Hidup adalah Dukkha, karena Tidak Pernah Ada Kepuasan
Permanen
Semakin Besar Keserakahan, Semakin Besar Pula Ketidakpuasan. Lawan Kata dari Keserakahan ialah, Keterpuasan-Hati
Orang yang hebat, adalah mereka yang mampu mengendalikan indera, perbuatan maupun pikiran mereka sendiri, dengan berkata “cukup” (enough)—artinya, ia mampu melepas obsesi maupun dorongan keinginan dalam diri yang bersangkutan, mampu mengendalikan diri sendiri (self-control), memiliki “kepuasan hati”, serta berparadigma “yang ini sudah cukup lumayan”. Anda benar-benar yakin, apa yang selama ini Anda obsesikan, jika kelak Anda mampu meraihnya, Anda akan sungguh-sungguh terpuaskan, secara permanen? Faktanya, kecenderungan atau sifat alamiah seorang manusia ialah, kurang menghargai apa yang telah mereka miliki, tidak terkecuali terhadap apa yang kelak akan menjadi milik mereka (setelah mereka memerolehnya).
Kata atau frasa seperti “enak”,
“bagus”, “indah”, “nyaman”, sungguh tentatif sifanya, semu karena temporer
karakternya. Contoh, duduk di sebuah sofa, pada mulanya nyaman, namun semakin
lama kita pun menjadi gelisah karena menjelma “tidak nyaman”. Matras senyaman
apapun itu, sehalus dan selembut apapun seprai dan seempuk apapun kasurnya,
perlahan namun pasti akan menjelma “tidak nyaman”. Begitupula kita pada mulanya
merasa yakin, bahwa video yang kita saksikan adalah yang paling “terbagus” dan
“terindah”, akan tetapi seiring berjalannya perkembangan zaman, film yang
dahulu membuat kita terkagum-kagum kini tampak begitu ketinggalan zaman dan
“kuno”. Seseorang tercantik ataupun tertampan, akan tampak tidak secantik dan
tidak setampan itu, ketika kita berjumpa mereka yang memiliki wajah lebih
tampan dan lebih cantik. Konon, ketika seseorang telah mampu melihat alam
dewata, betapa cantik-jelitanya kaum dewati di sana, maka wanita di dunia
manusia akan tampak menyerupai “monyet” dan tidak lagi tampak menarik.
Bisa jadi kita saat kini
menyukai sebuah hidangan tertentu, namun tidak tertutup kemungkinan, seiring
bertambahnya usia, kita mulai menyukai hidangan lain dan menjadi tidak menyukai
hidangan yang semula kita gemari sebelumnya. Baiklah jika Anda “bersikukuh”,
bahwa hidangan tersebut adalah hidangan ter-enak sepanjang zaman. Namun,
cobalah Anda makan porsi kedua, porsi ketiga, porsi keempat, dan seterusnya,
perlahan namun pasti Anda akan merasa mual dan muntah sebagai akibat jemu dan
jenuh. Dalam teori ilmu ekonomi, itulah yang dikenal dengan istilah sebagai “teori
marginal”—yakni ketika kita mencapai titik pundak, maka kita akan menemukan
antiklimaksnya, yakni berupa kurva yang bergerak merosot menurun.
Titik terpuncak itu sendiri,
adalah “semu” sifatnya, karena keadaan atau kondisi demikian tidaklah kekal adanya,
selalu menurun ketika kurva telah menyentuh titik terpuncak, karenanya lebih
layak disebut sebagai “titik persimpangan” alih-alih sebagai “titik puncak”.
Sehingga, apakah yang sebetulnya sedang Anda maupun kita cari dalam hidup ini,
hingga membuat kita jungkir-balik dengan memeras keringat, membanting tulang,
memeras otak, bahkan meneteskan air mata dan mengucurkan darah? Masalahnya,
seberapa banyak diantara kita yang mau meluangkan waktu untuk mengamati dan
merenungkan berbagai feneomena-fenomena sederhana, namun dapat kita petik fakta
perihal kehidupan—sekalipun acapkali kita menemukan bahwa “truth always bitter” (fakta selalu pahit) adanya, dimana mungkin
karena itulah banyak diantara kita yang lebih memilih untuk menutup mata dan
memungkiri kenyataan, lalu hidup dalam berbagai delusi “too good to be true” yang diciptakan oleh ilusi pikirannya sendiri.
