmani,
ucapan, dan pikiran akan memberikan naungan, pelabuhan, pulau, perlindungan,
dan penyokong.”
Ketika rumah seseorang terbakar perlengkapan yang dibawa
keluar adalah yang berguna bagi kalian, bukan yang terbakar di dalam.
Oleh karena itu karena dunia ini terbakar oleh usia tua
dan kematian, seseorang harus mengeluarkan dengan cara memberi: apa yang
diberikan akan dibawa keluar dengan selamat.
Ketika seseorang meninggalkan [kehidupan ini],
pengendalian diri atas jasmani, ucapan, dan pikiran, dan perbuatan-perbuatan
berjasa yang ia lakukan selagi hidup, mengarahkannya pada kebahagiaannya.
~0~
54 (4) Seorang Pengembara
Seorang brahmana tertentu
mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:
“Guru Gotama, dikatakan: ‘Suatu
Dhamma yang terlihat secara langsung, suatu Dhamma yang terlihat secara
langsung.’ Dengan cara bagaimanakah Dhamma itu terlihat secara langsung,
segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk
dialami secara pribadi oleh para bijaksana?”
(1) “Brahmana, seseorang
yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh
nafsu, menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan
keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi
ketika nafsu ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri,
penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami
penderitaan batin dan kesedihan.
[158] Seseorang yang tergerak
oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu,
melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi
ketika nafsu ditinggalkan, ia tidak melakukan perbuatan buruk melalui jasmani,
ucapan, dan pikiran. Seseorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan
oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, tidak memahami sebagaimana
adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya. Tetapi
ketika nafsu ditinggalkan, ia memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri,
kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya. Dengan cara inilah Dhamma itu
terlihat secara langsung … untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.
(2) “Seseorang yang penuh
kebencian, dikendalikan oleh kebencian … (3) “Seseorang yang terdelusi,
dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, menghendaki
penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan
ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika delusi ditinggalkan,
ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau
penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan.
Seseorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai
oleh delusi, melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran.
Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia tidak melakukan perbuatan buruk melalui
jasmani, ucapan, dan pikiran. Seseorang yang terdelusi, dikendalikan oleh
delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, tidak memahami sebagaimana adanya
kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya. Tetapi ketika
delusi ditinggalkan, ia memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri,
kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya.
Dengan cara ini juga, bahwa
Dhamma itu terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang
dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para
bijaksana.”
“Bagus sekali, Guru Gotama!
Bagus sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam banyak
cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang
tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan
pelita dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat
bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung kepada Guru Gotama, kepada Dhamma, dan
kepada Saṅgha para bhikkhu. Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat
awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.