AGAMA DOSA : Mengajarkan Kiat Mencurangi Hidup bagi Dosawan (Pendosa)

AGAMA KSATRIA : Mempromosikan Gaya Hidup Penuh Tanggung Jawab bagi para Ksatriawan

AGAMA SUCI : Mengkampanyekan Gaya Hidup Higienis dari Dosa bagi Kalangan Suciwan

Kalangan pendosa manakah, yang tidak ingin tetap sibuk “business as usual” memproduksi dosa, mengoleksi segudang dosa, menimbun diri segunung dosa, berkubang dalam dosa, dan bersimbah dosa—seperti menyakiti, merugikan, ataupun melukai pihak lain—namun disaat bersamaan dijanjikan (diiming-imingi) masuk alam surgawi setelah para pendosa / penjahat tersebut meninggal dunia (too good to be true). Semua orang sanggup dan mau menjadi seorang “pendosa penjilat penuh dosa”, namun tidak semua orang sanggup dan memiliki kemauan berkomitmen—serta tidak kenal kompromi—untuk menjadi seseorang berjiwa ksatria yang penuh tanggung-jawab terhadap para korban yang telah ia lukai / rugikan secara disengaja maupun secara tidak disengaja, terlebih untuk menjadi seorang suciwan yang penuh mawas diri terhadap perbuatan dan pikirannya sendiri (terlatih ketat dalam disiplin “self-control”).

Mereka, para pendosa tersebut, terlampau pemalas untuk merepotkan diri menanam benih-benih Karma Baik untuk bisa mereka petik sendiri buah manisnya ketika tiba saatnya berbuah dan ranum; dan disaat bersamaan terlampau pengecut untuk bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan kotor, buruk, busuk, jahat, dan tercela mereka yang telah pernah atau masih sedang menyakiti, melukai, maupun merugikan pihak-pihak lainnya. Mengingat karena banyaknya “demand” (permintaan berupa delusi “too good to be true” dari para pendosawan) demikian, maka sejak itu pula muncullah dengan derasnya “supply” berupa beragam tawaran iming-iming dan janji-janji manis bagi kalangan pendosawan yang dosa-dosanya sudah sedemikian menumpuk dan menggunung demikian (too big to fall)—akhirnya terjebak dan masuk perangkap “janji-janji manis” yang tidak rasional, mengingat dunia ini tidak pernah kekurangan pendosa yang notabene merupakan manusia-manusia jabat.

Yang “menguntungkan” (dosa-dosa dihapus) di mata kalangan pendosawan, merupakan “noda dan cela” (“kekotoran batin”) di mata kalangan suciwan maupun bagi kalangan ksatriawan. Sebaliknya, yang merupakan “keutamaan hidup” (seperti “higienis dari dosa” maupun “bertanggung-jawab”) bagi kalangan suciwan maupun ksatriawan, merupakan “merugikan” di mata seorang pendosawan. Cobalah Anda jawab satu pertanyaan berikut ini, untuk mengetahui motif di balik “alam bawah sadar” Anda ketika Anda selama ini memilih “Agama DOSA” untuk Anda peluk dan yakini alih-alih belajar serta menjalankan “Agama SUCI” maupun “Agama KSATRIA” : jika iming-iming “too good to be true” demikian, yakni dogma delusif “abolition of sins” berupa “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, tidak menjadi bagian dari ajaran agama Anda, bahkan ditentang dan ditolak keras, maka masihkah Anda akan memilih untuk memeluk agama tersebut secara “membuta”?

Hanya seorang pendosa, yang membutuhkan “penghapusan dosa” atau apapun itu istilahnya, yang pada pokoknya merujuk pada ideologi korup “cuci tangan” dan “cuci dosa” secara tidak bertanggung-jawab, bagi kalangan “korup”, tentunya. Anda merasa “beruntung” karena Anda yang “memakan”, namun bagaimana jika kelak Anda yang “dimakan” oleh pihak-pihak lainnya? Kabar buruknya, menurut cara kerja Hukum Karma, dengan menjadi seorang pendosawan sama artinya Anda berdiri pada “zona rentan” (danger zone), mengingat mereka yang menyakiti seorang pendosa akan minim sekali Karma Buruk yang akan mereka peroleh.

