Jangan Pernah Beli Apartemen, Ini Alasannya

Jangan Tergoda oleh Jargon Sudah Adanya PERHIMPUNAN PENGHUNI RUMAH SUSUN

Sudah Adanya PERHIMPUNAN PENGHUNI, Bukanlah Jaminan Rumah Susun / Apartemen Tersebut Bersifat Transparan dan Akuntabel Kepengurusan dan Pengelolaannya

Kajian Sosiolegal PERHIMPUNAN PENGHUNI RUMAH SUSUN, Sekadar Mendompleng Nama “PERHIMPUNAN”

Question: Saat akan beli properti, pilihannya keluarga kami pada muaranya ialah melirik (unit) apartemen, mengingat harganya cukup terjangkau disamping pihak agen properti yang memasarkannya menyatakan bahwa apartemen ini sudah ada perhimpunan penghuninya, sudah tidak lagi dikelola oleh developer yang semula membangun (gedung) apartemen ini. Minat kami beralih menjadi benar-benar tertarik dengan keterangan yang disampaikan oleh sang broker properti. Namun entah mengapa alam bawah sadar saya merasa adanya keganjilan. Iuran pemeliharaan lingkungan bulannya ternyata sangat tinggi, sementara itu jumlah unit apartemennya ada belasan bahkan puluhan lantai pada masing-masing menara (tower), artinya bisa mencapai ribuan penghuni, maka bukankan semestinya iuran bulanan tidak sampai setinggi itu, sekalipun gedung apartemen memang butuh perawatan rutin. Itu bertentangan dengan ilmu ekonomi, semakin banyak artinya semakin dapat ditekan faktor “cost”. Bagaimana pandangan hukumnya?

Brief Answer: Jangankan untuk urusan pembetukan Perhimpunan Penghuni / Pemilik Rumah Satuan Unit Susun, kepengurusan Ketua Rukun Tetangga (RT) maupun Ketua Rukun Warga (RW) beserta segenap kelengkapannya, mulai dari bendahara, sekretaris, keamanan dan sebagainya, kerap tidak transparan, karena dijabat oleh kalangan internal mereka yang berkuasa serta orang-orang dari lingkaran mereka sendiri. Semua lingkungan pemukiman, pastilah telah terbentuk suatu kepengurusan pejabat Ketua RT maupun RW dan segenap kelengkapannya. Namun pertanyaannya, apakah pengurus RT maupun RW tersebut benar-benar transparan dan akunbtabel terhadap kepentingan warga atau justru menjadi “raja-raja kecil” di wilayah pemukiman, dimana yang menjabat ialah “orang yang itu-itu saja” serta tidak jelasnya pengelolaan iuran warga yang mereka kutip setiap bulannya, selama bertahun-tahun bahkan puluhan tahun.

Sama halnya, setiap apartemen / rumah susun bisa jadi telah terdapat “Perhimpunan Penghuni”, namun jadilah konsumen produk properti yang “melek kenyataan”—dengan mempertanyakan, apakah “Perhimpunan Penghuninya” adalah konkret, ataukah sekadar jargon atau nama (alias “Perhimpunan Penghuni boneka”), yang mana proses pembentukan kepengurusan maupun pengelolaannya bisa jadi meragukan dan patut dipertanyakan? Kenyataannya ialah banyak terjadi fakta seperti demikian di lapangan, karena melibatkan sejumlah besar uang dari ribuan pemilik / penghuni unit apartemen, sehingga kepentingannya bisa sangat subjektif demi kepentingan pribadi segelintir pihak yang duduk dibangku berkuasa pada “Perhimpunan Penghuni” (sekadar nama).

Mereka yang menguasai kursi kekuasaan pada “Perhimpunan Penghuni boneka” ini, tidak akan membiarkan pundi-pundi sumber kekayaannya—mengingat iuran di apartemen bisa tiga hingga sepuluh kali lipat dari besaran iuran warga pemukiman perumahan, belum lagi jumlah penghuni apartemen bisa mencapai lebih dari seribu unit, sehingga melibatkan sejumlah besar uang yang setiap bulannya dikutip pengelola dengan mengatas-namakan “Perhimpunan Penghuni”—diambil-alih oleh mereka yang benar-benar wakil dari penghuni yang hendak mengurus dan mengelola apartemen milik para penghuni, yakni sepenuhnya untuk kepentingan para penghuni.

