Seni Bertanya, Menjawab, dan Berbicara

Ciri Orang Menghargai atau Tidaknya Lawan Bicara, menurut Buddhisme

Kaitan / Korelasi antara IQ, EQ, dan SQ, Tinggi atau Rendahnya IQ Menentukan dan Memengaruhi Tinggi maupun Rendahnya EQ maupun SQ Diri Seseorang—Boleh Percaya (juga) Boleh Tidak Percaya

Peka atau sensitif terhadap perasaan lawan bicara, serta menghargai lawan bicara, merupakan keterampilan berkomunikasi yang paling mendasar, bila tidak dapat kita sebut sebagai berometer kapasitas EQ seseorang. Ternyata, mayoritas masyarakat kita di Indonesia masih tergolong memiliki tingkat EQ dibawah rata-rata—cobalah perhatikan fenomena keseharian kita dalam bersosialisasi dan berkomunikasi, sebagai contohnya ialah ketika lawan-bicara kita berbicara dengan kita, sekalipun dirinya mengetahui bahwa penulis beragama berbeda dengan yang bersangkutan, dalam setiap ucapan dan perbincangan ia selalu memakai istilah-istilah agama yang bersangkutan, sehingga membuat penulis merasa sedang “diperkosa agama”-nya, sekalipun Sumpah Pemuda telah menetapkan : “berbahasa satu, yakni Bahasa Indonesia” (bukan bahasa Arab, Inggris, maupun bahasa-bahasa dengan terminologi keagamaan tertentu).

Cara paling mendasar menghormati lawan bicara yang notabene berbeda keyakinan dengan Anda, ialah dengan menghindari istilah-istilah yang berbau agama sepihak diri kita sendiri. Gunakan hanya bahasa “generik”, yakni bahasa Indonesia. Sejatinya, Bahasa Indonesia sudah mengenal berbagai terminologi istilah dan sudah sangat lengkap kosakata yang dapat kita pilih padanannya untuk kita maupun gunakan, seperti “selamat pagi”, “semoga tercapai”, “bersyukur”, “terimakasih”, dan lain sebagainya. Dalam banyak kejadian, setiap kali komunikasi dijalin, lawan bicara penulis terus-menerus memakai istilah agamanya sehingga penulis tidak pernah merasa nyaman, sama sekali tidak menghargai agama penulis yang berbeda dengan agama yang bersangkutan, sampai pada titik akhirnya penulis blokir nomor kontak yang bersangkutan sehingga tidak dapat lagi menghubungi penulis.

Tips kedua ialah, jangan pernah bersikap seolah-olah lawan bicara Anda buta maupun tuli. Kerap terjadi, penulis mendapatkan pesan teks dimana berisi tuduhan yang “tidak-tidak” alias tanpa dasar. Ketika penulis lakukan konftrontasi, meski penulis sangat tidak menyukai aktivitas debat-mendebat yang tidak produktif (“wasting time”), lawan bicara pada gilirannya tidak dapat lagi berkutik, lantas berkelit, seolah penulis tidak punya mata untuk membaca tuduhan-tuduhan yang sejak semula dialamatkan oleh yang bersangkutan kepada penulis. Adalah sukar, tercipta kesan berintegritas di mata kita atas sosok dan perilaku diri seseorang yang memungkiri perbuatan ataupun ucapannya sendiri.

Sama halnya ketika komunikasi terjadi via lisan, lawan bicara yang merasa balik-tersudutkan, berkelit, bahwa ia tidak pernah berbicara demikian—seolah-olah kita tuli, lupa ingatan / pikun, atau sedang dibawah pengaruh imajinasi / halusinasi sehingga mendengar suara-suara yang tidak pernah dilontarkan oleh lawan bicara kita. Jangan pernah berkelit, bertanggung-jawablah atas setiap ucapan ataupun penuturan kita, dan bersikap jantan untuk memohon maaf bila kita memang keliru, mengakui apa yang telah pernah kita tuturkan ataupun tulis, tanpa perlu membuat kesalahan yang baru terlebih “menutupi satu kekeliruan dengan membuat kekeliruan baru lainnya”.

Tips ketiga, jangan bersikap seolah-olah orang lain adalah orang bodoh yang tidak punya pikiran untuk menilai dan memutuskan sendiri. Sebagai contoh, ketika penulis masih seorang mahasiswa, terdapat seorang senior yang memaksakan agamanya agar turut dipeluk dan diyakini oleh penulis, dengan membuat pengakuan alias testimoni bombastis bahwa : “Dulu saya beragama sama dengan kamu, Agama Buddha, namun kini saya sudah pindah agama ke agama ... , saya mau kamu juga pindah ke agama saya, karena ... karena ... karena ...”. Namun, setelah penulis diagnosis diri yang bersangkutan, lewat sesi tanya-jawab, telah ternyata diri yang bersangkutan sama sekali tidak tahu-menahu ajaran Sang Buddha—bahkan membaca khotbah Sang Buddha dalam Tipitaka yang terdiri dari Sutta Pitaka, Vinaya Pitaka, maupun Abhidhamma Pitaka pun tidak pernah. Lantas, penulis simpulkan, dahulu diri yang bersangkutan merupakan “Buddhist KTP”, sehingga adalah wajar saja menjadi pindah agama dan membuat klaim tanpa dasar.

