Jangan Tergoda oleh Jargon Sudah Adanya PERHIMPUNAN PENGHUNI RUMAH SUSUN
Sudah Adanya PERHIMPUNAN PENGHUNI, Bukanlah Jaminan
Rumah Susun / Apartemen Tersebut Bersifat Transparan dan Akuntabel Kepengurusan
dan Pengelolaannya
Kajian Sosiolegal PERHIMPUNAN PENGHUNI RUMAH SUSUN,
Sekadar Mendompleng Nama “PERHIMPUNAN”
Question: Saat akan beli properti, pilihannya keluarga kami pada muaranya ialah melirik (unit) apartemen, mengingat harganya cukup terjangkau disamping pihak agen properti yang memasarkannya menyatakan bahwa apartemen ini sudah ada perhimpunan penghuninya, sudah tidak lagi dikelola oleh developer yang semula membangun (gedung) apartemen ini. Minat kami beralih menjadi benar-benar tertarik dengan keterangan yang disampaikan oleh sang broker properti. Namun entah mengapa alam bawah sadar saya merasa adanya keganjilan. Iuran pemeliharaan lingkungan bulannya ternyata sangat tinggi, sementara itu jumlah unit apartemennya ada belasan bahkan puluhan lantai pada masing-masing menara (tower), artinya bisa mencapai ribuan penghuni, maka bukankan semestinya iuran bulanan tidak sampai setinggi itu, sekalipun gedung apartemen memang butuh perawatan rutin. Itu bertentangan dengan ilmu ekonomi, semakin banyak artinya semakin dapat ditekan faktor “cost”. Bagaimana pandangan hukumnya?
Brief Answer: Jangankan untuk urusan pembetukan Perhimpunan
Penghuni / Pemilik Rumah Satuan Unit Susun, kepengurusan Ketua Rukun Tetangga
(RT) maupun Ketua Rukun Warga (RW) beserta segenap kelengkapannya, mulai dari
bendahara, sekretaris, keamanan dan sebagainya, kerap tidak transparan, karena
dijabat oleh kalangan internal mereka yang berkuasa serta orang-orang dari
lingkaran mereka sendiri. Semua lingkungan pemukiman, pastilah telah terbentuk
suatu kepengurusan pejabat Ketua RT maupun RW dan segenap kelengkapannya. Namun
pertanyaannya, apakah pengurus RT maupun RW tersebut benar-benar transparan dan
akunbtabel terhadap kepentingan warga atau justru menjadi “raja-raja kecil” di
wilayah pemukiman, dimana yang menjabat ialah “orang yang itu-itu saja” serta
tidak jelasnya pengelolaan iuran warga yang mereka kutip setiap bulannya,
selama bertahun-tahun bahkan puluhan tahun.
Sama halnya, setiap apartemen / rumah susun bisa
jadi telah terdapat “Perhimpunan Penghuni”, namun jadilah konsumen produk properti
yang “melek kenyataan”—dengan mempertanyakan, apakah “Perhimpunan Penghuninya”
adalah konkret, ataukah sekadar jargon atau nama (alias “Perhimpunan Penghuni
boneka”), yang mana proses pembentukan kepengurusan maupun pengelolaannya bisa
jadi meragukan dan patut dipertanyakan? Kenyataannya ialah banyak terjadi fakta
seperti demikian di lapangan, karena melibatkan sejumlah besar uang dari ribuan
pemilik / penghuni unit apartemen, sehingga kepentingannya bisa sangat
subjektif demi kepentingan pribadi segelintir pihak yang duduk dibangku
berkuasa pada “Perhimpunan Penghuni” (sekadar nama).
Mereka yang menguasai kursi kekuasaan pada
“Perhimpunan Penghuni boneka” ini, tidak akan membiarkan pundi-pundi sumber
kekayaannya—mengingat iuran di apartemen bisa tiga hingga sepuluh kali lipat
dari besaran iuran warga pemukiman perumahan, belum lagi jumlah penghuni
apartemen bisa mencapai lebih dari seribu unit, sehingga melibatkan sejumlah
besar uang yang setiap bulannya dikutip pengelola dengan mengatas-namakan
“Perhimpunan Penghuni”—diambil-alih oleh mereka yang benar-benar wakil dari
penghuni yang hendak mengurus dan mengelola apartemen milik para penghuni,
yakni sepenuhnya untuk kepentingan para penghuni.
