Akashic Records : Tiada Penghapusan Sejarah dan Tiada Penghapusan Dosa

AKASCHIC RECORDS Vs. PENGHAPUSAN DOSA, Delusi yang TOO GOOD TO BE TRUE bagi Para Pendosa Pecandu Ideologi Korup Cuci Dosa yang Mabuk Dosa

Iming-Iming Delusif Bernama ABOLITION OF SINS, Ibarat seorang Penjahat yang Hendak Menghapus Sejarah Kejahatannya, KORUP. Masih Pula Mengharap Masuk Surga!

Seorang indigo, ataupun mereka yang memiliki kultivasi tingkat kesaktian tertentu, mampu menembus pengetahuan semesta dengan mengakses apa yang dikenal sebagai “Akashic Records”—suatu database pada gudang alam semesta yang merekam dan mencatat setiap momen sejarah berisi detail pikiran, kehendak, maupun perbuatan seseorang individu baik yang kecil maupun yang besar, yang disengaja maupun secara lalai, yang disadari maupun yang tidak disadari, yang diingat maupun yang tidak diingat pada masa kini maupun masa lampau dan masa-masa lampau sebelumnya dari seseorang tersebut itu sendiri maupun individu-individu lainnya.

Sebagai contoh, Sang Buddha mampu menceritakan secara gamblang banyak kelahiran sebelumnya dengan lugas, karena sang guru agung bagi para dewa dan manusia tersebut mampu mengakses Akashic Records secara sempurna, bahkan menyebut bahwa kelahiran-kelahiran kita sebelumnya sudah tidak lagi terhitung jumlahnya, dimana jumlah tumpukan tulang-belulang kita bila dikumpulkan masih jauh lebih tinggi daripada besarnya Gunung Himalaya, jumlah tetesan air mata yang telah pernah kita teteskan pada kehidupan-kehidupan sebelumnya masih jauh lebih banyak daripada air dari tiga samudera dikumpulkan menjadi satu. Itulah sebabnya Sang Buddha dijuluki sebagai “pengetahu segenap alam yang tiada taranya”. Adapun riwayat hidup kelahiran-kelahiran sebelumnya dari Pangeran Siddhatta Gotama ketika masih sebagai seorang Bodhisatta, dapat kita jumpai dalam Kitab Jataka.

Menjadi tidak mengherankan, ketika Sang Buddha menyebut bahwa “hidup adalah dukkha”, semata karena kelahiran kembali dalam siklus “tumimbal lahir” sejatinya masih akan kita hadapi dan bersifat “always to be continue...” alias “never ending stories”. Hanya dengan jalan pemutusan terhadap belenggu rantai karma (break the shackle of karmic law), barulah kita tiba “di pantai seberang”, yakni “jalan menuju akhir dari dukkha” dan “akhir dari dukkha”. Namun satu hal menarik disini ialah, tiada satupun momen yang terekam dalam Akashic Records dapat luput, terlebih tergerus oleh berjalannya waktu, sekalipun juga kita telah terlahir kembali jutaan kali banyaknya. Semuanya terekam dan tersimpan dalam gudang arsip universal ini, tiada lapuk oleh waktu ataupun digerogoti oleh hama-wereng. Kita tidak dapat melarikan diri dari sejarah yang telah terekam di dalam Akashic Records, juga tidak dapat benar-benar mencurangi kehidupan sekalipun tiada seorang pun yang mengetahui aksi kejahatan kita.

Disebut sebagai “too good to be true”, ialah semata karena seseorang berdelusi segala perbuatan buruknya yang dapat dicela oleh para bijaksana, berupa menyakiti, merugikan, maupun melukai pihak-pihak lainnya, seolah dapat dihapus, ditebus, diampuni atau istilah-istilah lainnya yang merujuk pada sikap korup yang tidak bertanggung-jawab disamping pengecut, tentunya. Apa yang terekam dalam Akashic Records, pasti akan berbuah sebagai konsekuensi logisnya, baik yang buruk maupun yang baik, baik yang besar maupun yang kecil, baik yang diingat maupun yang tidak diingat, baik yang diakui maupun yang dipungkiri, baik yang lampau maupun yang kini. Kesemuanya hanya perihal waktu, sementara isi “gudang karma” kita sudah benar-benar menumpuk secara eksponensial, menunggu serangkaian ledakan berbuahnya benih-benih karma yang kita tanam pada kehidupan-kehidupan kita di masa lampau, baik karma baik maupun karma buruk. Bilamana ada di antara para pembaca yang menginginkan bukti empirik kebenaran adanya Akashic Records, cara paling sederhananya ialah dengan berkunjung kepada psikolog yang memiliki kompetensi serta sertifikasi khusus “past life regression”, maka Anda akan dibimbing untuk mengakses Akashic Records terkait diri Anda sendiri di masa lampau.

