KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Makna SALAH SANGKA sebagai Alasan untuk Membatalkan Perkawinan

Antara Pernikahan dan Beli Kucing dalam Karung, Resiko Orang yang Menikah

Salah Sangka terhadap Sosok Calon Suami / Istri sehingga terjadi Perkawinan

Question: Kumpul-kebo maupun kohabitasi kini dilarang oleh hukum pidana, bisa dikriminalisasi pidana penjara oleh negara. Hubungan badan layaknya suami-istri kini hanya bisa terjadi paska pernikahan. Namun bukankah itu menyerupai “beli kucing dalam karung” alias “menikahi ‘kucing’ dalam karung”? Bagaimana bila calon suami kita, ternyata ‘impoten’ atau bahkan punya penyimpangan orientasi kesukaan terhadap gender yang tidak tergolong normal? Bagaimana bila seorang pria, ternyata mendapati istrinya ternyata adalah seorang pria yang berganti jenis gender akibat operasi?

Brief Answer: Dalam hukum niaga, semisal Anda menyewa seorang penyanyi terkenal untuk menjadi pengisi acara pada resepsi pernikahan Anda, akan tetapi pada hari-H yang hadir ialah seorang penyanyi tidak terkenal yang kebetulan memiliki nama yang sama dengan tokoh penyanyi terkenal yang hendak diundang oleh para mempelai, maka itu tergolong “keliru objek” sehingga unsur objektif syarat sah perjanjian Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjadi tidak terpenuhi, karenanya “batal demi hukum” dan dapat diajukan gugatan pembatalan ke Pengadilan Negeri. Akan tetapi, dalam konteks pernikahan / perkawinan, telah ternyata tidak sesederhana itu untuk membatalkan sebuah perkawinan, meskipun Undang-Undang tentang Perkawinan telah memberikan “escape clause” perihal kemungkinan dibatalkannya perkawinan dengan alasan “salah sangka atas sosok calon suami / istri”.

PEMBAHASAN:

Dalam konteks perkawinan, tidak ada masa penjajakan bisnis ataupun semacam “probation” (masa percobaan) selayaknya suatu hubungan industrial ketenagakerjaan, dimana bila ada kecocokan maka berlanjut dan bilamana tiada kecocokan maka relasi bisnis maupun relasi pekerjaan tidak akan berlanjut pada tahap lebih lanjut. Begitupula ketika terjadi “cacat tersembunyi”, Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberi hak bagi konsumen untuk minta agar transaksi dibatalkan. Karenanya, sebuah pernikahan, secara yuridis maupun secara sosiologis, cukup menyerupai sebuah lubang dalam yang akan menjerat Anda dalam waktu jangka panjang atau bahkan hingga seumur hidup Anda sekali Anda masuk ke dalam ikatan perkawinan. Sisa hidup Anda mungkin akan menjadi pertaruhannya, sekali Anda keliru memilih calon pasangan hidup dalam ikatan pernikahan.

Sebagaimana disebutkan oleh Ajahn Brahm, ada derita orang yang melajang, namun ada juga derita mereka yang memilih untuk berumah-tangga; hidup adalah perihal pilihan, lengkap dengan konsekuensi untuk masing-masing pilihannya. Terdapat sebuah ilustrasi sempurna, yang dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk sebagai ilustrasi betapa pernikahan sangat menyerupai sebuah aksi spekulasi yang jauh lebih beresiko tinggi daripada bermain saham sekalipun, sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa pembatalan perkawinan register Nomor 1360 K/Pdt/2012 tanggal 24 Oktober 2014.

Bermula pada tanggal 15 Januari 2011, Pemohon telah melangsungkan perkawinan yang kemudian dicatatkan ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Bandung pada tanggal 17 Januari 2011 sehingga terbitlah Kutipan Akta Perkawinan. Dasar permohonan ini diajukan ialah ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mengatur : Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau isteri. Selanjutnya pengaturan Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan : “Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsung perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.

Setelah 1 (satu) minggu Pemohon menikah dengan Termohon di Bandung, Pemohon diajak oleh Termohon untuk tinggal bersama orangtua Termohon di Surabaya (tempat tinggal Termohon), dimana kemudian Pemohon ternyata baru mengetahui telah terjadi salah sangka mengenai diri suami Pemohon. Sebelum menikah, Pemohon menyangka Termohon adalah laki-laki normal seperti pada umumnya, tetapi setelah menikah baru diketahui oleh Pemohon bahwa Termohon memiliki orientasi seksual yang berbeda. Selama pernikahan, Termohon tidak pernah menjalankan kewajibannya lahir dan bathin sebagai suami, tidak pernah memberikan uang belanja, sering marah-marah dan melarang yang macam-macam. Selama di Surabaya, Pemohon dilarang oleh Termohon untuk keluar kamar, bahkan untuk bertemu dan jalan-jalan dengan orang tua serta saudara-saudara Termohon, agar tidak ada yang mengetahui keadaan yang sebenarnya.