Contoh, pernah terjadi suatu
ketika, saat penulis mengunjungi restoran langganan tempat dimana penulis kerap
membeli makanan. Salah seorang pegawai disana, menceritakan kepada penulis
bahwa dirinya bebas memakan menu masakan apapun yang dijajakan di rumah makan
tersebut, akan tetapi ia hanya makan dua kali sehari. Mengapa? “Bosan”, itulah jawaban dari sang
karyawan, merasa jemu atas makanan-makanan yang dijual oleh rumah makan tempat
ia bekerja, sekalipun banyak pengunjung dan pembeli yang menyatakan bahwa
masakan dan menu di rumah makan tersebut adalah “enak”. Akibat merasa bosan,
yang “enak” pun menjelma “kurang enak” atau bahkan “memualkan” dan “tidak enak”.
Pernah pada suatu ketika,
seseorang warga mengajak anaknya untuk liburan ke mall paling modern dan paling
baru di Jakarta. Akan tetapi, anaknya menolak. Mengapa? Karena “sudah bosan
(terhadap mall tersebut)”. Kini, Anda masih juga merasa yakin (tanpa keraguan),
bahwa dengan memiliki istri yang cantik, atau suami yang kaya-raya, akan
membuat Anda tidak akan pernah berpotensi disergap dan dikuasai oleh rasa
“bosan”? Tengoklah sosok figur seorang miliarder nama Donald Trump, memiliki
istri lebih dari satu wanita, dimana istri keduanya benar-benar cantik—dan sukar
menemukan wanita dari Indonesia yang mampu menyamai, terlebih menandingi
kecantikan istri kedua Donald Trump—dimana juga kita mengetahui bahwa Donald
Trump memiliki kerajaan bisnis mulai dari real-estate hingga kas!no, bahkan
telah pernah mencicipi duduk di kursi paling bergensi serta paling berkuasa di
Amerika Serikat, presiden. Apakah Anda, benar-benar ingin menjadi seperti
Donald Trump?
Faktanya, Donald Trump tidak
juga puas dan tidak terpuaskan. Ia tidak lama sebelum ulasan ini disusun,
tersandung isu “miring” adanya “affair”
antara Donald Trump dan seorang bintang film “hot”, dimana harta-kekayaan yang
melimpah masih juga dikuasai keserakahan dengan melakukan penyelewengan
kewajiban pajak entitas bisnisnya, bahkan masih ingin kembali duduk di bangku
presiden—yang membuatnya mencoreng prinsip demokrasi ketika ia kalah dalam
pemilihan umum periode kedua, dimana kemudian saat kini ia hendak kembali
mencalonkan diri sebagai presiden. Ketika seseorang mengikuti keinginan, maka
tiada habisnya, yang kemudian tercipta ialah era Orde Lama Sukarno, era Orde
Baru Suharto, maupun presiden “abadi” Vladimir Putin di Rusia. Belum lama ini,
Hakim Agung di Amerika Serikat, yang menjabat sebagai Hakim Agung untuk seluruh
sisa hidupnya hingga meninggal dunia, ternyata belum juga merasa belum cukup
puas, karena kemudian ia tersandung kasus hukum jual-beli perkara dan putusan.
Bukanlah hisapan jempol, ketika
seseorang bermula merasa “sayang” atau “cinta” pada seseorang, berubah drastis
secara dramatis menjelma menjadi “benci” dan “muak” atau bahkan
“dendam”—biasanya dicemari oleh faktor pengkhianatan, perselingkuhan,
keegoisan, posesif ingin menguasai, maupun sikap-sikap yang “bertepuk sebelah
tangan” (membalas kebaikan dengan kejahatan, dsb). Sehingga, tepat kiranya,
ketika kita merasa yakin akan sesuatu sebagai “layak untuk dikejar dan
digenggam erat”, maka tanyakanlah kepada diri kita sendiri, “Yakin?” Dari kawan, menjelma musuh
bebuyutan. Dari hubungan pertalian darah menjelma peperangan berdarah-darah.
Tiada yang kekal, tiada yang abadi, itulah yang dalam terminologi Buddhistik,
disebut sebagai “anicca”, dimana
segala hal yang berkondisi, tunduk pada kebenaran demikian, yakni “tiada yang
kekal”, “selalu berubah”, “tidak dapat bertahan untuk selamanya”.
