Keluarga yang Berhak Mengajukan Pembatalan terhadap Perkawinan Seseorang

Batalnya Perkawinan Tidak Bersifat “Demi Hukum”, namun Harus Diajukan Gugatan Pembatalan Perkawinan oleh Keluarga Garis Lurus ke Atas

Menikahi seorang Almarhum, Perkawinan Tidak Batal “Demi Hukum”, namun Harus Digugat agar Perkawinan Dinyatakan Batal

Question: Apakah hanya orangtua ataukah setiap anggota keluarga lainnya juga berhak secara hukum untuk mengajukan permohonan pembatalan terhadap perkawinan salah seorang anggota kelurga kami?

Brief Answer: Tampaknya baik undang-undang maupun praktik peradilan (best practice) di Indonesia, tidak memungkinkan setiap anggota keluarga mengajukan gugatan pembatalan perkawinan. Hanya keluarga dalam garis lurus ke atas, yakni orang tua maupun kakek-nenek dari seseorang yang yang hendak dibatalkan perkawinannya tersebut, tidak bisa oleh saudara kandung maupun anggota keluarga lainnya.

PEMBAHASAN:

Untuk memudahkan pemahaman, terdapat sebuah ilustrasi konkret yang sangat ekstrem sifatnya, yakni seseorang warga menikahi seseorang yang telah berstatus “almarhum”, sehingga mengancam kepentingan hukum ahli waris dari almarhum—mengingat keluarga sedarah tidak lagi menjadi ahli waris bilamana almarhum secara formal telah menikahi seorang istri (adanya Akta Perkawinan) dan memiliki keturunan—sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan Mahkamah Agung RI sengketa perdata register Nomor 1066 K/Pdt/2013 tanggal 18 September 2013, perkara antara:

1. TJIE TJAUW TJUEN; 2. TJIE LILYANA; 3. TJIE SIU TJHING, sebagai Para Penggugat; melawan

1. CHRISTY ANDREA CHANDRA; 2. PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL; dan 3. GEREJA BETHEL Indonesia, sebagai Para Tergugat.

Para Penggugat merupakan saudara kandung dari Sandi Wahyudi yang telah menikah dengan Tergugat I. Adapun Sandi Wahyudi pada tanggal 13 November 2006 telah meninggal dunia, sebagaimana tercatat dalam Kutipan Akta Kematian yang diterbitkan oleh Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Permasalahan bermula ketika Tergugat I pada tanggal 19 Juni 1997 tanpa sepengetahuan Para Penggugat, membuat surat perkawinan sebagaimana yang tercatat dalam Kutipan Akta Perkawinan tertanggal 19 Juni 1997 yang diterbitkan oleh Tergugat II—yang pada pokoknya menerangkan bahwa dari Daftar Perkawinan, pada tanggal 19 Juni 1997 telah tercatat perkawinan antara (almarhum) Sandi Wahyudi dengan Tergugat I yang mana dilaksanakan dihadapan Tergugat III.

Bagaimana mungkin, Tergugat I menikahi seorang “almarhum”? Jelas terjadi mal-administrasi, namun Akta Perkawinan tidak menjadi “batal demi hukum”, akan tetapi harus digugat agar dibatalkan, sekalipun nyata-nyata keganjilannya ekstrem sekali. Akibatnya, Para Penggugat yang notabene selaku kelurga sedarah dari almarhum, terancam tidak lagi berstatus sebagai “ahli waris”, melainkan istri dan anak-anak dari almarhum dengan adanya Akta Perkawinan, yang tampaknya sengaja dibuat secara rekayasa demikian. Penggugat pada tanggal 8 September 2009 kemudian meminta klarifikasi keabsahan akta nikah atas nama almarhum Sandi Wahyudi dengan Tergugat I kepada Tergugat III, dimana pada tanggal 17 September 2009 Tergugat III telah memberikan surat klarifikasi yang pada pokoknya mengatakan bahwa: “Akta Nikah atas nama Sandi Wahyudi dengan Christy Andrea Chandra yang termaktub dalam Kutipan Perkawinan Catatan Sipil Nomor 271/I/PPA/1997., tertanggal 19 Juni 1997 adalah bukan Akta Nikah yang sah dari Gereja kami.”