Tips keempat, jangan bersikap hanya Anda seorang yang punya hak, dan orang lain hanya punya kewajiban. Pernah terjadi, seorang penjual makanan di warung kaki-lima, “mengetuk” harga demikian tidak wajar, memanfaatkan situasi dimana konsumen barunya dari sejak semula tidak bertanya perihal harga, dan langsung memesan, memakannya, barulah tahu harga ketika hendak membayar. Inilah tanggapan pihak penjual, ketika pihak konsumen komplain atas harga jual makanan yang begitu diluar batas kepatutan diminta oleh sang penjual : “Sesekali saja bayar mahal, tidak apa-apa kan!”—mengapa tidak sesekali saja pihak penjualnya tersebut “jual rugi” dengan jual dibawah harga obral kepada konsumen barunya?

Pernah juga terjadi, pada malam hari seorang warga bersama rekan-rekannya barbeque pada halaman / pekarangan kediamannya, hingga tengah malam masih asyik dengan kesibukannya membakar / memanggang dengan arang yang membuat polusi udara menyeruak lintas-batas tembok sehingga berdampak pada terganggungnya para tetangga yang berada pada pemukiman tersebut. Ketika pada akhirnya pihak tetangga memberanikan diri menegur, agar menghentikan kegiatannya dan “tahu diri”, inilah tanggapan sang pembuat “polusi udara” tanpa mau menyadari situasi dan kondisi, seolah-olah memanggang daging tidak bisa menggunakan api gas (masih bermental primitif ala manusia purba di zaman purbakala, alias terbelakang) : “Sesekali hidup asyik memanggang sate, kan tidak apa-apa!”—sesekali buat jahat, dikompromikan? Buat dosa dianggap “sesekali tidak apa-apa”?

Pernah juga terjadi, ketika penulis dalam perjalanan pulang dengan berkendara, seorang pengemudi kendaraan roda empat memberhentikan kendaraan yang dilajukannya ditengah-tengah ruas jalan yang sempit di lingkungan pemukiman, dan asyik berbincang dengan warga setempat di pinggir jalan yang berbusana “agamais”. Menunggu hampir satu menit lamanya, akhirnya penulis klakson pengemudi bersangkutan. Sang warga yang diajak berbincang oleh sang pengendara mobil, kemudian menghardik penulis : “Orang sedang berbincang-bincang, kamu klakson! Tidak sopan!”—siapa yang melarang seseorang berbincang, tidak ada, namun ketahuilah tempat dan waktu yang semestinya, alias jauh dari kata bijaksana terlebih beradab, masih biadab masyarakat kita di Indonesia, “agamais” yang biadab.

Pernah pula terjadi, bahkan sering terjadi dan pastilah para pembaca pun telah pernah mengalaminya, ketika penulis mengunjungi suatu rumah makan, penulis tidak mendapati adanya daftar menu dan harga. Untuk itu penulis bertanya dijual menu apa saja yang tersedia dan berapa harganya untuk masing-masing menu masakan yang dijual. Namun sang pemilik rumah makan menjawab dengan nada seolah tidak senang, membuat penulis “nyeletuk” menanggapi : “Hanya bertanya harga saja, sudah marah-marah.” Pihak penjual lalu menanggapi : “Saya sedang capek, masak seharian!”—oh, hanya pihak penjual saja ya, yang bisa merasa capai dan letih, pembeli tidak pernah lelah ataupun kerepotan dalam mencari uang yang menjadi sumber dana pembelian masakan dagangan sang penjual?

Sering terjadi, baik itu notaris, broker / agen properti, balai lelang, ketika menuntut tarif jasa, mereka memakai sistem persentase dari harga jual-beli dengan besaran sekian persen yang mereka tetapkan sendiri secara sepihak. Ketika calon konsumen berkeberatan, terutama jasa notaris maupun Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang profesinya memonopolistik pendirian perseroan ataupun akta jual-beli tanah, mengapa tarif jasanya sebesar “sekian persen” yang bisa sangat melukai perasaan rakyat jelata yang gaji / upah bulannya hanya upah minimum kota untuk satu bulan penuh bekerja, maka kalangan profesi tersebut berlindung dibalik alibi berikut untuk berkelit : “Ini sudah aturan dari asosiasi notaris / broker properti / balai lelang”. Mereka, bersikap seolah-olah konsumen tidak berhak dan tidak punya hak untuk berkata sebagai berikut :

Kami dari asosiasi konsumen, sudah menetapkan besaran tarif untuk tarif jasa profesi ... ialah ... . Jika kami berikan lebih, artinya kami melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh asosiasi konsumen!

Mari kita tunggu “tanggal main” dirilisnya revisi Undang-Undang Perlindungan Konsumen, apakah praktik “kartel harga” dengan alibi “peraturan / penetapan asosiasi profesi” demikian, dapat ditanggulangi ataukah masih tetap dibiarkan kian “merajalela”? Setidaknya, “asosiasi konsumen” harus dibentuk untuk membuat “kontra-penetapan”, dimana jumlah konsumen jauh lebih banyak sehingga daya tawar serta daya tekan pihak konsumen justru (semestinya) lebih besar dan lebih tinggi kedudukannya, bila dipersatukan dalam satu wadah, semacam “asosiasi konsumen”. Bila kita sepakat bahwa “customer is a KING”, maka jangan pernah mendikte seorang “KING”. Penulis selama ini justru belajar etika profesi dari kalangan rakyat jelata, yakni tepatnya dari seorang penjual roti gerobakan keliling, ketika terjadi tawar-menawar, akhirnya sang penjual bersedia menjual roti dagangannya kepada penulis, sembari menuturkan, “Berdagang (maupun menjual jasa) itu yang penting sama-sama ikhlas, penjual ikhlas (melepaskan barang untuk dibeli) dan pembeli pun ikhlas (membayar).