Alam surgawi maupun menjadi dewa, bukanlah akhir dari siklus “lingkaran samsara”, mereka pun tidak kekal dan dapat meninggal ketika suplai “pasokan” Karma Baiknya telah menipis dan habis, dan kembali terlahir di alam manusia maupun di alam-alam rendah lainnya. Auman singa Sang Buddha tentang ketidak-kekalan adalah begitu kuat sehingga bahkan membuat para dewa yang berumur panjang menjadi gemetar dan menggigil, demikian sutta menyebutkan. Begitupula makhluk penghuni alam neraka, mereka tidak akan meninggal dan tetap tersiksa di dalam neraka sepanjang Karma Buruk mereka belum habis. Kita semua pernah terlahir sebagai raja, sebagai budak, sebagai hartawan, sebagai pengemis, sebagai pria, sebagai wanita, sebagai rupawan, sebagai buruk rupa, sebagai sehat-bugar, sebagai berpenyakit, sebagai terpandang, sebagai tidak dikenal, sebagai pintar-cendekia, sebagai si bodoh, sebagai berpengaruh, sebagai rakyat jelata, dan segala jenis makhluk pada berbagai alam kehidupan baik itu sebagai seorang makhluk dewata, hewan, setan gentayangan, asura, tidak terkecuali sebagai penghuni neraka. Kesemuanya, bermuara pada samudera yang sama, yakni siklus “tumimbal lahir”, dan terus berputar-putar pada siklus perputaran tersebut.

Hanya dengan menjadi merasa muak dan jijik terhadap siklus “tumimbal lahir” yang tiada akhirnya dan tiada berkesudahan, seseorang baru termotivasi untuk secara tekun dan serius penuh komitmen berjuang menempuh jalan kesucian menuju atau dalam rangka melepas keduniawian secara sepenuhnya, merealisasi momen “break the chain of kamma”. Melawan posisi penganut determinisme bahwa “tidak ada kamma, tidak ada perbuatan, tidak ada kekuatan”, Sang Buddha mengatakan bahwa semua Buddha yang tercerahkan sempurna mengajarkan “doktrin kamma, doktrin perbuatan, doktrin kekuatan”. Beliau berpendapat bahwa ada hal-hal seperti dorongan, inisiatif, pilihan, dan upaya, yang dengannya orang-orang bertanggung jawab atas takdir mereka. Kehidupan masa lampau, karenanya, memiliki benang-merah atau mata-rantai yang kerkelindan dengan kehidupan kita di masa kini, meski Hukum Karma bukanlah satu-satunya faktor penentu atas nasib hidup kita.

Menjadi penting untuk secara sekilas meninjau gambaran alam semesta oleh Sang Buddha untuk melihat situasi latar belakang dalam pencarian kebebasan. Nikāya-nikāya menggambarkan suatu alam semesta berdimensi luas tak terbayangkan yang mengalami fase-fase pengembangan dan kehancuran silih berganti. Unit dasar dari satuan waktu kosmis adalah kappa. Mereka yang memiliki kekuatan mengingat kehidupan lampau, sutta mengatakan, dapat mengingat “banyak kappa penghancuran dunia dan pengembangan dunia”. Kappa ini dibagi dalam empat fase : penghancuran, perpanjangan kehancuran, perkembangan, dan perkembangan sepenuhnya. Masing-masing dari fase ini melampaui hitungan ratusan ribu tahun. Suatu sistem dunia bukan hanya memiliki durasi kesementaraan yang panjang tetapi juga terbagi dalam tingkatan-tingkatan berbagai alam kehidupan, dari alam neraka yang malang, alam dengan penderitaan hebat, melewati alam binatang, hingga alam hantu menderita (kadang-kadang disebut “hantu kelaparan”); kemudian alam manusia, dan ke atas melalui suatu rangkaian menaik alam-alam surga yang dihuni oleh para deva dan brahmā, para dewa dan makhluk-makhluk surgawi. Terdapat enam alam surga indria: surga empat raja dewa, para deva Tāvatisa, para deva Yāma, para deva Tusita, para deva yang bersenang dalam penciptaan, dan para deva yang menguasai apa yang diciptakan oleh para deva lain. Di atas alam-alam ini adalah alam brahmā dan alam-alam yang lebih tinggi lagi, alam-alam kelahiran kembali (hanya) bagi mereka yang menguasai pencapaian-pencapaian meditatif.