Nyata-nyata telah terbukti dengan jelas bahwa perkawinan yang telah dilakukan Tergugat I adalah sebagai peristiwa yang tidak sah, atau dianggap tidak pernah ada, sehingga merujuk ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sangatlah beralasan hukum apabila Para Penggugat mengajukan gugatan pembatalan perkawinan dimaksud, dengan maksud agar Majelis Hakim di pengadilan menyatakan batal perkawinan antara almarhum Sandi Wahyudi dan Christy Andrea Chandra (Tergugat I), dengan menghapus catatan perkawinan tertanggal 19 Juni 1997 tersebut dari database kependudukan—yang secara tidak langsung, Tergugat I dengan demikian tidak lagi berkedudukan sebagai “ahli waris” dari almarhum, dan itulah tujuan utama gugatan ini diajukan oleh Para Penggugat.

Terhadap gugatan Para Penggugat, Pengadilan Negeri Jakarta Barat kemudian menjatuhkan putusan sebagaimana register Nomor 98/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Bar., tanggal 24 November 2010, dengan amar sebagai berikut:

MENGADILI :

- Menyatakan gugatan Para Penggugat tidak dapat diterima;”

Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat, putusan Pengadilan Negeri diatas kemudian telah ternyata dikukuhkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan Putusan Nomor 329/PDT/2011/PT.DKI., tanggal 30 Mei 2012. Selanjutnya pihak Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dengan argumentasi bahwa telah nyata-nyata terjadi mal-administrasi terbitnya Akta Perkawinan demikian, sehingga sudah selayaknya perkawinan dinyatakan batal, dimana terhadapnya Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

“Bahwa alasan kasasi tidak dapat dibenarkan, Judex Facti (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi) tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:

- Bahwa berdasarkan Pasal 22 s/d 28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditentukan yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah:

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;

b. Suami atau isteri;

c. Pejabat yang berwenang;

d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat 2 Pasal 16 Undang-Undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut tetapi hanya setelah perkawinan itu putus;

- Bahwa oleh karena Penggugat perkara a quo bukan merupakan keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari alm. Suami Tergugat I, maka tidak berwenang untuk mengajukan gugatan pembatalan perkawinan, dengan demikian pertimbangan Judex Facti yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima sudah tepat dan benar;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata Putusan Judex Facti / Pengadilan Tinggi Jakarta dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi

TJIE TJAUW TJUEN tersebut harus ditolak;

M E N G A D I L I :

- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi TJIE TJAUW TJUEN tersebut;”

CATATAN PENUTUP SHIETRA & PARTNERS:

Sebenarnya terdapat kekeliruan yang nyata dari pertimbangan hukum Mahkamah Agung RI dalam putusan di atas. Perkawinan bukan hanya dinyatakan “putus”, akibat perceraian, namun juga secara “demi hukum” akibat peristiwa hukum berupa kematiannya seorang suami / istri.

Merujuk kembali ketentuan mengenai siapa-siapa saja yang berwenang mengajukan pembatalan perkawinan, Mahkamah Agung RI sebenarnya telah mengutip dalam pertimbangan hukumnya : “...dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut tetapi hanya setelah perkawinan itu putus”—perkawinan telah “putus” efektif sejak sang suami meninggal dunia, dimana “legal standing” atau kepentingan hukum Para Penggugat ialah jelas perihal potensi status “ahli waris” jatuh ke tangan istri dari almarhum bilamana perkawinan tidak dibatalkan.

Sebagai kesimpulan, Akta Perkawinan tampaknya tunduk pada rezim asas “presumptio iustae causa”, suatu asas yang bermakna bahwa suatu keputusan tata usaha negara selalu dianggap sah—keabsahan mana baru akan sirna, ketika terdapat keputusan baru yang membatalkan atau mencabut yang lama. Namun apakah juga harus demikian linear pola berpikir hukumnya, sekalipun nyata-nyata terdapat kekeliruan yang nyata dalam proses penerbitannya sebagaimana ilustrasi konkret yang ekstrem sifatnya di atas? Itulah yang disebut dan dikenal sebagai “keadilan prosedural”, alih-alih mengedepankan “keadilan substansif”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.