Alasan Moral Pentingnya Punya BANYAK UANG, Lebih Banyak OPSI Terbuka bagi Kita untuk DIPILIH

This is All about SMART WORKING, Not HARD WORKING

Lebih Banyak Uang, Lebih Banyak Opsi untuk dapat Kita Pilih (Opsi untuk Dipilih), Itulah “the Power of MONEY

Boleh percaya namun juga boleh tidak, diantara masyarakat kita terdapat sebagian orang yang takut, alergi, serta memusuhi “keadaan sukses”, sekalipun, banyak tindak kriminalitas terjadi akibat minimnya kesuksesan yang dapat dicetak oleh sang kriminil dalam hidupnya. Percaya atau tidak, sebagian besar diantara kita yang terjebak dalam kemiskinan, menjauhi kekayaan maupun uang, karena memiliki paradigma keliru bahwa “uang adalah sumber kejahatan”, sekalipun realitanya kerapkali “kejahatan terjadi karena kekurangan uang”—atau setidaknya faktor kemiskinan batin sang pelaku, karenanya mental berkelimpahan adalah berkah itu sendiri.

Percaya atau tidak, lebih banyak lagi orang-orang yang memandang remeh dan sebelah mata peran dan fungsi IQ, sekalipun banyak kejahatan baik secara disengaja maupun secara lalai, terjadi akibat miskinnya IQ sang pelaku. Mereka yang ber-IQ memadai, cenderung kreatif, karenanya tidak pernah merasa perlu merampas hak-hak orang lain terlebih merampas kebahagiaan orang lain untuk melangsungkan kehidupan ataupun mencari sumber-sumber kekayaan untuk digali. Berikut postulat yang akan menjadi bumerang bila Anda mencoba untuk memungkirinya : semakin Anda sukses, semakin Anda kaya dari segi materi uang, dan semakin Anda tinggi dalam segi IQ (kecerdasan intelektual), maka semakin terbuka lebar berbagai opsi untuk dapat Anda pilih—sebaliknya, semakin miskin ketiga hal di atas, maka semakin sempit opsi yang dapat Anda pilih.

Mungkin contoh sederhana akan lebih menjelaskan latar-belakang serta falsafah dibalik paradigma berpikir yang penulis kemukakan di atas. Kesuksesan seseorang, cenderung berkorelasi positif terhadap kebahagiaan seseorang warga. Ibu rumah tangga, yang tidak memiliki reputasi, karir, maupun prestasi di luar urusan rumah-tangga, akan lebih rentan menjadi korban KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), hal ini merupakan konsekuensi di-bonsai-nya seseorang istri, ibarat terpasung sehingga hanya lebih banyak memasak, mencuci, dan mengasuh anak, sehingga kekuasaan sang suami menjadi mendominasi jalannya rumah-tangga, yang pada muaranya ialah “power tends to corrupt”. Karenanya, kita tidak bisa tidak, harus sukses dalam karir maupun pencapaian prestasi bisnis, akademik, maupun keterampilan karya-karya kita dalam hidup ini, maupun sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, dan anggota berbangsa.

Orang-orang yang bahagia, lebih cenderung toleran, tidak suka “main kekerasan fisik untuk menyelesaikan setiap masalah”, berlapang dada, berbesar hati, berbesar jiwa, jauh dari jiwa otoriter, serta memiliki “pikiran yang besar”—ini merupakan fakta empirik yang dapat kita amati sendiri di lapangan. Karenanya, kita harus bahagia, dimulai dengan membangun dan memupuk kesuksesan. Kini kita beralih pada persoalan “uang” (money). Khusus untuk bahasan perihal uang ini, penulis terinsipirasi oleh apa yang dibagikan oleh Robert T. Kiyosaki, dengan kutipan berikut : “Saya memiliki ayah kandung yang miskin, dan ayah angkat yang kaya. Ayah kandung saya membenci uang, dan inilah yang dikatakan oleh ayah angkat saya sebagai tanggapannya, ‘Karena itulah, ia miskin!’... Kejahatan bukan terjadi karena kekurangan uang, namun karena kekurangan uang.