Pada prinsipnya, baik itu di lingkungan pemukiman “landed house” maupun “rumah susun” (apartemen, rusunami, kondominium, pusat pertokoan yang berlantai lebih dari satu, dsb, yang secara sertifikasi tunduk pada Undang-Undang tentang Rumah Susun dan wujud hak atas tanahnya ialah Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Unit Rumah Susun, SHMRS), bila memang dari sejak awal para pihak yang hendak terlibat dalam kepengurusan ataupun kepengelolaan telah ternyata tidak memiliki itikad baik untuk kepentingan dan kesejahteraan seluruh penghuni / warga, maka pada muaranya tiada transparansi dan nihil akuntabilitas, sekalipun kepengurusannya disaksikan dan disahkan oleh pemerintah daerah setempat.

Singkatnya, dari berbagai banyak fakta yang jarang diketahui oleh masyarakat—mulai dari lebih dari separuh jumlah apartemen di Jakarta telah ternyata berdiri diatas tanah “hak pengelolaan” milik pemerintah daerah ataupun instansi pemerintahan, “Perhimpunan Penghuni boneka”, hingga besaran iuran bulanan yang mencekik namun disaat bersamaan kualitas air bersih tidak dapat disebut sebagai “bersih”, banyaknya kasus pembeli unit apartemen yang telah belasan tahun menunggu telah ternyata masih belum juga terbit sertifikat kepemilikan atas unit rumah susun (SHMRS), biaya hidup yang lebih tinggi mengingat tidak diperbolehkan mencuci dan menjemur baju sendiri serta adanya biaya tambahan untuk parkir kendaraan milik penghuni disamping tiada jaminan keutuhan kendaraan meski lokasi dijaga petugas keamanan, tiadanya jaminan privasi sebagai penghuni, penghuni akan senantiasa dikontrol oleh pihak pengelola, yang pada pokoknya membuat pembeli / pemilik unit apartemen merasa seolah “memiliki unit apartemen namun serasa seperti sedang mengontrak tempat tinggal”.

Atas dasar berbagai pertimbangan sosio-empirik tersebutlah, meski secara hukum pembentukan “Perhimpunan Penghuni” telah diatur oleh Undang-Undang Rumah Susun maupun oleh Pemerintah Daerah, secara priabdi penulis tidak merekomendasikan masyarakat untuk membeli dan memiliki unit satuan rumah susun, sekalipun iming-iming tawarannya ialah dekat dengan pusat perbelanjaan, dekat pusat perkantoran, lokasinya berada di jantung kota, harga yang murah, dan sebagainya—kecuali, dasar pertimbangan Anda untuk membeli unit apartemen ialah memang faktor lokasi yang strategis di pusat kota serta faktor biaya / pengeluaran selama tercatat sebagai pemilik unit apartemen bukanlah menjadi masalah bagi Anda.

PEMBAHASAN:

Penulis bahkan mempertanyakan, apakah betul Negara Indonesia merupakan negeri yang demokratis, alias bersemangatkan pada semboyan : dari rakyat dan untuk rakyat? Kita dapat melihat dan mengamati dalam lingkup yang paling mikro, yakni kepengurusan RT dan RW maupun kepengurusan dan pengelolaan rumah rusun, tidak pernah ada bentuk pertanggung-jawaban pihak pengurus / pengelola dari segi keuangan, penghimpunan iuran warga, pendapatan dari uang sewa para penyewa kios di atas kawasan pemukiman yang dikuasai pengurus, maupun rincian alokasi pengeluaran, kepada warga / penghuni terlebih secara terbuka dan transparan menyediakan laporan keuangan untuk diaudit akuntabilitasnya oleh warga / penghuni selaku “stakeholders”. Dengan demikian, terkesan kepengurusan bukanlah “dari dan untuk warga / penghuni” sebagaimana asas demokratisasi dalam lingkup makro maupun mikro.

