Logika yang Ditarik dari Delusi Diri, Menyesatkan
Pikiran Jernih dan Akal Sehat Vs. Logika Delusif
Question: Maksudnya bagaimana dan seperti apa, yang disebut sebagai logika berdasarkan delusi?
Brief Answer: Akibat terbiasa dengan gaya berpikir yang
dangkal, seseorang bisa cenderung terjerumus dan terjebak dalam ruang asumsinya
sendiri, alias bermain-main dengan pemikiran penuh spekulasi lantas meyakininya
sebagai kebenaran mutlak—sekalipun tidak memiliki landasan berpikir yang valid
dan empirik. Contohnya ialah orang-orang yang berbangga diri dalam kesombongan
atas kesehatannya, mengklaim dirinya selama ini menantang wabah akibat pandemik
tanpa menerapkan protokol kesehatan, tidak perlu menjaga jarak ataupun mencuci
tangan, juga mengkampanyekan “anti vaksin”, namun tetap hidup dan sehat. Apakah
logika demikian, valid adanya sebagai kesaksian langsung alias testimoni hidup?
Faktanya, tidak tertutup kemungkinan, terdapat
juga orang-orang yang tidak meyakini adanya wabah, membanggakan kesehatannya,
menyombongkan diri bahwa antibodi terbaik ialah menghindari “penyakit pikiran”,
bahkan menantang wabah, akhirnya benar-benar tertular, terinfeksi, serta tewas
karena “ber-jud! dengan nasib” serta “mencobai Tuhan” (alih-alih sebaliknya),
atau bahkan mencelakai orang-orang terdekat dalam keluarganya sendiri. Namun,
yang tewas akibat tertular wabah yang sama, tidak lagi mampu memberi testimoni
ataupun mengkampanyekan bahwa dirinya telah berbuat konyol dengan menyombongkan
kesehatannya dan kebodohannya telah menantang wabah, dimana kini dirinya
menyesal sendiri di alam baka.
Artinya, yang masih hidup dan menyombongkan
dirinya, sejatinya tengah menghakimi mereka yang bernasib kurang cukup
beruntung. Dirinya bebas sesumbar “anti vaksin”, “tidak perlu protokol
kesehatan”, “wabah itu hal sepele”, “pandemik tidak ada”, “yang tewas adalah
karena kuasa Tuhan”, namun sayangnya mereka yang tewas akibat wabah tidak dapat
membuat kampanye serupa berupa testimoni pengalaman pribadi ataupun penyesalan
mendalamnya, bahwa penyesalan selalu datang terlambat dan ketika itu terjadi,
dirinya telah berada di liang kubur ataupun di ruang kremasi.
Begitupula ketika dikait-kaitkannya antara
kekebalan terhadap wabah dan iman, alias menghakimi orang-orang yang menderita
hebat atau bahkan tewas (korban jiwa) akibat terpapar dan terjangkit wabah,
merupakan individu-individu yang tidak beriman. Cerminan demikian merupakan
bentuk arogansi sekaligus penghakiman terhadap mereka yang meninggal alias yang
kurang beruntung akibat terpajan wabah sehingga tidak lagi mampu melakukan
gugatan ataupun pembelaan diri di ruang peradilan dunia manusia, kecuali dimasa
mendatang keduanya berjumpa di alam baka barulah sang korban yang pernah dihakimi
dapat menggunakan kesempatan mengadukan sang arogan kepada raja neraka.
Hal-hal demikian sama seperti tradisi praktik
meditasi para bhikkhu hutan yang gaya berlatihnya cukup ektrem, yakni menantang
maut dengan mencari lokasi bermeditasi persis pada lintasan yang ada bekas jejak
tapak kaki harimau liar maupun bermeditasi berdiri tepat di tepi jurang. Yang
berhasil, bisa sesumbar dan mengklaim dirinya berhasil berkat gaya berlatih
yang ekstrem demikian. Namun, bagaimana dengan yang gagal, seperti jatuh ke
dalam jurang atau tewas diterkam harimau, bisakah mereka memberikan testimoni
serupa kepada kita para manusia yang masih hidup di dunia manusia?
