Delusi yang Menyaru sebagai Logika, Logika yang Delusif

Logika yang Ditarik dari Delusi Diri, Menyesatkan

Pikiran Jernih dan Akal Sehat Vs. Logika Delusif

Question: Maksudnya bagaimana dan seperti apa, yang disebut sebagai logika berdasarkan delusi?

Brief Answer: Akibat terbiasa dengan gaya berpikir yang dangkal, seseorang bisa cenderung terjerumus dan terjebak dalam ruang asumsinya sendiri, alias bermain-main dengan pemikiran penuh spekulasi lantas meyakininya sebagai kebenaran mutlak—sekalipun tidak memiliki landasan berpikir yang valid dan empirik. Contohnya ialah orang-orang yang berbangga diri dalam kesombongan atas kesehatannya, mengklaim dirinya selama ini menantang wabah akibat pandemik tanpa menerapkan protokol kesehatan, tidak perlu menjaga jarak ataupun mencuci tangan, juga mengkampanyekan “anti vaksin”, namun tetap hidup dan sehat. Apakah logika demikian, valid adanya sebagai kesaksian langsung alias testimoni hidup?

Faktanya, tidak tertutup kemungkinan, terdapat juga orang-orang yang tidak meyakini adanya wabah, membanggakan kesehatannya, menyombongkan diri bahwa antibodi terbaik ialah menghindari “penyakit pikiran”, bahkan menantang wabah, akhirnya benar-benar tertular, terinfeksi, serta tewas karena “ber-jud! dengan nasib” serta “mencobai Tuhan” (alih-alih sebaliknya), atau bahkan mencelakai orang-orang terdekat dalam keluarganya sendiri. Namun, yang tewas akibat tertular wabah yang sama, tidak lagi mampu memberi testimoni ataupun mengkampanyekan bahwa dirinya telah berbuat konyol dengan menyombongkan kesehatannya dan kebodohannya telah menantang wabah, dimana kini dirinya menyesal sendiri di alam baka.

Artinya, yang masih hidup dan menyombongkan dirinya, sejatinya tengah menghakimi mereka yang bernasib kurang cukup beruntung. Dirinya bebas sesumbar “anti vaksin”, “tidak perlu protokol kesehatan”, “wabah itu hal sepele”, “pandemik tidak ada”, “yang tewas adalah karena kuasa Tuhan”, namun sayangnya mereka yang tewas akibat wabah tidak dapat membuat kampanye serupa berupa testimoni pengalaman pribadi ataupun penyesalan mendalamnya, bahwa penyesalan selalu datang terlambat dan ketika itu terjadi, dirinya telah berada di liang kubur ataupun di ruang kremasi.

Begitupula ketika dikait-kaitkannya antara kekebalan terhadap wabah dan iman, alias menghakimi orang-orang yang menderita hebat atau bahkan tewas (korban jiwa) akibat terpapar dan terjangkit wabah, merupakan individu-individu yang tidak beriman. Cerminan demikian merupakan bentuk arogansi sekaligus penghakiman terhadap mereka yang meninggal alias yang kurang beruntung akibat terpajan wabah sehingga tidak lagi mampu melakukan gugatan ataupun pembelaan diri di ruang peradilan dunia manusia, kecuali dimasa mendatang keduanya berjumpa di alam baka barulah sang korban yang pernah dihakimi dapat menggunakan kesempatan mengadukan sang arogan kepada raja neraka.

Hal-hal demikian sama seperti tradisi praktik meditasi para bhikkhu hutan yang gaya berlatihnya cukup ektrem, yakni menantang maut dengan mencari lokasi bermeditasi persis pada lintasan yang ada bekas jejak tapak kaki harimau liar maupun bermeditasi berdiri tepat di tepi jurang. Yang berhasil, bisa sesumbar dan mengklaim dirinya berhasil berkat gaya berlatih yang ekstrem demikian. Namun, bagaimana dengan yang gagal, seperti jatuh ke dalam jurang atau tewas diterkam harimau, bisakah mereka memberikan testimoni serupa kepada kita para manusia yang masih hidup di dunia manusia?