Dengan menjadi seseorang yang berhati mulia, baik hati, bersih dari kejahatan, berjiwa ksatria, atau bahkan seorang suciwan, menyakiti mereka sama artinya menggali lubang kubur sendiri—seperti Devadatta yang mencoba melukai Sang Buddha, akibatnya Devadatta ditelan hidup-hidup oleh Bumi dan seketika masuk ke dalam neraka lapis terdalam. Bersih dan higienis dari dosa, itulah perlindungan diri terbaik, karena yang menyakiti Anda akan mendapatkan Karma Buruk yang sangat besar. Secara tidak langsung, orang-orang jahat (pendosa yang berdosa) tersebut sejatinya sedang / tengah bersikap “egois terhadap dirinya sendiri”.

Karenanya, “kekotoran batin” bukanlah untuk dikompromikan terlebih dipelihara dan disangkarkan di dalam diri, sebagaimana dinasehatkan kepada kita lewat khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan sebagai berikut:

113 (1) Menuju Alam Sengsara

“Para bhikkhu, ada tiga orang yang, jika mereka tidak meninggalkan [kesalahan mereka] ini, maka mereka menuju alam sengsara, menuju neraka. Siapakah tiga ini? [266]

(1) Seorang yang, walaupun tidak selibat, namun mengaku selibat;

(2) seorang yang memfitnah seorang yang selibat murni yang menjalani kehidupan selibat murni dengan tuduhan tidak selibat yang tanpa dasar; dan

(3) seorang yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Tidak ada kesalahan dalam kenikmatan indria,’ dan kemudian jatuh menuruti kenikmatan indria.

Ini adalah ketiga orang itu yang, jika mereka tidak meninggalkan [kesalahan mereka] ini, maka mereka menuju alam sengsara, menuju neraka.”

[Kitab Komentar : Menikmati [pandangan bahwa] minuman itu harus diminum, dinikmati; [ia berpikir bahwa minuman-minuman itu] harus dinikmati dengan pikiran tanpa enggan, seperti halnya air diminum oleh seseorang yang haus. Ia jatuh ke dalam [pandangan bahwa] seseorang harus meminum objek-objek indria dengan kekotoran indriawi, bahwa minuman-minuman itu harus dinikmati menurut kesenangannya.]

114 (2) Jarang

“Para bhikkhu, manifestasi tiga [orang] adalah jarang di dunia ini. Apakah tiga ini? (1) Manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna adalah jarang di dunia ini. (2) Seorang yang mengajarkan Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata adalah jarang di dunia ini. (3) Seorang yang bersyukur dan berterima kasih adalah jarang di dunia ini. Manifestasi ketiga orang ini adalah jarang di dunia ini.”

115 (3) Tidak Terukur

“Para bhikkhu, ada tiga jenis orang yang terdapat di dunia ini. Apakah tiga ini? Seorang yang mudah diukur, seorang yang sulit diukur, dan seorang yang tidak terukur.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, orang yang mudah diukur? Di sini, seseorang gelisah, tinggi hati, pongah, banyak bicara, berbicara tanpa tujuan, berpikiran kacau, tanpa pemahaman jernih, tidak terkonsentrasi, dengan pikiran mengembara, dengan organ-organ indria kendur. Ini disebut orang yang mudah diukur.

(2) “Dan apakah orang yang sulit diukur? Di sini, seseorang tidak gelisah, tidak tinggi hati, dan tidak pongah; ia tidak banyak bicara dan tidak berbicara tanpa tujuan; ia memiliki perhatian yang ditegakkan dan memiliki pemahaman jernih, terkonsentrasi, dengan pikiran terpusat, dengan organ-organ indria terkendali. Ini disebut orang yang sulit diukur.

(3) “Dan apakah orang yang tidak terukur? Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang Arahant, seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan. Ini disebut orang yang tidak terukur.

“Ini adalah ketiga jenis orang itu yang terdapat di dunia ini.” [267]

117 (5) Kegagalan dan Keberhasilan

“Para bhikkhu, ada tiga kegagalan ini. Apakah tiga ini? Kegagalan dalam perilaku bermoral, kegagalan dalam pikiran, dan kegagalan dalam pandangan.

(1) “Dan apakah kegagalan dalam perilaku bermoral? Di sini, seseorang membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan perbuatan seksual yang salah, berbicara bohong, mengucapkan ucapan memecah belah, berbicara kasar, dan bergosip. Ini disebut kegagalan dalam perilaku bermoral.

(2) “Dan apakah kegagalan dalam pikiran? Di sini, seseorang penuh kerinduan dan memiliki pikiran berniat buruk. Ini disebut kegagalan dalam pikiran.