Mengapa segalanya berubah?
Karena “tiada inti”, yang dalam terminologi Buddhistik dikenal dengan istilah “anatta”. Penulis kenal banyak contoh
individu, yang semula penulis kenali sebagai sosok yang baik dan hangat, mulia
dan murah hati. Namun, seiring bertambahnya usia, menjadi dewasa atau menua,
mereka menjelma menyerupai sosok yang sama sekali berbeda alias menyerupai dua
orang yang berlainan, mengingat kepribadiannya saling bertolak-belakang, antara
sosok yang “dahulu” dan sosok yang “kini”. Bila ada “inti”, maka seseorang
tidak mungkin berubah ataupun bergeser watak-kepribadian maupun bentuk tubuhnya
meski hanya satu inci.
Lantas, apakah akibat dibalik
satu rangkaian rentetan “efek domino” dari “anicca”
maupun “anatta” ini? Tidak lain tidak
bukan, ialah ketidak-puasan dan “tidak dapat terpuaskan” itu sendiri, dimana
itulah yang dalam terminologi Buddhistik dikenal luas dengan istilah “dukkha”—istilah yang terlampau sering
diterjemahkan secara sederhana sebagai “derita”. Hidup adalah “dukkha”, dan ada akar atau asal-muasal “dukkha”. Meski demikian, misi misionaris
oleh Sang Buddha tidak berhenti menunjukkan kepada kita sampai disitu,
akan tetapi berlanjut pada “(adanya potensi) akhir dari dukkha”, serta “jalan menuju akhir dari dukkha”. Dimanakah itu? Yakni di “pantai seberang”. Masalahnya,
sebagian besar diantara kita, bahkan mayoritas umat Buddhist, lebih memilih
hilir-mudik dalam siklus lingkaran samsara yang bernama “tumimbal lahir”, yakni
siklus tiada berkesudahan berupa : lahir, tua, meninggal, sebelum kemudian
memulai kembali “ritual” kehidupan yang bernama “never ending stories” yang sifatnya masih akan “to be continue...”.
Orang-orang bersukaria ketika
seseorang bayi dilahirkan, dimana semestinya kita dengan “akal (yang) sehat”
dan “pikiran jernih” patut merasa bersedih serta berduka, mengingat cepat atau
lambat, si bayi akan tunduk pada hukum alam, bernama : menua, jatuh sakit, dan
meninggal dunia. Fenomena sebaliknya, sanak-keluarga bersedih dan meratap,
ketika ada anggota keluarnya meninggal dunia, dimana semestinya mereka
mengadakan acara syukuran penuh kebahagiaan semeriah pesta pernikahan atau
acara pesta ulang-tahun, karena sang almarhum kini telah terlahir kembali
lengkap dengan gigi barunya yang lengkap. Mengutip apa yang disebutkan oleh
Ajahn Brahm, kita semestinya bukan berkata “Dok,
ada yang TIDAK BERES dengan tubuh saya, saya sakit!” ketika kita jatuh
sakit, akan tetapi katakanlah kepada sang Dokter, “Dok, ada yang BERES dengan diri saya, saya sakit!”
Anda sudah tahu ada konsekuensi
apa dibalik “derita orang-orang yang menikah dan memiliki anak”, lantas mengapa
juga Anda masih menikah dan menantang derita-derita tersebut? Betul, memang ada
juga “derita orang yang membujang”, namun itulah “derita dan resiko terlahir
dan hidup sebagai seorang manusia” (tumimbal-lahir itu sendiri). Baru-baru ini
terdapat seorang profesor dibidang hukum, yang kerap menjadi ahli di
persidangan perkara korupsi, namun kemudian tersandung perkara korupsi dengan
sangkaan telah menerima gratifikasi (suap terkait jabatan alias penyalah-gunaan
kewenangan) senilai miliaran rupiah. Profesor tersebut, dahulu dikenal sebagai
“cerdas”, namun kini masyarakat luas menilainya sebagai “dungu”.
