Apakah DASAR HUKUM Tertinggi? AKAL SEHAT (Common Sense)

AKAL SEHAT sebagai Dasar Hukum Tertinggi, Konstitusi Tertinggi, Falsafah Hukum Tertinggi, SOP Tertinggi, dan Argumentasi Hukum Tertinggi

Adalah Undang-Undang maupun Pasal-Pasal “Toxic”, ketika Bertentangan dengan AKAL SEHAT

Question: Bukankah menjemukan dan membosankan, mendengarkan mereka yang berlatar-belakang Sarjana Hukum, selalu berbicara demikian normatif, berdasarkan pasal anu, undang-undang anu, seolah-olah eksklusif sekali kalangan Sarjana Hukum dibanding orang awam hukum?

Brief Answer: Memang demikianlah fenomena sosial kita selama ini, sekalipun keadilan dan kebenaran bukanlah monopoli kalangan Sarjana Hukum, Magister Hukum, ataupun Doktor dan Profesor Hukum. Kerapkali, ketika Klien menghadapi masalah-masalah hukum aktual yang tidak jarang pengaturan norma hukumnya ambigu atau tumpang-tindih, satu-satunya dasar hukum untuk menyikapinya bukanlah pasal-pasal pada peraturan perundang-undangan, namun argumentasi yang dibangun dari “akal sehat” (common sense).

Dengan memiliki “akal sehat milik orang sehat”, alih-alih “akal sakit milik orang sakit”, seseorang bijaksana dapat memutus secara bijaksana yang dihadapkan kepadanya. Banyak terjadi, mereka dengan modus “hidden agenda” (ada “bias kepentingan” hingga “konflik kepentingan”) menemukan dasar pijakan berupa dasar hukum pasal peraturan perundang-undangan untuk menjadi legitimasi maupun justifikasi putusannya yang penuh “fraud”—suatu alibi yang ditopang oleh “law as a tool of crime”. Bahkan, teori ilmu hukum maupun “best practice” peradilan tidak jarang menerapkan apa yang disebut sebagai “contra legem”, alias hakim lewat kesadaran nurani (conscience) dan kejernihan berpikirnya memilih untuk menyimpangi peraturan perundang-undangan demi tegaknya keadilan yang bertanggung-jawab, mengingat tiada peraturan perundang-undangan yang sempurna keadaannya sesuai realita yang ada, atau bilamana dipaksakan diputus dengan dasar hukum demikian maka akan menimbulkan “moral hazard”.

Bahasa tertulis, terlebih bahasa lisan, sifatnya penuh keterbatasan serta ketidak-sempurnaan redaksional, terlebih-lebih bahasa peraturan perundang-undangan yang tidak jarang tidak lengkap, kurang sempurna, penuh ambigu, rancu, blunder, serta ketinggalan zaman ataupun terjadi kekosongan hukum (rechts vacuum). Sebagaimana diakui sendiri oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam berbagai putusannya, kalangan profesi hakim bahkan dibolehkan dan dimungkinkan untuk menyimpangi norma dalam peraturan perundang-undangan yang dihadapkan pada kasus konkret maupun menyimpangi putusan Mahkamah Konstitusi RI, dengan alasan bahwa peradilan umum mengadili secara “law in CONCRETO” sementara itu norma pasal peraturan perundang-undangan maupun putusan Mahkamah Konstitusi RI bersifat “law in ABSTRACTO”.

PEMBAHASAN:

Pijakannya ialah “pikiran yang jernih” (bebas dari anasir yang bernuansa “konflik kepentingan” ataupun sinisme / antipati SARA), serta berpijak pada “akal sehat”—keduanya, ibarat air kolam yang jernih disertai penerangan cahaya yang cukup, maka kita bisa melihat segala sesuatu di dasar kolam tersebut secara lebih komprehensif dan lebih mendekati kebenaran, menjadi jelas mana yang “fakta” dan mana yang sekadar “rumor”. Terlebih, dalam tataran litigasi praktik peradilan, yang dikenal dan yang “laku” hanyalah “fakta hukum”, bukan “rumor”, meski “fakta empirik non-hukum” pun tidak kalah penting dalam rangka meng-elaborasi “akal sehat” serta “nurani” Majelis Hakim pemeriksa dan pemutus perkara.