Bila tirai selubung “tidak kasat mata” setebal tembok tebal dapat kita jumpai dalam praktik kepengurusan lingkup mikro yang paling sederhana seperti Ketua RT dan RW pada pemukiman “landed house”, maka terlebih kompleksitas dan tebal-berlapisnya selubung kepengurusan suatu rumah susun, yang dapat dipastikan akan setebal tembok birokrasi, birokrasi mana bisa jadi hanya sekadar menamakan diri sebagai “Perhimpunan Penghuni”, namun sejatinya jabatan-jabatan kepengurusan maupun kepengelolaan dikuasai oleh segelintir penguasa untuk kepentingan pribadi internal mereka, dimana penghuni akan diperlakukan seperti “sapi perahan”, diperas / dieksploitasi dengan segala jenis iuran bulanan, tagihan, dan lain sebagainya.

Jangan pernah berharap ada sebentuk kejujuran ataupun transparansi dibalik proses pembentukan “Perhimpunan Penghuni” maupun anggaran dari iuran penghuni yang dikelola untuk kepentingan segenap penghuni. Jangan pula pernah berasumsi bahwa, bila ternyata sebagai pembeli unit apartemen, setelah membeli, dikemudian hari baru mengetahui fakta adanya “Perhimpunan Penghuni boneka” dan mulai menyesali telah membeli, maka cukup menjual unit apartemen yang dibeli kepada orang lain. Untuk itu perlu dipahami bahwa menjual kembali unit apartemen, bukanlah perkara mudah, sekalipun dibuka dengan harga jual yang tergolong rendah, peminatnya tidak sederas masyarakat yang lebih berminat pada rumah tapak “landed haouse”. Singkatnya, lebih baik mencari dengan upaya terbaik, rumah tapak di pinggiran kota, daripada memaksakan diri membeli dan menghuni unit apartemen di dalam kota.

Memang betul telah terbit Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 15/PERMEN/M/2007 tentang Tata Laksana Pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Sederhana Milik, yang mengatur mengenai pembentukan organisasi perhimpunan penghuni rusunami atau yang disebut sebagai Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS). Namun banyak diantara berbagai regulasi yang ada di Indonesia hanya bermuara dan bernasib sebagai formalitas belaka. Bahkan, tidak jarang terjadi aksi saling tuding sebagai “Perhimpunan Penghuni ilegal”. Terkadang perlu aksi sengit bagi para penghuni untuk mengambil-alih kursi pengurus apartemen yang selama ini dbentuk secara tidak demokratis, dimana aksi gugat-menggugat pun tidak menjamin akan membuahkan hasil manis.

Salah satu cerminan konkretnya dapat diilustrasikan oleh SHIETRA & PARTNERS sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa pembentukan “Perhimpunan Penghuni”, register Nomor Nomor 79 K/TUN/2015 tanggal 30 Maret 2015, perkara antara:

- SATYA DHARMA, pemilik salah satu unit apartemen, sebagai Penggugat; melawan

I. GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA Jakarta; II. JANNES PAKPAHAN, SIE STEVEN, LIM MEI HWA, dan LINA YULIANTI, selaku Tergugat dan Tergugat Intervensi.

Yang menjadi objek sengketa ialah penerbitan Keputusan Pengesahan Badan Hukum Dewan Pengurus Apartemen City Park oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta, yang dinilai baik secara langsung maupun tidak langsung telah merugikan hak dan kepentingan Penggugat sebagai salah satu pemilik dan penghuni unit pada Rusunami City Park. Adapun versi dalil Para Tergugat, Perhimpunan Penghuni Apartemen City Park yang dipermasalahkan oleh Penggugat, didirikan dalam rangka mengakomodir kepentingan seluruh pemilik dan atau penghuni City Park, termasuk didalamnya Penggugat sebagai salah satu pemilik dan atau penghuni Rusunami City Park, kecuali jika Penggugat merupakan salah seorang yang menikmati keuntungan pribadi dari “pengelola sementara” yang tidak sah yang ditunjuk Pelaku Pembangunan.