Tips terakhir, meski bukan yang paling akhir, yakni berbincang, berdiskusi, serta (jika perlu) berdebatlah dengan “otak” Anda, bukan dengan “otot”. Namun, rata-rata orang Indonesia, berbudaya “selesaikan setiap masalah dengan cara kekerasan fisik”—alias mengedepankan “otot”, sekalipun kita tahu bahwa “otak” tidak terletak pada jaringan “otot”, alias di dalam tempurung kepala. Pernah benar-benar terjadi belum lama ini, ketika penulis berkendara kendaraan roda dua di ruas jalan raya untuk umum, persoalan “menyalip dan disalip” adalah hal biasa dan lumrah. Namun mendadak, seorang ibu-ibu berjilbab yang juga mengendarai kendaraan roda dua, memaki-maki dan mengoceh-ngocehi penulis di sepanjang perjalanan. Ketika kemudian penulis amati dari arah belakang, ternyata gaya mengemudi sang ibu-ibu berjilbab tersebut juga kerap menyalip pengendara lain.

Sehingga, ketika kembali berpapasan di lampu merah, penulis kontrontrasi (sebatas) verbal pihak yang bersangkutan, mengapa memaki-maki seperti “orang tidak waras” terhadap penulis. Tudingan yang sepihak demikian penulis tanggapi dengan menuturkan fakta bahwa yang bersangkutan pun mengemudi sebagaimana yang ia maki-maki, yakni menyalip kendaraan lain. Sampai pada akhirnya penulis berkata, “Lalu, mau kamu apa?” Anda tahu apa yang kemudian terjadi? Seketika itu pula penulis dianiaya di bagian wajah, dimana adegan selanjutnya ialah akibat rasisme masih tumbuh subur di Indonesia, pengendara lain merusak kendaraan yang penulis kendarai sekalipun telah penulis jelaskan bahwa penulis hanya membela diri, mengingat sang ibu-ibu berjilbab yang telah menganiaya penulis terlebih dahulu—sekalipun juga faktanya ialah, agama penulis adalah agama para nenek-moyang bangsa Nusantara (abad ke-1—ke-15 Masehi), sebelum kemudian Raja Majapahit (Buddhist) mempersilahkan ulama dari Arab untuk menyebarkan agama mereka di Bumi Pertiwi. Kini, para “agamais” tersebut ketika telah menjelma menjadi mayoritas, misi misionaris mereka saat kini tampaknya ialah “pukulan tinju”, dimana mereka ingin memberangus toleransi yang dahulu mereka nikmati (selalu begitu motifnya, menuntut diberi toleransi di negara-negara dimana mereka masih berupa minoritas, dimana ketika mereka telah menjelma menjadi mayoritas maka tragedi yang dikisahkan dalam Kitab Sastra Jawa “DHARMO GHANDUL” akan kembali terulang.

Ibu-ibu berjilbab yang lebih “premanis” daripada kalangan preman. Bila menghadapi kalangan preman, kita cukup berkata : “Lalu, mau kamu apa? Mau pukul atau lukai saya? Saya tanya kamu, kamu takut dosa atau tidak, dengan aniaya ataupun lukai orang lain? Berarti kamu bukan orang baik-baik, tapi orang TIDAK BENAR!”—maka sang preman pun mengurungkan niat buruknya untuk menyakiti kita, faktanya orang-orang “agamais” selama ini justru lebih “hewanis” (alih-alih “humanis” terlebih “Tuhanis”) daripada kalangan preman, semata karena mereka adalah kaum pecandu ideologi “penghapusan dosa” (abolition of sins), dimana sekalipun anak Sekolah Dasar pun tahu bahwa “hanya seorang pendosa yang butuh penghapusan / pengampunn / penebusan dosa”.

“Agama DOSA” telah begitu merusak “standar moral” banyak umat manusia, menyeruak menyebar menyerupai virus pikiran yang mewabah, dimana semakin “agamais” maka akan semakin “berbahaya”. Alam bawah sadar penulis telah merekam begitu banyak pengalaman tidak menyenangkan (buruk) berurusan ataupun hidup berdampingan dengan kaum “agamais”, sehingga setiap kali berjumpa dengan kalangan “agamais”, inilah alarm yang berbunyi keras di kepala penulis : “WARNING, ada AGAMAIS! DANGER!”—mereka adalah kaum / golongan dengan semboyan hidup : Buat dosa, siapa takut? Ada “penghapusan dosa” agar tidak “merugi”! Hanya pemeluk “Agama KSATRIA” (penuh tanggung-jawab terhadap korban) maupun kalangan pemeluk “Agama SUCI” yang tidak meradiasikan ancaman bagi ekosistem makhluk hidup.

Anda lihat, pemeluk “Agama DOSA” maupun berdeslusi sebagai agama yang paling superior, bahkan tidak segan menghakimi / mempersekusi umat “Agama SUCI” maupun “Agama KSATRIA”. Berbuat dosa merupakan “aurat tertinggi”, bukan menutupi sekujur tubuh dengan busana serta tertutup namun penuh kebiadaban, bahkan “haus darah dan pertumpahan darah”; persoalan makanan begitu pemilih dan selektif namun ucapannya penuh kebusukan dan kekotoran batin, dimana berbuat dosa dan maksiat begitu kompromistik akan tetapi disaat bersamaan begitu intoleran terhadap kaum yang berbeda suku, golongan, ras, maupun agama (SARA). Mereka, kaum “agamais” (“Agama DOSA”), terlampau pemalas untuk menanam benih-benih perbuatan bajik dan disaat bersamaan terlampau pengecut untuk bertanggung-jawab dan mempertanggung-jawabkan perbuatannya yang telah melukai, menyakiti, maupun merugikan pihak-pihak lainnya.