Menjelaskan bahasan ini lewat ilustrasi konkret, akan lebih efektif dalam memudahkan para pembaca memahami apa yang penulis maksukan. Sebagai contoh, pada suatu ketika seorang Klien mengajukan gugatan terhadap para Tergugat yang sebelumnya telah divonis pidana penjara hingga “inkracht” (berkekuatan hukum tetap) karena terbukti karena menggelapkan dana investasi modal usaha yang dipinjamkan oleh sang Klien, dimana rumusan gugatan disusun dengan memakai dalil adanya “perbuatan melawan hukum” alih-alih sekadar “wanprestasi”, sehingga salah satu tuntutannya (petitum) dalam gugatan ialah memohon ganti-kerugian materiil disamping ganti=kerugian immaterial (moril). Seperti biasa, bantahan / sanggahan dari pihak Tergugat ialah bahwa gugatan disusun secara rancu karena hubungan kontraktual berupa pinjam-meminjam modal usaha merupakan ranah gugatan “wanprestasi”, bukan “perbuatan melawan hukum”.

Jika Anda adalah konsultan hukum maupun pengacara dari sang Klien, apakah yang akan menjadi “kontra argumen” yang dapat Anda tawarkan kepada Klien? Sekali lagi, tiada dasar hukum peraturan perundang-undangan yang dapat menjawab isu hukum aktual yang masih sangat relevan di atas, kecuali norma bentukan berbagai preseden / yurisprudensi yang dapat penulis sertakan dalam surat gugatan. Namun demi menghindari hakim-hakim yang berhaluan pada ideologi membuta pada peraturan perundang-undangan (legalisme), tanpa mau mengakui ataupun menghargai apa yang disebut sebagai “the binding force of PRECEDENT”, maka solusi untuk memitigasinya ialah lewat penerapan argumentasi “based on COMMON SENSE”.

Berikut inilah argumentasi yang penulis susun bagi kepentingan gugatan yang diajukan oleh sang Klien. Penggelapan alias menggelapkan dana pinjaman milik investor, tidak pernah disepakati terlebih diatur dalam Perjanjian Modal Usaha antara Penggugat dan pihak Tergugat. Adapun sifat dasariah atau “nature” dari Perjanjian Modal Usaha maupun pinjam-meminjam dana, ialah dikembalikannya modal usaha yang dipinjamkan lengkap dengan segala janji bagi hasil usaha antara kedua belah pihak. Karena penggelapan dana modal usaha tidak pernah diperjanjikan dalam perjanjian kedua belah pihak, maka adalah tidak logis bila gugatan disusun dengan dasar-dasar hukum berupa “wanprestasi”, akan tetapi “perbuatan melawan hukum”.

Tantangan kedua, ketika sang Klien menuntut bunga bagi hasil usaha ialah sebesar 4% (empat persen) per bulan, sebagaimana iming-iming sejak semula dari pihak debitor peminjam modal usaha. Pihak Tergugat, yang telah menggelapkan modal usaha milik Penggugat, lewat kuasa hukumnya berkelit dan balik menuding sang Klien selaku Penggugat sebagai “rentenir” karena menagih dengan suku bunga setinggi itu. Sebagai konsultan hukum bagi sang Klien, penulis tidak “kerja keras” (hard work) dengan “memeras otak” terlebih berpikir secara mendalam (deep thinking), akan tetapi mengandalkan “berpikir jernih” lewat “smart work” dengan menerapkan dasar hukum bernama : AKAL SEHAT (common sense). Jika Anda hanya mendasarkan argumentasi ataupun cara berpikir “common practice”, tentu akan seketika menjatuhkan pra-vonis “bunga rentenir dilarang oleh hukum sehingga terlarang” alias “causa yang tidak sahih” karenanya “cacat dan batal demi hukum”.

