AGAMAIS Vs. RITUALIS Vs. ORANG BAIK, Pilih yang Mana?
Beribadah secara KERAS Vs. Beribadah secara CERDAS,
Anda yang Manakah?
Semua orang sanggup, mau, serta mampu saja menjadi seorang “pendosa penjilat penuh dosa”—meski, hanya sebagian kecil diantara mereka yang memilih untuk “melawan arus”, yakni memasuki disiplin ketat dan praktik mawas diri bernama “self-control”. Namun, tidak semua orang mampu dan punya kemauan untuk menjadi orang baik, hidup higienis dari dosa, inderawi terkontrol, memurnikan pikiran, jiwa yang bersih, terlebih menjalani jalan hidup suci yang sunyi karena sepi peminat. Walau demikian, senyatanya mayoritas masyarakat kita masih meng-kultus-kan gaya hidup ritualis yang notabene hanya berupa seremonial—sembah-sujud, melantunkan nyanyian maupun paduan suara berisi sanjungan, puja-puji, berdoa sebelum makan, ritual beberapa kali dalam sehari, dan lain sebagainya. Kesemua itu merupakan kesibukan yang miskin esensi, menyerupai orang-orang yang “kerja keras” namun hasilnya nihil, mengingat mereka tidak memilih untuk “kerja cerdas”. Bila seorang presiden selaku kepala negara, memilih untuk dikelilingi oleh “Kabinet Kerja” alih-alih “Kabinet Penjilat”, terlebih Tuhan?
Beribadahlah secara “cerdas”,
karena itulah otak diciptakan bagi umat manusia, sebagai “anugerah” terbesar,
bukan untuk dicampakkan seolah-olah sebagai “sampah” ataupun dibiarkan menjadi
“rongsok-karatan” sebelum kemudian digadaikan demi iman setebal tembok beton
yang tidak tembus oleh cahaya manapun. Ilustrasi-ilustrasi sederhana berikut
akan cukup menggambarkan fenomena sosial-ritualis masyarakat kita di Indonesia
pada khususnya. Pernah suatu waktu, penulis makan satu meja dengan orang-orang
berlatar-belakang Kristiani. Sewaktu akan memulai makan, para Kristiani ini
“sok sibuk”, berupa praktik ritual “doa sebelum makan”, adapun penulis langsung
saja mengambil makanan dan menyantapnya tanpa perlu basa-basi ataupun merasa
sungkan. Menurut para pembaca, siapakah diantara kami yang paling “agamais”?
Jiwa Anda akan “remuk” membaca jawaban di bawah ini, karena memang Buddhisme
berlawanan arah dengan arus “mainstream”,
lain daripada yang lain.
Mereka, para umat Kristiani, terlampau
pemalas untuk menanam benih-benih Karma Baik untuk mereka petik sendiri di masa
mendatang ketika berbuah dan ranum untuk dipetik buah manisnya. Jika ingin
berterimakasih, penulis berterimakasih pada diri penulis sendiri, karena diri
penulis di masa lampau “tidak egois terhadap diri sendiri”, sehingga melakukan
“investasi” berupa menanam saham-saham atau deposito Karma berupa “benih-benih
Karma Baik” dan menunggu hingga berbuah lebat dengan manisnya untuk penulis
petik sendiri. Berangkat dari “mindset”
(pola berpikir) itu pula, penulis akan berwelas-asih kepada diri penulis dimasa
yang akan datang, dengan cara menanam sebanyak dan serajin mungkin benih-benih
Karma Baik yang baru, dengan cara menyingsingkan lengan baju dan merepotkan
diri mencerburkan kaki ke “sawah”, tentunya, bukan sekadar “lip service—asalkan Bos senang”.
Serupa dengan petani yang rajin
dan cerdas, ketika panen tiba, tidak semua gabah hasil panen akan ia masukkan
ke lumbung dan dijual ataupun dikonsumsi. Sebagian hasil panen akan
dibudidayakan dengan dijadikan benih-benih untuk ditanam kembali, agar dapat
dipanen di masa yang akan datang. Seorang petani, notabene adalah seorang
“arsitek kehidupan”, mereka menata dan merancang nasib hidup dan masa depan
mereka sendiri, yakni dengan cara menyisihkan apa yang dipanen dengan dijadikan
benih untuk ditanam kembali. Sustainable,
alias keberlanjutan. Dalam banyak sutta, Sang Buddha kerap mengingatkan
para siswa-Nya agar rajin-rajin menabung “Karma Baik” demi masa depan yang
lebih baik.