Keterampilan berbicara ataupun mendengarkan, tidak muncul dalam diri kita secara begitu saja, namun perlu ditumbuhkan dan dikembangkan. Untuk itu tepat kiranya kita merujuk khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:

67 (7) Dasar-dasar Pembicaraan

“Para bhikkhu, ada tiga dasar pembicaraan ini. Apakah tiga ini? (1) Dengan merujuk pada masa lalu, seseorang akan mengatakan: ‘Demikianlah di masa lalu.’ (2) Dengan merujuk pada masa depan, seseorang akan mengatakan: ‘Demikianlah di masa depan.’ (3) Dengan merujuk pada masa sekarang, seseorang akan mengatakan: ‘Demikianlah sekarang, di masa kini.’

“Adalah sehubungan dengan pembicaraan, para bhikkhu, maka seseorang dapat dipahami sebagai layak atau tidak layak untuk berbicara. Jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan yang harus dijawab secara tegas dan ia tidak menjawab secara tegas; [jika ia ditanyai] suatu pertanyaan yang harus dijawab setelah memberikan pembedaan dan ia menjawab tanpa memberikan pembedaan; [jika ia ditanyai] suatu pertanyaan yang harus dijawab dengan pertanyaan balasan dan ia menjawab tanpa mengajukan pertanyaan balasan; [jika ia ditanyai] suatu pertanyaan yang harus dikesampingkan dan ia tidak mengesampingkannya, maka dalam kasus demikian orang ini tidak layak untuk berbicara.

[Kitab Komentar : Ini adalah empat metode untuk memformulasikan pertanyaan. (1) Suatu pertanyaan harus dijawab secara tegas (ekasavyākaanīya pañha) adalah, misalnya, ‘Apakah mata tidak kekal?’ yang harus dijawab secara pasti dengan ‘Ya, tidak kekal.’

(2) Suatu pertanyaan yang harus dijawab setelah memberikan perbedaan (vibhajjavyākaraīya pañha) adalah, misalnya, ‘Apakah yang tidak kekal adalah mata?’ yang harus dijawab dengan memberikan perbedaan: ‘Bukan hanya mata, tetapi juga telinga, hidung, dan seterusnya, adalah juga tidak kekal.’

(3) Suatu pertanyaan yang harus dijawab dengan pertanyaan balasan (paipucchāvyākaraīya pañha) adalah, misalnya, ‘Apakah mata memiliki sifat yang sama dengan telinga?’ Seseorang harus menjawab ini dengan sebuah pertanyaan balasan, ‘Sehubungan dengan apa?’ Jika mereka menjawab, ‘Sehubungan dengan melihat,’ maka ia harus menjawab tidak. Jika mereka menjawab, ‘Sehubungan dengan ketidak-kekalan,’ maka ia harus menjawab ya.

(4) Suatu pertanyaan yang harus dikesampingkan (hapanīya pañha) adalah, misalnya, ‘Apakah jiwa sama dengan badan?’ Ini harus dikesampingkan tanpa menjawabnya, dengan mengatakan, ‘Ini tidak dinyatakan oleh Sang Tathāgata.’

“Tetapi jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan yang harus dijawab secara tegas dan ia menjawab secara tegas; [jika ia ditanyai] suatu pertanyaan yang harus dijawab setelah memberikan pembedaan dan ia menjawab setelah memberikan pembedaan; [jika ia ditanyai] suatu pertanyaan yang harus dijawab dengan pertanyaan balasan dan ia menjawab dengan mengajukan pertanyaan balasan; [jika ia ditanyai] suatu pertanyaan yang harus dikesampingkan dan ia mengesampingkannya, maka dalam kasus demikian orang ini layak untuk berbicara.

“Adalah sehubungan dengan pembicaraan, para bhikkhu, maka seseorang dapat dipahami sebagai layak atau tidak layak untuk berbicara. Jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan dan ia tidak bertahan sehubungan dengan posisinya dan posisi lawan; jika ia tidak bertahan dalam strateginya; jika ia tidak [198] bertahan dalam pernyataannya atas apa yang diketahui; jika ia tidak bertahan dalam prosedur, maka dalam kasus demikian orang ini tidak layak untuk berbicara.

[Kitab Komentar : “Ia tidak bertahan dalam strateginya” (parikappe na saṇṭhāti): Ini ditemukan baik dalam menanyakan pertanyaan dan dalam menjawabnya. Bagaimanakah? Seseorang yang berdehem, sambil berpikir: ‘Aku akan mengajukan pertanyaan.’ Orang lainnya berkata kepadanya: ‘Engkau akan menanyakan hal ini.’ Setelah menyadari bahwa ia telah diketahui, ia berkata: ‘Aku tidak akan menanyakan itu, melainkan hal lainnya.’ Orang yang ditanya, juga, menepuk-nepuk dagunya, sambil berpikir: ‘Aku akan menjawab pertanyaan itu.’ Orang lainnya berkata kepadanya: ‘Engkau akan menjawab seperti ini.’ Setelah menyadari bahwa ia telah diketahui, ia berkata: ‘Aku tidak akan menjawab begitu, melainkan begini.’ Demikianlah yang dimaksudkan dengan pernyataan bahwa ia tidak bertahan dalam strateginya.

