Akibat Mencari Sensasi, Sekalipun Sudah Memiliki Sederet Gelar Akademik, Karir Sukses dengan Jabatan TInggi, Banyak Sumber Pendapatan, Masih Juga Ingin Memiliki Gelar KORUPTOR
Korupsi, TIDAK AKAN MEMUASKAN Dahaga Mental Miskin,
Adapun Justru Kian Dikuasai Rasa Haus, Terjerumus Kian Dalam Tanpa Jalan
Kembali
Sekali Anda melakukan korupsi karena menyalah-gunakan kekuasaan—lebih tepatnya kolusi—maka Anda akan terseret masuk pada zona “point of no return” pada saat itu juga, menjadi kecanduan pada adiktifnya korupsi. Seperti yang kerap penulis sebutkan pada berbagai kesempatan, ada hal yang tidak perlu kita lakukan, ada hal yang tidak perlu kita ucapkan, ada juga hal-hal yang tidak perlu kita konsumsi, serta ada pula hal-hal yang tidak perlu kita bantah ataupun perdebatkan.
Ada kalanya, kita perlu berkata
tegas kepada diri kita sendiri : “TIDAK
BUTUH!” Mungkin, dalam kesempatan ini, penulis merasa perlu menambahkannya
agar menjadi lengkap, yakni : ada pula hal-hal yang tidak perlu kita kejar dan dapatkan,
meski kesempatan untuk itu ada persis di depan mata kita—berlatih apa yang
disebut sebagai “self-control”. Bila boleh
kita lengkapi dengan apa yang dituturkan oleh Sang Buddha, ada kalanya
kita bahkan perlu “melawan arus”, dengan sabda lebih lengkapnya sebagaimana
kutipan berikut:
“Para bhikkhu, ada empat jenis
orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang mengikuti arus; orang
yang melawan arus; orang yang kokoh dalam pikiran; dan orang yang telah
menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan
yang tinggi.
(1) “Dan apakah orang yang mengikuti
arus? Di sini, seseorang menikmati kenikmatan indria dan melakukan
perbuatan-perbuatan buruk. Ini disebut orang yang mengikuti arus.
(2) “Dan apakah orang yang melawan
arus? Di sini, seseorang tidak menikmati kenikmatan indria atau
melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Bahkan dengan kesakitan dan kesedihan,
menangis dengan wajah basah oleh air mata, ia menjalani kehidupan spiritual
yang lengkap dan murni. Ini disebut orang yang melawan arus.
Setelah sekian lama mengamati masyarakat
kita maupun dunia profesi, tampak jelas banyak diantara kaum muda kita yang
terjebak dalam mentalitas inferior, sehingga mereka mengejar berbagai gelar akademik
untuk disandang—tampak mengagumkan di kartu nama ataupun pada kartu undangan
pernikahan mereka—bahkan hingga memiliki sederet gelar yang tidak penulis
ketahui makna ataupun singkatannya. Namun tahukah Anda, di mata kaum jenius,
gelar sama sekali tidak penting, itu hanya “cangkang”, kulit, bukan isi yang
real ada pada diri si penyandang gelar. Bila gelar akademik diibaratkan
penggaris yang mampu mengukur lebar atau panjang maupun tinggi, namun penggaris
semacam itu tidak mampu mengukur dimensi “kedalaman”.
Para jenius sama sekali tidak
tertarik mengejar gelar akademik yang lebih baik biaya ataupun waktunya
dialokasikan untuk hal-hal yang lebih produktif. Materi pembelajaran, deras
membanjiri perpustakaan umum, toko buku, maupun literasi dalam dunia digital
yang tidak pernah ada kata kurang-kurangnya. Singkatnya, kaum jenius merupakan
kaum otodidak tulen, sehingga sekalipun tidak memiliki sederet gelar akademik,
mereka bisa meraih kesuksesan dalam karir, membangun prestasi, maupun mencapai
kebebasan ekonomi tanpa perlu merampas hak-hak orang lain. Sebaliknya, kaum
dunguwan, sekalipun telah memiliki sederet gelar akademik, masih juga merasa
perlu untuk merampas hak-hak orang lain untuk memenuhi keinginan / kepentingan dirinya
sendiri.