Pada prinsipnya, baik itu di lingkungan pemukiman
“landed house” maupun “rumah susun”
(apartemen, rusunami, kondominium, pusat pertokoan yang berlantai lebih dari
satu, dsb, yang secara sertifikasi tunduk pada Undang-Undang tentang Rumah
Susun dan wujud hak atas tanahnya ialah Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Unit
Rumah Susun, SHMRS), bila memang dari sejak awal para pihak yang hendak
terlibat dalam kepengurusan ataupun kepengelolaan telah ternyata tidak memiliki
itikad baik untuk kepentingan dan kesejahteraan seluruh penghuni / warga, maka
pada muaranya tiada transparansi dan nihil akuntabilitas, sekalipun
kepengurusannya disaksikan dan disahkan oleh pemerintah daerah setempat.
Singkatnya, dari berbagai banyak fakta yang
jarang diketahui oleh masyarakat—mulai dari lebih dari separuh jumlah apartemen
di Jakarta telah ternyata berdiri diatas tanah “hak pengelolaan” milik
pemerintah daerah ataupun instansi pemerintahan, “Perhimpunan Penghuni boneka”,
hingga besaran iuran bulanan yang mencekik namun disaat bersamaan kualitas air
bersih tidak dapat disebut sebagai “bersih”, banyaknya kasus pembeli unit
apartemen yang telah belasan tahun menunggu telah ternyata masih belum juga
terbit sertifikat kepemilikan atas unit rumah susun (SHMRS), biaya hidup yang
lebih tinggi mengingat tidak diperbolehkan mencuci dan menjemur baju sendiri
serta adanya biaya tambahan untuk parkir kendaraan milik penghuni disamping
tiada jaminan keutuhan kendaraan meski lokasi dijaga petugas keamanan, tiadanya
jaminan privasi sebagai penghuni, penghuni akan senantiasa dikontrol oleh pihak
pengelola, yang pada pokoknya membuat pembeli / pemilik unit apartemen merasa
seolah “memiliki unit apartemen namun serasa seperti sedang mengontrak tempat
tinggal”.
Atas dasar berbagai pertimbangan sosio-empirik
tersebutlah, meski secara hukum pembentukan “Perhimpunan Penghuni” telah diatur
oleh Undang-Undang Rumah Susun maupun oleh Pemerintah Daerah, secara priabdi penulis
tidak merekomendasikan masyarakat untuk membeli dan memiliki unit satuan rumah
susun, sekalipun iming-iming tawarannya ialah dekat dengan pusat perbelanjaan,
dekat pusat perkantoran, lokasinya berada di jantung kota, harga yang murah,
dan sebagainya—kecuali, dasar pertimbangan Anda untuk membeli unit apartemen
ialah memang faktor lokasi yang strategis di pusat kota serta faktor biaya /
pengeluaran selama tercatat sebagai pemilik unit apartemen bukanlah menjadi
masalah bagi Anda.
PEMBAHASAN:
Penulis bahkan mempertanyakan,
apakah betul Negara Indonesia merupakan negeri yang demokratis, alias
bersemangatkan pada semboyan : dari rakyat dan untuk rakyat? Kita dapat melihat
dan mengamati dalam lingkup yang paling mikro, yakni kepengurusan RT dan RW
maupun kepengurusan dan pengelolaan rumah rusun, tidak pernah ada bentuk
pertanggung-jawaban pihak pengurus / pengelola dari segi keuangan, penghimpunan
iuran warga, pendapatan dari uang sewa para penyewa kios di atas kawasan
pemukiman yang dikuasai pengurus, maupun rincian alokasi pengeluaran, kepada
warga / penghuni terlebih secara terbuka dan transparan menyediakan laporan
keuangan untuk diaudit akuntabilitasnya oleh warga / penghuni selaku “stakeholders”. Dengan demikian, terkesan
kepengurusan bukanlah “dari dan untuk warga / penghuni” sebagaimana asas
demokratisasi dalam lingkup makro maupun mikro.