Janganlah kita menyombongkan diri, menjurus pada
sikap arogan yang cenderung menghakimi mereka yang kurang beruntung. Milikilah
empati serta kerendahan hati, dan jangan lagi bermain-main dengan nasib (don’t push your luck too far), karena tidak
selamanya kita bernasib mujur. Seperti kata pepatah, hidup ibarat roda yang
terus berputar, terkadang kita berada di atas, dan ada kala serta waktunya kita
berada di bawah. Bila kita tidak ingin dihakimi dan ditertawakan, maka
janganlah kita mengahakimi ataupun menertawakan hidup mereka yang tidak lebih
beruntung daripada kita.
PEMBAHASAN:
Pernah terjadi, seorang
reporter mewawancarai warga yang berhasil lolos dari ajal dan selamat saat
bencana alam hebat melanda suatu daerah di Indonesia, dimana banyak korban jiwa
berjatuhan. Inilah yang menjadi pernyataan sang warga yang berhasil
menyelamatkan diri dan lebih beruntung daripada warga lain yang tidak seberuntung
dirinya : “Alhamdullilah, saya selamat
masih diberi hidup oleh Tuhan.”—dimana secara tidak langsung yang
bersangkutan seolah hendak berkata juga sebagai ekor kalimatnya, “namun warga lainnya tidak selamat sehingga
saya bersyukur saya lebih dianak-emaskan oleh Tuhan. Saya ini memang narsistik
dan egosentris, namun saya bangga alih-alih merasa malu.”
Masalahnya ialah, apakah warga-warga
yang menjadi korban jiwa yang tidak berhasil lolos dari maut, di alam baka bisakah
mereka menyuarakan aspirasi serta ekspresinya kepada para manusia di Bumi ini, “Kami TIDAK alhamdullilah, karena kami TIDAK
selamat!” Anda lihat, orang-orang yang narsistik cenderung membawa serta
watak egoistik serta “miskin empati” (EQ yang dangkal, namun mengklim “agamis”
yang ber-SQ paling superior) terhadap sesamanya, seolah-olah hanya dirinya
seorang yang berhak mengharap hidup makmur, sehat, dan selamat serta dapat hidup
hingga panjang umur, dan bergembira mendapati individu-individu lainnya
bernasib tidak lebih beruntung daripada sang narsis.
Kini, mari kita bandingkan
dengan logika yang berlandaskan pada pikiran yang jernih serta “akal sehat
milik orang sehat”—bukan “akal sakit milik orang sakit”—sebagaimana khotbah Sang
Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical
Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012,
terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi
Wijaya dan Indra Anggara, perihal “logika yang dapat dipertanggung-jawabkan”, dengan
kutipan sebagai berikut:
61 (1) Sektarian
“Para bhikkhu, ada tiga doktrin
sektarian ini yang, ketika dipertanyakan, diinterogasi, dan didebat oleh para
bijaksana, dan dibawa menuju kesimpulan mereka, akan berakhir dalam tidak
berbuat. Apakah tiga ini?
(1) “Ada, para bhikkhu,
beberapa petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini:
‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau
bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya disebabkan oleh apa
yang telah dilakukan di masa lalu.’ (2) Ada para petapa dan brahmana
lainnya yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami
orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau
bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya disebabkan oleh
aktivitas Tuhan pencipta.’ (3) Dan ada para petapa dan brahmana lain lagi
yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang
ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau
bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya terjadi tanpa
suatu sebab atau kondisi.’
[Note Kitab Komentar : Ini
secara berturut-turut adalah doktrin-doktrin dari Jainisme, Theistik, dan
tanpa-penyebab.]
(1) “Para bhikkhu, Aku
mendatangi para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan
seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan,
menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya
disebabkan oleh perbuatan-perbuatan masa lalu,’ dan Aku berkata kepada
mereka: ‘Benarkah bahwa kalian para mulia menganut doktrin dan pandangan
demikian?’ ketika Aku menanyakan hal ini kepada mereka, mereka menegaskannya. Kemudian
Aku berkata kepada mereka: ‘Kalau begitu, adalah karena perbuatan masa lalu
maka kalian mungkin melakukan pembunuhan, mengambil apa yang tidak diberikan,
melakukan aktivitas seksual, berbohong, mengucapkan kata-kata yang
memecah-belah, berkata kasar, bergosip; maka kalian mungkin penuh kerinduan,
memiliki pikiran berniat buruk, dan menganut pandangan salah.’
[Note Kitab Komentar : Mereka
berpendapat bahwa seseorang mengalami perasaan perasaan secara eksklusif
disebabkan oleh kamma yang dilakukan di masa lalu. Sehubungan dengan hal ini,
baca SN 36:21, IV 230-31, dimana Sang Buddha menjelaskan
delapan penyebab bagi penyakit atau penderitaan, hanya salah satunya yang
merupakan kematangan kamma masa lalu.