Janganlah kita menyombongkan diri, menjurus pada sikap arogan yang cenderung menghakimi mereka yang kurang beruntung. Milikilah empati serta kerendahan hati, dan jangan lagi bermain-main dengan nasib (don’t push your luck too far), karena tidak selamanya kita bernasib mujur. Seperti kata pepatah, hidup ibarat roda yang terus berputar, terkadang kita berada di atas, dan ada kala serta waktunya kita berada di bawah. Bila kita tidak ingin dihakimi dan ditertawakan, maka janganlah kita mengahakimi ataupun menertawakan hidup mereka yang tidak lebih beruntung daripada kita.

PEMBAHASAN:

Pernah terjadi, seorang reporter mewawancarai warga yang berhasil lolos dari ajal dan selamat saat bencana alam hebat melanda suatu daerah di Indonesia, dimana banyak korban jiwa berjatuhan. Inilah yang menjadi pernyataan sang warga yang berhasil menyelamatkan diri dan lebih beruntung daripada warga lain yang tidak seberuntung dirinya : “Alhamdullilah, saya selamat masih diberi hidup oleh Tuhan.”—dimana secara tidak langsung yang bersangkutan seolah hendak berkata juga sebagai ekor kalimatnya, “namun warga lainnya tidak selamat sehingga saya bersyukur saya lebih dianak-emaskan oleh Tuhan. Saya ini memang narsistik dan egosentris, namun saya bangga alih-alih merasa malu.

Masalahnya ialah, apakah warga-warga yang menjadi korban jiwa yang tidak berhasil lolos dari maut, di alam baka bisakah mereka menyuarakan aspirasi serta ekspresinya kepada para manusia di Bumi ini, “Kami TIDAK alhamdullilah, karena kami TIDAK selamat!” Anda lihat, orang-orang yang narsistik cenderung membawa serta watak egoistik serta “miskin empati” (EQ yang dangkal, namun mengklim “agamis” yang ber-SQ paling superior) terhadap sesamanya, seolah-olah hanya dirinya seorang yang berhak mengharap hidup makmur, sehat, dan selamat serta dapat hidup hingga panjang umur, dan bergembira mendapati individu-individu lainnya bernasib tidak lebih beruntung daripada sang narsis.

Kini, mari kita bandingkan dengan logika yang berlandaskan pada pikiran yang jernih serta “akal sehat milik orang sehat”—bukan “akal sakit milik orang sakit”—sebagaimana khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, perihal “logika yang dapat dipertanggung-jawabkan”, dengan kutipan sebagai berikut:

61 (1) Sektarian

“Para bhikkhu, ada tiga doktrin sektarian ini yang, ketika dipertanyakan, diinterogasi, dan didebat oleh para bijaksana, dan dibawa menuju kesimpulan mereka, akan berakhir dalam tidak berbuat. Apakah tiga ini?

(1) “Ada, para bhikkhu, beberapa petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya disebabkan oleh apa yang telah dilakukan di masa lalu.’ (2) Ada para petapa dan brahmana lainnya yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya disebabkan oleh aktivitas Tuhan pencipta.’ (3) Dan ada para petapa dan brahmana lain lagi yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya terjadi tanpa suatu sebab atau kondisi.’

[Note Kitab Komentar : Ini secara berturut-turut adalah doktrin-doktrin dari Jainisme, Theistik, dan tanpa-penyebab.]

(1) “Para bhikkhu, Aku mendatangi para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya disebabkan oleh perbuatan-perbuatan masa lalu,’ dan Aku berkata kepada mereka: ‘Benarkah bahwa kalian para mulia menganut doktrin dan pandangan demikian?’ ketika Aku menanyakan hal ini kepada mereka, mereka menegaskannya. Kemudian Aku berkata kepada mereka: ‘Kalau begitu, adalah karena perbuatan masa lalu maka kalian mungkin melakukan pembunuhan, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan aktivitas seksual, berbohong, mengucapkan kata-kata yang memecah-belah, berkata kasar, bergosip; maka kalian mungkin penuh kerinduan, memiliki pikiran berniat buruk, dan menganut pandangan salah.’