Bila tirai selubung “tidak
kasat mata” setebal tembok tebal dapat kita jumpai dalam praktik kepengurusan
lingkup mikro yang paling sederhana seperti Ketua RT dan RW pada pemukiman “landed house”, maka terlebih
kompleksitas dan tebal-berlapisnya selubung kepengurusan suatu rumah susun,
yang dapat dipastikan akan setebal tembok birokrasi, birokrasi mana bisa jadi
hanya sekadar menamakan diri sebagai “Perhimpunan Penghuni”, namun sejatinya
jabatan-jabatan kepengurusan maupun kepengelolaan dikuasai oleh segelintir
penguasa untuk kepentingan pribadi internal mereka, dimana penghuni akan
diperlakukan seperti “sapi perahan”, diperas / dieksploitasi dengan segala
jenis iuran bulanan, tagihan, dan lain sebagainya.
Jangan pernah berharap ada sebentuk
kejujuran ataupun transparansi dibalik proses pembentukan “Perhimpunan Penghuni”
maupun anggaran dari iuran penghuni yang dikelola untuk kepentingan segenap
penghuni. Jangan pula pernah berasumsi bahwa, bila ternyata sebagai pembeli
unit apartemen, setelah membeli, dikemudian hari baru mengetahui fakta adanya
“Perhimpunan Penghuni boneka” dan mulai menyesali telah membeli, maka cukup
menjual unit apartemen yang dibeli kepada orang lain. Untuk itu perlu dipahami
bahwa menjual kembali unit apartemen, bukanlah perkara mudah, sekalipun dibuka
dengan harga jual yang tergolong rendah, peminatnya tidak sederas masyarakat
yang lebih berminat pada rumah tapak “landed
haouse”. Singkatnya, lebih baik mencari dengan upaya terbaik, rumah tapak
di pinggiran kota, daripada memaksakan diri membeli dan menghuni unit apartemen
di dalam kota.
Memang betul telah terbit Peraturan
Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 15/PERMEN/M/2007 tentang Tata Laksana
Pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Sederhana Milik, yang mengatur mengenai
pembentukan organisasi perhimpunan penghuni rusunami atau yang disebut sebagai
Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS). Namun banyak diantara berbagai
regulasi yang ada di Indonesia hanya bermuara dan bernasib sebagai formalitas
belaka. Bahkan, tidak jarang terjadi aksi saling tuding sebagai “Perhimpunan
Penghuni ilegal”. Terkadang perlu aksi sengit bagi para penghuni untuk
mengambil-alih kursi pengurus apartemen yang selama ini dbentuk secara tidak
demokratis, dimana aksi gugat-menggugat pun tidak menjamin akan membuahkan
hasil manis.
Salah satu cerminan konkretnya
dapat diilustrasikan oleh SHIETRA & PARTNERS sebagaimana putusan Mahkamah
Agung RI sengketa pembentukan “Perhimpunan Penghuni”, register Nomor Nomor 79
K/TUN/2015 tanggal 30 Maret 2015, perkara antara:
- SATYA DHARMA, pemilik salah
satu unit apartemen, sebagai Penggugat; melawan
I. GUBERNUR PROVINSI DAERAH
KHUSUS IBUKOTA Jakarta; II. JANNES PAKPAHAN, SIE STEVEN, LIM MEI HWA, dan LINA
YULIANTI, selaku Tergugat dan Tergugat Intervensi.
Yang menjadi objek sengketa
ialah penerbitan Keputusan Pengesahan Badan Hukum Dewan Pengurus Apartemen City
Park oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta, yang dinilai baik secara langsung
maupun tidak langsung telah merugikan hak dan kepentingan Penggugat sebagai salah
satu pemilik dan penghuni unit pada Rusunami City Park. Adapun versi dalil Para
Tergugat, Perhimpunan Penghuni Apartemen City Park yang dipermasalahkan oleh
Penggugat, didirikan dalam rangka mengakomodir kepentingan seluruh pemilik dan
atau penghuni City Park, termasuk didalamnya Penggugat sebagai salah satu
pemilik dan atau penghuni Rusunami City Park, kecuali jika Penggugat merupakan
salah seorang yang menikmati keuntungan pribadi dari “pengelola sementara” yang
tidak sah yang ditunjuk Pelaku Pembangunan.