Dunia ini tidak pernah kekurangan orang-orang miskin maupun lingkungan pemukiman kumuh, kita tidak perlu menjadi salah satu bagian ataupun lingkaran dari mereka, dimana tentunya juga kita tidak perlu menambah banyak “manusia sampah”. Kini, kita akan membahas alasan moral bahwasannya kita tidak boleh anti terlebih alergi terhadap uang, terutama bagi mereka yang tergolong kalangan “over moralis”—alias berdelusi mengusung sifat moralis, namun keliru-paham. Seseorang yang memiliki banyak uang, akan lebih cenderung memiliki pilihan yang terbuka lebar baginya, semisal untuk memilih rumah untuk tempat tinggal, memilih sekolah untuk menyekolahkan anaknya, memilih makanan yang bergizi bagi asupan keluarganya, memilih bidang usaha untuk digeluti dan diinvestasikan, memilih para talenta berbakat untuk direkrut, bahkan hingga memilih calon pasangan hidup.

Sub-contoh berikut ini akan membuat para pembaca tidak lagi memandang remeh fungsi utama uang, yakni terbuka lebarnya opsi untuk kita pilih. Ayam ternak “petelur”—yang diternak khusus untuk bertelur dimana peternak mendapatkan penghasilan dari menjual telur-telur para ternaknya—kuantitas dan kualitas telurnya sangat ditentukan dari kualitas asupan dedak yang menjadi makanan pokoknya. Untuk menghasilkan ayam ternak yang “rajin” alias produktif bertelur, dan telur yang berukuran besar, maka sang ternak harus diberi makan dedak yang mengandung gizi dan protein lengkap, salah satunya ialah asam amino. Bahkan, ada ayam “petelur” yang khusus diternakkan untuk menghasilkan “telur OMEGA” yang bernilai jual tinggi karena khasiat bagi yang mengonsuminya.

Lantas, bagaimana jika kualitas dedak makanan sang ternak, dikurangi atau diturunkan? Inilah keterangan dari seorang peternak berpengalaman di dunia ternak ayam petelur : semakin hari telur ayam ternak tersebut akan semakin mengecil ukurannya, sampai pada akhirnya tidak bertelur sama sekali. Kini, pertanyaan yang hendak penulis kemukakan kepada para pembaca ialah, apa jadinya, bila asupan gizi berimbang warga yang terjerat dalam garis kemiskinan yang tidak berpunya, tidak mampu mengimbangi gizi berkecukukan atau bahkan gizi berkelebihan para “punyawan”? Itulah yang tepatnya disebut sebagai “lingkaran setan”, garis kemiskinan diwariskan dengan cara demikian, turun-temurun, seolah tidak mampu mendobrak segregasi status sosial dan ekonomi, alias menyerupai sebuah “curse”—menjadi tidak mengherankan, bila ada tokoh intelektual yang memandang bahwa “poverty is genetic” (kemiskinan adalah dilatar-belakangi faktor genetik).

Bila Anda hendak memiliki keturunan yang berkualitas, perhatikan bibit, bebet, dan bobot seseorang yang Anda “sasar” menjadi calon pasangan hidup Anda. Untuk mudahnya, lihat orangtua maupun keluarga besar dari sang “calon”, bagaimanakah bibit, bebet, dan bobot mereka. Ingatlah—sebagaimana penulis amati dan temukan sendiri kebenaran dibalik teori determinasi genetik yang bersifat turun-temurun, kecuali anak kedua yang tidak jarang “lain sendiri” entah karena faktor mutasi genetik ataukah apa—bahwa watak, karakter, kualitas, maupun mentalitas bersifat turun-menurun. Jangan pernah memilih seseorang “calon” yang berlatar-belakang keluarga kriminil, psikopat, maupun “down syndrome”.