[Note Kitab Komentar : Mereka berpendapat bahwa seseorang mengalami perasaan perasaan secara eksklusif disebabkan oleh kamma yang dilakukan di masa lalu. Sehubungan dengan hal ini, baca SN 36:21, IV 230-31, dimana Sang Buddha menjelaskan delapan penyebab bagi penyakit atau penderitaan, hanya salah satunya yang merupakan kematangan kamma masa lalu.

Brahmāli menulis: “Poinnya di sini tampaknya adalah bahwa masing-masing dari cara berbuat tidak bermanfaat ini berhubungan dengan perasaan-perasaan tertentu, dan bahwa perasaan-perasaan (atau pengalaman-pengalaman) itu hanya dapat dialami melalui perbuatan-perbuatan itu. Yang berlanjut dengan jika kammamu adalah sedemikian sehingga engkau harus mengalami perasaan-perasaan yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan buruk itu, maka engkau harus melakukannya.”

Hal yang sama, dengan perubahan seperlunya, berlaku pada kedua doktrin berikutnya, yaitu, aktivitas Tuhan pencipta dan tanpa-penyebab. Dalam tiap-tiap kasus, para pelaku menghindari tanggung jawab atas perbuatan-perbuatan mereka.]

Mereka yang mengandalkan perbuatan masa lalu sebagai kebenaran mendasar tidak memiliki keinginan [untuk melakukan] apa yang harus dilakukan dan [untuk menghindari melakukan] apa yang tidak boleh dilakukan, juga mereka tidak berusaha dalam hal ini. Karena mereka tidak memahami sebagai benar dan sah segala sesuatu yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan, maka mereka berpikiran kacau, mereka tidak menjaga diri mereka sendiri, dan bahkan sebutan personal sebagai ‘petapa’ tidak dapat dengan benar ditujukan kepada mereka. Ini adalah bantahan logisKu yang pertama pada para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan demikian.

(2) “Kemudian, para bhikkhu, Aku mendatangi para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya disebabkan oleh aktivitas Tuhan pencipta,’ dan Aku berkata kepada mereka: ‘Benarkah bahwa kalian para mulia menganut doktrin dan pandangan demikian?’ Ketika Aku menanyakan hal ini kepada mereka, mereka menegaskannya. Kemudian Aku berkata kepada mereka: ‘Kalau begitu, adalah karena aktivitas Tuhan pencipta maka kalian mungkin melakukan pembunuhan … dan menganut pandangan salah.’

Mereka yang mengandalkan aktivitas Tuhan pencipta sebagai kebenaran mendasar tidak memiliki keinginan [untuk melakukan] apa yang harus dilakukan dan [untuk menghindari melakukan] apa yang tidak boleh dilakukan, juga mereka tidak berusaha dalam hal ini. Karena mereka tidak memahami sebagai benar dan sah segala sesuatu yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan, maka mereka berpikiran kacau, mereka tidak menjaga diri mereka sendiri, dan bahkan sebutan personal sebagai ‘petapa’ tidak dapat dengan benar ditujukan kepada mereka. Ini adalah bantahan logisKu yang ke dua atas para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan demikian.

(3) “Kemudian, para bhikkhu, Aku mendatangi para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya terjadi tanpa suatu sebab atau kondisi,’ dan Aku berkata kepada mereka: ‘Benarkah bahwa kalian para mulia menganut doktrin dan pandangan demikian?’ Ketika Aku menanyakan hal ini kepada mereka, mereka menegaskannya. Kemudian Aku berkata kepada mereka: ‘Kalau begitu, adalah tanpa suatu penyebab atau kondisi maka kalian mungkin melakukan pembunuhan … dan menganut pandangan salah.’

