Agamais yang Bengkok (Penuh Lekuk), Cacat (Bopeng), dan Ketidaksempurnaan (Kotor) adalah para MANUSIA SAMPAH
Kaum AGAMAIS, Tidak Lebih Diandalkan daripada ROBOT
(Kecerdasan Buatan)
Anda lebih Memilih Berhadapan dengan Siapa, ROBOT
ataukah ORANG AGAMAIS?
Negeri kita yang tercinta ini, Republik Indonesia, tidak pernah kekurangan kaum “agamais” yang rajin beribadah, berbusana agamais, bertutur-kata istilah-istilah keagamaan, serta memakan makanan pilihan tertentu secara selektif—bahkan berdelusi sebagai kaum yang paling superior. Namun, telah ternyata para penyusun kebijakan kita di pemerintahan pusat, lebih memilih untuk menggunakan robot untuk menangani berbagai bidang pelayanan publik, dengan pertimbangan pragmatis : menghindari sentuhan langsung antara aparatur dan masyarakat agar tidak terjadi kolusi—penyalah-gunaan kekuasaan / kewenangan seperti memeras, ataupun sebaliknya seperti menerima uang suap—sehingga dapat menekan angka terjadinya berbagai “pungutan liar” yang merusak reputasi negeri “agamais” ini (menyembunyikan borok mentalitas bangsa “agamais”, agar tampak seolah-olah sudah beradab).
Adapun modus paling klasik
jual-beli perkara di persidangan pada berbagai Pengadilan Negeri maupun di Mahkamah
Agung RI (judicial corruption) ialah,
berupa celah kewenangan jabatan untuk menunjuk susunan Majelis Hakim, dimana
para “pembayar” memilih hakim tertentu yang bersedia untuk “diberi dan menerima
uang suap” (gratifikasi). Kini dan untuk seterusnya, Mahkamah Agung RI telah
membangun sistem digital yang dilengkapi kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang mana algoritmanya
mampu memilih dan menunjuk Majelis Hakim pada berbagai register perkara yang
masuk ke pengadilan maupun ke Mahkamah Agung. Begitupula sistem rekruitmen dan
seleksi pada Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), dibangun sistem
terkomputerisasi sebagai alat test-seleksinya.
Tidak terkecuali tender pengadaan
barang dan jasa, telah kita kenal “e-tender”, “e-katalog”, dan lain sebagainya,
sehingga kesemua ini diharapkan mampu memimalisir sentuhan langsung antara
aparatur dan pihak masyarakat, dalam rangka menekan probabilitas terjadinya
aksi kolusi—meski, tidak menutup peluang penyalah-gunaan oleh mereka yang
menguasai dan mengendalikan sistem di balik latar. Semisal, sudah di-setting
dan di-plot dari sejak awal, siapapun yang ikut tender, siapapun pelamar yang
mengikuti CPNS, maka hasil “output”
yang keluar ialah orang-orang “sponsored”
tertentu, siapa yang akan tahu? Yang jelas, salah seorang Pegawai Negeri Sipil pernah
menuturkan pada penulis, e-tender tidak menihilkan kolusi di tubuh institusi
pemerintahan.
Pernahkah Anda pertanyakan,
mengapa Kepala POLRI (Kapolri) lebih memilih untuk menerapkan penilangan dengan
sistem elektronik, alih-alih membiarkan kalangan profesi polisi (polisi, bukan
preman ataupun mafia) untuk menindak para pengendara yang melanggar tertib
lalu-lintas? Demi menghindari dan meminimalisir sentuhan langsung masyarakat dengan
aparatur, agar tidak terjadi pungutan liar, begitulah pertimbangan Kapolri. Jika
terhadap polisi saja kita harus waspada, karena bisa sekorup itu, maka
bagaimana dengan kalangan preman dan mafia kita di republik ini? Pertanyaannya
pamuncaknya bukanlah itu, namun apakah kalangan polisi kita kurang “agamais”,
sehingga Kapolri lebih percaya pada robot dibalik e-tilang?