Bhikkhu Bodhi menyebutkan, terlepas dari banyaknya perbedaan mereka, terdapat satu hal yang menyatukan semua makhluk hidup dari yang terendah sampai yang tertinggi: mereka semuanya mencari kebebasan dari penderitaan dan pencapaian kebahagiaan sejati. Keinginan mendasar ini adalah persis seperti apa yang menjadi tema ajaran Sang Buddha, yang mengikat semua doktrin dan praktik bersama-sama. Tetapi bukannya menerima asumsi umum kita begitu saja, Sang Buddha berangkat dari pertanyaan “apa yang merupakan penderitaan” dan “apa yang memberikan prospek bagi kebahagiaan abadi”. Prasangka kita tentang apa yang dapat membuat kita bahagia sering kali menipu, seringkali spekulatif dan berangkat dari delusi permainan pikiran yang mengecoh diri mereka sendiri, berakar dari perasaan pada sensasi seketika tanpa melibatkan pengenalan pada akibat dari perilaku kita yang lebih dalam dan dalam jangka panjang.

Pengalaman selalu berubah, selalu mengganti bentuknya tanpa menuruti kehendak dan harapan kita. Terlepas dari apa yang kita harapkan, kita tidak dapat menghindari usia tua, penyakit, dan kematian, kerusakan dari apa yang kita miliki, kehilangan atas apa yang kita sayangi. Baik kaum duniawi yang dungu maupun siswa bijaksana, keduanya mengalami takdir ini. Perbedaannya adalah bahwa kaum duniawi tidak merefleksikan universalitas hukum ini, dan oleh karena itu, ketika nasib demikian menderanya, “ia berdukacita, merana, meratap, menangis memukul dadanya, dan menjadi kebingungan.” Sebaliknya, siswa bijaksana menyadari usia tua, penyakit, dan kematian, kehancuran dan kehilangan, adalah takdir universal; dengan demikian ia mencabut “anak panah dukacita yang beracun” dan berdiam dengan bahagia, bebas dari anak-anak panah.

Sekali lagi, baik kaum duniawi maupun siswa bijaksana tunduk pada “delapan kondisi duniawi” : untung dan rugi, reputasi buruk dan kemasyhuran, celaan dan pujian, dan kenikmatan dan kesakitan. Kaum duniawi, yang tertarik pada yang satu dan menolak yang lain, “tidak terbebas dari kelahiran, dari usia tua dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, keputus-asaan, dan kesedihan.” Tetapi siswa mulia, dengan mengenali bahwa semua kondisi yang tidak stabil ini adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan, mulai meninggalkan ketertarikan, merasakan adanya kejijikan pada potensi tumimbal lahir, dan mencapai kebebasan batin sebagai muaranya.

Masih menurut Bhikkhu Bodhi, apa yang ditekankan oleh Sang Buddha sebagai titik awal dalam pencarian kebahagiaan sejati adalah hubungan erat antara kualitas etika dari perilaku kita dan warna pengalaman yang kita rasakan. Perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran dapat dibedakan secara etika dalam dua kelompok besar, yakni apa yang tidak bermanfaat (akusala) dan yang bermanfaat (kusala). Sang Buddha memahami bahwa apa yang tidak bermanfaat adalah sumber penderitaan, apa yang bermanfaat adalah sumber kebahagiaan. Keserakahan, kebencian, dan delusi (kebodohan / kekotoran batin) mengarah pada bahaya dan penderitaan, sedangkan pelenyapannya akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan.

Oleh sebab itulah Sang Buddha secara konstan mengajarkan kepada para siswa-Nya agar berusaha dengan tekun untuk meninggalkan apa yang tidak bermanfaat dan mengembangkan apa yang bermanfaat. Usaha yang bermanfaat membawa kebahagiaan yang jauh lebih besar, lebih kaya, dan lebih tahan lama daripada pemuasan ketagihan. Serangkaian sutta-sutta pendek membandingkan berbagai jenis kebahagiaan berbeda dan menilai manfaat relatifnya: kebahagiaan kehidupan monastik adalah lebih tinggi daripada kebahagiaan kehidupan awam; kebahagiaan meninggalkan keduniawian adalah lebih tinggi daripada kebahagiaan indriawi; kebahagiaan tanpa perolehan adalah lebih tinggi daripada kebahagiaan yang ditimbulkan dari perolehan; kebahagiaan tanpa noda-noda adalah lebih tinggi daripada kebahagiaan dengan noda-noda; kebahagiaan spiritual adalah lebih tinggi daripada kebahagiaan duniawi.