Adapun dalil versi Penggugat,
pada pertengahan Juni 2012 Penggugat mengetahui info akan adanya kegiatan
persiapan pembentukan PPRS pada tanggal 26 Juni 2012, bertempat di aula Tower
F. Penggugat terkejut mendengar hal tersebut, dikarenakan penyelenggara dalam
rapat tersebut adalah sekelompok orang (“Kelompok Ilegal”) yang bukan dibentuk
berdasarkan aspirasi warga City Park sebagaimana Perwakilan Tower yang telah
ada. Koordinator Tower mempunyai peran dan fungsi sebagai perwakilan dari penghuni
yang terkait dengan Pengelolaan dan Penghunian City Park khususnya pada tower
yang bersangkutan serta bertugas sebagai jembatan informasi dan komunikasi
antara penghuni dengan pengelola dan PPRS nantinya. Namun untuk permulaan,
tugas penting dari Koordinator Tower adalah untuk membentuk Panitia Musyawarah
berdasarkan aspirasi dari seluruh warga.
Penggugat kembali dikejutkan
dengan adanya undangan perihal Pengumuman Pelaksanaan Musyawarah Warga untuk proses
pembentukan PPPSRS yang akan diselenggarakan pada tanggal 10 November 2012
dengan mengatasnamakan Panitia Musyawarah (“Musyawarah Ilegal I”). Diketahui
Panitia Musyawarah ini adalah bentukan dari “kelompok Ilegal”, bukan kelompok
bentukan aspirasi mayoritas warga melalui Perwakilan Tower. Rapat tersebut tidak
dapat menghasilkan apa-apa dikarenakan undangan yang hadir tidak memenuhi quorum, akhirnya rapat tersebut ditunda
maksimal 30 (tiga puluh) hari.
Panitia Musyawarah yang
dibentuk oleh “Kelompok Ilegal” tersebut bukanlah berasal dari aspirasi warga.
Pembentukan Panitia Musyawarah tersebut tidak melalui proses sebagaimana diamanatkan
oleh hasil rapat 2 Juli 2012. Pada tanggal 08 Desember 2012, diselenggarakanlah
musyawarah kedua oleh “Kelompok Ilegal”, ini sebagai kelanjutan dari musyawarah
pertama yang dilaksanakan sebelumnya pada tanggal 10 November 2012 (“Musyawarah
Ilegal II”). Musyawarah Ilegal II ini dihadiri juga oleh wakil dari Kementerian
Perumahan Rakyat. Musyawarah Ilegal II tersebut kemudian diketahui menghasilkan
beberapa keputusan, diantaranya mengesahkan Anggaran Dasar maupun Anggaran Rumah
Tangga serta memilih dan menetapkan Sdr. Jannes Pakpahan, SH. sebagai Ketua
Umum Dewan Pengurus Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun City
Park.
Adapun posisi Penggugat,
sebenarnya hadir dalam saat-saat awal rapat 08 Desember 2012. Dalam rapat
tersebut Penggugat menyampaikan keberatan-keberatannya terhadap pelaksanaan
rapat dimaksud, antara lain yaitu:
a) Tidak menghormati aspirasi
mayoritas warga yang ingin menyelenggarakan pemilihan PPPSRS secara demokratis;
b) Tidak pernah mengenal
sebelumnya dan tidak pernah melihat Bp.Jannes Pakpahan yang dijadikan calon
tunggal ketua Perhimpunan Penghuni, tinggal di Rusunami City Park;
c) Tidak menghormati proses yang
sedang berjalan di Rusunami City Park yaitu pembentukan Perwakilan Tower yang
merupakan cikal bakal PPPSRS;
d) Tidak pernah
disosialisasikan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga ke warga yang
dibacakan oleh Ketua Rapat, yang terkesan dipaksakan untuk disahkan dalam rapat
tersebut
Sekalipun begitu, keberatan-keberatan
yang Penggugat sampaikan tidak digubris ataupun diperhatikan, rapat terus
berjalan dengan agendanya sendiri. Bahkan wakil Pemerintah yang saat itu hadir,
memberikan intimidasi berupa ancaman keras yang tidak menyenangkan terhadap
Penggugat, yakni membelalakan mata
memandang kepada Penggugat (melotot) sambil mengatakan “jangan coba-coba untuk mengacau jalannya rapat ini”. Intimidasi
tersebut Penggugat tanggapan dengan menyatakan “Bapak, diam saja, bapak bukan warga City Park, sehingga tidak tahu
persis apa yg diingikan oleh warga sebenarnya, sedangkan saya adalah warga
murni City Park dan saya adalah Perwakilan Tower G yang dipilih oleh Warga
Tower G.”