Akhirnya karena sudah tidak sanggup menghadapi hal tersebut lebih lama lagi, Pemohon kemudian pada bulan Maret 2011 kembali ke rumah orangtua di Bandung dengan ongkos sendiri tanpa diantar oleh Termohon. Atas saran orangtua dan teman-teman, Pemohon pada bulan April 2011 menjalankan pemeriksaan ke dokter, hal mana terbukti dari Surat Keterangan dokter tertanggal 29-4-2011 yang menerangkan bahwa dari hasil pemeriksaan ginekologis ditemukan bahwa selaput limen (selaput dara)  Pemohon masih tetap utuh dan normal.

Pada awal bulan Juni 2011, Termohon datang ke rumah orangtua Pemohon dan bertemu dengan Pemohon untuk mengajak Pemohon kembali tinggal bersama di Surabaya, namun ditolak oleh Pemohon. Setelah beberapa kali diadakan pembicaraan antara Termohon dengan Pemohon dan orangtua Pemohon, akhirnya Termohon mengatakan tidak cocok dengan Pemohon dan setuju untuk berpisah dari Pemohon, tetapi Pemohon yang harus mengurus semua prosesnya. Oleh karenanya dan dengan mengingat masa depan Pemohon yang masih panjang serta karena telah terjadi salah sangka mengenai diri suami Pemohon, maka pembatalan perkawinan menjadi solusi jalan keluar dari kemelut yang tidak perlu berlarut-larut merampas dan menyandera masa depan Pemohon. Adapun dari keterangan saksi-saksi yang dihadirkan oleh Pemohon, telah ditemukan fakta-fakta sebagai berikut:

- Selama masa berpacaran, Termohon menunjukkan sikap mesra yang tujuannya membuat Pemohon percaya bahwa Termohon adalah lelaki normal, bahkan Termohon mengaku pernah berhubungan seksual dengan mantan-mantan Termohon sebelumnya—yang mana ternyata setelah menikah, baru diketahui bahwa Termohon tidak mampu menjalankan kewajibannya;

- Sebelum menikah, Pemohon menyangka Termohon adalah laki-laki normal seperti pria pada umumnya, akan tetapi setelah menikah baru diketahui oleh Pemohon bahwa selama pernikahan, Termohon tidak pernah menjalankan kewajibannya lahir dan bathin sebagai suami.

Karenanya menjadi jelas adanya salah sangka, salah pemahaman, ada framing yang sengaja dibentuk oleh Termohon Termohon untuk membuat Pemohon sampai kepada kesimpulan bahwa Termohon merupakan seorang lelaki normal yang bisa memenuhi kebutuhan lahiriah dari istrinya. Termohon seharusnya sudah tahu kondisi psikologinya sejak awal, tetapi Termohon ternyata memaksakan diri menikahi Pemohon dalam rangka disebut sebagai pria normal beristri, dan akhirnya menyebabkan Pemohon jatuh ke dalam penderitaan yang tiada akhir karena “dirampas” masa muda dan masa depannya akibat terikat perkawinan yang tidak semestinya terjadi jika Pemohon dari sejak awal tahu kondisi yang sebenarnya dari psikologi Termohon.

Adanya salah sangka mengenai diri Termohon ini baru diketahui setelah menikah, dan alasan inilah yang digunakan Pemohon untuk memohonkan pembatalan perkawinannya dengan Termohon sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Penjelasan resmi Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “salah sangka'” dimaksud, hanya disebut “cukup jelas”. Dalam kamus Bahasa Indonesia, salah sangka diartikan sebagai “salah mengerti”, “salah paham”. Selanjutnya “salah paham” dijabarkan sebagai salah dan keliru dalam memahami pembicaraan pernyataan atau sikap orang lain (biasanya menimbulkan reaksi bagi yang bersangkutan); salah tangkap. Berangkat dari pengertian tersebut, maka jika menggunakan penafsiran secara gramatikal sudah jelas bahwa Pemohon telah salah mengerti dan memahami keadaan Termohon melalui pencitraan diri yang sengaja ditampilkan oleh Termohon yang ternyata tidak sesuai dengan realita kondisi psikologis yang sebenarnya, dimana adanya “cacat tersembunyi” ini merupakan alasan yang sudah lazim untuk membatalkan perkawinan.