Bagi yang pernah bersentuhan dengan
Kantor Pertanahan, mulai dari “pelayanan” (monopoliitk) roya Hak Tanggungan,
ganti-nama pada sertifikat Hak Tanggungan berhubung terjadi merger lembaga
keuangan (kreditor), balik-nama sertifikat, penerbitan Surat Keterangan
Pendaftaran Tanah, kesemua itu dikenakan pungutan liar yang tidak sedikit
besarannya, bahkan dapat mencapai separuh hari kerja gaji UMR. Praktik demikian
terjadi meluas dan di “front office”,
seolah “semua sudah sama-sama tahu” alias sudah menjadi “rahasia umum”. Kini, (mohon
maaf) “berkat” pandemik COVID (corona virus disease) yang mewabah sejak tahun
2020, pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) menerbitkan sistem pelayanan terdigitalitasi,
berupa produk-produk elektronik tanpa perlu bersentuhan dengan pejabat ataupun
pegawai di berbagai Kantor Pertanahan, sehingga benar-benar “pro” terhadap
rakyat yang membutuhkan pelayanan publik.
Kita pun patut bertanya-tanya,
kapan tiba waktunya, aparatur peradilan di persidangan, digantikan oleh robot? Kini,
telah ada eCourt dan eLitigation, eSummon, maupun ePanjar, dimana kesemua itu
seolah terjadi borderless sehingga tidak
lagi bersentuhan dengan kalangan pegawai maupun pejabat di pengadilan. Akan tetapi
efektivitasnya baru sebatas ePanjar, dimana uang panjar maupun sisa uang panjar
memang tidak lagi menjadi ajang pungutan liar di pengadilan, akan tetapi tidak
dari segi putusan hakim—hakimnya masih manusia yang bisa “gelap mata” melihat pundi-pundi
uang untuk dimintakan kepada para pencari keadilan ataupun disodorkan oleh pihak-pihak
tertentu yang bersengketa, dalam rangka memengaruhi putusan ataupun jual-beli
putusan.
Kembali pada pertanyaan utama
kita dalam bahasan ini, apakah negeri kita kekurangan hakim-hakim yang notabene
“agamais” (rajin beribadah), sehingga penulis maupun para pembaca mendambakan
hadirnya hakim-hakim robot yang bisa memutus secara netral serta objektif? Dulu,
lama sebelum ini, sebelum pemerintah memperkenalkan OSS (online single subsmission) sebagai solusi platform perizinan, saat
penulis masih bertugas mengurusi perpanjangan izin usaha perusahaan, terutama
izin domisili usaha yang rutin harus diperpanjang setiap tahunnya, selalu terjadi
pungutan liar oleh pejabat maupun pegawai di instansi pemerintahan. Telah ternyata,
bersentuhan dengan manusia “Made in Indonesia”
yang notabene “agamais”, tidak kurang-kurangnya beribadah serta berbusana serta
agamais, akan tetapi penulis selalu merasa harus menaruh waspada karena sewaktu-waktu
dapat dijadikan “sapi perahan” (objek pungutan liar alias pemerasan yang
bersumber dari kewenangan monopolistik).
Para Aparatur Sipil Negara,
alias Pegawai Negeri Sipil, digaji dari uang rakyat serta disumpah jabatan
untuk melayani masyarakat sebagai “public
SERVANT”, akan tetapi justru meminta “pungutan liar” seolah-olah mereka “menjual
jasa”. Jika mereka ingin “menjual jasa”, mengapa tidak menjadi sipil-wiraswasta
agar mereka bisa mengetahui apa yang disebut sebagai “resiko usaha”—bisa untung
namun juga bisa merugi—karenanya tidak perlu menjadi seorang “public SERVANT” yang memonopoli
kewenangan. Itulah sebabnya, penulis telah memvonis sebagian besar kalangan Aparatur
Sipil Negara yang pernah memeras warga, sekalipun notabene “agamais”, akan
terlahir kembali di alam-alam rendah “tanpa kebahagiaan” (alam “apaya”) seperti hewan, setan
gentayangan, jin raksasa, maupun alam neraka.