Relevan dengan topik bahasan
kita dalam kesempatan ini, tidak lengkap bila kita tidak merujuk langsung khotbah
Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical
Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012,
terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi
Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan inspiratif sebagai berikut:
42 (1)
“Para bhikkhu, ada dua jenis
kumpulan. Apakah dua ini? Kumpulan dangkal dan kumpulan dalam.
“Dan apakah kumpulan dangkal?
Kumpulan di mana para bhikkhu gelisah, pongah, tinggi hati, banyak bicara,
berbicara tanpa arah, dengan perhatian yang kacau, tanpa pemahaman jernih,
tidak terkonsentrasi, dengan pikiran mengembara, dengan organ-organ indria yang
kendur, disebut kumpulan dangkal.
“Dan apakah kumpulan dalam?
Kumpulan di mana para bhikkhu tidak gelisah, tidak pongah, tidak tinggi hati,
tidak banyak bicara, tidak berbicara tanpa arah, melainkan dengan perhatian
yang kokoh, memahami dengan jernih, terkonsentrasi, dengan pikiran terpusat,
dengan organ-organ indria yang terkendali, disebut kumpulan dalam.
“Ini, para bhikkhu, adalah
kedua jenis kumpulan itu. Di antara kedua jenis ini, kumpulan dalam adalah
yang terunggul.”
43 (2)
“Para bhikkhu, ada dua jenis
kumpulan ini. Apakah dua ini? Kumpulan yang terpecah dan kumpulan yang
harmonis.
“Dan apakah kumpulan yang
terpecah? Kumpulan di mana para bhikkhu terbiasa berdebat dan bertengkar
dan jatuh dalam perselisihan, saling menusuk satu sama lain dengan kata-kata
tajam, disebut kumpulan yang terpecah.
“Dan apakah kumpulan yang
harmonis? Kumpulan di mana para bhikkhu berdiam dalam kerukunan, dengan
harmonis, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dan air, saling menatap
satu sama lain dengan tatapan kasih sayang, disebut kumpulan yang harmonis.
“Ini, para bhikkhu, adalah
kedua jenis kumpulan itu. Di antara kedua jenis ini, kumpulan yang harmonis
adalah yang terunggul.”
44 (3)
“Para bhikkhu, ada dua jenis
kumpulan ini. Apakah dua ini? Kumpulan orang-orang rendah dan kumpulan
orang-orang unggul.
“Dan apakah kumpulan
orang-orang rendah? Di sini, dalam kumpulan jenis ini para bhikkhu senior
hidup mewah dan menjadi mengendur, menjadi pelopor dalam kemerosotan,
mengabaikan tugas keterasingan; mereka tidak membangkitkan kegigihan untuk
mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh,
untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. [Mereka dalam] generasi
berikutnya mengikuti jejak mereka. Mereka juga hidup mewah dan menjadi
mengendur, menjadi pelopor dalam kemerosotan, mengabaikan tugas keterasingan;
mereka juga tidak membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa yang belum
dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa
yang belum direalisasikan. Ini disebut kumpulan orang-orang rendah.
[Kitab Komentar : Dengan
melakukan apa yang dilakukan oleh penahbis dan guru-guru mereka, mereka
mengikuti sesuai dengan praktik yang mereka lihat.]
“Dan apakah kumpulan
orang-orang unggul? Di sini, dalam kumpulan jenis ini para bhikkhu senior
tidak hidup mewah dan tidak menjadi mengendur, dan membuang kebiasaan-kebiasaan
lama dan menjadi pelopor dalam keterasingan; mereka membangkitkan kegigihan
untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum
diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. [Mereka dalam] generasi
berikutnya mengikuti teladan mereka. Mereka juga tidak hidup mewah dan
tidak menjadi mengendur, dan membuang kebiasaan-kebiasaan lama dan menjadi
pelopor dalam keterasingan; mereka juga membangkitkan kegigihan untuk mencapai
apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk
merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Ini disebut kumpulan orang-orang
unggul.
“Ini, para bhikkhu, adalah
kedua jenis kumpulan itu. Di antara kedua jenis ini, kumpulan orang-orang
unggul adalah yang terunggul.”
45 (4)
“Para bhikkhu, ada dua jenis
kumpulan ini. Apakah dua ini? Kumpulan orang-orang mulia dan kumpulan
orang-orang tidak mulia.