Akibat intimidasi tersebut
serta karena keberatan dan aspirasinya tidak diakomodasi dalam rapat, maka
Penggugat bersama sebagian besar peserta rapat memilih melakukan tindakan walk out sebagai bentuk protes dan
penolakan terhadap Rapat Musyawarah Ilegal tersebut. Adapun peserta rapat yang
bersama Penggugat saat itu melakukan aksi walk
out adalah sebanyak kurang-lebih 50 (lima puluh) orang dari 88 peserta
rapat yang hadir melakukan aksi penolakan dan juga melakukan walk out. Seharusnya dengan demikian,
rapat tersebut tidak dapat dilanjutkan lagi, karena kuorum rapat untuk
mengambil keputusan tidak lagi mencukupi.
Dari 88 (delapan puluh delapan)
orang yang hadir sebagai peserta rapat yang memiliki hak suara, lebih dari 60%
nya telah meninggalkan ruang rapat. Namun ternyata penyelenggara tetap memaksakan
diri melanjutkan rapat dan mengambil keputusan, sekalipun jelas-jelas
mendapatkan penolakan sebagian besar warga. Pada tanggal 08 April 2013,
ditetapkan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 527 Tahun 2013 tentang
Pengesahan Akta Pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun
Umum City Park. Penggugat merupakan Pemilik dan/atau Penghuni salah satu unit
pada Rusunami City Park, merasa Tergugat telah melanggar dan merugikan hak-haknya
sebagai Pemilik dan/atau Penghuni.
Tergugat mengesahkan Dokumen
Pembentukan yang cacat hukum, hasil dari persiapan dan pembentukan PPRS yang
ilegal dan cacat hukum. Dimana persiapan dan pembentukan PPRS tersebut
diselenggarakan oleh Kelompok Ilegal dan hanya dihadiri sekelompok kecil warga
saja, sehingga Penggugat merasa dicurangi, dibodohi, dan dirugikan atas
tindakan tersebut diatas. Sebelumnya, Penggugat dan Warga City Park lainnya
telah menunjuk dan mengamanati Perwakilan Tower untuk membentuk Panitia
Musyawarah yang kemudian mempersiapkan Pembentukan AD/ART dan PPRS. Namun
tiba-tiba muncul “Kelompok Ilegal” yang sebenarnya hanya mewakili kelompok
kecil saja. Hal ini tentunya merugikan warga City Park secara keseluruhan dan
merugikan Penggugat khususnya.
Dengan disahkannya pembentukan
PPRS melalui Surat Keputusan Gubernur, Penggugat merasa dirugikan dan/atau
berpotensi menimbulkan kerugian, diantaranya sebagai berikut :
a. Penggugat telah dilanggar
hak suara dan hak pilihnya sebagai Pemilik dan/atau Penghuni City Park, mengingat
Tergugat telah mengesahkan Pembentukan yang sebenarnya melanggar hukum, dimana
isi dokumen tersebut juga bukanlah merupakan aspirasi mayoritas warga City
Park, khususnya Penggugat;
b. Aspirasi mayoritas warga
yang telah menunjuk Perwakilan Tower untuk kemudian membentuk secara demokratis
panitia Musyawarah yang nantinya mengemban amanat untuk menyelenggarakan rapat
Musyawarah guna pembentukan AD/ART dan PPRS, seolah tidak diakui keberadaannya
secara hukum;
c. Proses persiapan dan
pembentukan “Perhimpunan Penghuni” dilakukan secara tidak prosedural dan telah
banyak melanggar peraturan-peraturan yang ada dan berlaku;
d. Dipilihnya Sdr. Jannes
Pakpahan, SH., yang terbukti bukanlah pemilik dan/atau penghuni Rusunami City
Park sebagai Ketua Dewan Pengurus PPPSRS City Park adalah pelanggaran terhadap
hukum yang berlaku dan melanggar hak-hak pemilik dan/atau penghuni Rusunami
City Park lainnya;
e. Pengesahan oleh Tergugat
telah membawa keresahan dan ketidak-tentraman warga di Rusunami City Park.