“Ia tidak bertahan dalam pernyataannya atas apa yang diketahui” (aññātavāde na saṇṭhāti): Seseorang menanyakan suatu pertanyaan. Orang lainnya berkata: ‘Pertanyaan yang engkau tanyakan cukup baik. Dari manakah engkau mempelajarinya?’ Orang lainnya, walaupun ia telah mengajukan pertanyaan dengan cara yang benar, menjadi ragu-ragu karena pernyataan [lawannya], dengan berpikir: ‘Apakah aku menanyakan [sesuatu hal] yang tidak problematik?’ Orang yang ditanya menjawab. Orang lainnya berkata kepadanya: ‘Engkau telah menjawab pertanyaan itu dengan baik. Dari manakah engkau mempelajarinya? [Engkau menjawab] pertanyaan seperti seharusnya pertanyaan itu dijawab.’ [Responden] lainnya, walaupun ia telah menjawab dengan cara yang benar, menjadi ragu-ragu karena pernyataan [lawannya], dengan berpikir: ‘Apakah aku menjawab [sesuatu hal] yang tidak problematik?’

“Ia tidak bertahan dalam prosedur” (paipadāya na saṇṭhāti): Tanpa memahami aturan (vatta ajānitvā), ia bertanya dalam situasi ketika sebuah pertanyaan seharusnya tidak diajukan. Jika suatu pertanyaan diajukan dalam pengadilan atau di altar peringatan (cetiyagana), ia seharusnya tidak menjawabnya. Demikian pula, [seseorang seharusnya tidak menjawab] dalam perjalanan untuk menerima dana makanan; ketika berjalan menerima dana makanan di desa; ketika duduk di dalam aula pertemuan; ketika duduk dan memakan bubur atau suatu makanan; ketika duduk setelah makan; dan ketika pergi ke tempat di mana ia melewatkan hari. Akan tetapi, ketika ia berdiam melewatkan keberdiaman siang hari, jika seseorang meminta izin dan kemudian mengajukan pertanyaan, maka itu harus dijawab; tetapi ia seharusnya tidak menjawab jika mereka tidak meminta izin. Demikianlah apa yang dimaksudkan dengan: ‘Mengajukan pertanyaan tanpa memahami aturan, ia tidak bertahan dalam prosedur.’

“Tetapi jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan dan ia bertahan sehubungan dengan posisinya dan posisi lawan; jika ia bertahan dalam strateginya; jika ia bertahan dalam pernyataannya atas apa yang diketahui; jika ia bertahan dalam prosedur, maka dalam kasus demikian orang ini layak untuk berbicara.

“Adalah sehubungan dengan pembicaraan, para bhikkhu, maka seseorang dapat dipahami sebagai layak atau tidak layak untuk berbicara. Jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan dan ia menjawab dengan cara menghindar, mengalihkan diskusi pada topik yang tidak relevan, dan memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan, maka dalam kasus demikian orang ini tidak layak untuk berbicara.

Tetapi jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan dan ia tidak menjawab dengan cara menghindar, tidak mengalihkan diskusi pada topik yang tidak relevan, dan tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan, maka dalam kasus demikian orang ini layak untuk berbicara.

“Adalah sehubungan dengan pembicaraan, para bhikkhu, maka seseorang dapat dipahami sebagai layak atau tidak layak untuk berbicara. Jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan dan ia membanjiri [si penanya], menggilasnya, mengejeknya, dan menangkapnya atas kesalahan kecil, maka dalam kasus demikian orang ini tidak layak untuk berbicara.

[Kitab Komentar : Yaitu, ia menangkap kesalahan kecil di pihak orang lain sebagai dalih untuk mengkritiknya.]

Tetapi jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan dan ia tidak membanjiri [si penanya], tidak menggilasnya, tidak mengejeknya, dan tidak menangkapnya atas kesalahan kecil, maka dalam kasus demikian orang ini layak untuk berbicara.

“Adalah sehubungan dengan pembicaraan, para bhikkhu, maka seseorang dapat dipahami sebagai apakah memiliki kondisi pendukung atau tidak memiliki kondisi pendukung. Seorang yang tidak menyimak tidak memiliki kondisi pendukung; seorang yang menyimak memiliki kondisi pendukung. Seorang yang memiliki kondisi pendukung secara langsung mengetahui satu hal, sepenuhnya memahami satu hal, meninggalkan satu hal, dan merealisasi satu hal. Dengan secara langsung mengetahui satu hal, dengan sepenuhnya memahami satu hal, dengan meninggalkan satu hal, dan dengan merealisasi satu hal, ia mencapai kebebasan benar.

“Ini, para bhikkhu, adalah tujuan pembicaraan, tujuan diskusi, tujuan dari kondisi pendukung, tujuan dari menyimak, yaitu, kebebasan pikiran melalui ketidak-melekatan.” [199]

Mereka yang berbicara dengan niat bertengkar, kokoh dalam pendapat mereka, menggembung dengan keangkuhan, tidak mulia, setelah menyerang moralitas, Mencari celah [untuk menyerang] satu sama lain. Mereka saling bersenang ketika lawan mereka berbicara dengan buruk dan melakukan kesalahan, [mereka bergembira] dalam kebingungan dan kekalahannya; tetapi para mulia tidak terlibat dalam pembicaraan demikian.

Jika seorang bijaksana ingin berbicara, setelah mengetahui waktu yang tepat, tanpa pertengkaran atau keangkuhan, seorang bijaksana harus mengucapkan ucapan yang dilatih para mulia, yang berhubungan dengan Dhamma dan maknanya.

Tidak sombong atau agresif, dengan pikiran tidak bangga, ia berbicara bebas dari iri hati dengan berdasarkan pada pengetahuan benar. ia harus menyetujui apa yang diungkapkan dengan benar tetapi ia tidak boleh menyerang apa yang disampaikan dengan buruk.

Ia tidak boleh berlatih dalam mencari kesalahan juga tidak menangkap kesalahan orang lain; ia tidak boleh membanjiri dan menggilas lawannya, juga tidak mengucapkan kata-kata dusta.