Brahmāli menulis: “Poinnya di sini tampaknya adalah bahwa
masing-masing dari cara berbuat tidak bermanfaat ini berhubungan dengan
perasaan-perasaan tertentu, dan bahwa perasaan-perasaan (atau
pengalaman-pengalaman) itu hanya dapat dialami melalui perbuatan-perbuatan itu.
Yang berlanjut dengan jika kammamu adalah sedemikian sehingga engkau harus
mengalami perasaan-perasaan yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan buruk
itu, maka engkau harus melakukannya.”
Hal yang sama, dengan perubahan
seperlunya, berlaku pada kedua doktrin berikutnya, yaitu, aktivitas Tuhan
pencipta dan tanpa-penyebab. Dalam tiap-tiap kasus, para pelaku menghindari
tanggung jawab atas perbuatan-perbuatan mereka.]
“Mereka yang mengandalkan
perbuatan masa lalu sebagai kebenaran mendasar tidak memiliki keinginan
[untuk melakukan] apa yang harus dilakukan dan [untuk menghindari melakukan]
apa yang tidak boleh dilakukan, juga mereka tidak berusaha dalam hal ini.
Karena mereka tidak memahami sebagai benar dan sah segala sesuatu yang harus
dilakukan dan tidak boleh dilakukan, maka mereka berpikiran kacau, mereka tidak
menjaga diri mereka sendiri, dan bahkan sebutan personal sebagai ‘petapa’ tidak
dapat dengan benar ditujukan kepada mereka. Ini adalah bantahan logisKu yang
pertama pada para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan
demikian.
(2) “Kemudian, para bhikkhu,
Aku mendatangi para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan
seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan,
menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya
disebabkan oleh aktivitas Tuhan pencipta,’ dan Aku berkata kepada mereka:
‘Benarkah bahwa kalian para mulia menganut doktrin dan pandangan demikian?’
Ketika Aku menanyakan hal ini kepada mereka, mereka menegaskannya. Kemudian Aku
berkata kepada mereka: ‘Kalau begitu, adalah karena aktivitas Tuhan pencipta
maka kalian mungkin melakukan pembunuhan … dan menganut pandangan salah.’
“Mereka yang mengandalkan
aktivitas Tuhan pencipta sebagai kebenaran mendasar tidak memiliki
keinginan [untuk melakukan] apa yang harus dilakukan dan [untuk menghindari
melakukan] apa yang tidak boleh dilakukan, juga mereka tidak berusaha dalam
hal ini. Karena mereka tidak memahami sebagai benar dan sah segala sesuatu
yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan, maka mereka berpikiran kacau,
mereka tidak menjaga diri mereka sendiri, dan bahkan sebutan personal sebagai
‘petapa’ tidak dapat dengan benar ditujukan kepada mereka. Ini adalah bantahan
logisKu yang ke dua atas para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan
pandangan demikian.
(3) “Kemudian, para bhikkhu,
Aku mendatangi para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan
seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan,
menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya terjadi
tanpa suatu sebab atau kondisi,’ dan Aku berkata kepada mereka: ‘Benarkah
bahwa kalian para mulia menganut doktrin dan pandangan demikian?’ Ketika Aku
menanyakan hal ini kepada mereka, mereka menegaskannya. Kemudian Aku berkata
kepada mereka: ‘Kalau begitu, adalah tanpa suatu penyebab atau kondisi maka
kalian mungkin melakukan pembunuhan … dan menganut pandangan salah.’
“Mereka yang mengandalkan
ketiadaan penyebab dan kondisi sebagai kebenaran mendasar tidak memiliki
keinginan [untuk melakukan] apa yang harus dilakukan dan [untuk menghindari
melakukan] apa yang tidak boleh dilakukan, juga mereka tidak berusaha dalam
hal ini. Karena mereka tidak memahami sebagai benar dan sah segala sesuatu
yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan, maka mereka berpikiran kacau,
mereka tidak menjaga diri mereka sendiri, dan bahkan sebutan personal sebagai
‘petapa’ tidak dapat dengan benar ditujukan kepada mereka. Ini adalah bantahan
logisKu yang ke tiga atas para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan
pandangan demikian.
“Ini, para bhikkhu, adalah
ketiga doktrin sektarian itu yang, ketika dipertanyakan, diinterogasi, dan
didebat oleh para bijaksana, dan dibawa menuju kesimpulan mereka, akan berakhir
dalam tidak berbuat.