Akan sangat tidak adil jika seorang wanita yang masih muda dan masih terbuka potensi masa depan yang cerah, dipaksa untak menderita lahir bathin karena terikat seumur hidup dalam perkawinan yang “cacat dari sejak awal”, terjadi bukan karena kesalahannya. Perlu ada jalan keluar bagi Pemohon, akan tidak tersandera untuk seumur hidup, karena pada dasariahnya seluruh kalangan pria maupun wanita tidak ingin memiliki pasangan hidup yang tidak mampu membangun rumah-tangga sebagaimana layaknya pasangan suami-istri yang normal. Termohon sudah dipanggil untuk hadir dalam perkara ini, akan tetapi tidak pernah datang. Termohon juga sudah membaca permohonan dari Pemohon dan tidak menyangkal isi permohonan ini.

Terhadap permohonan sang istri, Pengadilan Negeri Bandung kemudian menjatuhkan penetapan sebagaimana Nomor 193/PDT/P/2011/PN.BDG., tanggal 1 Februari 2012, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:

“Bahwa hal-hal tersebut oleh Pemohon disebut telah terjadi salah sangka mengenai diri suami Pemohon sehingga memenuhi syarat untuk mengajukan pembatalan perkawinan sebagaimana diatur Pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan,

“Menimbang, bahwa atas hal yang didalilkan oleh Pemohon tersebut, yang perlu dipertimbangkan adalah apakah alasan-alasan yang disebutkan oleh Pemohon tersebut dapat diartikan sebagai telah salah sangka mengenai diri Termohon?;

“Menimbang, bahwa pengertian salah sangka mengenai diri, oleh undang-undang tidak disebut, hanya saja kata salah sangka tersebut ada dan dikaitkan dengan pelaksanaan perkawinan;

Bahwa pengkaitan pengertian salah sangka ini adalah pada peristiwa berlangsungnya perkawinan;

Bahwa dengan kaitan keadaan berlangsungnya perkawinan, kata salah sangka dapat diartikan sebagai salah orang / oknum, dalam arti semula diniatkan menikah dengan A umpamanya, dalam pelaksanaan perkawinan yang menikah dan dinikahkan adalah B artinya pilihan awal terganti pada saat berlangsungnya perkawinan;

[Note SHIETRA & PARTNERS : Semua kalangan calon istri, berniat atau meniatkan akan menikahi seorang ‘pria tulen yang otentik’—alias lengkap dengan psikis seorang pria normal—sehingga sejatinya jelas telah terjadi keliru menikahi seorang ‘pria yang ternyata bukan pria utuh’. Nyata-nyata terjadi ‘cacat subjek’ dan ‘cacat kehendak’, ketika seorang wanita menikahi seorang ‘pria berbatin wanita’. Dari segi fisik, sang wanita menikahi seorang pria. Namun dari segi batin, perlu pula dipastikan pernikahan terjadi antar lawan jenis.]

“MENETAPKAN :

- Menyatakan Termohon telah dipanggil secara benar dan patut, tetapi tidak hadir di persidangan;

- Menetapkan permohonan ini ditetapkan di luar hadirnya Termohon;

- Menolak seluruh permohonan Pemohon;”

Pihak Pemohon selaku istri, mengajukan upaya hukum kasasi karena merasa telah diperalat oleh suaminya yang menikahi Pemohon hanya untuk dianggap sebagai pria normal beristrikan seorang wanita, alias mengorbankan Pemohon yang kini tersandera ikatan perkawinan. Dimana sekalipun pihak suami selaku Termohon tidak mengajukan jawaban atau kontra terhadap “memori kasasi” yang diajukan oleh sang istri, terhadapnya Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan yang tidak solutif—sekalipun hukum yang ideal semestinya bersifat solutif—dengan kutipan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tertanggal 20 Februari 2012 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Putusan Pengadilan Negeri Klas I A Bandung, tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:

“Bahwa alasan salah sangka yang dipergunakan oleh Pemohon Kasasi tidak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, karena lebih kepada kondisi, keadaan dan orientasi seks yang berbeda dengan laki-laki pada umumnya;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata bahwa Putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi PEMOHON KASASI, tersebut harus ditolak;

M E N G A D I L I :

- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PEMOHON KASASI, tersebut;”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.