Warga merasa diperdaya, dikelabui dan dirampas hak-haknya;
f. “Perhimpunan Penghuni” yang
terbentuk nantinya dapat menunjuk atau membentuk Badan Pengelola untuk
melakukan pengelolaan Rusunami City Park, hal tersebut membuat kekhawatiran kepastian
nasib penghuni untuk jangka panjang dan ketidak-percayaan mayoritas Warga
Rusunami City Park.
Dikhawatirkan nantinya sebagai
buntut, Badan Pengelola yang baru memiliki kepentingan tersendiri dan tidak
sesuai dengan keinginan / aspirasi Warga Rusunami City Park. Hal demikian tentunya
dapat mengakibatkan kerugian bagi Warga Rusunami City Park. Adapun amanat
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor PERMENPERA
15/PERMEN/M/2007 mengenai aturan kuorum musyawarah sebagaimana termuat dalam
Pasal 12, apabila jumlah peserta yang tidak hadir dalam musyawarah tidak
memenuhi kuorum dikarenakan ketidak-pedulian. Namun dalam perkara ini, peserta
musyawarah tidak hadir bukan karena tidak peduli terhadap pembentukan “Perhimpunan
Penghuni”, melainkan menolak musyawarah yang diselenggarakan oleh “Kelompok
Ilegal”.
Penolakan tersebut dengan dapat
dilihat dari beberapa surat yang dibuat oleh warga City Park maupun keberatan
dengan cara berdemo ataupun walk out-nya
sekitar 50 (lima puluh) orang pada saat musyawarah II sedang berlangsung. Seharusnya
dengan demikian rapat tersebut tidak dapat dilanjutkan lagi, karena kuorum
rapat untuk mengambil keputusan tidak lagi mencukupi. Dari 88 (delapan puluh
delapan) orang yang hadir sebagai peserta rapat yang memiliki hak suara, lebih
dari 60% nya telah meninggalkan ruang rapat. Namun ternyata penyelenggara tetap
memaksakan diri melanjutkan rapat dan mengambil keputusan walaupun sudah
jelas-jelas mendapatkan penolakan sebagian besar warga.
Yang janggal adalah tidak
dimuatnya keterangan mengenai walk out-nya
sekitar 50 orang tersebut dalam “Berita Acara Musyawarah Anggota Perhimpunan
Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) City Park tanggal 8 Desember
2012” yang kemudian di Warmerken (Penandaan) di Notaris. Padahal mengenai
kejadian mati lampu malah disebut dan dipaparkan dengan panjang lebar. Mengapa kejadian
walk out yang penting malah tidak
disebut / dihilangkan dari berita acara. Walaupun tidak dimuat namun bukan
berarti Tergugat tidak mengetahui akan hal ini. Karena di dalam rapat tersebut
Tergugat (Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta,
serta Kementrian Perumahan Rakyat RI) datang dan menyaksikan kejadian walk out tersebut.
Namun mengapa hal tersebut
tidak dimuat? Apakah untuk mengaburkan fakta? Untuk menghilangkan hambatan pengesahan?
Apakah ada oknum-oknum yang bermain disini? Seharusnya, dengan kejadian walk out tersebut Tergugat perlu
mempertimbangkan ulang untuk memberikan pengesahan. Apakah benar aspirasi warga
telah tersalurkan dan terlindungi? Seharusnya Tergugat tidak terkesan tergesa-gesa
membuat keputusan pengesahan, dan secara arif terlebih dahulu melakukan mediasi
diantara warga. Jangan sampai seperti sekarang ini, akibat dipaksakannya
menerbitkan keputusan pengesahan, sebagian besar warga merasa aspirasinya tidak
dilindungi secara hukum dan muncul keresahan di antara penghuni.
