KORBAN apakah Saksi ataukah Sekadar Pelapor dalam Hukum
Acara Pidana?
Kerancuan Kategorisasi Alat Bukti dalam Hukum Acara Pidana maupun Perdata di Indonesia
Dalam hukum acara perdata, keterangan pihak-pihak yang didudukkan sebagai Tergugat dalam Surat Gugatan yang disusun oleh pihak Penggugat, bukanlah dikategorikan sebagai alat bukti—yang terdiri dari pengakuan, surat, sumpah, persangkaan, maupun saksi—namun sekadar sebatas sebagai dalil-dalil dalam Surat Jawaban. Adapun perihal alat bukti “pengakuan” dalam hukum acara perdata, masih bersifat ambigu alias berstandar-ganda. Jawaban masing-masing pihak Tergugat maupun Turut Tergugat dalam Surat Jawaban yang menguntungkan posisi hukum pihak Tergugat, dipandang sebagai “dalil”. Sementara itu, jawaban pihak Tergugat yang merugikan kepentingan hukum pihak Tergugat itu sendiri, baik disengaja maupun tidak disengaja oleh pihak Tergugat, akan dikategorikan sebagai “pengakuan” dan itu menjadi alat bukti tertinggi derajat bobotnya yang dikenal dalam Hukum Acara Perdata kita di Indonesia.
Karena itulah, untuk menyikapi
potensi didudukkannya pihak-pihak yang potensial menjadi saksi dari pihak
Tergugat, maka pihak Penggugat dapat mengantisipasinya dengan strategi yakni
sedari sejak awal menarik (menyeret nama) pihak bersangkutan untuk menjadi
salah satu dari pihak Para Tergugat, atau setidaknya sebagai pihak Turut
Tergugat. Konsekuensinya ialah, mereka yang berpotensi duduk di kursi saksi—untuk
tujuan disumpah untuk diambil keterangan maupun kesaksiannya bagi kepentingan pihak
Tergugat—berakhir dengan status sebagai salah satu Tergugat maupun Turut
Tergugat, dimana segala jawabannya dalam Surat Jawaban akan dikategorikan sebagai
dalil-dalil bantahan semata dan belaka. Saksi, konotasinya ialah mereka yang
bersifat netral dan objektif, baik dari segi keterangan disamping juga bebas
dari keberpihakan. Singkatnya, seorang saksi disebut sebagai “saksi”, karena mereka
dituntut untuk bebas kepentingan.
Apapun itu, dalam konteks hukum
acara perdata, keterangan seorang Penggugat maupun jawaban dari pihak Tergugat,
bukanlah serta tidak dapat dikategorikan atau dikualifikasikan sebagai seorang “saksi”—mengingat
baik pihak Penggugat maupun pihak Tergugat, sama-sama dipandang sebagai penuh
kepentingan masing-masing—akan tetapi “Penggugat adalah Penggugat” dimana juga “Tergugat
adalah Tergugat” posisinya di mata hukum (maupun hakim di pengadilan), tidak
lebih dan tidak kurang. Namun kerancuan akan kita dapati dalam sistem
pembuktian di perkara pidana, pada ruang persidangan yang sama serta tidak
jarang oleh hakim yang sama. Betapa tidak, apakah ada di antara para pembaca
yang selama ini menjadi pemerhati praktik berhukum di Tanah Air, pihak Korban
yang notabene menjadi “Korban Pelapor” dalam kasus “delik aduan” “maupun Korban”
dalam “delik umum”, justru diberi emblem istilah sebagai “SAKSI Korban”?
Sebenarnya apakah yang tengah
dan selama ini terjadi, sehingga Korban Pelapor justru dikategorikan sebagai “SAKSI
Korban”, alih-alih diberikan labal sekadar sebagai “Korban Pelapor”? Akar
penyebabnya, hal tersebut terjadi akibat dipaksakannya kategorisasi alat bukti
yang dikenal dan dikuasi oleh tataran norma hukum acara pidana maupun praktik di
persidamgam perkara pidana—yakni terdiri dari keterangan saksi, keterangan
ahli, surat, petunjuk, dan keterangan Terdakwa, disamping jenis alat bukti keenam
berupa data digital berdasarkan UU ITE—dimana sejatinya Korban tidak termasuk
diantaranya. Namun, yang terjadi kemudian, ialah sama seperti salah-kaprahnya
istilah “saksi ahli”, Korban dipaksa masuk ke dalam kategori alat bukti “saksi”,
sehingga menjadi “SAKSI Korban”. Berbagai kerancuan pun, muncul sejak saat itu
dalam tataran praktik menjelma blunder, kerancuan mana justru seolah dilestarikan
hingga saat kini.