Boleh percaya (namun juga) boleh
tidak, berbagai karya tulis yang penulis susun dan publikasikan, menjadi bacaan
yang dikonsumsi oleh mereka yang bergelar akademik “sederet”—sekalipun notabene
penulis hanya seseorang bergelar sarjana, disamping fakta bahwa pada ribuan karya
tulis yang telah penulis publikasikan tiada tercantum gelar sama sekali, karena
memang bukanlah gelar akademik yang selama ini menjadi tumpuan serta andalan
penulis dalam membangun prestasi dibidang karir dan keahlian. “Branding”, merupakan hasil penilaian
dari “user”, baik “reader experience” berupa jutaan pembaca
berbagai karya tulis penulis, maupun penilaian dari para klien pengguna jasa.
Lihatlah para pengusaha /
pebisnis sukses yang memiliki berbagai perusahaan multinasional, bisa jadi mereka
tidak memiliki gelar akademik apapun, namun para “bos” tersebut senantiasa “kerja
cerdas”, dimana adapun yang bergelar akademik hanya bernasib sebagai karyawan
pencari kerja yang harus “kerja keras” bagi kepentingan para “bos” tersebut. Apakah
ada yang salah, dengan sistem pembelajaran pada fakultas di berbagai pendidikan
tinggi di Indonesia? Ya, penulis dapati demikian adanya, karenanya penulis
tidak pernah lagi tertarik mengenyam pendidikan formil di universitas negeri
maupun swasta, yang menurut pribadi penulis hanya “wasting time and wasting money”.
Jam kuliah serta perkuliahan,
hanya sekadar “seremonial” belaka, dimana jika boleh memilih, penulis lebih
memilih untuk “belajar sendiri” secara mandiri (otodidak). Sejak saat itu serta
saat kini, penulis lebih mengandalkan pendidikan formal pada Universitas Kehidupan—yang
semestinya kita kejar dan raih ialah “bobot”, alih-alih “gelar”. Kesemua ini
ialah pengalaman pribadi penulis pada fakultas hukum Universitas Swasta “top”
di Jakarta, akan tetapi tidak bermaksud menggeneralisir fakultas kedokteran
maupun farmasi yang tetap memerlukan pendidikan formal. Adalah delusi, mengejar
dan meraih “gelar” akan membawa si penyandang gelar mencapai puncak kepuasan
hidup. Memeroleh gelar “Sarjana”, sudah cukup, jangan pernah terobsesi untuk
mengejar gelar Magister, Doktor, atau sebagainya, bukan itu yang terpenting. Orang-orang
yang telah sering membaca berbagai karya tulis penulis, tidak akan pernah lagi
meremehkan penulis yang hanya bergelar “Sarjana”, sekalipun mereka bergelar
Doktor Hukum.
Tengoklah pemberitaan pada
bulan Juli 2023 lampau, dengan tajuk : “Hasbi Hasan, Hakim Bergelar Profesor
Hukum Namun Justru Tersandung Kasus Hukum”. Sederet gelar serta karir dibidang
akademik, hingga mencapai jabatan struktural di lembaga sekaliber Mahkamah
Agung RI, namun tetap tergoda oleh korupsi (lebih tepatnya kolusi). Sekretaris
Mahkamah Agung (Sekma) Hasbi Hasan ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi sebelum kemudian ditahan. Hasbi Hasan berangkat dari
karir sebagai seorang hakim pada Pengadilan Agama Tanggamus Lampung, bahkan
tercatat sebagai tenaga pengajar di beberapa perguruan tinggi.
Dari segi prestasi akademik,
Hasbi lulus dari program studi doktoral ekonomi syariah pada Program Pasca
Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta. Sebagai puncak
prestasi akademik, Hasbi memeroleh gelar Profesor bidang Ilmu Peradilan dan
Ekonomi Syariah pada Fakultas Hukum (FH) Universitas Lampung. Adapun sebagai
dosen, Hasbi mengajar di beberapa perguruan tinggi, termasuk menjabat sebagai
Kepala Prodi Magister Hukum Universitas Jayabaya, selama tiga periode. Sejak
tahun 2020 sampai ditangkap oleh aparatur penegak hukum karena menyalah-gunakan
kewenangannya di Mahkamah Agung RI, ia menjabat sebagai Direktur
Pascasarjana Universitas Ibnu Chaldun, Jakarta. Kurang apa lagi dari
segi kesuksesan karir maupun sensasi prestasi yang terbilang “mulus”?