Menurut Sang Buddha, “kaleidoskop yang selalu berubah” dari penderitaan dan kebahagiaan tidak mengubah bentuknya hanya dalam satu kehidupan di bumi; perubahan ini bahkan lebih radikal lagi ketika kita mengembara dalam lingkaran kelahiran kembali yang dikenal sebagai sasāra, “pengembaraan.” Faktor yang mengatur dalam proses ini, yang menjadikan keseluruhan perjalanan ini menjadi sebuah perjalanan yang taat hukum, adalah suatu kekuatan yang disebut kamma (sansekerta: karma). Kata kamma secara literal berarti “perbuatan,” tetapi Sang Buddha menggunakan kata ini untuk merujuk pada kehendak atau perbuatan yang disengaja: “Adalah kehendak, para bhikkhu, yang Kusebut kamma; karena setelah berkehendak, seseorang bertindak melalui jasmani, ucapan, atau pikiran”. Demikianlah kamma merupakan perbuatan yang berasal-mula dari kehendak, yang dapat tetap berupa pemikiran-pemikiran, rencana-rencana, dan keinginan-keinginan.

Kamma juga merupakan kekuatan moral yang dihasilkan dari perbuatan kita. Semua perbuatan kita yang ditentukan secara moral menghasilkan suatu potensi untuk menghasilkan akibat (vipāka) yang bersesuaian dengan kualitas etikanya. Perbuatan-perbuatan kita menghasilkan kamma, dan ketika kondisi-kondisi yang tepat bertemu, maka kamma menjadi matang dan menghasilkan buah yang bersesuaian, membawa kesengsaraan atau kebahagiaan yang bergantung pada kualitas moral dari perbuatan yang menyebabkannya. Kamma yang kita lakukan mungkin matang dalam kehidupan ini, dalam kehidupan berikut, atau beberapa kehidupan berikutnya. Satu hal yang pasti adalah bahwa selama kita mengembara dalam lingkaran kelahiran kembali, timbunan kamma kita mampu untuk menjadi matang dan menghasilkan akibatnya. Demikianlah Sang Buddha mengajarkan, lagi dan lagi, bahwa “makhluk-makhluk adalah pemilik kamma mereka, pewaris kamma mereka; mereka memiliki kamma sebagai asal-mulanya, kamma sebagai kerabatnya, kamma sebagai pelindungnya; apa pun kamma yang mereka lakukan, baik atau buruk, merekalah pewarisnya”.

Perbedaan dalam “catatan” kamma menyebabkan keanekaragaman takdir orang-orang, yang secara konstan berputar dalam lingkaran kehidupan, muncul dan lenyap, kadang-kadang bergerak dari gelap menuju terang, kadang-kadang dari terang menuju gelap. Kamma adalah penentu utama dalam kelahiran kembali. Kamma tidak bermanfaat mengarah pada kelahiran kembali yang tidak menguntungkan dan akibat menyakitkan, kamma bermanfaat mengarah pada kelahiran kembali yang menguntungkan dan akibat yang menyenangkan. Kelahiran kembali tidak terbatas pada alam manusia, karena kamma bervariasi dalam hal kualitas dan potensinya dan dengan demikian dapat menghasilkan kelahiran kembali di salah satu dari lima alam tujuan : neraka, alam binatang, alam hantu menderita, alam manusia, atau alam deva. Makhluk-makhluk secara konstan berpindah dari satu alam ke alam lain, tetapi relatif sedikit yang terlahir kembali di alam manusia atau alam deva dibandingkan dengan jumlah yang jauh lebih besar yang terlahir kembali di neraka, alam binatang, dan alam-alam hantu, yang secara kolektif disebut alam sengsara, alam tujuan kelahiran yang buruk, atau alam rendah yang kerap disebut juga sebagai “alam tanpa kebahagiaan”.

Mereka yang mengusulkan interpretasi alam-alam ini sebagai kondisi psikologi yang kita alami dalam kehidupan kita sebagai manusia akan kesulitan mencari dukungan atas posisi mereka dalam Nikāya-nikāya. Dalam sutta kita sering membaca dalam hampir semua nipāta, tentang bagaimana makhluk-makhluk terlahir kembali di neraka atau di surga “dengan hancurnya jasmani, setelah kematian” (kāyassa bhedā paramaraā)—meskipun, dalam sutta juga disebutkan seseorang yang melakukan kejahatan akan merasa “seakan-akan dibawa ke neraka” (neraka-dunia). Ungkapan ini adalah salah satu frasa utama dalam Nikāya-nikāya, dan tidak ada indikasi bahwa frasa ini dimaksudkan sebagai metafora. Kriteria untuk menilai kehendak yang bertanggung jawab atas suatu perbuatan sebagai tidak bermanfaat atau bermanfaat adalah motif yang menyertainya atau “akar-akar”.