Adapun dalil versi Penggugat, pada pertengahan Juni 2012 Penggugat mengetahui info akan adanya kegiatan persiapan pembentukan PPRS pada tanggal 26 Juni 2012, bertempat di aula Tower F. Penggugat terkejut mendengar hal tersebut, dikarenakan penyelenggara dalam rapat tersebut adalah sekelompok orang (“Kelompok Ilegal”) yang bukan dibentuk berdasarkan aspirasi warga City Park sebagaimana Perwakilan Tower yang telah ada. Koordinator Tower mempunyai peran dan fungsi sebagai perwakilan dari penghuni yang terkait dengan Pengelolaan dan Penghunian City Park khususnya pada tower yang bersangkutan serta bertugas sebagai jembatan informasi dan komunikasi antara penghuni dengan pengelola dan PPRS nantinya. Namun untuk permulaan, tugas penting dari Koordinator Tower adalah untuk membentuk Panitia Musyawarah berdasarkan aspirasi dari seluruh warga.

Penggugat kembali dikejutkan dengan adanya undangan perihal Pengumuman Pelaksanaan Musyawarah Warga untuk proses pembentukan PPPSRS yang akan diselenggarakan pada tanggal 10 November 2012 dengan mengatasnamakan Panitia Musyawarah (“Musyawarah Ilegal I”). Diketahui Panitia Musyawarah ini adalah bentukan dari “kelompok Ilegal”, bukan kelompok bentukan aspirasi mayoritas warga melalui Perwakilan Tower. Rapat tersebut tidak dapat menghasilkan apa-apa dikarenakan undangan yang hadir tidak memenuhi quorum, akhirnya rapat tersebut ditunda maksimal 30 (tiga puluh) hari.

Panitia Musyawarah yang dibentuk oleh “Kelompok Ilegal” tersebut bukanlah berasal dari aspirasi warga. Pembentukan Panitia Musyawarah tersebut tidak melalui proses sebagaimana diamanatkan oleh hasil rapat 2 Juli 2012. Pada tanggal 08 Desember 2012, diselenggarakanlah musyawarah kedua oleh “Kelompok Ilegal”, ini sebagai kelanjutan dari musyawarah pertama yang dilaksanakan sebelumnya pada tanggal 10 November 2012 (“Musyawarah Ilegal II”). Musyawarah Ilegal II ini dihadiri juga oleh wakil dari Kementerian Perumahan Rakyat. Musyawarah Ilegal II tersebut kemudian diketahui menghasilkan beberapa keputusan, diantaranya mengesahkan Anggaran Dasar maupun Anggaran Rumah Tangga serta memilih dan menetapkan Sdr. Jannes Pakpahan, SH. sebagai Ketua Umum Dewan Pengurus Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun City Park.

Adapun posisi Penggugat, sebenarnya hadir dalam saat-saat awal rapat 08 Desember 2012. Dalam rapat tersebut Penggugat menyampaikan keberatan-keberatannya terhadap pelaksanaan rapat dimaksud, antara lain yaitu:

a) Tidak menghormati aspirasi mayoritas warga yang ingin menyelenggarakan pemilihan PPPSRS secara demokratis;

b) Tidak pernah mengenal sebelumnya dan tidak pernah melihat Bp.Jannes Pakpahan yang dijadikan calon tunggal ketua Perhimpunan Penghuni, tinggal di Rusunami City Park;

c) Tidak menghormati proses yang sedang berjalan di Rusunami City Park yaitu pembentukan Perwakilan Tower yang merupakan cikal bakal PPPSRS;

d) Tidak pernah disosialisasikan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga ke warga yang dibacakan oleh Ketua Rapat, yang terkesan dipaksakan untuk disahkan dalam rapat tersebut

