Lembaga Penerbit Peraturan, Tidak Perlu Turut Digugat
Question: Pihak Tergugat mendalilkan, karena surat gugatan kami ada mengutip paraturan OJK (Otoritas Jasa Keuangan), maka dinyatakan “gugatan kurang pihak” karena tidak menarik pihak OJK setidaknya sebagai pihak “Turut Tergugat”. Bagaimana ini pandangan hukumnya, apa memang bisa dibenarkan dalil bantahan semacam itu dalam praktik persidangan di Indonesia?
Brief Answer: Sudah saatnya istilah “Turut Tergugat” dihapus
dari kamus hukum acara perdata kita di Indonesia, mengingat lebih banyak
membawa blunder dan sudah banyak jatuh korban akibat gugatannya dinyatakan “kurang
pihak”—suatu dalil berkelit yang acapkali mengada-ngada, sekadar untuk
mengalihkan isu oleh pihak Tergugat. Untuk menjawab pertanyaan demikian, tepat
kiranya kita mengajukan pertanyaan berikut : Ketika pihak Penggugat mengutip
atau merujuk Peraturan Presiden sebagai dasar hukum bagi dalil-dalil gugatannya,
maka apakah Presiden selaku penerbit peraturan dimaksud, perlu, harus, dan
wajib untuk ditarik sebagai “Turut Tergugat”?
Sebuah gugatan, sudah pasti mengutip satu atau
lebih dasar hukum, setidaknya berupa Undang-Undang terbitan parlemen bersama
pemerintah, maka apakah kedua lembaga tersebut, eksekutif dan legislatif, perlu
turut dijadikan Tergugat dalam surat gugatan? Lembaga penerbit peraturan, hanya
relevan digugat dalam register perkara “uji mateiil”, bukan dalam register “gugatan
perdata”.
Merupakan dalil sanggahan (eksepsi) yang mengada-ngada
dari pihak Tergugat, bahwa dengan dikutipnya Peraturan OJK sebagai “dasar hukum”,
maka pihak lembaga OJK harus turut digugat. Peraturan OJK, merupakan “regeling” (fungsi mengatur) yang
bersifat “erga omnes”, alias berlaku umum,
sehingga lembaga yang menerbitkannya tidak perlu turut dijadikan pihak Tergugat
ataupun “Turut Tergugat”. Lain halnya dengan produk tata usaha negara berupa “surat
keputusan” (SK, beschikking) yang
bersifat individual, konkret, disamping final—semisal SK yang mendasari terbitnya
sertifikat hak atas tanah, maka pihak BPN dapat ditarik sebagai “Turut Tergugat”;
itu pun sifatnya tidaklah mutlak, akan tetapi kontektual sesuai jenis
tuntutannya dalam gugatan (petitum).
PEMBAHASAN:
Surat Edaran Mahkamah Agung RI
(SEMA RI) Nomor 10 Tahun 2020, tertanggal 18 Desember 2020, tentang
“Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2020 sebagai
Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan”, yang ditujukan kepada seluruh
pengadilan di Indonesia, salah satunya membuat pengaturan yang relevan dengan isu
hukum di atas, dengan kutipan sebagai berikut:
RUMUSAN HUKUM
RAPAT PLENO KAMAR MAHKAMAH AGUNG
TAHUN 2020
B. RUMUSAN HUKUM KARMAR PERDATA.
1. Gugatan Kurang Pihak
dalam Perkara Tanah:
d. Kriteria Badan Pertanahan
Nasional (BPN) harus ditarik sebagai pihak dalam hal terdapat sertifikat
ganda atas sebagian atau keseluruhan dari luas tanah objek sengketa, antara
lain:
1.) Jika ada petitum yang
meminta pengadilan menjatuhkan putusan mengenai perbuatan hukum tertentu atas
sertifikat, maka BPN harus ditarik sebagai pihak; atau
2.) JIka dalam petitum tidak
ada tuntutan mengenai perbuatan hukum tertentu atas sertifikat yang diterbitkan
oleh BPN, maka BPN tidak perlu ditarik sebagai pihak.
Pada prinsipnya, hukum acara
perdata di Indonesia tidak melarang norma bentukan “argumentum per analogiam”, dimana kaedah terkait “kurang pihak atau
tidak kurang pihak ditariknya pihak BPN sebagai Turut Tergugat”, sejatinya
cukup atau bahkan sangat relevan sebagai “kontra-narasi” terhadap eksepsi “(gugatan)
kurang pihak”, ketika surat gugatan menjadikan Peraturan OJK sebagai “dasar
hukum” bagi dalil-dalil dalam gugatan, sementara itu pihak OJK tidak turut
digugat, sehingga norma hasil analoginya dapatlah kita sebutkan menjadi berbunyi
sebagai berikut:
“JIka dalam petitum (pokok
tuntutan) tidak ada tuntutan mengenai perbuatan hukum tertentu atas PERATURAN
yang diterbitkan oleh OJK, maka OJK tidak perlu ditarik sebagai pihak.”
Dalam praktik yang selama ini
terjadi dalam perkara gugatan perdata (best
practice), banyak kita dapat jumpai gugatan kalangan nasabah / konsumen
jasa keuangan perbankan maupun lembaga keuangan non-perbankan yang menjadikan
Peraturan OJK mengenai Perlindungan Konsumen Lembaga Keuangan sebagai “dasar
hukum” penopang dalil-dalil dalam gugatan (posita),
akan tetapi tidak menjadikan pihak OJK sebagai Tergugat ataupun “Turut Tergugat”.
Meski demikian, hasil putusannya ialah “mengabulkan gugatan Penggugat” serta disaat
bersamaan “menolak eksepsi pihak Tergugat (perihal dalil ‘Kurang Pihak’)”.
Terutama perkara “gugatan sederhana”, tidak memungkinkan untuk mencantumkan
lebih dari satu pihak Tergugat, akan tetapi selama ini “best practice” persidangan tidak menjadikan sebagai syarat bahwa
lembaga penerbit peraturan harus turut digugat dalam gugatan perdata.
Namun, jika itu sampai benar-benar
terjadi, maka itu merupakan “putusan dengan alasan yang mengada-ngada” alias “mencari-cari
kesalahan” atau “mencari-cari alasan” untuk mementahkan / memupuskan gugatan
yang diajukan oleh pihak Penggugat. Tidak tertutup kemungkinan adanya aksi
kolusi-korupsi dalam lingkup aparatur hakim pemeriksa dan pemutus perkara
terhadap kepentingan politis pihak Tergugat (judicial corruption). Berbagai preseden yang telah ada, tidak
pernah mempermaaslahkan hal ini, sehingga ketika terjadi putusan yang sendirian
menyimpang secara tidak lazim dari preseden-preseden yang ada, maka
kredibilitas serta akuntabilitas hakim patut dipertanyakan karena meragukan—mengingat,
tiada “hubungan hukum” apapun antara pihak OJK dan pihak Penggugat, sehingga
menjadi rancu ketika dijadikan pihak Tergugat, disamping menimbang adanya asas
peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Mengajukan upaya hukum banding,
kasasi, maupun Peninjauan Kembali, menjadi solusi disamping memilih opsi untuk
mengajukan gugatan baru dimana OJK ditarik sebagai “Turut Tergugat” sekadar
sebagai formalitas, meski dapat dipastikan pihak perwakilan dari OJK hanya akan
hadir sebagai “penonton penggembira” semata, atau bahkan tidak pernah datang
sama sekali ke persidangan seperti yang sudah-sudah.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.