Melirik latar-belakang karier Hasbi
di lembaga kehakiman, Hasbi pernah menjabat hakim pada Pengadilan Agama Jakarta
Selatan pada 2002—2007. Selama masa berkarir sebagai hakim itulah, Hasbi
diangkat sebagai asisten Ketua Muda Mahkamah Agung Lingkungan Peradilan Agama. Berlanjut
pada tahun 2006, Hasbi dipercaya mengemban amanat sebagai asisten Wakil Ketua Mahkamah
Agung Bidang Non-Yudisial, suatu peringkat jabatan yang tidak bisa diraih oleh
banyak orang. Karier Hasbi tidak berhenti sampai di situ, ia naik pangkat menjadi
eselon II dengan jabatan Direktur Pembinaan Administrasi Direktorat Jenderal
(Ditjen) Badan Peradilan Agama (Badilag).
Berlanjut pada November 2018,
Hasbi diangkat sebagai Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Agama Palu. Selanjutnya,
Hasbi melanjutkan jenjang karirnya dengan mengisi jabatan struktural “top
manajemen” sebagai Kepala Pusat Penelitan dan Pengembangan Hukum dan Peradilan
BLDK Mahkamah Agung. Adapun puncak karier Hasbi, tepatnya pada Desember 2020,
ia dipercaya menduduki Jabatan Eselon tertinggi (Eselon I), yakni Sekretaris
Mahkamah Agung. Berapa banyak orang, yang bisa mendapatkan kesempatan yang
demikian langka, yakni pejabat eselon 1 pada Mahkamah Agung RI? Patut disayangkan,
sifat irasional kemudian mengalahkan rasio : tergoda untuk menyalah-gunakan
kewenangan, demi meraih gelar sensasional “KORUPTOR” di depan namanya.
Hasbi pun kemudian tersandung
kasus hukum, menjadi pesakitan dan dihadapkan ke hadapan hakim untuk diadili, meski
sebelumnya ia menjabat sebagai hakim di persidangan. Hasbi ditengarai terlibat
dalam kasus suap dugaan penanganan perkara di Mahkamah Agung, tanpa mau belajar
dari pengalaman sebelumnya dimana telah ditangkap dan dijebloskannya ke penjara
pejabat-pejabat struktural di Mahkamah Agung RI akibat kolusi. KPK resmi mengumumkan
penetapan dua tersangka dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di MA RI,
yakni Hasbi Hasan dan Dadan Tri Yudianto
selaku mantan Komisaris PT. Wika Beton. KPK menuding Hasbi menerima aliran
dana ilegal dari Dadan Tri dalam rangka pengurusan penanganan perkara di
Mahkamah Agung.
KPK menemukan Dadan menerima dana
gelap sebesar 11,2 miliar Rupiah untuk mengurus penanganan perkara di MA RI. Sebagian
dari dana gelap tersebut terindikasi diberikan Dadan kepada Hasbi Hasan. KPK
menduga jumlah dana gratifikasi yang diterima Hasbi Hasan mencapai miliaran
rupiah, karena itulah KPK kemudian menetapkan status tersangka terhadap Hasbi. Menyikapi
penetapan Hasbi sebagai tersagnka, ia melakukan manuver hukum dengan mengajukan
gugat-praperadilan ke Pengadilan Negeri, namun tidak membuahkan hasil. Mengejar
gelar ataupun pencapaian karir, Anda tidak akan terpuaskan. Kita baru akan
mendapatkan kepuasan batin, ketika kita memiliki apa yang disebut sebagai “bobot”,
sebagaimana telah penulis urai di muka. Orang dungu, mudah “diukur” serta “dijengkal
dengan jari”, sekalipun bergelar akademik “sederet” dan menduduki jabatan
tinggi di birokrasi.
Mengejar apa yang tidak akan pernah terpuaskan, akhirnya terjerumus
mengejar berbagai sensasi yang tidak berkesudahan, pada gilirannya pikiran
menjadi liar tidak terkendali, dan tergoda lalu terjerumus pada “lembah gelap”.
Menjadi cukup relevan ketika kita merujuk khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”,
diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom
Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta
Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, perihal “mencari jalan menuju
akhir dunia” dengan kutipan sebagai berikut:
45 (5) Rohitassa (1)
Pada suatu ketika Sang Bhagavā
sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, ketika malam
telah larut, deva muda Rohitassa, dengan keindahan memesona, menerangi seluruh
Hutan Jeta, mendatangi Sang Bhagavā. Ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā,
berdiri di satu sisi, dan berkata:
“Mungkinkah, Bhante, dengan
melakukan perjalanan untuk mengetahui, melihat, atau mencapai akhir dunia, di
mana seseorang tidak dilahirkan, tidak tumbuh menjadi tua dan mati, [48] tidak
meninggal dunia dan terlahir kembali?”
