Tiada Istilah KREDITOR dalam Transaksi Afiliasi antar Perusahan dalam Satu Grub Usaha yang Sama, baik antar SISTER COMPANY maupun antara ANAK USAHA (SHELL COMPANY) dan INDUK USAHA (HOLDING COMPANY)
Sudah sejak beberapa dasawarsa lampau, alias bukan fenomena baru, berbagai korporasi “memecah” setiap divisi operasionalnya menjadi berbagai badan hukum yang seolah-olah tampak berdiri sendiri, namun saling bertransaksi satu sama lain meski “beneficial owner”-nya adalah “holding company” yang sama—alias modus “transaksi ‘antar anak usaha’ maupun ‘antara anak usaha dan induk usaha’ dalam satu grub usaha”. Sebagai contoh, dalam satu perusahaan yang bergerak dibidang produksi barang kebutuhan rumah tangga, divisi logistik disitribusinya didirikan badan hukum tersendiri, divisi penyulai bahan bakunya didirikan badan hukum tersendiri, divisi “tenaga alih daya”-nya didirikan badan hukum tersendiri, divisi penyediaan catering makan siang untuk pegawainya didirikan badan hukum tersendiri, hingga divisi “mematikan kompetitor” (dengan membuat produk serupa yang homogen, namun maksud dan tujuan untuk merusak harga pasar dan mematikan pesaing), dan lain sebagainya.
Alhasil, secara administrasi,
tampak dalam satu kegiatan usaha korporasi produksi bahan kebutuhan
rumah-tangga tersebut, terdapat berbagai kontrak dan transaksi antara berbagai
badan hukum (yang biasanya berupa) Perseroan Terbatas tersebut dengan badan
hukum Perseroan Terbatas yang notabene induk usaha atau “holding company”-nya. Ini ibarat antar anggota keluarga atau antara
anak dan orangtua saling bertransaksi jual-beli. Sejatinya, tanpa mendirikan
berbagai badan usaha tersebut pun, perusahaan dapat berproduksi secara normal
dan utuh; mengingat sumber dana maupun sumber daya keseluruhannya bersumber
dari satu sumber yang sama, yakni satu orang / perusahaan “beneficial owner”. Pastilah terdapat motif (dengan disertai niat
buruk, tentunya) terselubung atau tersembunyi tertentu dibaliknya (hidden agenda), memecah-mecah sumber
daya ekonominya tersebut, dimana kaum pengusaha / pebisnis kerap merancang aksi
korporasi yang penuh selubung dan kian terselubung. Tiada manuver korporasi
yang tidak terdapat alasan (klise) bisnis dibaliknya, pebisnis adalah kaum
sangat kalkulatif, sekaligus kerap tidak etis—terlebih mengharapkan mereka
untuk mengedepankan etika berbinis.
Sejatinya pula, berbagai badan
usaha yang notabene “anak usaha”, didirikan dengan maksud dan tujuan awal
sekadar sebagai “shell company”, alias
perusahaan “cangkang”. Ilustrasi konkret yang telah pernah dialami langsung
oleh Klien penulis ialah, sebuah korporasi yang bergerak dibidang usaha
produksi sawit (produsen sawit raksasa), menyewa kontraktor penyedia jasa
konstruksi untuk membangun pabrik pengolah sawit mentah. Namun korporasi
tersebut tidak mengikat kontrak bisnis dengan sang kontraktor dengan memakai
badan hukum induknya, akan tetapi menjadikan anak usaha dalam satu “grub usaha”
sebagai “nominee” alias boneka untuk
menandatangani kontrak dengan sang kontraktor, meski pihak “penerima manfaat” (beneficial owner)-nya ialah pihak “holding company”.
Ketika terjadi sengketa,
kontraktor tidak dibayar, maka pihak kontraktor hanya bisa menggugat “anak
usaha” yang berupa “cangkang” tanpa harta kekayaan, sehingga menggugat pun
menjadi percuma, mengingat dapat dipastikan tiada aset yang dapat disita maupun
dieksekusi—alias “menang diatas kertas”. Modus jahat dan “menghisap” demikian
kerap dipraktikkan oleh korporasi-korporasi raksasa di Tanah Air, sejak lama
telah merugikan rekan bisnis pihak ketiga yang lemah ekonominya, dimana dapat
kita perkirakan kian menjelma praktik yang “lumrah” pada berbagai korporasi
raksasa hingga saat kini. Akan tetapi, penulis tidak bermaksud membahas fakta
sosio-bisnis demikian dalam kesempatan ini, kita cukup berfokus pada isu hukum
“transaksi ter-afiliasi”.