“Dan apakah kumpulan
orang-orang tidak mulia? Kumpulan di mana para bhikkhu tidak memahami
sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; tidak memahami sebagaimana
adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; tidak memahami sebagaimana adanya:
‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini
adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan’ disebut kumpulan orang-orang tidak
mulia.
“Dan apakah kumpulan
orang-orang mulia? Kumpulan di mana para bhikkhu memahami sebagaimana
adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah
asalmula penderitaan’; [72] memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’;
memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan’
disebut kumpulan orang-orang mulia.
“Ini, para bhikkhu, adalah
kedua jenis kumpulan itu. Di antara kedua jenis ini, kumpulan orang-orang
mulia adalah yang terunggul.”
46 (5)
“Para bhikkhu, ada dua jenis
kumpulan ini. Apakah dua ini? Ampas dari suatu kumpulan dan krim dari suatu
kumpulan.
“Dan apakah ampas dari suatu
kumpulan? Kumpulan di mana para bhikkhu memasuki jalan salah karena
keinginan, kebencian, delusi, atau ketakutan disebut ampas dari suatu kumpulan.
“Dan apakah krim dari suatu
kumpulan? Kumpulan di mana para bhikkhu tidak memasuki jalan salah karena
keinginan, kebencian, delusi, atau ketakutan disebut krim dari suatu kumpulan.
“Ini, para bhikkhu, adalah kedua
jenis kumpulan itu. Di antara kedua jenis ini, krim dari suatu kumpulan
adalah yang terunggul.”
47 (6)
“Para bhikkhu, ada dua jenis
kumpulan ini. Apakah dua ini? Kumpulan yang terlatih dalam pembicaraan
omong-kosong, bukan dalam tanya jawab, dan kumpulan yang terlatih dalam tanya
jawab, bukan dalam pembicaraan omong-kosong.
“Dan apakah kumpulan yang
terlatih dalam pembicaraan omong-kosong, bukan dalam tanya jawab? Di sini,
dalam kumpulan jenis ini, ketika khotbah-khotbah yang dibabarkan oleh Sang
Tathāgata sedang dilafalkan yang dalam, mendalam secara makna,
melampaui-keduniawian, berhubungan dengan kekosongan, para bhikkhu tidak ingin
mendengarkannya, tidak menyimaknya, atau mengarahkan pikiran mereka untuk
memahaminya; mereka tidak berpikir bahwa ajaran-ajaran itu harus dipelajari dan
dipahami. Tetapi ketika khotbah-khotbah itu sedang dilafalkan yang hanya
sekedar syair-syair yang digubah oleh para penyair, indah dalam kata-kata,
diciptakan oleh pihak luar, dibabarkan oleh para siswa, maka mereka ingin
mendengarnya, menyimaknya, dan mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya;
mereka berpikir bahwa ajaran-ajaran itu harus dipelajari dan dipahami. Dan
setelah mempelajari ajaran-ajaran itu, mereka tidak saling bertanya jawab satu
sama lain tentang ajaran-ajaran itu atau memeriksanya secara seksama, [73]
[dengan bertanya]: ‘Bagaimana ini? Apakah makna dari hal ini?’ Mereka tidak
mengungkapkan [kepada orang lain] apa yang samar-samar dan tidak menjelaskan
apa yang tidak jelas, atau menghapuskan kebingungan sehubungan dengan banyak
hal yang membingungkan. Ini disebut kumpulan yang terlatih dalam pembicaraan
omong-kosong, bukan dalam tanya jawab.
“Dan apakah kumpulan yang
terlatih dalam tanya jawab, bukan dalam pembicaraan omong-kosong? Di sini,
ketika khotbah-khotbah itu sedang dilafalkan yang hanya sekedar syair-syair
yang digubah oleh para penyair, indah dalam kata-kata, diciptakan oleh pihak
luar, dibabarkan oleh para siswa, maka mereka tidak ingin mendengarnya, tidak
menyimaknya, dan tidak mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya; mereka
tidak berpikir bahwa ajaran-ajaran itu harus dipelajari dan dipahami. Tetapi
ketika khotbah-khotbah yang dibabarkan oleh Sang Tathāgata sedang dilafalkan
yang dalam, mendalam secara makna, melampaui-keduniawian, berhubungan
dengan kekosongan, para bhikkhu ingin mendengarkannya, menyimaknya, dan
mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya; mereka berpikir bahwa
ajaran-ajaran itu harus dipelajari dan dipahami. Dan setelah mempelajari ajaran-ajaran
itu, mereka saling bertanya jawab satu sama lain tentang ajaran-ajaran itu dan memeriksanya
secara seksama, [dengan bertanya]: ‘Bagaimana ini? Apakah makna dari hal
ini?’ Mereka mengungkapkan [kepada orang lain] apa yang samar-samar dan
menjelaskan apa yang tidak jelas, dan menghapuskan kebingungan sehubungan
dengan banyak hal yang membingungkan. Ini disebut kumpulan yang terlatih dalam
tanya jawab, bukan dalam pembicaraan omong-kosong.