Berikut inilah argumentasi yang penulis bangun untuk kepentingan sang Klien, dalam menuntut bunga 4% per tahun. Dalam kasus debitor yang justru berulang-kali dan bertubi-tubi mengiming-imingi serta menjanjikan bunga 4% per bulan, dalam rangka menggerakkan hati calon korbannya agar bersedia meminjamkan modal usaha senilai miliaran Rupiah (baca : modus), karena itulah patut diberlakukan asas “berani mengiming-imingi maka berani bertanggung-jawab”, dimana Tergugat telah terjebak dan terperangkap iming-iming yang dibuatnya sendiri, sehingga Tergugat telah “rentenir teriak rentenir”. Ini menyerupai jebakan mental maupun menyerupai modus “putar balik logika moril”, dimana ketika sang korban menuntut ganti-kerugian lewat pokok pinjaman plus bunga bagi hasil sebesar 4% per bulan, sebagaimana iming-iming pihak peminjam modal usaha sehingga Perjanjian Modal Usaha ditanda-tangani korban, sang kriminil justru memungkiri ucapannya sendiri dan menuding korbannya sebagai “rentenir”.

Berlanjut ketika kuasa hukum pihak Tergugat mendalilkan bahwa gagal bayar terjadi akibat “resiko usaha”, dimana kerjasama permodalan usaha artinya bila usaha mengalami kerugian, maka pemodal turut menanggung resiko “bagi kerugian usaha”. Terhadap dalil demikian, kontra narasinya ialah bahwa perkara terjadi bukan perihal “resiko usaha”, namun modal usaha yang dipinjamkan Penggugat justru disalahgunakan untuk kepentingan pribadi alias digelapkan oleh pihak Tergugat. Tidak terkecuali tarif jasa alias “lawyering fee” yang diterima oleh sang kuasa hukum Tergugat, bersumber dari modal usaha pinjaman milik Penggugat yang tidak dikembalikan oleh pihak Tergugat, sehingga kuasa hukum Tergugat menyerupai “durhaka” terhadap Penggugat.

Dalam perkara lain, dimana sang Klien dari penulis ialah berkedudukan sebagai pihak Tergugat pada sebuah Pengadilan Negeri, pihak Penggugat mendalilkan bahwa jual-beli tanah “belum lunas” harga pembayarannya, sehingga menuntut agar balik-nama (peralihan hak) sertifikat hak atas tanah maupun akta jual-belinya dibatalkan oleh pengadilan. Bagian paling awal dari Surat Jawaban yang diajukan oleh sang Klien, penulis susunkan bab tentang “eksepsi”, bahwa telah terjadi “keliru kompetensi absolut kewenangan peradilan untuk memeriksa dan memutus perkara, karena dalil ‘belum dibayar lunas’ bukanlah ‘sengketa kepemilikan’”. Sengketa kepemilikan memang domain Pengadilan Negeri, namun perihal cacat prosedur peralihan hak atas tanah, merupakan domain mutlak Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk memeriksa dan memutus. Alhasil, dalam tingkat Mahkamah Agung RI, Hakim Agung memutuskan bahwa gugatan “tidak dapat diterima”—sebagaimana yang penulis prediksi telah terjadi “keliru kompetensi absolut”.