(3) “Dan apakah kegagalan dalam pandangan? Di sini, seseorang menganut pandangan salah dan memiliki perspektif tidak benar sebagai berikut: ‘Tidak ada yang diberikan, tidak ada yang dikorbankan, tidak ada yang dipersembahkan; tidak ada [269] buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; tidak ada dunia ini, tidak ada dunia lain; tidak ada ibu, tidak ada ayah; tidak ada makhluk-makhluk yang terlahir secara spontan; tidak ada di dunia ini para petapa dan brahmana yang berperilaku baik dan menjalani praktik yang baik yang, setelah merealisasikan dunia ini dan dunia lain untuk diri mereka sendiri melalui pengetahuan langsung, kemudian mengajarkannya kepada orang lain.’ Ini disebut kegagalan dalam pandangan.

Karena kegagalan dalam perilaku bermoral, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Karena kegagalan dalam pikiran … Karena kegagalan dalam pandangan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga kegagalan itu.

“Ada, para bhikkhu, tiga keberhasilan ini. Apakah tiga ini? Keberhasilan dalam perilaku bermoral, keberhasilan dalam pikiran, dan keberhasilan dalam pandangan.

(1) “Dan apakah keberhasilan dalam perilaku bermoral? Di sini, seseorang menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan perbuatan seksual yang salah, menghindari kebohongan, menghindari ucapan memecah-belah, menghindari berbicara kasar, dan menghindari bergosip. Ini disebut keberhasilan dalam perilaku bermoral.

(2) “Dan apakah keberhasilan dalam pikiran? Di sini, seseorang adalah tanpa kerinduan dan memiliki pikiran yang bebas dari niat buruk. Ini disebut keberhasilan dalam pikiran.

(3) “Dan apakah keberhasilan dalam pandangan? Di sini, seseorang menganut pandangan benar dan memiliki perspektif benar sebagai berikut: ‘Ada yang diberikan, ada yang dikorbankan, dan ada yang dipersembahkan; ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; ada dunia ini dan dunia lain; ada ibu dan ayah; ada makhluk-makhluk yang terlahir secara spontan; ada di dunia ini para petapa dan brahmana yang berperilaku baik dan menjalani praktik yang baik yang, setelah merealisasikan dunia ini dan dunia lain untuk diri mereka sendiri melalui pengetahuan langsung, kemudian mengajarkannya kepada orang lain.’ Ini disebut keberhasilan dalam pandangan. [270]

“Karena keberhasilan dalam perilaku bermoral, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga. Karena keberhasilan dalam pikiran … Karena keberhasilan dalam pandangan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga keberhasilan itu.”

[NOTE : Buddhisme mengenal “kulminasi” atau pencapaian kekuatan batin / spiritual, baik level tingkatan kesaktian (jhāna 1—4, dst) maupun level tingkatan pencerahan (sotapanna, sakadagami, anagami, arahant). Yang ada ialah tingkat / level kesucian—bukan tingkat “kedosaan”, “pendosa level 1”, “pendosa level 2”, dst. Bukan pula tingkat “menjilat”, “penjilat level 1”, “penjilat level 2”, dst.]

[KITAB KOMENTAR : Ketika ada alam tujuan masa depan dan kelahiran kembali, maka siswa mulia yang adalah seorang yang masih berlatih tidak turun ke alam yang lebih rendah melainkan mencapai nibbāna akhir dalam penjelmaan alam berbentuk yang sama [atau] di alam yang lebih tinggi.

Namun seorang siswa mulia dapat pula terlahir kembali di alam tanpa bentuk. Ketika Sang Buddha membicarakan tentang umur kehidupan manusia dan deva, Beliau tidak memberikan angka tertentu untuk umur kehidupan [mereka] yang berada di empat alam sengsara dan para deva bumi.

Mengapa tidak? Karena di neraka, kamma sendiri menentukan [umur kehidupan]; seseorang akan menderita di sana hingga kammanya habis. Hal yang sama berlaku untuk keempat alam sengsara. Kamma juga menentukan umur kehidupan para deva bumi. Karena beberapa deva yang terlahir kembali di sana tetap hidup di sana selama seminggu, beberapa lainnya selama dua minggu, dan beberapa lainnya selama satu kappa.

Di antara para manusia, beberapa umat awam menjadi “pemasuk-arus” dan mencapai buah “yang-kembali-sekali”, buah “yang-tidak-Kembali”, dan bahkan buah Kearahattaan. Di antara mereka, para “pemasuk-arus”, dan seterusnya, dapat tetap [dalam kehidupan awam mereka] seumur hidup mereka, tetapi para Arahant mencapai nibbāna akhir atau meninggalkan keduniawian [menuju kehidupan tanpa rumah].