Sekalipun begitu, keberatan-keberatan yang Penggugat sampaikan tidak digubris ataupun diperhatikan, rapat terus berjalan dengan agendanya sendiri. Bahkan wakil Pemerintah yang saat itu hadir, memberikan intimidasi berupa ancaman keras yang tidak menyenangkan terhadap Penggugat, yakni  membelalakan mata memandang kepada Penggugat (melotot) sambil mengatakan “jangan coba-coba untuk mengacau jalannya rapat ini”. Intimidasi tersebut Penggugat tanggapan dengan menyatakan “Bapak, diam saja, bapak bukan warga City Park, sehingga tidak tahu persis apa yg diingikan oleh warga sebenarnya, sedangkan saya adalah warga murni City Park dan saya adalah Perwakilan Tower G yang dipilih oleh Warga Tower G.

Akibat intimidasi tersebut serta karena keberatan dan aspirasinya tidak diakomodasi dalam rapat, maka Penggugat bersama sebagian besar peserta rapat memilih melakukan tindakan walk out sebagai bentuk protes dan penolakan terhadap Rapat Musyawarah Ilegal tersebut. Adapun peserta rapat yang bersama Penggugat saat itu melakukan aksi walk out adalah sebanyak kurang-lebih 50 (lima puluh) orang dari 88 peserta rapat yang hadir melakukan aksi penolakan dan juga melakukan walk out. Seharusnya dengan demikian, rapat tersebut tidak dapat dilanjutkan lagi, karena kuorum rapat untuk mengambil keputusan tidak lagi mencukupi.

Dari 88 (delapan puluh delapan) orang yang hadir sebagai peserta rapat yang memiliki hak suara, lebih dari 60% nya telah meninggalkan ruang rapat. Namun ternyata penyelenggara tetap memaksakan diri melanjutkan rapat dan mengambil keputusan, sekalipun jelas-jelas mendapatkan penolakan sebagian besar warga. Pada tanggal 08 April 2013, ditetapkan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 527 Tahun 2013 tentang Pengesahan Akta Pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun Umum City Park. Penggugat merupakan Pemilik dan/atau Penghuni salah satu unit pada Rusunami City Park, merasa Tergugat telah melanggar dan merugikan hak-haknya sebagai Pemilik dan/atau Penghuni.

Tergugat mengesahkan Dokumen Pembentukan yang cacat hukum, hasil dari persiapan dan pembentukan PPRS yang ilegal dan cacat hukum. Dimana persiapan dan pembentukan PPRS tersebut diselenggarakan oleh Kelompok Ilegal dan hanya dihadiri sekelompok kecil warga saja, sehingga Penggugat merasa dicurangi, dibodohi, dan dirugikan atas tindakan tersebut diatas. Sebelumnya, Penggugat dan Warga City Park lainnya telah menunjuk dan mengamanati Perwakilan Tower untuk membentuk Panitia Musyawarah yang kemudian mempersiapkan Pembentukan AD/ART dan PPRS. Namun tiba-tiba muncul “Kelompok Ilegal” yang sebenarnya hanya mewakili kelompok kecil saja. Hal ini tentunya merugikan warga City Park secara keseluruhan dan merugikan Penggugat khususnya.

Dengan disahkannya pembentukan PPRS melalui Surat Keputusan Gubernur, Penggugat merasa dirugikan dan/atau berpotensi menimbulkan kerugian, diantaranya sebagai berikut :

a. Penggugat telah dilanggar hak suara dan hak pilihnya sebagai Pemilik dan/atau Penghuni City Park, mengingat Tergugat telah mengesahkan Pembentukan yang sebenarnya melanggar hukum, dimana isi dokumen tersebut juga bukanlah merupakan aspirasi mayoritas warga City Park, khususnya Penggugat;

b. Aspirasi mayoritas warga yang telah menunjuk Perwakilan Tower untuk kemudian membentuk secara demokratis panitia Musyawarah yang nantinya mengemban amanat untuk menyelenggarakan rapat Musyawarah guna pembentukan AD/ART dan PPRS, seolah tidak diakui keberadaannya secara hukum;