Lama sebelum ini, penulis telah pernah menggugat Menteri Agaria alias Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) atas peraturannya perihal SOP BPN RI yang tidak logis, lewat mekanisme gugatan “uji materiil” di Mahkamah Agung RI. Untuk membatalkan sebuah peraturan peraturan perundang-undangan, penulis tidak mengadalkan Konstitusi RI yang sifatnya sumir juga terlampau abstrak, selain sekadar formalitas saja dalam gugatan “uji materiil” yang penulis ajukan. Dasar hukum untuk membatalkan sebuah keberlakuan peraturan perundang-undangan, ialah “akal sehat”. Adalah tidak logis, bilamana pembeli objek lelang eksekusi Hak Tanggungan, harus telah menguasai fisik objek tanah yang dilelang serta tiada sengketa ataupun gugatan dari debitor pemilik agunan yang dilelang eksekusi, sebelum dapat memohon balik-nama atas sertifikat hak atas tanah objek lelang yang dibeli oleh sang pemenang lelang.

Alhasil, Mahkamah Agung RI pun membatalkan peraturan dimaksud, dimana pihak BPN sama sekali tidak berkutik dalam surat jawabannya sekalipun lama sebelumnya penulis berulang-kali berkorespondensi surat-menyurat maupun datang langsung ke BPN Kantor Pusat tanpa diperhatikan ataupun dihargai segala jirih-payah dan itikad baik yang penulis hadirkan. Tidak lama berselang setelah putusan “uji materiil” terbit, sang Kepala BPN pun dicopot dan digantikan pejabatnya, dimana Kepala BPN yang baru menggantikan tidak sampai setahun kemudian menerbitkan Peraturan BPN tentang evaluasi peraturan-peraturan BPN atas dasar masukan dari masyarakat.

Sebagai satu tambahan ilustrasi penutup, dalam perkara terpisah lainnya dimana penulis berperan sebagai konsultan hukum dari Klien yang menjadi korban dari “Mafia Tanah” sekaligus “Mafia Lelang”, dimana sang mafia menyalah-gunakan instrumen hukum bernama Cessie alias peralihan piutang lewat jual-beli piutang yang tidak mensyaratkan persetujuan debitor ataupun pemilik agunan, dimana agunan turut beralih kepada pembeli piutang sejak jual-beli piutang (cukup) dibertahukan kepada sang debitor dan sekalipun debitor tidak menyetujuinya. Begitupula Akta Kredit Modal Usaha, secara baku (klausula baku) mencantumkan pasal yang menyatakan bahwa pihak BANK berhak menjual piutang kepada pihak ketiga tanpa seizin maupun persetujuan pihak debitor. Jika Anda adalah konsultan hukum maupun pengacara di pihak debitor, bagaimana cara menyikapi penyalah-gunaan pasal-pasal yang menyerupai “law as a tool of crime” demikian?

Bermula dari meminjam kredit modal usaha dari BANK, namun kemudian ditagih oleh RENTENIR PERORANGAN yang menagih dengan suku bunga menyimpang dari Perjanjian Kredit hampir 100% per tahun, bukankah ini menyerupai “moral hazard” serta “preseden buruk” bila dibiarkan terjadi? Mulailah penulis bangun argumentasi hukum, bahwa pasal terkait Cessie dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dapat menjelma “law as a tool of RENTENIR” bila kebolehan Cessie tidak dibatasi sebatas “BANK boleh menjual piutang kepada sesama BANK” dan tidak dapat atau inkonstitusional bila dimaknai “BANK boleh menjual piutang kepada RENTENIR PERORANGAN”.

JIka dari sejak awal, sang debitor mengetahui bahwa BANK tersebut akan menjual piutangnya kepada RENTENIR PERORANGAN, maka sang debitor tidak akan bersedia meminjam dana kredit dari BANK dimaksud. Sang debitor meminjam dari BANK, namun kemudian ditagih oleh RENTENIR PERORANGAN. Maksud hati dilindungi sebagai konsumen berdasarkan Undang-Undang Perbankan juga diawasi oleh OJK, namun kemudian ditagih oleh “mafia tanah” yang menagih “suka-suka”. Begitupula klausul dalam Perjanjian Kredit, bila terjadi kasus seperti demikian di atas, maka berlaku prinsip “partial anullment” (kebatalan separuh isi perjanjian) dimana Perjanjian Kredit tetap sah dan berlaku, namun terhadap klausul “toxic” demikian menjadi tidak sah dan cacat hukum. Jangan pernah menyewa konsultan hukum maupun pengacara yang “buta” karena membuta pada kedua dasar hukum berikut:

- Klausul Baku dalam Perjanjian Kredit : “BANK berhak, tanpa perlu mendapat persetujuan berupa apapun dari Peminjam, untuk mengalihkan / memindahkan atau mengoperkan seluruh atau sebagian hak dan kewajiban Bank berdasarkan Perjanjian Kredit ini kepada pihak lain yang ditetapkan oleh BANK.”

- Pasal 613 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menjadi dasar hukum utama suatu perbuatan hukum bernama “Cessie”, tepatnya terdiri dari tiga ayat, yakni:

1.) Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik atau di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain.

2.) Penyerahan yang demikian bagi si berutang (debitor) tiada akibatnya, melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya, atau secara tertulis disetujui dan diakuinya.

3.) Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu, penyerahan tiap-tiap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen.

Masih dalam perkara yang sama, surat gugatan yang diajukan oleh Klien memang menerapkan secara surut (retroaktif) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No. 06/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan, yang dalam salah satu pasalnya mengatur : “PUJK wajib memastikan pengalihan hak tagih kepada pihak lain sbeagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menimbulkan kerugian bagi konsumen.”—akal sehat tidak memungkinkan bagi pihak Tergugat untuk keberatan diberlaku-surutkan peraturan di atas, mengingat menjadi akan sangat “tidak logis” bilamana masih juga keberatan substansi norma peraturan diatas diberlakukan secara surut.

Berikut inilah dalil yang penulis rancan dan susun bagi kepentingan posisi hukum sang Klien : “Bahwa menjadi mencurigakan itikad Tergugat, ketika Surat Jawaban halaman ... , Tergugat keberatan terhadap pencantuman dasar hukum berupa Peraturan OJK yang hanya mengatur : BANK tidak boleh menjual piutang yang dapat merugikan debitor. Tiada “moral hazard” sekalipun peraturan tersebut diberlakukan secara surut, mengingat asas kepatutan sudah mengaturnya meski tidak tertulis. Mengapa Tergugat, merasa keberatan? Jelas karena Tergugat MENGAKUI kesalahannya.”

Surat Jawaban pihak Tergugat, pihak lawan ini membuat distorsi fakta, seolah-olah Penggugat “wanprestasi membayar”. Debitor manakah yang rela diperas “MARK UP tagihan” dengan “bunga terselubung” mencapai hampir 100% per tahun secara menyimpang dari Perjanjian Kredit, dimana bahkan Penggugat tidak pernah meminta Tergugat II untuk membeli piutang Tergugat I disaat pandemik COVID terjadi pada tahun 2020. Penggugat telah dipaksa “gagal bayar” oleh Tergugat II secara “by design”. Sehingga, Surat Jawaban Tergugat secara tidak langsung menyatakan:

... Hal tersebut berlanjut ketika piutang telah dialihkan oleh Tergugat I kepada Tergugat II, Penggugat juga tetap tidak bersedia melakukan pembayaran hutang kepada Tergugat II (dengan ‘bunga terselubung’ hampir 100 % per tahun).”

Bila kita maknai secara sistematik, mungkinkah Tergugat I selaku penjual piutang, juga menerapkan “bunga terselubung” hampir 100 % per tahun (BANK RENTENIR) dimana Tergugat II mengklaim tidak menyimpangi ketentuan suku bunga dalam Perjanjian Kredit? Debitor manakah, yang sanggup membayar bunga “lebih RENTENIR daripada RENTENIR” hampir 100% per tahun! Penulis lalu membuat “perbandingan kontras” antara “bunga terselubung yang ditagihkan oleh (pihak) kreditor penjual piutang” Vs. “bunga terselubung pembeli piutang” dengan membuat persentase “MARK UP tagihan” antar masing-masing surat somasi tagihan kesatu, kedua, dan ketiga BANK menghasilkan kalkulasi bunga sekian persen, berbanding surat somasi tagihan kesatu, kedua, dan ketiga pihak RENTENIR PERORANGAN yang telah ternyata berdisparitas alasi terdapat selisih suku bunga lebih dari 50% per tahun—alhasil, pihak “mafia tanah” ini SAMA SEKALI TIDAK BISA BERKELIT.