Mengapakah? Karena Kearahattaan adalah keadaan yang paling bermoral dan kehidupan awam adalah rendah. Tidaklah mungkin bagi para Arahant untuk mempertahankan keadaan paling bermoral dalam kondisi rendah, maka mereka mencapai nibbāna akhir [yaitu, meninggal dunia] atau meninggalkan keduniawian. Konon, sesorang perumah-tangga) yang berlatih disiplin hingga mencapai tingkat kesucian Arahant, jika tidak segera menahbiskan diri sebagai bhikkhu dan menjalani kehidupan monastik, maka akan meninggal dunia.

Tetapi ketika para deva bumi mencapai Kearahattaan mereka akan tetap hidup seumur hidup mereka; para “pemasuk-arus” dan “yang-kembali-sekali” di antara keenam kelompok para deva alam indria akan hidup seumur hidup mereka. Untuk seorang “yang-tidak-kembali” adalah lebih cocok untuk pergi menuju penjelmaan di alam berbentuk, dan untuk para Arahant akan mencapai nibbāna akhir.

Mengapakah? Karena tidak mungkin mereka akan mengalami kemunduran. Dalam alam berbentuk dan alam tanpa bentuk, semuanya akan hidup seumur hidup mereka. Para “pemasuk-arus” dan “yang-kembali-sekali” yang terlahir kembali di alam berbentuk tidak akan kembali ke alam ini, melainkan mencapai nibbāna akhir di sana.

Tetapi apakah yang menentukan [kelahiran kembali] bagi mereka yang memperoleh delapan pencapaian meditatif (jhāna)? Jhāna yang mana mereka kuasai yang menentukan, karena mereka terlahir kembali sesuai apa pun yang mereka kuasai. Jika mereka menguasai semuanya, apakah yang menentukan [kelahiran kembali mereka]?

Pencapaian landasan bukan-persepsi-juga-bukan-bukan-persepsi, karena mereka pasti terlahir kembali di dalam landasan bukan-persepsi-juga-bukan-bukan-persepsi. Bagi para siswa mulia yang terlahir kembali di antara sembilan alam brahma, kelahiran kembali dapat terjadi di sana [di alam yang sama] atau di alam yang lebih tinggi, tetapi tidak di alam yang lebih rendah.

Tetapi kaum duniawi mungkin terlahir kembali di alam yang sama, di alam yang lebih tinggi, atau di alam yang lebih rendah. Para siswa mulia di lima “alam murni” dan empat “alam tanpa bentuk” mungkin terlahir kembali di alam yang sama atau di alam yang lebih tinggi. Seorang “yang-tidak-kembali” yang terlahir kembali di alam jhāna pertama memurnikan sembilan alam brahma dan mencapai nibbāna akhir sewaktu berdiam di puncaknya.

Tiga alam deva yang disebut ‘kondisi penjelmaan yang terbaik’: alam berbuah besar (vehapphala), Akaniṭṭha, dan landasan bukan-persepsi-juga-bukan-bukan-persepsi. Para “yang-tidak-kembali” yang terlahir di ketiga kondisi ini tidak naik lebih tinggi, juga tidak turun lebih rendah, melainkan mencapai nibbāna akhir di sana.

118 (6) Dadu

“Para bhikkhu, ada tiga kegagalan ini. Apakah tiga ini? Kegagalan dalam perilaku bermoral, kegagalan dalam pikiran, dan kegagalan dalam pandangan.

“Dan apakah kegagalan dalam perilaku bermoral? Di sini, seseorang membunuh … [seperti pada 3:117] … Ini disebut kegagalan dalam pandangan.

“Karena kegagalan dalam perilaku bermoral, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Karena kegagalan dalam pikiran … Karena kegagalan dalam pandangan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka.

Seperti halnya dadu, ketika dilemparkan ke atas, akan berdiam kokoh di mana pun dadu itu jatuh, demikian pula, karena kegagalan dalam perilaku bermoral … kegagalan dalam pikiran … kegagalan dalam pandangan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga kegagalan itu.

“Ada, para bhikkhu, tiga keberhasilan ini. Apakah tiga ini? Keberhasilan dalam perilaku bermoral, keberhasilan dalam pikiran, dan keberhasilan dalam pandangan.

“Dan apakah keberhasilan dalam perilaku bermoral? Di sini, seseorang menghindari membunuh … [seperti pada 3:117] … Ini disebut keberhasilan dalam pandangan.