Seleksi alam terjadi secara natural sebagaimana selama ini, dimana orang-orang dari “kelas atas” akan lebih cenderung memilih pasangan hidup dari latar-belakang status ekonomi maupun sosial setara. Begitulah evolusi manusia terjadi, “survival of the fittest” terus memainkan perannya, dimana segregasi, dikotomi, dan disparitas ekonomi maupun strata sosial kian hari kian bersenjang—si kaya semakin kaya dan makmur, sementara si miskin kian terjerembab di dalam kubangan berlumpur dan selokan (slum) terdalam. Namun, kesemua itu tidaklah semutlak dan sedeterministik demikian adanya. Sebagai contoh, sekalipun anak-anak dari kalangan “borjuis” memiliki dana yang lebih dari cukup untuk memiliki menu makanan “10 lengkap 11 sempurna”, akan tetapi ia justru memilih opsi secara rutin memakan “mie instan”, maka jadilah ia tidak berbeda nasibnya dengan mereka yang selama ini terpaksa memakan “mie instan” sebagai menu makanan keseharian mereka.

Tipe negara kesejahteraan (wealth nation), banyak berperang dalam mengintervensi ekonomi-sosial-kemasyarakatan. Semisal, membuka keran pendidikan formil maupun non-formil bagi masyarakat seluas-luasnya, menyediakan pasokan bahan makanan bergizi yang terjangkau bagi masyarakat dengan memotong mata rantai distribusinya, memastikan gizi tercukupi dalam usia dini wanita dengan balita, rekayasa pasar, hingga penetapan “harga eceran tertinggi” maupun “kewajiban penjualan ke dalam negeri”. Penulis tidak akan membahas sub-topik demikian secara lebih berpanjang-lebar. Kini kita beralih pada bahasan perihal faktor kesuksesan, menurut Anda adalah peran “kerja keras” ataukah karena faktor “keberuntungan” (luck)?

Percaya atau tidak, mereka yang terjebak dalam pikiran “kolot”, cenderung kerdil dan dangkal cara berpikirnya. Menurut mereka, si kerdil ini, “kerja keras” (hard working) adalah segala-galanya dan sebagai penentu kesuksesan seseorang. Mereka, akan berakhir pada kekecewaan sebagai vonis nasib mereka—mereka akan selalu kalah bersaing atau setidaknya hanya sekadar menjadi buruh dari mereka yang selama ini mengandalkan “smart working” alias “kerja cerdas”. Hal kedua yang tidak mereka sadari ialah, mempertanyakan, bagaimanakah cara menciptakan faktor “keberuntungan” (luck factor) agar dapat mencetak prestasi dan meraih kesuksesan dalam bisnis, karir, maupun pendidikan berkeluarga maupun bernegara?

Inilah yang dikatakan oleh Robert T. Kiyosaki, milioner pebisnis real estate di Amerika Serikat : “Because I GIVING...”—“Karena saya MEMBERI...”. Penulis mengenal seseorang, yang karir bisnisnya hancur hanya karena faktor keserakahan, ia sama sekali tidak menghargai talenta yang mengabdi untuknya. Salah satu kesuksesan para jenderal perang pada zaman dinasti di Tiongkok, ialah karena faktor tidak “kikir” berbagi kepada para bawahannya yang memiliki talenta. Seorang indigo pernah memberi nasehat berupa “resep sukses” dalam merintis karir dan bisnis, sebagaimana telah penulis buktikan sendiri : “JIka ingin sukses berbisnis kuliner, maka rajin-rajinlah berdana makan bagi orang-orang yang berkebutuhan.