“Ini, para bhikkhu, adalah
kedua jenis kumpulan itu. Di antara kedua jenis ini, kumpulan yang terlatih
dalam tanya jawab, bukan dalam pembicaraan omong-kosong, adalah yang terunggul.”
48 (7)
“Para bhikkhu, ada dua jenis
kumpulan ini. Apakah dua ini?
Kumpulan yang menghargai
hal-hal duniawi, bukan Dhamma sejati, dan kumpulan yang menghargai Dhamma sejati,
bukan hal-hal duniawi.
“Dan apakah kumpulan yang
menghargai hal-hal duniawi, bukan Dhamma sejati? Di sini, dalam kumpulan
jenis ini para bhikkhu saling memuji satu sama lain di hadapan para perumah
tangga berjubah putih, dengan mengatakan: ‘Bhikkhu itu adalah seorang yang
terbebaskan dalam kedua cara; yang itu adalah seorang yang terbebaskan melalui
kebijaksanaan; [74] yang itu adalah seorang saksi-tubuh; yang itu adalah
seorang yang mencapai pandangan; yang itu adalah seorang yang terbebaskan
melalui keyakinan; yang itu adalah seorang pengikut-Dhamma; yang itu adalah
seorang pengikut-keyakinan; yang itu adalah seorang yang bermoral dan
berkarakter baik; yang itu adalah seorang yang tidak bermoral dan berkarakter
buruk.’ Dengan cara demikian mereka menerima perolehan, yang mereka
gunakan dengan terikat padanya, tergila-gila padanya, secara membuta
terserap di dalamnya, tidak melihat bahaya di dalamnya, tidak
memahami jalan membebaskan diri. Ini disebut kumpulan yang menghargai
hal-hal duniawi, bukan Dhamma sejati.
“Dan apakah kumpulan yang
menghargai Dhamma sejati, bukan hal-hal duniawi? Di sini, dalam kumpulan
jenis ini para bhikkhu tidak saling memuji satu sama lain di hadapan para
perumah tangga berjubah putih, dengan mengatakan: ‘Bhikkhu itu adalah seorang
yang terbebaskan dalam kedua cara … yang itu adalah seorang yang tidak bermoral
dan berkarakter buruk.’ Dengan cara demikian mereka menerima perolehan, yang mereka
gunakan dengan tidak terikat padanya, tidak tergila-gila padanya, tidak secara
membuta terserap di dalamnya, melihat bahaya di dalamnya, memahami jalan
membebaskan diri. Ini disebut kumpulan yang menghargai Dhamma sejati, bukan
hal-hal duniawi.
“Ini, para bhikkhu, adalah
kedua jenis kumpulan itu. Di antara kedua jenis ini, kumpulan yang
menghargai Dhamma sejati, bukan hal-hal duniawi, adalah yang terunggul.”
49 (8)
“Para bhikkhu, ada dua jenis
kumpulan ini. Apakah dua ini? Kumpulan yang tidak bajik dan kumpulan yang
bajik.
“Dan apakah kumpulan yang
tidak bajik? Di sini, dalam kumpulan ini tindakan disiplin yang
bertentangan dengan Dhamma dijalankan dan tindakan disiplin yang sesuai Dhamma
tidak dijalankan; tindakan disiplin yang bertentangan dengan disiplin
dijalankan dan tindakan disiplin yang sesuai disiplin tidak dijalankan.