“Karena keberhasilan dalam perilaku bermoral, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga. Karena keberhasilan dalam pikiran … Karena keberhasilan dalam pandangan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga.

Seperti halnya dadu, ketika dilemparkan ke atas, akan berdiam kokoh di mana pun dadu itu jatuh, demikian pula, karena keberhasilan dalam perilaku bermoral … keberhasilan dalam pikiran … keberhasilan dalam pandangan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga keberhasilan itu.”

120 (8) Kemurnian (1)

“Para bhikkhu, ada tiga kemurnian ini. Apakah tiga ini? Kemurnian jasmani, kemurnian ucapan, dan kemurnian pikiran.

(1) “Dan apakah kemurnian jasmani? Di sini, seseorang menghindari pembunuhan, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, dan menghindari perbuatan seksual yang salah. Ini disebut kemurnian jasmani.

(2) “Dan apakah kemurnian ucapan? Di sini, seseorang menghindari berbohong, menghindari ucapan memecah-belah, menghindari ucapan kasar, dan menghindari bergosip. Ini disebut kemurnian ucapan.

(3) “Dan apakah kemurnian pikiran? Di sini, seseorang adalah tanpa kerinduan, tanpa niat buruk, [272] dan menganut pandangan benar. Ini disebut kemurnian pikiran.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga kemurnian itu.”

121 (9) Kemurnian (2)

”Para bhikkhu, ada tiga kemurnian ini. Apakah tiga ini? Kemurnian jasmani, kemurnian ucapan, dan kemurnian pikiran.

(1) “Dan apakah kemurnian jasmani? Di sini, seorang bhikkhu menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, dan menghindari perbuatan seksual yang salah. Ini disebut kemurnian jasmani.

(2) “Dan apakah kemurnian ucapan? Di sini, seorang bhikkhu menghindari berbohong, menghindari ucapan memecah-belah, menghindari ucapan kasar, dan menghindari bergosip. Ini disebut kemurnian ucapan.

(3) “Dan apakah kemurnian pikiran? Di sini, ketika terdapat keinginan indria dalam dirinya, seorang bhikkhu memahami: ‘Terdapat keinginan indria dalam diriku’; atau ketika tidak terdapat keinginan indria dalam dirinya, seorang bhikkhu memahami: ‘Tidak terdapat keinginan indria dalam diriku’; dan ia juga memahami bagaimana keinginan indria yang belum muncul menjadi muncul, bagaimana keinginan indria yang telah muncul ditinggalkan, dan bagaimana keinginan indria yang telah ditinggalkan tidak muncul lagi di masa depan.

“Ketika terdapat niat buruk dalam dirinya … Ketika terdapat ketumpulan dan kantuk dalam dirinya … Ketika terdapat kegelisahan dan penyesalan dalam dirinya … [273] … Ketika terdapat keragu-raguan dalam dirinya, ia memahami: ‘Terdapat keragu-raguan dalam diriku’; atau ketika tidak terdapat keragu-raguan dalam dirinya, ia memahami: ‘Tidak terdapat keragu-raguan dalam diriku’; dan ia juga memahami bagaimana keragu-raguan yang belum muncul menjadi muncul, bagaimana keragu-raguan yang telah muncul ditinggalkan, dan bagaimana keragu-raguan yang telah ditinggalkan tidak muncul lagi di masa depan. Ini disebut kemurnian pikiran.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga kemurnian itu. Murni dalam jasmani, murni dalam ucapan, murni dalam pikiran, tanpa noda: mereka disebut yang murni, sempurna dalam kemurnian, seorang yang telah mencuci kejahatan.”

122 (10) Kecerdikan

“Para bhikkhu, ada tiga jenis kecerdikan ini. Apakah tiga ini? Kecerdikan jasmani, kecerdikan ucapan, dan kecerdikan pikiran.

(1) “Dan apakah kecerdikan jasmani? Di sini, seseorang menghindari pembunuhan, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, dan menghindari perbuatan seksual yang salah. Ini disebut kecerdikan jasmani.

(2) “Dan apakah kecerdikan ucapan? Di sini, seseorang menghindari berbohong, menghindari ucapan memecah-belah, menghindari ucapan kasar, dan menghindari bergosip. Ini disebut kecerdikan ucapan.

(3) “Dan apakah kecerdikan pikiran? Di sini, dengan hancurnya noda-noda, seorang bhikkhu merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ini disebut kecerdikan pikiran.