c. Proses persiapan dan pembentukan “Perhimpunan Penghuni” dilakukan secara tidak prosedural dan telah banyak melanggar peraturan-peraturan yang ada dan berlaku;

d. Dipilihnya Sdr. Jannes Pakpahan, SH., yang terbukti bukanlah pemilik dan/atau penghuni Rusunami City Park sebagai Ketua Dewan Pengurus PPPSRS City Park adalah pelanggaran terhadap hukum yang berlaku dan melanggar hak-hak pemilik dan/atau penghuni Rusunami City Park lainnya;

e. Pengesahan oleh Tergugat telah membawa keresahan dan ketidak-tentraman warga di Rusunami City Park. Warga merasa diperdaya, dikelabui dan dirampas hak-haknya;

f. “Perhimpunan Penghuni” yang terbentuk nantinya dapat menunjuk atau membentuk Badan Pengelola untuk melakukan pengelolaan Rusunami City Park, hal tersebut membuat kekhawatiran kepastian nasib penghuni untuk jangka panjang dan ketidak-percayaan mayoritas Warga Rusunami City Park.

Dikhawatirkan nantinya sebagai buntut, Badan Pengelola yang baru memiliki kepentingan tersendiri dan tidak sesuai dengan keinginan / aspirasi Warga Rusunami City Park. Hal demikian tentunya dapat mengakibatkan kerugian bagi Warga Rusunami City Park. Adapun amanat sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor PERMENPERA 15/PERMEN/M/2007 mengenai aturan kuorum musyawarah sebagaimana termuat dalam Pasal 12, apabila jumlah peserta yang tidak hadir dalam musyawarah tidak memenuhi kuorum dikarenakan ketidak-pedulian. Namun dalam perkara ini, peserta musyawarah tidak hadir bukan karena tidak peduli terhadap pembentukan “Perhimpunan Penghuni”, melainkan menolak musyawarah yang diselenggarakan oleh “Kelompok Ilegal”.

Penolakan tersebut dengan dapat dilihat dari beberapa surat yang dibuat oleh warga City Park maupun keberatan dengan cara berdemo ataupun walk out-nya sekitar 50 (lima puluh) orang pada saat musyawarah II sedang berlangsung. Seharusnya dengan demikian rapat tersebut tidak dapat dilanjutkan lagi, karena kuorum rapat untuk mengambil keputusan tidak lagi mencukupi. Dari 88 (delapan puluh delapan) orang yang hadir sebagai peserta rapat yang memiliki hak suara, lebih dari 60% nya telah meninggalkan ruang rapat. Namun ternyata penyelenggara tetap memaksakan diri melanjutkan rapat dan mengambil keputusan walaupun sudah jelas-jelas mendapatkan penolakan sebagian besar warga.

Yang janggal adalah tidak dimuatnya keterangan mengenai walk out-nya sekitar 50 orang tersebut dalam “Berita Acara Musyawarah Anggota Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) City Park tanggal 8 Desember 2012” yang kemudian di Warmerken (Penandaan) di Notaris. Padahal mengenai kejadian mati lampu malah disebut dan dipaparkan dengan panjang lebar. Mengapa kejadian walk out yang penting malah tidak disebut / dihilangkan dari berita acara. Walaupun tidak dimuat namun bukan berarti Tergugat tidak mengetahui akan hal ini. Karena di dalam rapat tersebut Tergugat (Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta, serta Kementrian Perumahan Rakyat RI) datang dan menyaksikan kejadian walk out tersebut.

Namun mengapa hal tersebut tidak dimuat? Apakah untuk mengaburkan fakta? Untuk menghilangkan hambatan pengesahan? Apakah ada oknum-oknum yang bermain disini? Seharusnya, dengan kejadian walk out tersebut Tergugat perlu mempertimbangkan ulang untuk memberikan pengesahan. Apakah benar aspirasi warga telah tersalurkan dan terlindungi? Seharusnya Tergugat tidak terkesan tergesa-gesa membuat keputusan pengesahan, dan secara arif terlebih dahulu melakukan mediasi diantara warga. Jangan sampai seperti sekarang ini, akibat dipaksakannya menerbitkan keputusan pengesahan, sebagian besar warga merasa aspirasinya tidak dilindungi secara hukum dan muncul keresahan di antara penghuni.