Kembali pada urusan kesibukan
para pelaku ritualis di meja makan diatas, disaat bersamaan mereka begitu
pengecutnya, memvonis umat manusia sebagai pendosa, karenanya tidak merasa
perlu untuk menjadi orang baik-baik, terkendali pikiran maupun perbuatannya,
terlebih menjadi suciwan, merasa bebas berbuat dosa—seperti menyakiti,
merugikan, atupun melukai orang lain—akan tetapi disaat bersamaan merasa terjamin
masuk surga setelah ajal menjemput mereka, semata karena selama ini mereka
menjadi pelanggan tetap (pecandu) ideologi korup bernama “penebusan dosa”. Ini
sangat menyerupai seseorang yang “minta maaf” terlebih dahulu, barulah kemudian
melakukan kejahatan, bukan sebaliknya, sehingga unsur niat batinnya selalu
berupa kesengajaan, lebih tepatnya kesengajaan atau dilandasi rasa senang untuk
berbuat jahat / buruk.
Hukum Karma berkata sebaliknya,
kita sebagai umat manusia, harus belajar untuk bertanggung-jawab atas
perbuatan kita sendiri. Karena itulah, bertanggung-jawab terhadap
orang-orang yang telah pernah kita sakiti, lukai, ataupun rugikan, bukanlah
semata demi kepentingan dan kebaikan kalangan yang menjadi korban, namun demi
atau dalam rangka “tidak egois terhadap diri kita sendiri”—mengingat, kita
tidak dapat benar-benar mencurangi kehidupan. Lari dari tanggung jawab,
atau bahkan “cuci tangan”, maka cepat atau lambat kesemua aksi berkelit itu
akan menjadi bumerang yang menghantam diri kita sendiri; dimana kita
berkerabat, berhubungan, mewarisi, serta terlahir dari perbuatan kita sendiri,
baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk, perbuatan besar maupun perbuatan
kecil. Perbuatan yang masih kita ingat maupun yang kita lupakan. Perbuatan yang
kita akui maupun yang kita pungkiri.
Dalam berbagai kesempatan di
tempat-tempat terpisah, penulis menyimak perbincangan antar dua orang Kristiani
yang diucapkan di tempat umum, dimana pola komentar mereka seragam
mengenai watak orang-orang Buddhist, yakni : “Orang-orang yang beragama Buddha itu BAIK sih orangnya, tapi karena
tidak percaya pada Kristus maka (mereka) masuk neraka.” Apakah penulis akan
menanggapinya dengan “potong leher”, “tumpahkan darah”, ataupun model
“menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan fisik”? Misi misionaris
Buddhisme bukanlah “pukulan tinju” juga bukan “ancaman dibawah sebilah pedang
terhunus”, karena faktanya memang Sang Buddha tidak butuh umat, bahkan
ketika pertama-kalinya Pangeran Siddhatta Gotama mencapai penerangan sempurna
di bawah naungan Pohon Bodhi—kini dapat banyak kita jumpai wujud Pohon Bodhi di
Jakarta—Sang Buddha enggan membabarkan Dhamma, umat manusia terlampau
melekat pada “kekotoran batin”, sehingga mengakibatkan seorang Makhluk Brahma
turun dari alam Brahma, memohon agar roda Dhamma diputar bagi kebaikan umat
manusia, barulah Sang Buddha kemudian “turun gunung”.
Dhamma adalah permata, untuk
apa juga penulis mengobral murah “permata”, jika perlu penulis sembunyikan,
tidak seperti ulah para Kristiani yang menjaring umat bak MLM (multi level
marketing) bahkan terkesan penuh paksaan yang mengganggu (annoying, menyerupai spammer).