“Seorang cerdik melalui jasmani, seorang cerdik dalam ucapan, seorang cerdik dalam pikiran, tanpa noda: mereka menyebutnya sang bijaksana, sempurna dalam kecerdikan, seorang yang telah meninggalkan segalanya.” [274]

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga jenis kecerdikan itu.”

125 (3) Gotamaka

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di Altar Gotamaka. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu …

[Kitab Komentar : Selama dua puluh tahun setelah pencerahan, Sang Tathāgata sering berdiam di antara komunitas-komunitas para deva (devakulesuyeva): kadang-kadang di altar Cāpāla, kadang-kadang di Sārandada, kadang-kadang di Bahuputta, dan kadang-kadang di Gotamaka. Karena Beliau sedang menetap di Vesālī pada saat itu, maka Beliau menetap di alam makhluk halus Gotamaka.

Dijelaskan bahwa sutta ini dibabarkan sebagai lanjutan dari Mūlapariyāya Sutta (MN 1). Kisah latar belakangnya diceritakan bahwa sekelompok brahmana telah menerima penahbisan dari Sang Buddha dan dengan cepat menguasai ajaranNya. Dengan dipenuhi keangkuhan karena pelajaran mereka, mereka tidak lagi mendengarkan Dhamma. Sang Buddha membabarkan Mūlapariyāya Sutta untuk memotong keangkuhan mereka. Karena tidak mampu memahaminya, mereka menjadi rendah hati dan meminta maaf pada Sang Buddha. Beberapa waktu kemudian Sang Buddha membabarkan Gotamaka Sutta ini untuk menuntun mereka menuju Kearahattaan.

“Para bhikkhu, (1) Aku mengajarkan Dhamma melalui pengetahuan langsung, bukan tanpa pengetahuan langsung. (2) Aku mengajarkan Dhamma dengan landasan, bukan tanpa landasan. (3) Aku mengajarkan Dhamma yang bersifat penawar, bukan yang tanpa penawar. Karena Aku mengajarkan Dhamma melalui pengetahuan langsung, bukan tanpa pengetahuan langsung; karena Aku mengajarkan Dhamma dengan landasan, bukan tanpa landasan; karena Aku mengajarkan Dhamma yang bersifat penawar, bukan yang tanpa penawar, maka nasihatKu harus ditindaklanjuti, instruksiKu harus ditindaklanjuti. Cukuplah bagi kalian untuk bergembira, cukuplah bagi kalian untuk berbesar hati, cukuplah bagi kalian untuk bersukacita: ‘Sang Bhagavā tercerahkan sempurna! Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā! Sagha mempraktikkan jalan yang baik!’”

[Kitab Komentar : Melalui pengetahuan langsung (abhiññāya). Buddha mengajarkan Dhamma setelah mengetahui secara langsung, sebagaimana adanya, Dhamma yang harus diajarkan, yang dibedakan melalui yang bermanfaat dan seterusnya dan melalui kelompok-kelompok unsur kehidupan dan seterusnya; dan setelah mengetahui secara langsung metode untuk mengajar mereka yang harus dituntun sesuai dengan kecondongan, kecenderungan, karakter, dan watak mereka.

Dengan landasan (sanidāna): dengan kondisi (sappaccaya), dengan dasar (sakāraa), setelah memberikan alasan (hetu), yang mungkin merupakan kecenderungan dari mereka yang akan dituntun, sebuah pertanyaan, atau sebuah insiden khusus.

Penawar (sappāihāriya). Sebuah penawar adalah obat (paiharaa) bagi nafsu dan seterusnya. Dhamma ini disertai hal-hal ini, maka ini adalah ‘penawar.’ Karena Sang Guru mengajarkan Dhamma hanya melalui dilenyapkannya (paisedhanavasen’eva) nafsu dan seterusnya.”

Dhamma “menyerang” dengan cara berbeda dari ajaran ataupun dogma-dogma konvensional. Dhamma “melawan” pandangan-pandangan menyimpang dan kekotoran-batin, dan dengan demikian secara langsung melawan atau menawarkan.

Di sini karakter Dhamma tidak diidentikkan pada keajaiban, melainkan pada kemampuannya untuk melawan doktrin yang beredar umum. Dengan demikian “penawar” atau “yang secara langsung melawan” dapat menjadi terjemahan yang cukup tepat dari istilah frasa aslinya dalam teks Pali.]

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dengan gembira, para bhikkhu itu gembira mendengar pernyataan Sang Bhagavā. Dan sewaktu khotbah ini sedang dibabarkan, seribu sistem dunia berguncang.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.