“Aku katakan, teman, bahwa
dengan melakukan perjalanan seseorang tidak dapat mengetahui, melihat, atau
mencapai akhir dunia di mana seseorang tidak dilahirkan, tidak tumbuh menjadi
tua dan mati, tidak meninggal dunia dan terlahir kembali.”
“Sungguh menakjubkan dan
mengagumkan, Bhante, betapa baiknya hal ini dinyatakan oleh Sang Bhagavā: ‘Aku
katakan, teman, bahwa dengan melakukan perjalanan seseorang tidak dapat
mengetahui, melihat, atau mencapai akhir dunia di mana seseorang tidak
dilahirkan, tidak tumbuh menjadi tua dan mati, tidak meninggal dunia dan
terlahir kembali.’
“Di masa lampau, Bhante, aku
adalah seorang petapa bernama Rohitassa, putra Bhoja, seorang yang memiliki
kekuatan batin, mampu melakukan perjalanan di angkasa. Kecepatanku adalah bagaikan
sebatang anak panah ringan yang dengan mudah ditembakkan oleh seorang pemanah
berbusur kokoh - seorang yang terlatih, terampil, dan berpengalaman108 -
melintasi bayangan pohon lontar. Langkahku adalah sedemikian sehingga dapat
mencapai dari samudra timur hingga samudra barat. Kemudian, ketika aku memiliki
kecepatan dan langkah demikian, suatu keinginan muncul padaku: ‘Aku akan
mencapai akhir dunia dengan melakukan perjalanan.’ Dengan memiliki umur
kehidupan selama seratus tahun, hidup selama seratus tahun, Aku melakukan
perjalanan selama seratus tahun tanpa henti kecuali untuk makan, minum,
mengunyah, dan mengecap, untuk buang air besar dan air kecil, dan untuk
menghalau kelelahan dengan tidur; namun aku mati dalam perjalanan itu tanpa
mencapai akhir dunia.
[Kitab Komentar menjelaskan : dhanuggaho sebagai seorang guru memanah,
sikkhito sebagai seorang yang terlatih dalam memanah selama dua belas tahun, katahattho sebagai seorang yang cukup
mahir untuk membelah ujung rambut dari jarak satu usabha, dan katūpasāno sebagai seorang yang
berpengalaman dalam menembakkan anak panah yang telah memperlihatkan
keahliannya.]
“Sungguh menakjubkan dan
mengagumkan, Bhante, betapa baiknya hal ini dinyatakan oleh Sang Bhagavā: ‘Aku
katakan, teman, bahwa dengan melakukan perjalanan seseorang tidak dapat
mengetahui, melihat, atau mencapai akhir dunia di mana seseorang tidak
dilahirkan, tidak tumbuh menjadi tua dan mati, tidak meninggal dunia dan
terlahir kembali.’”
“Aku katakan, teman, bahwa
dengan melakukan perjalanan seseorang tidak dapat mengetahui, melihat, atau
mencapai akhir dunia di mana seseorang tidak dilahirkan, tidak tumbuh menjadi
tua dan mati, tidak meninggal dunia dan terlahir kembali. Namun Aku katakan
bahwa tanpa mencapai akhir dunia maka tidak bisa mengakhiri penderitaan. Adalah
dalam tubuh yang sedepa ini dengan persepsi dan pikiran, Aku nyatakan (1)
dunia, (2) asal-mula dunia, (3) lenyapnya dunia, dan (4) jalan menuju
lenyapnya dunia.”
[49] Akhir dunia tidak dapat
dicapai dengan melakukan perjalanan [melintasi dunia]; namun tanpa
mencapai akhir dunia tidak ada kebebasan dari penderitaan. Karena itu Sang
Bijaksana, Pengenal-dunia, yang telah mencapai akhir dunia dan telah menjalani kehidupan
spiritual, setelah mengetahui akhir dunia, menjadi damai, tidak menginginkan
dunia ini atau dunia lainnya.
46 (6) Rohitassa (2)
Ketika malam itu telah berlalu,
Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, tadi malam, ketika
malam telah larut, deva muda Rohitassa, dengan keindahan memesona, menerangi seluruh
Hutan Jeta, mendatangiKu, memberi hormat kepadaKu, dan berkata:
“‘Mungkinkah, Bhante, dengan
melakukan perjalanan untuk mengetahui, melihat, atau mencapai akhir dunia, di
mana seseorang tidak dilahirkan, tidak tumbuh menjadi tua dan mati, tidak meninggal
dunia dan terlahir kembali?’”
[Selanjutnya adalah identik dengan 4:45, termasuk
syairnya, tetapi disampaikan dalam narasi orang pertama.] [50]
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.