Ketiga akar tidak bermanfaat : keserakahan, kebencian, dan delusi. Dari ketiga ini maka muncul kekotoran sekunder seperti kemarahan, permusuhan, iri hati, kekikiran, keangkuhan, dan kesombongan, dan dari akar-akar dan kekotoran sekunder ini muncul pula perbuatan-perbuatan kotor yang berpotensi menghasilkan kelahiran kembali di alam sengsara. Sebaliknya, kamma bermanfaat adalah perbuatan yang berasal-mula dari ketiga akar bermanfaat : ketidak-serakahan, ketidak-bencian, dan tanpa-delusi, yang dapat diungkapkan dengan cara lebih positif sebagai kedermawanan, cinta-kasih, dan kebijaksanaan. Sementara perbuatan-perbuatan yang muncul dari akar-akar tidak bermanfaat pasti terikat pada lingkaran kelahiran dan kematian berulang. Perbuatan-perbuatan yang muncul dari akar-akar bermanfaat ada dua jenis : duniawi dan melampaui keduniawian. Perbuatan-perbuatan bermanfaat duniawi berpotensi menghasilkan kelahiran kembali yang menguntungkan di alam-alam yang lebih tinggi. Yang melampaui keduniawian atau perbuatan-perbuatan bermanfaat (lokuttara) yaitu, kamma yang dihasilkan melalui praktik Jalan Mulia Berunsur Delapan dan tujuh faktor pencerahan—menguraikan keseluruhan proses sebab-akibat karma dan karenanya mengarah menuju kebebasan dari lingkaran kelahiran kembali.

Teks-teks sutta tidak membiarkan kita menebak-nebak perbuatan-perbuatan jenis apa yang menciptakan kamma bermanfaat dan tidak bermanfaat, melainkan menyajikan peta yang tepat atas daerah perbuatan baik dan buruk. Sang Buddha tidak pernah bermain teka-teki kepada para umat, selayaknya kitab-kitab agama lain. Daftar standar terdiri dari sepuluh jenis perbuatan tidak bermanfaat – tiga jenis perbuatan jasmani, empat jenis ucapan, dan tiga jenis pikiran – dan sepuluh jenis kamma bermanfaat yang bersesuaian. Akan tetapi, semua perbuatan ini, muncul dari pikiran sebagai pelopornya. Demikianlah pikiran dikatakan sebagai sumber yang mendasari baik dan buruk, dan melalui perbuatan-perbuatan yang mengalir dari pikiran, sebagai sebab fundamental bagi penderitaan dan kebahagiaan. Karena itulah, kita harus berhati-hati dan menaruh waspada serta pengendalian, atas pikiran kita sendiri yang begitu bersifat esensial dan vital.

Dengan menelusuri akar-akar penderitaan dan kebahagiaan kembali pada kehendak-kehendak kita, Sang Buddha menunjukkan bahwa kunci menuju kebahagiaan adalah latihan dan penguasaan pikiran. Dalam serangkaian sutta-sutta berpasangan, Beliau mengatakan bahwa tidak ada yang begitu mengarah pada bahaya dan penderitaan selain daripada pikiran yang tidak terkembang, tidak terlatih, tidak jinak, tidak terjaga, tidak terlindungi, dan tidak terkendali; dan tidak ada yang begitu mengarah pada manfaat besar dan kebahagiaan selain daripada pikiran yang terkembang, terlatih, jinak, terjaga, terlindungi, dan terkendali. Dengan demikian, saripati ajaran Sang Buddha adalah pengembangan dan pelatihan pikiran, yang, sebagai hasil dari latihan demikian, akan mengungkapkan kecerahan intrinsiknya dan akhirnya sampai pada kebahagiaan kebebasan.

Latihan monastik bertujuan agar seseorang yang berlatih mampu dan terampil dalam membersihkan pikirannya dari kelima rintangan, dan menguasai empat jhāna, tahap-tahapan konsentrasi mendalam atas objek konsentrasi tertentu. Kemudian ia mengarahkan pikirannya yang terkonsentrasi pada tiga jenis pengetahuan yang lebih tinggi: mengingat kehidupan lampau, persepsi kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk, dan penembusan empat kebenaran mulia—para indigo mampu mengingat satu atau dua kehidupan lampau orang lain, namun tidak untuk jutaan kehidupan lampau sebelumnya, juga tidak memiliki kemampuan penembsan empat kebenaran mulia (four noble truths).