Kini, Anda hanya perlu menyesuaikan bidang usaha atau karir Anda, lalu berdonasi sesuai hal yang berkorelasi dalam bidang tersebut. Sebagai ilustrasi, penulis berdonasi ilmu pengetahuan hukum dalam website profesi penulis ini selaku konsultan hukum, juga berdana kepada lembaga nirlaba penerbitan buku-buku pengetahuan, dimana bahkan mereka yang bukan berlatar-belakang Buddhisme justru meyakini adanya “hukum tabur tuai” alias “Hukum Karma”, bahwa tabur yang baik maka menuai yang baik, tabut yang buruk maka menuai yang buruk pula. Kesemua bahasan di atas, adalah sarana dalam rangka menuju pada hakekat tujuan yang lebih tinggi, yakni “happiness” alias kebahagiaan dan ketercukupan-hati dalam hidup. Penulis teringat pada kisah yang dituturkan oleh Ajahn Brahm, “Ada sebagian orang yang tidak bahagia, karena memusuhi kebahagiaan atau merasa dirinya tidak layak untuk bahagia; itu sama sekali tidak rasional!

Ciptakan faktor “luck” untuk Anda secara personal. Semisal, jadilah orang yang dapat dipercaya, penuh integritas, dapat diandalkan, bermoral, penuh “self control”, murah senyum, suka berbagi, hangat, dan adil, maka bisa jadi Anda yang berlatar-belakan ekonomi dan sosial taraf “kurang beruntung”, akan berjodoh dengan mereka yang berlatar-belakang ekonomi dan sosial yang tergolong tinggi, maka Anda pun bisa memperbaiki “garis warisan nasib” dari buyut dan nenek-buyut yang mengalir dalam darah maupun genetik Anda. Sebaliknya, cobalah Anda berbisnis secara “mencong-mencong”, menyimpang sana dan menyimpang sini, serempet ini dan serempet itu, senggol kanan dan senggol kiri, seruduk depan dan seruduk belakang, maka dapat dipastikan bisnis ataupun usahanya akan tenggelam—sebagaimana dituturkan oleh mereka yang tergolong warga sesepuh kepada penulis saat berbagi kisah hidup.

Singkatnya, perlakukan orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan, dan jangan perlakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri tidak ingin diperlakukan demikian. Banyak kesempatan untuk berbuat kebaikan, bila kita mau membuka mata dan menyadarinya. Semisal, rajin-rajinlah mengalah dan memberikan ruang jalan gerak bebas bagi kendaraan lain untuk berbelok, berkepala dingin, bersikap santun, bersabar, dan beretika saat berkendara di jalan umum, bersikap manusiawi terhadap pejalan kaki, kesempatan-kesempatan mana banyak disia-siakan dan dilewatkan begitu saja oleh masyarakat kita yang merasa “super sibuk” dalam rutinitas kesehariannya bermacet-macet di jalan raya yang padat serta “panas”.

Masyarakat di Indonesia pada khususnya, penulis banyak mendapati maupun mengamati pertemanan yang “toxic”, dalam artian ketika kawan mereka berbuat buruk dan jahat ataupun tercela, tidak ditegur oleh kawan-kawannya, justru dibela dan didukung ataupun dibiarkan tanpa dikoreksi. Kawan yang baik, tidak ingin melihat kawannya terjerumus dalam lubang kekeliruan maupun perbuatan jahat, karenanya menegur secara simpatik demi kebaikan diri sang kawan yang hendak atau telah berbuat keliru. Di mata Sang Buddha, mereka bukanlah kawan yang baik, karena ibarat menyiram bensin ke dalam api dalam sekam yang membara dan menyala. Itulah sebabnya, kawanan serigala dapat saling akur, namun tidak terhadap seekor kelinci yang masuk ke dalam sarang mereka, para serigala pemangsa tersebut. Kita tidak butuh kawan yang “toxic” demikian, mengutip kebali sabda Sang Buddha, dimana lebih baik kita berjalan seorang diri ketika tidak ada yang sepantaran dengan tingkat moralitas kita.