Kembali pada contoh praktik
berbagai badan hukum yang seolah saling bertransaksi dengan perusahaan
induknya, terdapat kontrak transaksi bisnis antara perusahaan produsen dan
perusahaan logistik, perusahaan produsen dan perusahaan outsourcing, perusahaan produsen dan perusahaan jasa keamanan dan
parkir, perusahaan produsen dan perusahaan catering, perusahaan produsen dan
perusahaan penyuplai bahan baku, dan lain sebagainya. Kini, kita masuk pada
pertanyaan pokok-besarnya, ialah : jika induk usahanya, yakni perusahaan
produsen (sudah pasti) secara sengaja tidak membayar harga senilai harga
transaksi dalam kontrak-kontrak tersebut, maka apakah perusahaan-perusahaan yang
notaebene berbagai “anak usaha” dalam satu “grub usaha” yang sama, merupakan
atau dapat kita golongkan sebagai “kreditor”?
Undang-Undang Kepalilitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang saat ulasan ini disusun masih
berlaku, tidak membedakan antara “Kreditor MURNI” dan “Kreditor TER-AFILIASI”.
Namun bukan berarti praktik peradilan pada Pengadilan Niaga tidak dapat membuat
preseden (best practice) untuk
melengkapi norma hukum yang kurang lengkap ataupun kurang sempurna, semisal
membuat perbedaan perlakuan terhadap kedua jenis kreditor dimaksud. Secara
pribadi, penulis menilai bahwa “Kreditor TERAFILIASI” tidak dapat
digolongkan sebagai Kreditor yang berhak memohon pailit ataupun diterima hak
suaranya dalam voting “rapat kreditor” ketika sang debitor yang merupakan
“induk usaha” maupun “anak usahanya” dimohonkan pailit oleh pihak ketiga maupun
oleh perusahaan afiliasinya sendiri yang masih satu “grub usaha”. Mengapa?
Secara falsafah, “Kreditor
TERAFILIASI” merupakan “created creditor”,
yang bermakna “kreditor yang memang sejak semula sengaja diciptakan /
dirancang”, sehingga “nature”-nya
ialah ada sebentuk “benturan kepentingan” didalamnya, mengingat terdapat
hubungan saling terafiliasi antara sang “kreditor” dan “debitor”-nya (masih
dalam satu “grub usaha”, dimana kepentingan yang bermain diantara keduanya
ialah dapat dipastikan untuk atau dalam rangka kepentingan bisnis pihak “beneficial owner” dibaliknya—sekalipun
terkesan ada dua subjek hukum atau dua badan hukum yang independen, yakni suatu
“kreditor” dan suatu “debitor”. Ibarat kata, sudah pasti sang “kreditor” akan
membela “debitornya”, bilamana ada pihak ketiga yang notabene “Kreditor MURNI”
hendak mampailitkan sang “debitor”.
Ilustrasi berupa analogi
berikut penulis harapkan dapat cukup menjelaskan duduk permasalahan. Seorang
kakak, hendak membeli sebuah mesin untuk kebutuhan operasional pabrik, dari
pihak ketiga. Untuk itu, sang kakak meski memiliki dana tunai yang cukup untuk
membeli lunas, namun menghibahkan dana miliknya kepada sang adik, lalu
dibuatlah rekayasa seolah-olah kemudian sang kakak meminjam uang dari sang adik
untuk membeli mesin pabrik tersebut. Saat jatuh tempo pembayaran termin kedua,
sang pembeli gagal bayar, sehingga terjadilah tunggakan, dimana pihak penjual
selaku “Kreditor MURNI” kemudian mengajukan permohonan pailit terhadap sang
pembeli (“debitor”).
Tiba waktu “rapat kreditor”,
membahas usulan proposal perdamaian yang diajukan oleh pihak “debitor”, lalu
diadakan “voting” para “kreditor”. Telah ternyata kemudian, pihak “Kreditor
MURNI” bersikukuh hendak mempailitkan sang “debitor” dengan menolak proposal
perdamaian. Namun, pihak adik dari sang “debitor”, dengan klaim memiliki
tagihan dengan nilai yang “bombastis”, menyetujui proposal perdamaian yang
diajukan oleh sang “debitor”—yang notabene ada hubungan relasi kekeluargaan
dengan sang “debitor”—sehingga sang “debitor” lolos dari lubang pailit. Pihak
kurator maupun pengurus, memeriksa berkas klaim tagihan yang diajukan oleh sang
adik, memang terdapat surat kontrak / perjanjian yang tampak formal antara sang
adik dan sang kakak, sehingga secara tampak dari “kulit luar”, memang terlihat
seolah-olah diantara mereka adalah betul terdapat relasi hubungan hukum
“hutang-piutang”. Akan tetapi, ketika sang kurator maupun pengurus ataupun
hakim pengawas mendapati bahwa ada “benturan kepentingan” berupa relasi
kekeluargaan antara sang adik dan kakaknya selaku “debitor Termohon Pailit /
PKPU”, maka dicoretlah “hak suara” dari sang adik, dan menyatakan sang
“debitor” sebagai “jatuh pailit”. Apakah keliru keputusan demikian, baik secara
moral, logika, maupun norma hukum?