Ada cara untuk mengetahui kelahiran-kelahiran kembali kita di masa lampau yang tidak terhitung lagi jumlahnya, sebagaimana dapat kita rujuk langsung khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dimana bahkan Sang Buddha juga meng-kritik Sakka sang “raja dari para makhluk dewata”, dengan kutipan sebagai berikut:

58 (8) Tikaṇṇa

Brahmana Tikaṇṇa mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau … Kemudian, sambil duduk di satu sisi, Brahmana Tikaṇṇa, di hadapan Sang Bhagavā, memuji para brahmana yang telah menguasai tiga pengetahuan: “Demikianlah para brahmana yang adalah pemilik tiga pengetahuan; demikianlah para brahmana yang adalah pemilik tiga pengetahuan.”

[Sang Bhagavā berkata:] “Tetapi bagaimanakah, brahmana, para brahmana menggambarkan seorang brahmana yang adalah pemilik tiga pengetahuan?”

“Di sini, Guru Gotama, seorang brahmana terlahir baik pada kedua pihak ibunya dan ayahnya, dari keturunan murni, tak dapat dibantah dan tidak tercela sehubungan dengan kelahiran hingga tujuh generasi dari pihak ayahnya. Ia adalah pembaca dan pelestari syair-syair pujian, seorang guru dari tiga Veda dengan kosa kata, ritual, fonologi, dan etimologi, dan sejarah sebagai yang ke lima; mahir dalam ilmu bahasa dan tata bahasa, ia sepenuhnya menguasai filosofi alam dan tanda-tanda manusia luar biasa. Adalah dalam cara ini para brahmana itu menggambarkan seorang brahmana yang adalah seorang pemilik tiga pengetahuan.”

“Brahmana, seorang pemilik tiga pengetahuan dalam disiplin Yang Mulia sangat berbeda dengan seorang brahmana yang adalah seorang pemilik tiga pengetahuan seperti yang digambarkan oleh para brahmana tentangnya.”

“Tetapi dalam cara bagaimanakah, Guru Gotama, seorang pemilik tiga pengetahuan dalam disiplin Yang Mulia? Baik sekali jika Guru Gotama sudi mengajarkan Dhamma kepadaku yang menjelaskan bagaimana seseorang adalah seorang pemilik tiga pengetahuan dalam disiplin Yang Mulia.”

“Baiklah, Brahmana, dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Tuan,” Brahmana Tikaṇṇa menjawab.

Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: “Di sini, Brahmana, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai oleh pemikiran dan pemeriksaan. Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki ketenangan internal dan keterpusatan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, tanpa pemikiran dan pemeriksaan. Dengan memudarnya sukacita, ia berdiam seimbang dan, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, ia mengalami kenikmatan pada jasmani; ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, [164] ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan.

(1) “Ketika pikirannya terkonsentrasi demikian, murni, bersih, tanpa noda, bebas dari kekotoran, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai ketanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan mengingat kehidupan lampau. Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penghancuran dunia, banyak kappa pengembangan dunia, banyak kappa penghancuran dunia dan pengembangan dunia, sebagai berikut: ‘Di sana aku bernama ini, dari suku ini, dengan penampilan begini, makananku seperti ini, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti ini, umur kehidupanku selama ini; meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di tempat lain, dan di sana aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan begitu, makananku seperti itu, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu; meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di sini.’ Demikianlah ia mengingat banyak kehidupan lampaunya dengan aspek-aspek dan rinciannya.

“Ini adalah pengetahuan sejati pertama yang dicapai olehnya. Ketidak-tahuan disingkirkan, pengetahuan sejati muncul; kegelapan disingkirkan, cahaya muncul, seperti yang terjadi ketika seseorang berdiam dengan penuh kewaspadaan, tekun, dan bersungguh-sungguh.

(2) “Ketika pikirannya terkonsentrasi demikian, murni, bersih, tanpa noda, bebas dari kekotoran, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai ketanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk. Dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka sebagai berikut: ‘Makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang mencela para mulia, menganut pandangan salah, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan salah, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka; tetapi makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang tidak mencela para mulia, yang menganut pandangan [165] benar, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan benar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga.’ Demikianlah dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka.

“Ini adalah pengetahuan sejati ke dua yang dicapai olehnya. Ketidak-tahuan disingkirkan, pengetahuan sejati muncul; kegelapan disingkirkan, cahaya muncul, seperti yang terjadi ketika seseorang berdiam dengan penuh kewaspadaan, tekun, dan bersungguh-sungguh.

(3) “Ketika pikirannya terkonsentrasi demikian, murni, bersih, tanpa noda, bebas dari kekotoran, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai ketanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah noda-noda’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula noda-noda’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’

“Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebaskan dari noda indriawi, dari noda penjelmaan, dan dari noda ketidak-tahuan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.’