Sesungguhnya, suatu diskusi di antara orang-orang baik adalah demi pengetahuan dan keyakinan. Demikianlah cara orang mulia mendiskusikan hal-hal; ini adalah diskusi para mulia.

Setelah memahami hal ini, orang bijaksana tidak menggembung melainkan harus mendiskusikan hal-hal.

~0~

68 (8) Sekte-sekte Lain

“Para bhikkhu, para pengembara sekte lain mungkin bertanya kepada kalian: ‘Teman-teman, ada tiga hal ini. Apakah tiga ini? Keserakahan, kebencian, dan delusi. Ini adalah tiga hal itu. Apakah, teman-teman, perbedaan, disparitas, kesenjangan di antaranya?’ Jika kalian ditanya seperti ini, bagaimanakah kalian menjawab?”

“Bhante, ajaran kami berakar di dalam Sang Bhagavā, dituntun oleh Sang Bhagavā, berlindung di dalam Sang Bhagavā. Baik sekali jika Sang Bhagavā sudi menjelaskan makna pernyataan ini. Setelah mendengarnya dari Beliau, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka dengarkanlah, para bhikkhu, dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, jika para pengembara sekte lain menanyai kalian pertanyaan demikian, [200] maka kalian harus menjawab sebagai berikut: ‘Nafsu, teman-teman, adalah kurang tercela tetapi lambat lenyap; kebencian adalah sangat tercela tetapi cepat lenyap; delusi adalah sangat tercela dan lambat lenyap.’

[Kitab Komentar mengilustrasikan bagaimana nafsu adalah “kurang tercela” dengan contoh perkawinan, yang, walaupun berakar pada keinginan seksual, namun diterima secara sosial (konvensi) dan dengan demikian kurang tercela sehubungan dengan konsekuensi kamma-nya. Tetapi karena nafsu berhubungan dengan kenikmatan, maka sulit dilenyapkan. Kebencian dan delusi keduanya dianggap tercela dalam masyarakat dan memiliki konsekuensi kamma yang serius. Akan tetapi, kebencian berhubungan dengan ketidak-senangan, dan karena makhluk-makhluk secara alami menyukai kebahagiaan maka mereka ingin terbebas dari ketidak-senangan. Gagasan-gagasan delusi, jika berakar secara mendalam dalam ketagihan, pandangan salah, atau keangkuhan, juga akan sulit dilenyapkan seperti halnya nafsu.

(1) “[Misalkan mereka bertanya:] ‘Tetapi, teman-teman, apakah alasan maka nafsu yang belum muncul menjadi muncul dan nafsu yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat?’ Kalian harus menjawab: ‘Suatu objek yang menarik. Karena seseorang yang mengamati dengan seksama pada suatu objek yang menarik, maka nafsu yang belum muncul menjadi muncul dan nafsu yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat. Ini, teman-teman, adalah alasan mengapa nafsu yang belum muncul menjadi muncul dan nafsu yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat.’

(2) “[Misalkan mereka bertanya:] ‘Tetapi, teman-teman, apakah alasan maka kebencian yang belum muncul menjadi muncul dan kebencian yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat?’ Kalian harus menjawab: ‘Suatu objek yang menjijikkan. Karena seseorang yang mengamati dengan tidak seksama pada suatu objek yang menjijikkan, maka kebencian yang belum muncul menjadi muncul dan kebencian yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat. Ini, teman-teman, adalah alasan mengapa kebencian yang belum muncul menjadi muncul dan kebencian yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat.

(3) “[Misalkan mereka bertanya:] ‘Tetapi, teman-teman, apakah alasan maka delusi yang belum muncul menjadi muncul dan delusi yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat?’ Kalian harus menjawab: ‘Pengamatan tidak seksama. Karena seseorang yang mengamati dengan tidak seksama, maka delusi yang belum muncul menjadi muncul dan delusi yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat. Ini, teman-teman, adalah alasan mengapa delusi yang belum muncul menjadi muncul dan delusi yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat.

(1) “[Misalkan mereka bertanya:] ‘Tetapi, teman-teman, apakah alasan maka nafsu yang belum muncul menjadi tidak muncul dan nafsu yang telah muncul menjadi ditinggalkan?’ Kalian harus menjawab: ‘Suatu objek yang tidak menarik. Karena seseorang yang mengamati dengan seksama pada suatu objek yang tidak menarik, maka nafsu yang belum muncul menjadi tidak muncul [201] dan nafsu yang telah muncul menjadi ditinggalkan. Ini, teman-teman, adalah alasan mengapa nafsu yang belum muncul menjadi tidak muncul dan nafsu yang telah muncul menjadi ditinggalkan.’

(2) “[Misalkan mereka bertanya:] ‘Tetapi, teman-teman, apakah alasan maka kebencian yang belum muncul menjadi tidak muncul dan kebencian yang telah muncul menjadi ditinggalkan?’ Kalian harus menjawab: ‘Kebebasan pikiran melalui cinta kasih. Karena seseorang yang mengamati dengan seksama pada kebebasan pikiran melalui cinta kasih, maka kebencian yang belum muncul menjadi tidak muncul dan kebencian yang telah muncul menjadi ditinggalkan. Ini, teman-teman, adalah alasan mengapa kebencian yang belum muncul menjadi tidak muncul dan kebencian yang telah muncul menjadi ditinggalkan.’