Mereka yang mengandalkan ketiadaan penyebab dan kondisi sebagai kebenaran mendasar tidak memiliki keinginan [untuk melakukan] apa yang harus dilakukan dan [untuk menghindari melakukan] apa yang tidak boleh dilakukan, juga mereka tidak berusaha dalam hal ini. Karena mereka tidak memahami sebagai benar dan sah segala sesuatu yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan, maka mereka berpikiran kacau, mereka tidak menjaga diri mereka sendiri, dan bahkan sebutan personal sebagai ‘petapa’ tidak dapat dengan benar ditujukan kepada mereka. Ini adalah bantahan logisKu yang ke tiga atas para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan demikian.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga doktrin sektarian itu yang, ketika dipertanyakan, diinterogasi, dan didebat oleh para bijaksana, dan dibawa menuju kesimpulan mereka, akan berakhir dalam tidak berbuat.

“Tetapi, para bhikkhu, Dhamma yang diajarkan olehKu ini tidak dapat dibantah, tidak kotor, tidak dapat disalahkan, dan tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana. Dan apakah Dhamma yang diajarkan olehKu yang tidak dapat dibantah, tidak kotor, tidak dapat disalahkan, dan tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana?

{Note : Penerjemah lainnya, dari aslinya teks Bahasa Pali menerjemahkannya sebagai : “Beliau sejauh ini telah menunjukkan bahwa doktrin-doktrin sektarian ini, jika dibawa pada kesimpulan, akan berakhir dalam tidak-berbuat, dan oleh karena itu kosong dan tidak membebaskan, tidak penting. Sekarang Beliau menunjukkan bahwa Dhamma yang Beliau ajarkan adalah penting dan membebaskan (sārabhāvañc’eva niyyānikabhāvañca).”]

“‘Ini adalah enam elemen’: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana. ‘Ini adalah enam landasan bagi kontak’ … ‘Ini adalah delapan belas pemeriksaan pikiran’ … ‘Ini adalah empat kebenaran mulia’: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu yang ini tidak dapat dibantah, tidak kotor, tidak dapat disalahkan, dan tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana.

“Ketika dikatakan: ‘“Ini adalah enam elemen”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? Ada enam elemen ini: elemen tanah, elemen air, elemen api, elemen udara, elemen ruang, dan elemen kesadaran. Ketika dikatakan: ‘“Ini adalah enam elemen”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ adalah karena ini maka hal ini dikatakan.

“Ketika dikatakan: ‘“Ini adalah enam landasan bagi kontak”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? Ada enam landasan bagi kontak ini: mata sebagai sebuah landasan bagi kontak, telinga sebagai sebuah landasan bagi kontak, hidung sebagai sebuah landasan bagi kontak, lidah sebagai sebuah landasan bagi kontak, badan sebagai sebuah landasan bagi kontak, dan pikiran sebagai sebuah landasan bagi kontak. Ketika dikatakan: ‘“Ini adalah enam landasan bagi kontak”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ adalah karena ini maka hal ini dikatakan.

“Ketika dikatakan: ‘“Ini adalah delapan belas pemeriksaan pikiran”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehku yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? Setelah melihat suatu bentuk dengan mata, seseorang memeriksa bentuk yang menjadi landasan bagi kegembiraan; ia memeriksa bentuk yang menjadi landasan bagi kesedihan; ia memeriksa bentuk yang menjadi landasan bagi keseimbangan. Setelah mendengar suatu suara dengan telinga … Setelah mencium suatu bau-bauan dengan hidung … Setelah mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … Setelah merasakan suatu objek sentuhan dengan badan … Setelah mengenali suatu fenomena pikiran dengan pikiran, ia memeriksa fenomena pikiran tersebut yang menjadi landasan bagi kegembiraan; ia memeriksa fenomena pikiran tersebut yang menjadi landasan bagi kesedihan; ia memeriksa fenomena pikiran tersebut yang menjadi landasan bagi keseimbangan. Ketika dikatakan: ‘“Ini adalah delapan belas pemeriksaan pikiran”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ adalah karena ini maka hal ini dikatakan.

{Note : Penerjemah lain menjelaskan manopavicāra sebagai berikut: “Pemeriksaan pikiran atas delapan belas kasus, menggunakan ‘kaki’ pemikiran dan pemeriksaan (vitakkavicārapādehi).” Kata “kaki” (pāda) digunakan di sini karena vicāra aslinya bermakna “bepergian.”]