“Ini adalah pengetahuan sejati ke tiga yang dicapai olehnya. Ketidak-tahuan disingkirkan, pengetahuan sejati muncul; kegelapan disingkirkan, cahaya muncul, seperti yang terjadi ketika seseorang berdiam dengan penuh kewaspadaan, tekun, dan bersungguhsungguh.

[NOTE Penyunting : Dengan demikian, melatih atau membangun kemampuan dalam mengakses Akaschic Records secara penuh, full akses, merupakan faktor kunci penentu pencapaian pencerahan dan realisasi keterbebasan, yakni dimulai dari melatihan pikiran yang menyerupai “monyet liar tidak terkendali yang selalu melompat-lompat” menjadi terkendalikan dengan menguncinya pada satu objek konsentrasi tertentu, sebagaimana metoda meditasi samantha bhavana yang diajarkan oleh Sang Buddha, dengan prasyarat pendukung sebagaimana disebutkan di bawah ini]

Ia yang moralitasnya tidak goyah, yang waspada dan meditatif, yang pikirannya telah dikuasai, terpusat, terkonsentrasi baik;

“Sang bijaksana, penghalau kegelapan, pembawa tiga pengetahuan, pemenang atas kematian; seorang yang mereka sebut yang meninggalkan segalanya, penolong para deva dan manusia;

“Seorang yang memiliki tiga pengetahuan, yang berdiam tanpa delusi; mereka menyembahNya, Sang Buddha Gotama, yang membawa jasmani terakhirNya.

Seorang yang mengetahui kehidupan-kehidupan lampaunya, yang melihat alam surga dan alam sengsara, dan telah mencapai hancurnya kelahiran adalah seorang bijaksana yang sempurna dalam pengetahuan langsung.

“Melalui ketiga jenis pengetahuan ini seseorang menjadi seorang brahmana dengan tiga pengetahuan. Aku menyebutnya seorang pemilik tiga pengetahuan, bukan orang lain yang mengucapkan mantra-mantra. [166]

“Dengan cara inilah, Brahmana, bahwa seseorang adalah pemilik tiga pengetahuan dalam disiplin Yang Mulia.”

“Guru Gotama, seorang pemilik tiga pengetahuan dalam disiplin Yang Mulia sangat berbeda dengan seorang pemilik tiga pengetahuan menurut para brahmana. Dan seorang pemilik tiga pengetahuan menurut para brahmana tidak bernilai seperenam-belas bagian dari pemilik tiga pengetahuan dalam disiplin Yang Mulia.

“Bagus sekali, Guru Gotama! Bagus sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam banyak cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung kepada Guru Gotama, kepada Dhamma, dan kepada Sagha para bhikkhu. Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

~0~

37 (7) Raja-raja (1)

“Para bhikkhu, (1) pada hari ke delapan dwimingguan, para menteri dan anggota kelompok dari Empat Raja Dewa mengembara di dunia, [dengan berpikir]: ‘Kami harap ada banyak orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka, berperilaku selayaknya terhadap para petapa dan brahmana, menghormati saudara tua mereka dalam keluarga, menjalankan uposatha, menjalankan hari pelaksanaan tambahan, dan melakukan perbuatan berjasa.’ (2) Pada hari ke empat belas dwimingguan, para putra dari empat raja dewa mengembara di dunia, [dengan berpikir]: ‘Kami harap ada banyak orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka … [143] … dan melakukan perbuatan berjasa.’ (3) Pada hari ke lima belas, hari uposatha, Keempat raja dewa sendiri mengembara di dunia, [dengan berpikir]: ‘Kami harap ada banyak orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka … dan melakukan perbuatan berjasa.’

[Kitab Komentar : Hari ke delapan dari dwimingguan adalah hari bulan seperempat, baik pada periode bulan mengembang maupun menyusut. “Empat Raja Dewa” (catumahārājāno) adalah para penguasa di alam terendah dari enam alam surga indria, alam terdekat dengan manusia. Kita melihat suatu tingkatan berurutan di sini: pada hari ke delapan, para menteri dan anggota kelompok (amaccā pārisajjā) memeriksa dunia; pada hari ke empat belas (hari sebelum bulan purnama dan bulan baru), para putra (puttā) mereka memeriksa dunia; dan pada hari ke lima belas, hari bulan purnama sebenarnya dan hari bulan baru, keempat raja dewa sendiri memeriksa dunia.]