Tindakan disiplin yang bertentangan dengan Dhamma dijelaskan dan tindakan
disiplin yang sesuai Dhamma tidak dijelaskan; tindakan disiplin yang
bertentangan dengan disiplin dijelaskan dan tindakan disiplin yang sesuai
disiplin tidak dijelaskan. Ini, para bhikkhu, disebut kumpulan yang tidak
bajik. Adalah karena tidak bajik maka dalam kumpulan ini tindakan disiplin
yang bertentangan dengan Dhamma dijalankan … [75] … dan tindakan disiplin yang
sesuai dengan disiplin tidak dijelaskan.
“Dan apakah kumpulan yang
bajik? Di sini, dalam kumpulan ini tindakan disiplin yang sesuai Dhamma
dijalankan dan tindakan disiplin yang bertentangan dengan Dhamma tidak
dijalankan; tindakan disiplin yang sesuai disiplin dijalankan dan tindakan
disiplin yang bertentangan dengan disiplin tidak dijalankan. Tindakan disiplin
yang sesuai Dhamma dijelaskan dan tindakan disiplin yang bertentangan Dhamma
tidak dijelaskan; tindakan disiplin yang sesuai disiplin dijelaskan dan
tindakan disiplin yang bertentangan dengan disiplin tidak dijelaskan. Ini, para
bhikkhu, disebut kumpulan yang bajik. Adalah karena bajik maka dalam
kumpulan ini tindakan disiplin yang sesuai Dhamma dijalankan … [75] … dan
tindakan disiplin yang bertentangan dengan disiplin tidak dijelaskan.
“Ini, para bhikkhu, adalah
kedua jenis kumpulan itu. Di antara kedua jenis ini, kumpulan yang bajik
adalah yang terunggul.”
50 (9)
“Para bhikkhu, ada dua jenis
kumpulan ini. Apakah dua ini? Kumpulan yang bertindak bertentangan dengan
Dhamma dan kumpulan yang bertindak sesuai Dhamma … [seperti pada 2:49] … “Ini,
para bhikkhu, adalah kedua jenis kumpulan itu. Di antara kedua jenis ini, kumpulan
yang bertindak sesuai Dhamma adalah yang terunggul.”
51 (10)
“Para bhikkhu, ada dua jenis
kumpulan ini. Apakah dua ini? Kumpulan yang membicarakan bukan-Dhamma dan
kumpulan yang membicarakan Dhamma.
“Dan apakah kumpulan yang
membicarakan bukan-Dhamma? Di sini, dalam kumpulan jenis ini para bhikkhu
terlibat dalam suatu persoalan disiplin, satu yang mungkin sesuai Dhamma atau
yang bertentangan dengan Dhamma. Setelah terlibat dalam persoalan itu, mereka
tidak saling meyakinkan satu sama lain dan tidak membiarkan diri mereka
diyakinkan; mereka tidak berunding dan tidak menerima perundingan. Tanpa adanya
kekuatan tindakan saling meyakinkan dan kekuatan perundingan, [76] tidak
bersedia melepaskan pendapat mereka, mereka secara keliru menggenggam persoalan
disiplin tersebut bahkan lebih erat lagi, dan dengan melekati posisi mereka,
mereka menyatakan: ‘Hanya ini yang benar; yang lainnya salah.’ Ini disebut
kumpulan yang membicarakan bukan-Dhamma.
“Dan apakah kumpulan yang
membicarakan Dhamma? Di sini, dalam kumpulan jenis ini para bhikkhu
terlibat dalam suatu persoalan disiplin, satu yang mungkin sesuai Dhamma atau
yang bertentangan dengan Dhamma. Setelah terlibat dalam persoalan itu, mereka
saling meyakinkan satu sama lain atau membiarkan diri mereka diyakinkan; mereka
berunding dan menerima perundingan. Dengan adanya kekuatan tindakan
saling meyakinkan dan kekuatan perundingan, bersedia melepaskan pendapat mereka,
mereka tidak secara keliru menggenggam persoalan disiplin tersebut bahkan lebih
erat lagi, juga tidak dengan melekati posisi mereka, mereka menyatakan: ‘Hanya
ini yang benar; yang lainnya salah.’ Ini disebut kumpulan yang membicarakan
Dhamma.
“Ini, para bhikkhu, adalah
kedua jenis kumpulan itu. Di antara kedua jenis ini, kumpulan yang
membicarakan Dhamma adalah yang terunggul.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.