(3) “[Misalkan mereka bertanya:] ‘Tetapi, teman-teman, apakah alasan maka delusi yang belum muncul menjadi tidak muncul dan delusi yang telah muncul menjadi ditinggalkan?’ Kalian harus menjawab: ‘Pengamatan seksama. Karena seseorang yang mengamati dengan seksama, maka delusi yang belum muncul menjadi tidak muncul dan delusi yang telah muncul menjadi ditinggalkan. Ini, teman-teman, adalah alasan mengapa delusi yang belum muncul menjadi tidak muncul dan delusi yang telah muncul menjadi ditinggalkan.’”

~0~

69 (9) Akar

“Para bhikkhu, ada tiga akar tidak bermanfaat ini. Apakah tiga ini? Akar tidak bermanfaat keserakahan; akar tidak bermanfaat kebencian; dan akar tidak bermanfaat delusi.

(1) “Keserakahan apa pun yang muncul, para bhikkhu, adalah tidak bermanfaat. [Perbuatan] apa pun yang dilakukan oleh seorang yang serakah melalui jasmani, ucapan, dan pikiran adalah juga tidak bermanfaat. Ketika seseorang serakah, dikendalikan oleh keserakahan, dengan pikiran dikuasai oleh keserakahan, maka ia mengakibatkan penderitaan pada orang lain dengan alasan palsu - dengan membunuh, dengan memenjarakan, dengan merampas, dengan mencela, atau dengan mengusir – [dengan berpikir]: ‘Aku berkuasa, aku ingin berkuasa,’ itu juga tidak bermanfaat. Demikianlah banyak kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang berasal-mula dari dalam dirinya muncul dari keserakahan, disebabkan oleh keserakahan, timbul dari keserakahan, dikondisikan oleh keserakahan.

[Kitab Komentar : Ia menciptakan penderitaan melalui kebohongan, melalui apa yang tidak ada, setelah mengatakan tentang pelanggaran yang tidak benar.]

(2) “Kebencian apa pun yang muncul adalah tidak bermanfaat. [Perbuatan] apa pun yang dilakukan oleh seorang yang penuh kebencian melalui jasmani, ucapan, dan pikiran adalah juga tidak bermanfaat. Ketika seseorang penuh kebencian, dikendalikan oleh kebencian, dengan pikiran dikuasai oleh kebencian, maka ia mengakibatkan penderitaan pada orang lain dengan alasan palsu … [dengan berpikir]: ‘Aku berkuasa, [202] aku ingin berkuasa,’ itu juga tidak bermanfaat. Demikianlah banyak kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang berasal-mula dari dalam dirinya muncul dari kebencian, disebabkan oleh kebencian, timbul dari kebencian, dikondisikan oleh kebencian.

(3) “Delusi apa pun yang muncul adalah tidak bermanfaat. [Perbuatan] apa pun yang dilakukan oleh seorang yang terdelusi melalui jasmani, ucapan, dan pikiran adalah juga tidak bermanfaat. Ketika seseorang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, maka ia mengakibatkan penderitaan pada orang lain dengan alasan palsu … [dengan berpikir]: ‘Aku berkuasa, aku ingin berkuasa,’ itu juga tidak bermanfaat. Demikianlah banyak kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang berasal-mula dari dalam dirinya muncul dari delusi, disebabkan oleh delusi, timbul dari delusi, dikondisikan oleh delusi.

“Orang seperti itu, para bhikkhu, disebut seorang yang berbicara pada waktu yang tidak tepat, yang berbicara tidak benar, yang membicarakan apa yang tidak bermanfaat, yang membicarakan bukan-Dhamma, yang membicarakan bukan-disiplin. Dan mengapakah orang demikian disebut seorang yang berbicara pada waktu yang tidak tepat … yang membicarakan bukan-disiplin? Orang ini mengakibatkan penderitaan pada orang lain dengan alasan palsu - dengan membunuh, dengan memenjarakan, dengan merampas, dengan mencela, atau dengan mengusir – dengan berpikir: ‘Aku berkuasa, aku menginginkan kekuasaan.’

Demikianlah ketika orang lain mengatakan apa yang sesuai dengan fakta, ia memandang rendah [orang yang menegurnya]; ia tidak mengakui [kesalahannya]. Ketika orang lain mengatakan apa yang berlawanan dengan fakta, ia tidak berusaha untuk meluruskan apa yang dikatakan kepadanya : ‘Karena alasan ini dan itu maka hal ini tidak benar; karena alasan ini dan itu maka hal ini berlawanan dengan fakta.’ Oleh karena itu maka orang ini disebut seorang yang berbicara pada waktu yang tidak tepat, yang berbicara tidak benar, yang membicarakan apa yang tidak bermanfaat, yang membicarakan bukan-Dhamma, yang membicarakan bukan disiplin.

“Orang seperti itu, yang dikendalikan oleh kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang muncul dari keserakahan … muncul dari kebencian … muncul dari delusi, dengan pikiran dikuasai olehnya, berdiam dalam penderitaan dalam kehidupan ini, dengan kesusahan, kesedihan, dan demam, dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, suatu alam tujuan yang buruk menantinya.

Misalkan sebatang pohon terlilit dan terselimuti oleh tiga tanaman rambat māluvā. Pohon itu akan menemui kemalangan, menemui bencana, menemui kemalangan dan bencana. Demikian pula, orang seperti itu yang dikendalikan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang muncul dari keserakahan [203] … muncul dari kebencian … muncul dari delusi, dengan pikiran dikuasai olehnya, berdiam dalam penderitaan dalam kehidupan ini, dengan kesusahan, kesedihan, dan demam, dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, suatu alam tujuan yang buruk menantinya. Ini adalah ketiga akar tidak bermanfaat itu.

Ada, para bhikkhu, tiga akar bermanfaat ini. Apakah tiga ini? Akar bermanfaat ketidak-serakahan; akar bermanfaat ketidakbencian; dan akar bermanfaat ketidak-delusian.