Anda yang beruntung bisa mengenal Dhamma; dimana jika tidak, maka itu artinya
Anda belum cukup beruntung di kehidupan masa kini. Itulah sebabnya, umat
Buddhist begitu pasif dalam menyebarkan ajaran Sang Buddha, tidak
“militan”, karena “ada atau tidaknya orang lain yang berminat masuk dan memeluk
Buddhisme, ajaran Sang Buddha tetap KEREN”. Kami adalah “umat Buddha”,
bukan “umat-nya umat”. Sekalipun di Indonesia ini, semua penduduknya keluar
dari Buddhisme, penulis akan bergeming seperti batu karang yang tidak bergerak
dari tempatnya meski dihempas ombak dan badai. Sekalipun seluruh penduduk di
Indonesia kembali memeluk Agama Buddha—agama para Nenek-Moyang Bangsa Nusantara
(abad ke-1- s.d. ke-15 Masehi)—penulis pun akan tetap bergeming, tidak kurang
dan tidak lebih.
Bila terdapat seseorang, yang
memandang sebongkah batu yang sejatinya ialah permata yang berharga dan
bernilai, sebagai batu kali yang tidak berharga, lalu mencampakkannya ke tanah,
maka akan penulis biarkan dirinya berpendapat demikian. Yang merugi adalah
siapa? Buddhisme ialah soal mengurusi dan mewaspadai pikiran dan perbuatan
diri sendiri (menempa diri dan disiplin diri), bukan sebagai ajang untuk
menghakimi, mengurusi, serta mempersekusi orang lain—itulah juga yang
membedakan antara “agama” (yang sejati) dan “ideologi”. Bila “agama” bersifat
sentripetal, dalam artian bergerak melihat ke dalam diri; maka “ideologi”
bersifat sentrifugal, dalam makna mengurusi (“to govern”) pihak-pihak lain diluar diri (berorientasi bergerak ke
eksternal diri).
Bila terdapat sesuatu berkedok
atau bermerek “agama”, namun senyatanya lebih sibuk mengurusi serta menghakimi
orang lain, maka hal tersebut sejatinya bukanlah “agama”, namun “ideologi”. DI
dunia ini telah terdapat beragam ideologi, mulai dari liberalisme, komun!sme,
fasisme, demokratisme, feodalisme, otorianisme, rasisme, premanisme, serta
terorisme, dan lain sebagainya. Ketika sebuah “ideologi” namun berkedok sebagai
“agama”, maka itulah yang kemudian dikenal sebagai “politisasi”, sungguh
membahayakan dan membawa ancaman dibaliknya yang patut kita waspadai, dimana
senyatanya sudah ada di depan mata kita, bahkan dibiarkan meraja-lela, menjadi
raja yang merajai negara maupun pengaruhnya terhadap budaya masyarakat setempat
hingga berskala makro, tanpa kita sadari bahwa kita telah terjajah oleh
hegemoni “ideologi yang dikemas sebagai agama”.
Kembali pada persoalan komentar
paling umum kalangan Kristiani terhadap umat Buddhist, sebagai tanggapannya
penulis hanya cukup membatin, “Oh, jadi
surganya para Kristiani isinya dipenuh-sesaki oleh para penjahat dan pendosa.
Oh, jadi yang disebut sebagai alam neraka oleh para Kristiani, ialah tepat
berlabuhnya para orang-orang baik? Jika pepatah menasehati kita, ‘don’t judge
the book by the cover’, maka kita pun perlu ‘don’t judge the realm by the
NAME”—seperti kata pujangga, apalah artinya sebuah nama? Rupanya, alam ‘surga’
di mata penulis, karena penulis lebih memilih alam setelah kematian berupa alam
tempat berkumpulnya orang-orang baik, merupakan atau disebut sebagai alam
‘neraka’ oleh para Kristiani. Sebaliknya, alam penuh penjahat, pendosa,
kriminal, penyamun, bangsatwan, maupun pelaku perbuatan-perbuatan buruk nan
tercela lainnya, di mata penulis menyerupai sebagai ‘neraka’, telah ternyata
diberi label merek sebagai ‘surga’ yang diidam-idamkan oleh para umat
Kristiani. Kalau begitu, jelas penulis memilih ‘neraka’-nya para Kristiani,
sebagai tempat berlabuh setelah fisik penulis lebur dengan tanah.”