Dalam pemberitaan bulan Juni
2023, terdapat seorang Hakim Pengawas pada Pengadilan Niaga di Surabaya yang
diadukan oleh Kuasa Hukum PT. Jawa Pos, E.L Sajogo, ke Komisi Yudisial, dengan
alasan telah menghapus “hak suara” pihak “Kreditor (yang ketahuan memiliki
hubungan) TERAFILIASI”. Adapun pihak pelapor, PT. Jawa Pos, merupakan “Kreditor
TERAFILIASI” dalam perkara PKPU dimana PT. Indonesia Energi Dinamika (PT. IED) merupakan
“Termohon PKPU”, sebagaimana register perkara
89/Pdt.Sus-PKPU/2022/PN.Niaga.Sby—dimana tagihan piutang PT. Jawa Pos hendak
disamakan dengan “Kreditor MURNI”, sekalipun jelas bahwa antar keduanya saling
berbeda dan saling berlainan “nature”.
Kuasa Hukum PT. Jawa Pos, E.L
Sajogo, berpandangan bahwa laporan / aduan yang ia ajukan merupakan akibat dari
keputusan Hakim Pengawas yang menihilkan hak suara PT. Jawa Pos dalam perkara PKPU
terhadap PT. IED. Adapun alasan yang disampaikan oleh Pengurus PKPU saat itu,
ialah disebabkan oleh karena adanya keberatan dari pihak kreditor lain, keberatan
mana dinilai wajar, mengingat PT. Jawa Pos selaku “Kreditor Konkuren”
memiliki saham sebesar 45 persen pada perusahaan badan hukum “Termohon PKPU”,
karenanya dikhawatirkan akan terjadi ekses negatif maupun “moral hazard” akibat “benturan kepentingan” serta persekongkolan
antara pihak “Kreditor TERAFILIASI” dan sang “debitor”. Bagaimana bila, seluruh
klaim piutang pihak “Kreditor TERAFILIASI” ini, faktanya merupakan modus “transfer pricing” atau “profit shifting” dari pihak “debitor”?
Kuasa hukum pelapor, tidak
menyadari maupun bersyukur, bahwa pihak Pengurus maupun Hakim Pengawas pada
Pengadilan Niaga tidak menolak untuk mengakui piutang / tagihan PT. Jawa Pos,
meski terafiliasi dengan pihak “debitor Termohon PKPU”, namun masih juga
menuntut “hak suara” untuk utuh diberikan, sekalipun jelas-jelas terjadi
“benturan kepentingan” (conflict of
interest), dimana sudah dapat dipastikan akan membela kedudukan hukum (serta
kepentingan) pihak “debitor Termohon PKPU”. Pihak tim Pengurus mengakomodir
keberatan demikian, dengan menihilkan “hak suara” PT. Jawa Pos (“Kreditor
TERAFILIASI”) dalam proses pemungutan suara terhadap proposal perdamaian yang
diajukan pihak “debitor”.
Menjadikan nihil “hak suara” PT.
Jawa Pos, menurut E.L Sajogo selaku kuasa hukumnya, dinilai cukup berpengaruh
secara signifikan terhadap proses voting terhadap ususal pihak “debitor” yang
menawarkan proposal perdamaian. Mengingat nilai tagihan kliennya selaku “Kreditor
Konkuren” cukup besar, mencapai 404 miliar Rupiah. Hapusnya hak kliennya dalam
memberikan voting, ia tengarai berpengaruh terhadap tercapai atau tidaknya “perdamaian”
(homologasi), sehingga berpotensi menyebabkan pihak “debitor” terancam jatuh
dalam status pailit.
Adapun pendirian pihak Pengurus
atas proses PKPU-nya pihak “debitor”, perubahan penetapan piutang dilatar-belakangi
karena munculnya keberatan dari beberapa pihak atas kedudukan PT. Bank Mandiri
(Persero) dan PT. Bank ICBC Indonesia selaku “Kreditor MURNI”, serta permohonan
pemeriksaan kembali terhadap klaim piutang PT. Jawa Pos selaku pemegang saham (shareholder) pada PT. IED. Adapun fakta
lain yang melatar-belakangi perkara ini, PT. IED berada dalam status “PKPU
Sementara” setelah dimohonkan PKPU oleh PT. Graha Benua Etam (GBE) pada 22
Desember tahun 2022. Adapun jumlah total tagihan dalam PKPU tersebut kurang
lebih senilai lima triliun Rupiah, sehingga jumlah tagihan / piutang PT. Jawa
Pos sejatinya tidaklah signifikan, mengingat tetap akan kalah jumlah suara
dalam voting rapat para “kreditor”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.