Terdapat satu tabiat buruk yang telah lama menjadi budaya yang mendarah-daging dalam mentalitas bangsa kita di Indonesia, yakni “anti dikoreksi” alias “anti kritik”, sebagaimana persis yang disabdakan dalam khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan sebagai berikut:

62 (11)

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang keberdiaman bersama di antara orang-orang jahat, dan tentang keberdiaman bersama di antara orang-orang baik. Dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan bagaimanakah keberdiaman bersama di antara orang-orang jahat, dan bagaimanakah orang-orang jahat hidup bersama? Di sini, seorang bhikkhu senior berpikir: ‘Seorang [bhikkhu] senior – atau menengah atau [bhikkhu] junior – tidak boleh mengoreksiku. Aku tidak boleh mengoreksi seorang [bhikkhu] senior atau menengah atau [bhikkhu] junior. Jika seorang [bhikkhu] senior mengoreksiku, ia mungkin melakukannya tanpa simpati, bukan dengan simpati. Kemudian aku akan berkata “Tidak!” kepadanya dan akan merisaukannya,296 dan bahkan melihat [pelanggaranku] aku tidak memperbaikinya. Jika [seorang bhikkhu] menengah mengoreksiku … Jika seorang [bhikkhu] junior mengoreksiku, ia mungkin melakukannya tanpa simpati, bukan dengan simpati. Kemudian aku akan berkata “Tidak!” kepadanya dan akan merisaukannya, dan bahkan melihat [pelanggaranku] aku tidak memperbaikinya.’

[Kitab Komentar : “Dengan ‘tidak boleh mengoreksiku,’ ini berarti: ‘Ia tidak boleh memberikan nasihat atau instruksi kepadaku; ia tidak boleh mengoreksiku.’”

[No ti na vadeyya. Maka aku akan berkata kepada mereka, ‘Aku tidak akan melakukan apa yang engkau katakan,’ dan aku akan merisaukannya dengan tidak melakukan apa yang ia katakan.”

“[Seorang bhikkhu] menengah juga berpikir …seorang [bhikkhu] junior juga berpikir: ‘Seorang [bhikkhu] senior – atau menengah atau [bhikkhu] junior – tidak boleh mengoreksiku. Aku tidak boleh mengoreksi seorang [bhikkhu] senior … dan bahkan melihat [pelanggaranku] aku tidak memperbaikinya.’ Demikianlah keberdiaman bersama di antara orang-orang jahat, dan demikianlah orang-orang jahat hidup bersama.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, keberdiaman bersama di antara orang-orang baik dan bagaimanakah orang-orang baik hidup bersama? Di sini, seorang bhikkhu senior berpikir: ‘Seorang [bhikkhu] senior – atau menengah atau [bhikkhu] junior – harus mengoreksiku. Aku harus mengoreksi seorang [bhikkhu] senior atau menengah atau [bhikkhu] junior. Jika seorang [bhikkhu] senior mengoreksiku, ia mungkin melakukannya dengan simpati, bukan tanpa simpati. Kemudian aku akan berkata “Bagus!” kepadanya dan tidak akan merisaukannya, dan melihat [pelanggaranku] aku akan memperbaikinya. Jika [seorang bhikkhu] menengah mengoreksiku … Jika seorang [bhikkhu] junior mengoreksiku, ia mungkin melakukannya dengan simpati, bukan tanpa simpati. Kemudian aku akan berkata “Bagus!” kepadanya dan tidak akan merisaukannya, dan melihat [pelanggaranku] aku akan memperbaikinya.’

“[Seorang bhikkhu] menengah juga berpikir …seorang [bhikkhu] junior juga berpikir: ‘Seorang [bhikkhu] senior – atau menengah atau [bhikkhu] junior – harus mengoreksiku. Aku harus mengoreksi seorang [bhikkhu] senior … dan melihat [pelanggaranku] aku akan memperbaikinya.’ Demikianlah keberdiaman bersama di antara orang-orang baik, dan demikianlah orang-orang baik hidup bersama.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.