Kini, kita beralih bahasan
kepada ritual kalangan umat Muslim, yang menurut pribadi penulis terlampau
ekstrem “norak” serta “narsis” cara mereka beribadah. Tanpa mau menyadari bahwa
bangsa Indonesia ialah plural serta majemuk—dimana mereka menikmati toleransi
yang diberikan oleh Kerajaan Majapahit serta masyarakat Buddhis di Nusantara
abad ke-15, kini setelah mereka menjadi kaum mayoritas, mereka hendak
memberangus toleransi yang dahulu mereka nikmati—kaum Muslim beribadah dengan
“memperkosa agama kaum NON” lewat speaker pengeras suara tempat ibadah mereka,
yang (jujur) bersahut-sahutan dengan gonggongan anjing, bahkan suara desibelnya
begitu tinggi, membahana lalu kemudian menggema keras hingga menyeruak masuk ke
dalam toilet dan lubang jamban di kediaman penulis.
Sang Buddha jelas akan melarang para siswa-Nya untuk meniru
praktik “norak” demikian, karena hanya akan melecehkan dan menista Dhamma.
Analoginya ialah orang marketing yang membagi-bagikan selebaran berisi iklan di
jalan-jalan umum, lalu bernasib lebih banyak mengisi tong sampah ataupun
berserakan di jalan, diinjak-injak oleh para pejalan kaki yang melintas, tidak
dihiraukan orang-orang, tidak dihargai, seperi itulah dengan bodohnya kaum
Muslim melecehkan agama mereka sendiri, diperlakukan selayaknya sebuah “sampah”,
bernasib lebih banyak masuk ke “tong sampah”, diabaikan serta ditertawakan
penduduk kaum “NON”. Kebodohan bukan untuk dipamerkan ataupun dipertontonkan,
terlebih mengumandangkan ajaran “penghapusan / pengampunan dosa”, itu kotor dan
memalukan, karena “hanya seorang sinner
yang butuh abolition of sins”.
Berkebalikan dengan itu, Sang Buddha akan berdiam bungkam seribu bahasa,
bila lawan bicara ternyata menutup telinganya rapat-rapat dari Dhamma. Agama
Buddha adalah “Agama SUCI” dan “Agama KSATRIA”, penuh tanggung-jawab atas
perbuatan sendiri—bukan menyerupai “Agama DOSA” yang (justru) mempromosikan
“penghapusan dosa”.
Mereka, kaum Muslim, memandang
diri mereka sebagai paling “agamais”, kaum yang paling superior. Senyatanya,
kesemua itu adalah delusi yang menjadi cerminan dangkal atau lemahnya IQ, EQ,
maupun SQ. Umat Buddhist juga mengenal puasa (uposatha), namun orang-orang di sekitarnya bisa jadi tidak tahu
bahwa sang Buddhist sedang berpuasa. Untuk apa juga pamer? Yang berpuasa adalah
siapa, mengapa juga orang lain yang menjadi direpotkan atau merasa
berkewajikan? Kembali lagi, “agama” sejati adalah soal “mengurusi urusan diri
kita sendiri”, bukan lebih sibuk “mengurusi urusan orang lain” (ideologi).
Sekadar gambaran, untuk setiap harinya penulis beribadah berupa baca parita
(waktu bebas, menyesuaikan dengan kondisi dan situasi, tidak norak “permisi, Anda tunggu dan duduk sebentar ya,
saya harus ibadah dulu”), meditasi (hening, tiada pihak lain yang
dirugikan, bahkan anjing pun tidak terganggu tidur dan istirahatnya), berbuat
baik (tanpa perlu pamer, dimana penulis berdana 10% dari penghasilan bulanan,
meski di depan kasir minimarket penulis begitu perhitungan perihal uang
kembalian sekian ratus perak Rupiah), yang mana jauh lebih dalam durasi dan
intensitas-kuantitas waktunya maupun kualitasnya daripada ibadah lima kali
sehari sebagaimana kaum Muslim. Sehingga, jelas penulis masih jauh lebih
“agamais” daripada Muslim mana pun yang kening-dahinya meng-“hitam”.