Terhadap gugatan demikian,
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta kemudian mengambil putusan sebagaimana
register Nomor 92/G/2013/PTUN.JKT tanggal 5 Desember 2013, dengan amar sebagai
berikut:
“MENGADILI :
Dalam Penangguhan :
1. Mengabulkan Permohonan Penangguhan Pelaksanaan Keputusan Objek Sengketa
tersebut;
2. Memerintahkan kepada Tergugat untuk menunda pelaksanaan Keputusan Gubernur
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor : 527 Tahun 2013 Tentang
Pengesahan Akta Pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun
Umum City Park, Kota Administrasi Jakarta Barat. Ditetapkan di Jakarta, 08 April
2013;
Dalam Eksepsi :
- Menolak Eksepsi Tergugat II Intervensi;
Dalam Pokok Perkara :
1. Mengabulkan Gugatan Penggugat seluruhnya;
2. Menyatakan batal Surat Keputusan Tata Usaha Negara berupa Keputusan Gubernur
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor : 527 Tahun 2013 Tentang
Pengesahan Akta Pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun
Umum City Park, Kota Administrasi Jakarta Barat. Ditetapkan di Jakarta, 08
April 2013;
3. Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Gubernur Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Nomor : 527 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Akta
Pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun Umum City Park,
Kota Administrasi Jakarta Barat. Ditetapkan di Jakarta, 08 April 2013.”
Dalam tingkat banding, atas
permohonan Tergugat, putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta di atas
selanjutnya telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Jakarta sebagaimana putusan Nomor 50/B/2014/PT.TUN.JKT, tanggal 15 Juli 2014, dengan
amar sebagai berikut:
- Menerima permohonan banding dari Tergugat /Pembanding dan Tergugat II Intervensi
/ Pembanding;
- Membatalkan Putusan pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 92/G/2013/PTUN.JKT,
tanggal 5 Desember 2013 yang dimohonkan banding, dan dengan:
“MENGADILI SENDIRI:
1. Menyatakan gugatan Penggugat / Terbanding tidak dapat diterima;
2. Mencabut Penetapan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Gubernur Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 527 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Akta
Pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satua Rumah Susun Umum City Park.
Kota Administrasi Jakarta Barat, ditetapkan di Jakarta 08 April 2013 dan
menyatakan tidak memiliki kekuatan hukum lagi.”
Penggugat mengajukan upaya
hukum kasasi, dengan argumentasi bahwa “Perhimpunan Penghuni” berwenang untuk
menunjuk atau membentuk badan pengelola baru. Dikarenakan mayoritas warga Rusunami
City Park mengetahui dan memahami pengesahan pembentukan “Perhimpunan Penghuni”
tersebut berdasarkan Surat Keputusan (obyek gugatan) yang cacat hukum oleh karenanya
mayoritas warga City Park secara terang-terangan dan tegas menolak. Ketika “Perhimpunan
Penghuni” yang cacat hukum tersebut berusaha mengambil-alih paksa pengelolaan
menggunakan sekelompok orang hitam, terjadi penolakan keras dari mayoritas
warga Rusunami City Park yang kemudian terjadi kerusuhan yang bersifat anarkis.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan secara
sumir saja, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan tersebut
tidak dapat dibenarkan, oleh karena Putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara Jakarta sudah benar dan tidak terdapat kesalahan dalam penerapan
hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa Penerbitan Objek
Sengketa didasarkan kepada Berita Acara musyawarah anggota para Perhimpunan
Perwakilan dari Penghuni Rusun (PPPSRS) City Park No. 1090/W/N/XII/2012 tanggal
27 Desember 2012, bahwa perkara ini inti masalahanya pada keabsahan Berita
Acara Musyawarah Tersebut; [Note SHIETRA & PARTNERS : Dengan
demikian, Mahkamah Agung RI berpendirian bahwa perkara ini menjadi domain
absolut Pengadilan Negeri, bukan PTUN, mengingat akar masalahnya ialah perihal “berita
acara musyawarah” yang dinilai oleh Penggugat sebagai tidak akuntabel disamping
tidak transparan.]
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan tersebut di atas, ternyata putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara Jakarta dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum
dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan Pemohon Kasasi:
SATYA DHARMA, tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: SATYA DHARMA tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.