Tiada yang lebih memuaskan bagi penulis yang berprofesi sebagai konsultan hukum, ketika pihak lawan dari Klien sama sekali tidak bisa berkutik dan tidak mampu membantah. Salah satu asas yang paling penting dalam ilmu hukum, tampak dalam dalil yang pernah penulis susun berikut bagi kepentingan Klien. Bahwa Tergugat II menagih “bunga terselubung” hampir 100% PER TAHUN disaat pandemik global COVID-19 tahun 2020 (praktik RENTENIR saat resesi ekonomi), sehingga adalah hak Penggugat untuk jelas keberatan dan menolak membayar tagihan (asas Non adimpleti contractus—bermakna : Sang kreditur itu sendiri belum berprestasi sebagaimana perjanjian, dengan demikian tidak patut untuk menuntut debitur melakukan prestasinya), dengan dasar hukum Pasal 1250 paragraf (1) KUHPerdata:

“Dalam tiap-tiap perikatan yang semata-mata berhubungan dengan pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekadar disebabkan terlambatnya pelaksanaan, hanya terdiri atas bunga yang ditentukan oleh undang-undang, dengan tidak mengurangi peraturan-peraturan undang-undang khusus.”

Pembatasan bunga yang terlampau tinggi diatur dalam “Woeker-ordonantie 1938” Staatblaad tahun 1938 No. 524, yang menetapkan, apabila antara kewajiban-kewajiban bertimbal-balik dari kedua belah pihak dari semula terdapat suatu ketidak-seimbangan yang luar biasa, maka si berutang dapat meminta kepada Hakim untuk menurunkan bunga yang telah diperjanjikan ataupun untuk membatalkan perjanjiannya (R. Subekti, S.H., Aneka Perjanjian, hal. 1985: 130). Pasal 1337 KUHPerdata juga mengatur, bahwa “asas kebebasan berkontrak” tidaklah mutlak, karena pembatasannya ialah koridor undang-undang, kesusilaan, dan kepatutan. Berbagai preseden “best practice” praktik peradilan di Indonesia telah menetapkan, bunga “fixed rate” bagi “kreditor perorangan” ialah sebatas antara 6 hingga 12% per tahun, dimana lebih dari itu, semisal 24% per tahun atau 2% per bulan, adalah praktik RENTENIR.

Salah satu argumentasi pemuncak bahwasannya BANK adalah ilegal bila mengalihkan piutangnya kepada RENTENIR PERORANGAN, mengingat BANK menerapkan “floating rate”, sementara itu “Kreditor PERORANGAN” hanya dimungkinkan untuk menerapkan “fixed rate”. Mengapa? Karena akan menjelama “moral hazard” bila “kreditor PERORANGAN’ menagih secara “floating rate” alias “tagih suka-suka” dan “atur suka-suka”. Karenanya, butuh “peraturan pelaksana” atau “perjanjian turunan” berupa kesepakatan besaran nominal “fixed rate” antara calon kreditor pembeli piutang dan pihak debitor—“kesepakatan turunan” mana tidak pernah ada, karenanya syarat sah perjanjian Pasal 1320 KUHPerdata perihal unsur objektif “perikatan yang spesifik” dan “causa yang sahih”, maupun unsur subjektif “kesepakatan” tidak pernah pernah terpenuhi, alias “cacat hukum” dan “batal demi hukum” sebagai konsekuensi logis-yuridisnya.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.