Lagi dan lagi, setiap kali
pemuka “agama” Muslim berceramah lewat pengeras suara eksternal, seruan
pemecah-belah (intoleransi) berbau atau bernuansa SARA (serta rasis) muncul dan
dibahanakan sebagaimana kampanye seorang Hitler : “Semua kafir MASUK NERAKA!”—sudah rahasia umum, dalam radius dua
ratus meter dari kediaman penulis, seluruh penduduk hampir setiap kali terjadi
ceramah lewat pengeras suara Masjid, mendengar dengan telinga-kepala sendiri
dan dapat menjadi saksi mata. Tafkiri, paham yang mengkafir-kafirkan, menurut
Arsyad Mbai, mantan Kepala Badan Penanggulangan Terorisme, merupakan cerminan
watak seorang yang berpotensi menjadi teroris. Kesemua pelaku aksi terorisme,
berangkat dari keluarga Muslim yang moderat, namun menjadi radikal akibat paham
yang menyerukan pecah-belah dan intoleransi demikian.
Kami si para “kafir”, masuk
neraka? SO WHAT?... Namun bukan itu
yang hendak penulis permasalahkan. Kaum Muslim sering menyatakan, “tidak melakukan apa yang dilarang Allah, dan
melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah.” Tidak menjalankan perintah,
artinya “murtad”. Karenanya, kaum Muslim yang mengaku moderat, sejatinya ialah
kaum “murtadin” yang “munafikun”, karena tidak menjalankan apa yang telah
secara tersurat (eksplisit) diperintahkan kepada mereka : “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’,
menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan
kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN
DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]—merupakan
contoh representatif sebuah “agama” ataukah “ideologi”? Silahkan bagi Anda yang
hendak membuat penafsiran “cinta damai” atas bunyi ayat demikian. Bila yang
demikian disebut sebagai “agama Cinta DAMAI”, maka yang “Cinta PERTUMAPAHAN
DARAH” yang seperti apakah ajaran ataupun seruan perintahnya?
“Agama SUCI” yang bersumber
dari “Kitab SUCI”, ataukah “Agama DOSA” yang bersumber dari “Kitab DOSA”?
Silahkan Anda sendiri yang menilai dan menjawabnya, cukup dengarkan nurani Anda
yang bersuara dengan jernih dan nyaring tanpa upaya pembungkaman oleh ancaman
dogmatis apapun. Dalam kesempatan ini, penulis tidak mempermasalahkan hal
tersebut. Bila yang disebut atau dipersepsikan oleh kaum Muslim, “neraka” ialah
alam tempat para “toleran” berlabuh setelah menuju alam baka, maka penulis akan
memilih alam tersebut, alih-alih memilih “surga” (versi Muslim) tempat para
pendosa, penjahat, penyamun, dan para intoleran berkumpul menjadi satu. Yang
merupakan “surga” di mata penulis, merupakan “neraka” bagi para Muslim. Contoh,
kenikmatan / kenikmatan duniawi seperti bersetubuh-badan, adalah konyol menjadi
kondisi alam “surgawi” yang lebih logis berupa kebahagiaan meditatif.
Sebagai penutup, penulis akan
tuturkan kisah apa yang menjadi ceramah oleh pemuka “agama” lewat speaker
pengeras suara Masjid sebagaimana penulis dengar dari dalam toilet kediaman
penulis. “Ada penceramah yang bilang,
orang baik juga bisa masuk surga. Saya tidak setuju. Kenapa? Kalau orang baik
memang bisa masuk surga, lalu buat apa juga kita setiap harinya beribadah
(ritual sembah-sujud) lima kali dalam sehari? Sebaik-baiknya kafir, lebih baik
orang yang beriman dan bertakwa dengan beribadah kepada Allah!” Mereka,
yang memandang dirinya sebagai “agamais” paling superior, sementara kaum lain
adalah lebih rendah martabatnya daripada seekor hewan, merupakan para “pecundang
kehidupan”—terlampau pemalas untuk menanam benih-benih Karma Baik, lebih sibuk
memohon dan meminta (mengemis-ngemis), dan disaat bersamaan juga dengan sikap
pengecutnya sibuk “melarikan diri” maupun “cuci tangan” dengan mengharap “pengampunan
/ penghapusan dosa” (setiap harinya ketika beribadah, setiap tahun saat hari
raya keagamaan, maupun saat sang agamais meninggal dunia sebagaimana doa
sanak-keluaganya) alih-alih bersikap penuh tanggung-jawab terhadap
korban-korban yang telah pernah atau masih sedang mereka sakiti, lukai, maupun
rugikan.