Terhadap gugatan demikian, Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta kemudian mengambil putusan sebagaimana register Nomor 92/G/2013/PTUN.JKT tanggal 5 Desember 2013, dengan amar sebagai berikut:

MENGADILI :

Dalam Penangguhan :

1. Mengabulkan Permohonan Penangguhan Pelaksanaan Keputusan Objek Sengketa tersebut;

2. Memerintahkan kepada Tergugat untuk menunda pelaksanaan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor : 527 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Akta Pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun Umum City Park, Kota Administrasi Jakarta Barat. Ditetapkan di Jakarta, 08 April 2013;

Dalam Eksepsi :

- Menolak Eksepsi Tergugat II Intervensi;

Dalam Pokok Perkara :

1. Mengabulkan Gugatan Penggugat seluruhnya;

2. Menyatakan batal Surat Keputusan Tata Usaha Negara berupa Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor : 527 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Akta Pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun Umum City Park, Kota Administrasi Jakarta Barat. Ditetapkan di Jakarta, 08 April 2013;

3. Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor : 527 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Akta Pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun Umum City Park, Kota Administrasi Jakarta Barat. Ditetapkan di Jakarta, 08 April 2013.”

Dalam tingkat banding, atas permohonan Tergugat, putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta di atas selanjutnya telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta sebagaimana putusan Nomor 50/B/2014/PT.TUN.JKT, tanggal 15 Juli 2014, dengan amar sebagai berikut:

- Menerima permohonan banding dari Tergugat /Pembanding dan Tergugat II Intervensi / Pembanding;

- Membatalkan Putusan pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 92/G/2013/PTUN.JKT, tanggal 5 Desember 2013 yang dimohonkan banding, dan dengan:

MENGADILI SENDIRI:

1. Menyatakan gugatan Penggugat / Terbanding tidak dapat diterima;

2. Mencabut Penetapan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 527 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Akta Pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satua Rumah Susun Umum City Park. Kota Administrasi Jakarta Barat, ditetapkan di Jakarta 08 April 2013 dan menyatakan tidak memiliki kekuatan hukum lagi.”

Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dengan argumentasi bahwa “Perhimpunan Penghuni” berwenang untuk menunjuk atau membentuk badan pengelola baru. Dikarenakan mayoritas warga Rusunami City Park mengetahui dan memahami pengesahan pembentukan “Perhimpunan Penghuni” tersebut berdasarkan Surat Keputusan (obyek gugatan) yang cacat hukum oleh karenanya mayoritas warga City Park secara terang-terangan dan tegas menolak. Ketika “Perhimpunan Penghuni” yang cacat hukum tersebut berusaha mengambil-alih paksa pengelolaan menggunakan sekelompok orang hitam, terjadi penolakan keras dari mayoritas warga Rusunami City Park yang kemudian terjadi kerusuhan yang bersifat anarkis. Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan secara sumir saja, sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

“Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta sudah benar dan tidak terdapat kesalahan dalam penerapan hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut:

“Bahwa Penerbitan Objek Sengketa didasarkan kepada Berita Acara musyawarah anggota para Perhimpunan Perwakilan dari Penghuni Rusun (PPPSRS) City Park No. 1090/W/N/XII/2012 tanggal 27 Desember 2012, bahwa perkara ini inti masalahanya pada keabsahan Berita Acara Musyawarah Tersebut; [Note SHIETRA & PARTNERS : Dengan demikian, Mahkamah Agung RI berpendirian bahwa perkara ini menjadi domain absolut Pengadilan Negeri, bukan PTUN, mengingat akar masalahnya ialah perihal “berita acara musyawarah” yang dinilai oleh Penggugat sebagai tidak akuntabel disamping tidak transparan.]

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan Pemohon Kasasi: SATYA DHARMA, tersebut harus ditolak;

M E N G A D I L I :

- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: SATYA DHARMA tersebut.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.