Kerancuan pertama kategorisasi “alat
bukti” dalam Hukum Acara Pidana, “keterangan Terdakwa” diposisikan sebagai “alat
bukti”. Hal ini bertolak-belakang dengan perkara perdata, segala jenis jawaban
pihak Tergugat, akan diposisikan berstatus sebagai “dalil” belaka dan semata,
alias bukan “alat bukti”—dalil mana masih harus dibuktikan, meski untuk itu cukup
secara formal sifat pembuktiannya. Kerancuan kedua, terjadi praktik yang kurang
berimbang, bila pihak Korban tidak diberikan hak untuk diperdengarkan
keterangannya di persidangan, sebagaimana “alat bukti” berupa “keterangan
Terdakwa”. Idealnya, norma Hukum Acara Pidana mengenal “alat bukti” lainnya, yakni
kategorisasi “keterangan KORBAN / PELAPOR”, alih-alih dipaksakan memakai istilah
“SAKSI Korban”, dengan maksud untuk mengalih-wujudkan keterangan Korban alias
pihak Pelapor, menjadi sebagai sekaliber bobot keterangan / kesaksian seorang “SAKSI”.
Dalam perkara perdata, segala
bentuk klaim dalam Surat Gugatan, akan dimaknai sebagai “dalil” belaka nilainya,
tidak berbobot sebelum dapat dibuktikan—alias bukan “alat bukti”—sehingga masih
perlu dibuktikan dalam agenda acara pembuktian. Mengapa? Jawabannya ialah jelas
bahwa ada sarat kepentingan dibalik segala klaim-klaim pihak Penggugat dalam gugatannya.
Sama halnya, segala keterangan Korban / Pelapor, adalah bersifat tidak bebas
nilai, namun akan sarat kepentingan pribadinya, dalam hal ini untuk tujuan
mempidanakan pihak Terlapor, yakni Terdakwa di persidangan. Kerancuan berupa
pemaksaan kriteria kedalam peng-kotak-kotak-an “alat bukti”, juga terjadi dalam
perkara perdata.
Cobalah perhatikan kembali lima
jenis “alat bukti” yang dikenal dalam Hukum Acara Perdata, tidak dikenal “Ahli”
sebagaimana dalam Hukum Acara Pidana. Akibatnya, secara cukup menggelikan—karena
terkesan dipaksakan—muncul istilah “SAKSI Ahli” dalam agenda persidangan kesaksian
dalam perkara perdata, dimana sejatinya antara “SAKSI” dan “Ahli” merupakan “dua
buah alat bukti” yang masing-masing independen dan terpisah (alias saling berdiri
sendiri) dalam perkara pidana. Tidak jarang, pihak penyidik dari Kepolisian
saat membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terhadap Ahli, maupun hakim
pemeriksa dan pemutus perkara di persidangan saat dihadapkan Ahli untuk
didengarkan keterangannya, membawa-bawa istilah “SAKSI Ahli” yang selama ini
hanya dikenal dalam praktik perkara perdata.
Secara falsafah, pihak KORBAN /
PELAPOR, tidaklah sepatutnya disumpah saat akan diambil keterangannya di
persidangan perkara pidana. Mengapa dan atas dasar alasan apakah? Jawabannya ialah
semata karena adanya kepentingan pribadi pihak KORBAN / PELAPOR, yakni dalam
rangka untuk mem-pidana-kan pihak TERDAKWA. Karenanya, ada kepentingan yang
saling tarik-menarik antara KORBAN PELAPOR Vs. TERDAKWA. Bila “alat bukti”
berupa “keterangan Terdakwa” tidak perlu di sumpah saat diperdengarkan ke
hadapan persidangan, karenanya seorang Terdakwa dibuka ruang untuk “berbohong”—ancaman
hukumannya hanya berupa diperberat hukumannya dengan pertimbangan “berbelit-belit”—akan
tetapi tidak halnya bagi “keterangan SAKSI” yang dapat dijerat pidana ketika
didapati memberikan keterangan palsu dibawah sumpah, karenanya tidak boleh
berdusta ataupun merekayasa keterangan, maka pertanyaan utamanya ialah : apakah
boleh, KORBAN / PELAPOR berbohong di persidangan?
Jawaban atas pertanyaan “apakah
boleh, KORBAN PELAPOR berbohong saat memberikan keterangan di persidangan perkara
pidana?”, bisa sangat dilematis. Jika jawabannya ialah “tidak boleh berbohong”,
maka timbul / lahir pertanyaan problematik baru, yakni : mengapa Majelis Hakim pemeriksa
dan pemutus perkara bisa dan bebas mengesampingkan keterangan KORBAN PELAPOR
yang pastinya memberatkan posisi hukum Terdakwa, dengan memilih untuk mempertimbangkan
keterangan-keterangan “SAKSI” lainnya yang meringankan / menguntungkan Terdakwa?
Jawaban yang tersisa ialah, boleh berbohong. Jika seorang KORBAN PELAPOR boleh
berbohong di persidangan, maka pertanyaannya ialah : bukankah yang bersangkutan
telah disumpah sesaat sebelum diambil keterangannya? Bukankah yang boleh berbohong
di persidangan perkara pidana, hanyalah menjadi hak istimewa pihak Terdakwa? Jika
demikian halnya, maka mengapa tidak sekalian saja menjadikan “keterangan
Terdakwa” sebagai “SAKSI”, yakni “SAKSI Terdakwa / Terlapor”?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.