(1) “Ketidak-serakahan apa pun yang muncul, para bhikkhu, adalah bermanfaat. [Perbuatan] apa pun yang dilakukan oleh seorang yang tidak serakah melalui jasmani, ucapan, dan pikiran adalah juga bermanfaat. Ketika seseorang tidak serakah, tidak dikendalikan oleh keserakahan, dengan pikiran tidak dikuasai oleh keserakahan, maka ia tidak mengakibatkan penderitaan pada orang lain dengan alasan palsu - dengan membunuh, dengan memenjarakan, dengan merampas, dengan mencela, atau dengan mengusir – dengan berpikir: ‘Aku berkuasa, aku menginginkan kekuasaan,’ itu juga adalah bermanfaat. Demikianlah banyak kualitas baik yang bermanfaat yang berasal-mula dari dalam dirinya muncul dari ketidak-serakahan, disebabkan oleh ketidakserakahan, timbul dari ketidak-serakahan, dikondisikan oleh ketidak-serakahan.

(2) “Ketidak-bencian apa pun yang muncul adalah bermanfaat. [Perbuatan] apa pun yang dilakukan oleh seorang yang tanpa kebencian melalui jasmani, ucapan, dan pikiran adalah juga bermanfaat. Ketika seseorang tanpa kebencian, tidak dikendalikan oleh kebencian, dengan pikiran tidak dikuasai oleh kebencian, maka ia tidak mengakibatkan penderitaan pada orang lain dengan alasan palsu … itu juga adalah bermanfaat. Demikianlah banyak kualitas baik yang bermanfaat yang berasal-mula dari dalam dirinya muncul dari ketidak-bencian, disebabkan oleh ketidak-bencian, timbul dari ketidak-bencian, dikondisikan oleh ketidak-bencian.

(3) “Ketidak-delusian apa pun yang muncul adalah bermanfaat. [Perbuatan] apa pun yang dilakukan oleh seorang yang tidak terdelusi melalui jasmani, ucapan, dan pikiran adalah juga bermanfaat. Ketika seseorang tidak terdelusi, tidak dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran tidak dikuasai oleh delusi, maka ia tidak mengakibatkan penderitaan pada orang lain dengan alasan palsu … itu juga adalah bermanfaat. Demikianlah [204] banyak kualitas baik yang bermanfaat yang berasal-mula darinya muncul dari ketidak-delusian, disebabkan oleh ketidak-delusian, timbul dari ketidak-delusian, dikondisikan oleh ketidak-delusian.

Orang seperti itu, para bhikkhu, disebut seorang yang berbicara pada waktu yang tepat, yang berbicara sesuai dengan fakta, yang membicarakan apa yang bermanfaat, yang membicarakan Dhamma, yang membicarakan disiplin. Dan mengapakah orang demikian disebut seorang yang berbicara pada waktu yang tepat … yang membicarakan disiplin? Orang ini tidak mengakibatkan penderitaan pada orang lain dengan alasan palsu - dengan membunuh, dengan memenjarakan, dengan merampas, dengan mencela, atau dengan mengusir – dengan berpikir: ‘Aku berkuasa, aku ingin berkuasa.’

Demikianlah ketika orang lain mengatakan apa yang sesuai dengan fakta, ia mengakui [kesalahannya]; ia tidak memandang rendah [orang yang menegurnya]; Ketika orang lain mengatakan apa yang berlawanan dengan fakta, ia berusaha untuk meluruskan apa yang dikatakan kepadanya: ‘Karena alasan ini dan itu maka hal ini tidak benar; karena alasan ini dan itu maka hal ini berlawanan dengan fakta.’ Oleh karena itu maka orang ini disebut seorang yang berbicara pada waktu yang tepat, yang berbicara benar, yang membicarakan apa yang bermanfaat, yang membicarakan Dhamma, yang membicarakan disiplin.

Orang seperti itu, yang telah meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang muncul dari keserakahan … muncul dari kebencian … muncul dari delusi, telah memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya hingga tidak muncul lagi di masa depan. Ia berdiam dengan bahagia dalam kehidupan ini, tanpa kesusahan, kesedihan, atau demam, dan dalam kehidupan ini ia mencapai nibbāna.

Misalkan sebatang pohon terlilit dan terselimuti oleh tiga tanaman rambat māluvā. Kemudian seseorang datang dengan membawa sekop dan keranjang. Ia akan memotong tanaman rambat itu di akarnya, menggalinya, dan mencabut akarnya, termasuk akar-akar halus dan serat akarnya. Ia akan memotong-motong tanaman rambat itu menjadi banyak potongan, memecahkan potongan-potongan itu, dan mengiris-irisnya.

Kemudian ia akan mengeringkan irisan-irisan itu dengan angin dan panas matahari, membakarnya, [205] membuatnya menjadi abu, dan menebarkan abunya dalam angin kencang atau menghanyutkannya dalam arus sungai yang deras. Dengan cara ini, tanaman rambat māluvā itu telah terpotong di akarnya, dibuat seperti tunggul pohon palem, dilenyapkan sehingga tidak muncul lagi di masa depan.

“Demikian pula, para bhikkhu, orang seperti itu, yang telah meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang muncul dari keserakahan … muncul dari kebencian … muncul dari delusi, telah memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya hingga tidak muncul lagi di masa depan. Ia berdiam dengan bahagia dalam kehidupan ini, tanpa kesusahan, kesedihan, atau demam, dan dalam kehidupan ini ia mencapai nibbāna. Ini adalah ketiga akar bermanfaat itu.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.