“Tetapi, para bhikkhu, Dhamma
yang diajarkan olehKu ini tidak dapat dibantah, tidak kotor, tidak dapat
disalahkan, dan tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana. Dan
apakah Dhamma yang diajarkan olehKu yang tidak dapat dibantah, tidak kotor,
tidak dapat disalahkan, dan tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana
bijaksana?
{Note : Penerjemah lainnya,
dari aslinya teks Bahasa Pali menerjemahkannya sebagai : “Beliau sejauh ini telah menunjukkan bahwa doktrin-doktrin sektarian
ini, jika dibawa pada kesimpulan, akan berakhir dalam tidak-berbuat, dan oleh
karena itu kosong dan tidak membebaskan, tidak penting. Sekarang Beliau menunjukkan
bahwa Dhamma yang Beliau ajarkan adalah penting dan membebaskan (sārabhāvañc’eva niyyānikabhāvañca).”]
“‘Ini adalah enam elemen’: ini,
para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu yang tidak dapat dibantah …
tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana. ‘Ini adalah enam
landasan bagi kontak’ … ‘Ini adalah delapan belas pemeriksaan pikiran’ … ‘Ini
adalah empat kebenaran mulia’: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan
olehKu yang ini tidak dapat dibantah, tidak kotor, tidak dapat disalahkan, dan
tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana.
“Ketika dikatakan: ‘“Ini adalah
enam elemen”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu yang tidak
dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’
karena alasan apakah hal ini dikatakan? Ada enam elemen ini: elemen tanah,
elemen air, elemen api, elemen udara, elemen ruang, dan elemen kesadaran.
Ketika dikatakan: ‘“Ini adalah enam elemen”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma
yang diajarkan olehKu yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para
petapa dan brahmana bijaksana,’ adalah karena ini maka hal ini dikatakan.
“Ketika dikatakan: ‘“Ini adalah
enam landasan bagi kontak”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan
olehKu yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan
brahmana bijaksana,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? Ada enam landasan
bagi kontak ini: mata sebagai sebuah landasan bagi kontak, telinga sebagai
sebuah landasan bagi kontak, hidung sebagai sebuah landasan bagi kontak, lidah
sebagai sebuah landasan bagi kontak, badan sebagai sebuah landasan bagi kontak,
dan pikiran sebagai sebuah landasan bagi kontak. Ketika dikatakan: ‘“Ini adalah
enam landasan bagi kontak”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan
olehKu yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan
brahmana bijaksana,’ adalah karena ini maka hal ini dikatakan.
“Ketika dikatakan: ‘“Ini adalah
delapan belas pemeriksaan pikiran”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang
diajarkan olehku yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para
petapa dan brahmana bijaksana,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? Setelah
melihat suatu bentuk dengan mata, seseorang memeriksa bentuk yang menjadi
landasan bagi kegembiraan; ia memeriksa bentuk yang menjadi landasan bagi
kesedihan; ia memeriksa bentuk yang menjadi landasan bagi keseimbangan. Setelah
mendengar suatu suara dengan telinga … Setelah mencium suatu bau-bauan dengan
hidung … Setelah mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … Setelah merasakan
suatu objek sentuhan dengan badan … Setelah mengenali suatu fenomena pikiran
dengan pikiran, ia memeriksa fenomena pikiran tersebut yang menjadi landasan
bagi kegembiraan; ia memeriksa fenomena pikiran tersebut yang menjadi landasan
bagi kesedihan; ia memeriksa fenomena pikiran tersebut yang menjadi landasan
bagi keseimbangan. Ketika dikatakan: ‘“Ini adalah delapan belas pemeriksaan
pikiran”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu yang tidak
dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’
adalah karena ini maka hal ini dikatakan.
{Note : Penerjemah lain
menjelaskan manopavicāra sebagai
berikut: “Pemeriksaan pikiran atas
delapan belas kasus, menggunakan ‘kaki’ pemikiran dan pemeriksaan (vitakkavicārapādehi).”
Kata “kaki” (pāda) digunakan di sini karena vicāra aslinya bermakna “bepergian.”]