“Jika, para bhikkhu, ada sedikit orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka … dan melakukan perbuatan berjasa, keempat raja dewa melaporkan hal ini kepada para deva Tāvatisa ketika mereka mengadakan rapat dan duduk bersama di aula dewan Sudhamma: ‘Tuan-tuan yang terhormat, ada sedikit orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka … dan melakukan perbuatan berjasa.’ Kemudian, karena hal ini, para deva Tāvatisa menjadi tidak senang, [dengan mengatakan]: ‘Aduh, kelompok surgawi akan mengalami kemunduran dan kelompok asura akan berkembang!

[NOTE : Asura merupakan salah satu makhluk penghuni “alam tanpa kebahagiaan”, yakni sejenis jin raksasa namun memiliki kesaktian setingkat dewa, akan tetapi lebih rendah derajatnya daripada manusia dan kerap melakukan kejahatan dengan kesaktiannya tersebut.]

 “Tetapi jika ada banyak orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka … dan melakukan perbuatan berjasa, keempat raja dewa melaporkan hal ini kepada para deva Tāvatisa ketika mereka mengadakan rapat dan duduk bersama di aula dewan Sudhamma: ‘Tuan-tuan yang terhormat, ada banyak orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka, berperilaku selayaknya terhadap para petapa dan brahmana, menghormati saudara tua mereka dalam keluarga, menjalankan uposatha, menjalankan hari pelaksanaan tambahan, dan melakukan perbuatan berjasa.’ Kemudian, karena hal ini, para deva Tāvatisa menjadi gembira, [dengan mengatakan]: ‘Sungguh, kelompok surgawi akan berkembang dan kelompok asura akan mengalami kemunduran!’”

“Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau, ketika Sakka, penguasa para deva, sedang membimbing para deva Tāvatisa, ia melafalkan syair berikut ini: [144]

“‘Orang yang ingin menjadi sepertiku

harus menjalankan uposatha

yang lengkap dengan delapan faktor,

pada hari ke empat belas, ke lima belas,

dan ke delapan dari dwimingguan,

dan selama dwimingguan khusus.’

“Syair ini, para bhikkhu, diucapkan dengan buruk oleh Sakka, penguasa para deva, bukan diucapkan dengan baik. Dinyatakan dengan buruk, bukan dinyatakan dengan baik. Karena alasan apakah? Karena Sakka, penguasa para deva, tidak hampa dari nafsu, kebencian, dan delusi. Tetapi dalam hal seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant – seorang yang noda-nodanya dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan spiritual, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuannya sendiri, telah sepenuhnya menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, seorang yang sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir – adalah selayaknya baginya untuk mengatakan:

“‘Orang yang ingin menjadi sepertiku … dan selama dwimingguan khusus.’

“Karena alasan apakah? Karena bhikkhu itu hampa dari nafsu, kebencian, dan delusi.”

~0~

38 (8) Raja-raja (2)

“Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau, ketika Sakka, penguasa para deva, sedang membimbing para deva Tāvatisa, ia melafalkan syair berikut ini:

“‘Orang yang akan menjadi sepertiku …, dan selama dwimingguan khusus.’

“Syair ini, para bhikkhu, diucapkan dengan buruk oleh Sakka, penguasa para deva, bukan diucapkan dengan baik. Dinyatakan dengan buruk, bukan dinyatakan dengan baik. Karena alasan apakah? Karena Sakka, penguasa para deva, tidak terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan; ia tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan. Tetapi dalam hal seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant – seorang yang noda-nodanya dihancurkan … seorang yang sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir – adalah selayaknya baginya untuk mengatakan:

“‘Orang yang akan menjadi sepertiku … dan selama dwimingguan khusus.’ [145]

“Karena alasan apakah? Karena bhikkhu itu terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, keputus-asaan, kesedihan, dan kesengsaraan; ia terbebas dari penderitaan, Aku katakan.”

Betapa rendah dan menjijikkan serta kotor-tercela-hina-nya dogma-dogma korup semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, merusak “standar moral” umat manusia dari semula “humanis” menjelma “hewanis” serta “premanis-barbariknis-setanis”. Dengan memahami konsekuensi maupun bahaya dibalik perbuatan maupun pikiran yang buruk, barulah kita menjadi waspada atas setiap kehendak yang timbul dalam pikiran maupun benak kita, terkendali tindak-tanduknya, tidak seperti seekor hewan yang senantiasa menuruti nafsu dalam diri kita masing-masing. Bila tidak dapat menjadi seorang “manusia-dewa”, setidaknya kita berjuang untuk menjadi seorang “manusia-manusia” alias manusia yang sejati (manusia yang humanis), bukan turun derajat menjelma seorang “manusia-hewan”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.