“Ketika dikatakan: ‘“Ini adalah empat kebenaran mulia”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu yang ini tidak dapat dibantah, tidak kotor, tidak dapat disalahkan, dan tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? Dengan bergantung pada enam landasan maka munculnya embrio [di masa depan] terjadi. Ketika munculnya embrio itu terjadi, maka ada batin-dan-bentuk; dengan batin-dan-bentuk sebagai kondisi, maka ada enam landasan indria; dengan enam landasan indria sebagai kondisi, maka ada kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka ada perasaan. Sekarang adalah bagi seorang yang merasakan maka Aku menyatakan: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’

[Note Kitab Komentar: Mengapakah Beliau memulai dengan cara ini? Untuk memudahkan pemahaman. Karena Sang Tathāgata ingin menjelaskan perputaran kedua belas kondisi, maka Beliau menjelaskan lingkaran dengan istilah ‘munculnya embrio (di masa depan)’. Karena ketika lingkaran telah ditunjukkan dengan munculnya embrio (di masa depan), maka bagian selanjutnya akan mudah dipahami. Enam elemen siapakah yang berfungsi sebagai kondisi, ibu atau ayah? Bukan keduanya, tetapi munculnya embrio (di masa depan) terjadi dengan dikondisikan oleh enam elemen dari makhluk yang sedang dilahirkan kembali.]

“Dan apakah, para bhikkhu, kebenaran mulia penderitaan? Kelahiran adalah penderitaan, penuaan adalah penderitaan, penyakit adalah penderitaan, kematian adalah penderitaan; dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan adalah penderitaan; tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah penderitaan; singkatnya, kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan adalah penderitaan. Ini disebut kebenaran mulia penderitaan.

“Dan apakah, para bhikkhu, kebenaran mulia asal-mula penderitaan? Dengan ketidak-tahuan sebagai kondisi, maka [muncul] aktivitas-aktivitas berkehendak; dengan aktivitas-aktivitas berkehendak sebagai kondisi, maka kesadaran; dengan kesadaran sebagai kondisi, maka batin-dan-bentuk; dengan batin-dan-bentuk sebagai kondisi, maka enam landasan indria; dengan enam landasan indria sebagai kondisi, maka kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, maka ketagihan; dengan ketagihan sebagai kondisi, maka kemelekatan; dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka muncul penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini. Ini disebut kebenaran mulia asal-mula penderitaan.

[Note Kitab Komentar : 438 Ini mungkin adalah contoh unik di mana kebenaran-kebenaran mulia asal mula dan lenyapnya penderitaan dijelaskan melalui seluruh dua belas faktor kemunculan bergantungan. Pada SN 12:43, II 72-73, asal-mula (samudaya) penderitaan dijelaskan melalui mata rantai dari kesadaran hingga ketagihan; lenyapnya (atthagama) melalui lenyapnya mata rantai dari ketagihan hingga penuaan dan kematian.]

“Dan apakah, para bhikkhu, kebenaran mulia lenyapnya penderitaan? Dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketidaktahuan maka lenyap pula aktivitas-aktivitas berkehendak; dengan lenyapnya aktivitas-aktivitas berkehendak, maka lenyap pula kesadaran; dengan lenyapnya kesadaran, maka lenyap pula batin-dan-bentuk; dengan lenyapnya batin-dan-bentuk, maka lenyap pula enam landasan indria; dengan lenyapnya enam landasan indria, maka lenyap pula kontak; dengan lenyapnya kontak, maka lenyap pula perasaan; dengan lenyapnya perasaan, maka lenyap pula ketagihan; dengan lenyapnya ketagihan, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini. Ini disebut kebenaran mulia lenyapnya penderitaan.

“Dan apakah, para bhikkhu kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini, yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini disebut kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan.

“Ketika dikatakan: ‘“Ini adalah empat kebenaran mulia”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu yang tidak dapat dibantah, tidak kotor, tidak dapat disalahkan, dan tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.