“Ketika dikatakan: ‘“Ini adalah
empat kebenaran mulia”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan
olehKu yang ini tidak dapat dibantah, tidak kotor, tidak dapat disalahkan, dan
tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ karena alasan
apakah hal ini dikatakan? Dengan bergantung pada enam landasan maka munculnya
embrio [di masa depan] terjadi. Ketika munculnya embrio itu terjadi, maka ada batin-dan-bentuk;
dengan batin-dan-bentuk sebagai kondisi, maka ada enam landasan indria;
dengan enam landasan indria sebagai kondisi, maka ada kontak; dengan
kontak sebagai kondisi, maka ada perasaan. Sekarang adalah bagi seorang
yang merasakan maka Aku menyatakan: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini
adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’
dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’
[Note Kitab Komentar: Mengapakah
Beliau memulai dengan cara ini? Untuk memudahkan pemahaman. Karena Sang
Tathāgata ingin menjelaskan perputaran kedua belas kondisi, maka Beliau
menjelaskan lingkaran dengan istilah ‘munculnya embrio (di masa depan)’. Karena
ketika lingkaran telah ditunjukkan dengan munculnya embrio (di masa depan),
maka bagian selanjutnya akan mudah dipahami. Enam elemen siapakah yang
berfungsi sebagai kondisi, ibu atau ayah? Bukan keduanya, tetapi
munculnya embrio (di masa depan) terjadi dengan dikondisikan oleh enam
elemen dari makhluk yang sedang dilahirkan kembali.]
“Dan apakah, para bhikkhu,
kebenaran mulia penderitaan? Kelahiran adalah penderitaan, penuaan adalah
penderitaan, penyakit adalah penderitaan, kematian adalah penderitaan;
dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan adalah penderitaan;
tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah penderitaan; singkatnya, kelima
kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan adalah penderitaan.
Ini disebut kebenaran mulia penderitaan.
“Dan apakah, para bhikkhu,
kebenaran mulia asal-mula penderitaan? Dengan ketidak-tahuan sebagai kondisi,
maka [muncul] aktivitas-aktivitas berkehendak; dengan aktivitas-aktivitas berkehendak
sebagai kondisi, maka kesadaran; dengan kesadaran sebagai kondisi,
maka batin-dan-bentuk; dengan batin-dan-bentuk sebagai kondisi, maka
enam landasan indria; dengan enam landasan indria sebagai kondisi, maka
kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan; dengan perasaan sebagai
kondisi, maka ketagihan; dengan ketagihan sebagai kondisi, maka
kemelekatan; dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan; dengan
penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai
kondisi, maka muncul penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan,
kesedihan, dan kesengsaraan. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan
penderitaan ini. Ini disebut kebenaran mulia asal-mula penderitaan.
[Note Kitab Komentar : 438 Ini
mungkin adalah contoh unik di mana kebenaran-kebenaran mulia asal mula dan
lenyapnya penderitaan dijelaskan melalui seluruh dua belas faktor kemunculan
bergantungan. Pada SN 12:43, II 72-73, asal-mula (samudaya) penderitaan dijelaskan melalui mata rantai dari kesadaran
hingga ketagihan; lenyapnya (atthaṅgama) melalui lenyapnya mata rantai dari ketagihan
hingga penuaan dan kematian.]
“Dan apakah, para bhikkhu,
kebenaran mulia lenyapnya penderitaan? Dengan peluruhan tanpa sisa dan
lenyapnya ketidaktahuan maka lenyap pula aktivitas-aktivitas berkehendak;
dengan lenyapnya aktivitas-aktivitas berkehendak, maka lenyap pula kesadaran;
dengan lenyapnya kesadaran, maka lenyap pula batin-dan-bentuk; dengan lenyapnya
batin-dan-bentuk, maka lenyap pula enam landasan indria; dengan lenyapnya enam
landasan indria, maka lenyap pula kontak; dengan lenyapnya kontak, maka lenyap
pula perasaan; dengan lenyapnya perasaan, maka lenyap pula ketagihan; dengan
lenyapnya ketagihan, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya
kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka
lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan
kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan.
Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini. Ini disebut kebenaran
mulia lenyapnya penderitaan.
“Dan apakah, para bhikkhu
kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan? Adalah Jalan Mulia
Berunsur Delapan ini, yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar,
perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan
konsentrasi benar. Ini disebut kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya
penderitaan.
“Ketika dikatakan: ‘“Ini adalah
empat kebenaran mulia”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu
yang tidak dapat dibantah, tidak kotor, tidak dapat disalahkan, dan tidak dapat
dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ adalah karena ini maka hal itu
dikatakan.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.