Penghapusan dosa? Itu “too good to be true”, dimana hanya
seorang pendosa yang butuh iming-iming korup demikian. Kabar gembira bagi
pendosa, sama artinya kabar buruk bagi kalangan korban, seolah-olah Tuhan lebih
PRO terhadap pendosa alih-alih bersikap adil terhadap korban. Apakah yang menjadi
konsekuensi atau bahaya dibalik meremehkan ataupun menyepelekan perbuatan buruk
yang tercela? Ada harga yang harus mereka bayarkan, sebagaimana dapat kita rujuk
khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical
Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012,
terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi
Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan inspiratif sebagai berikut:
15 (5) Pacetana
Pada suatu ketika Sang Bhagavā
sedang menetap di Bārāṇasī di Taman Rusa di Isipatana. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para
bhikkhu: “Para bhikkhu!” [111]
“Yang Mulia!” para bhikkhu itu
menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
“Para bhikkhu, di masa lalu ada
seorang raja bernama Pacetana. Kemudian Raja Pacetana berkata kepada seorang
pembuat kereta: ‘Sahabat pembuat kereta, enam bulan dari sekarang akan ada
sebuah peperangan. Dapatkan engkau membuatkan untukku sepasang roda?’ – ‘Dapat,
Baginda,’ pembuat kereta itu menjawab. Setelah enam bulan kurang enam hari si pembuat
kereta itu telah menyelesaikan satu roda. Raja Pacetana berkata kepada si
pembuat kereta: ‘Enam hari dari sekarang akan ada peperangan. Apakah sepasang
roda itu telah selesai?’ [Si pembuat kereta menjawab:] ‘Dalam waktu enam bulan
kurang enam hari yang lalu, Baginda, saya telah menyelesaikan satu roda.’ –
‘Tetapi, sahabat pembuat kereta, dapatkah engkau menyelesaikan roda ke dua
untukku dalam enam hari ke depan?’ – ‘Dapat, Baginda,’ si pembuat kereta
menjawab. Kemudian, setelah enam hari berikutnya, si pembuat kereta
menyelesaikan roda ke dua. Ia membawa sepasang roda itu kepada Raja Pacetana
dan berkata: ‘Ini adalah sepasang roda baru yang telah kubuat untukmu,
Baginda.’ – ‘Apakah perbedaannya, sahabat pembuat kereta, antara roda yang
memakan waktu enam bulan kurang enam hari untuk diselesaikan dan roda yang
memakan enam hari untuk diselesaikan? Aku tidak melihat perbedaan apa pun
antara keduanya.’ – ‘Ada sebuah perbedaan, Baginda. Amatilah perbedaannya.’
“Kemudian si pembuat kereta
menggelindingkan roda yang memakan waktu enam hari untuk diselesaikan. Roda itu
menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya, dan kemudian terhuyung-huyung
dan jatuh ke tanah. Tetapi roda yang memakan waktu enam bulan [112] kurang enam
hari untuk diselesaikan menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya dan
kemudian berdiri diam seolah-olah terpasang pada sumbunya.
“[Kemudian raja bertanya:]
‘Mengapakah, sahabat pembuat kereta, bahwa roda yang memakan waktu enam hari
untuk diselesaikan menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya, dan kemudian
terhuyung-huyung dan jatuh ke tanah, sedangkan roda yang memakan waktu enam
bulan kurang enam hari untuk diselesaikan menggelinding sejauh daya dorongnya
membawanya dan kemudian berdiri diam seolah-olah terpasang pada sumbunya?’
“[Si pembuat kereta menjawab:]
‘Roda yang memakan waktu enam hari untuk diselesaikan, Baginda, memiliki
lingkar yang berlekuk, cacat, dan tidak sempurna; jari-jari yang berlekuk,
cacat, dan tidak sempurna; dan poros yang berlekuk, cacat, dan tidak sempurna.
Karena alasan ini, maka roda itu menggelinding sejauh daya dorongnya
membawanya, dan kemudian terhuyung-huyung dan jatuh ke tanah. Tetapi
roda yang memakan waktu enam bulan kurang enam hari untuk diselesaikan
menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya dan kemudian berdiri diam
seolah-olah terpasang pada sumbunya memiliki lingkar yang tanpa lekukan, tanpa
cacat, dan tanpa ketidak-sempurnaan; memiliki jari-jari yang tanpa lekukan,
tanpa cacat, dan tanpa ketidak-sempurnaan; dan memiliki poros yang tanpa
lekukan, tanpa cacat, dan tanpa ketidaksempurnaan. Karena alasan ini, maka roda
itu menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya dan kemudian berdiri diam
seolah-olah terpasang pada sumbunya.’
“Mungkin saja, para bhikkhu,
kalian berpikir: ‘Pada saat itu si pembuat kereta adalah orang lain.’ Tetapi
jangan kalian berpikir demikian. Pada saat itu, Aku sendirilah si pembuat
kereta itu. Pada saat itu Aku terampil dalam lekukan, cacat, dan
ketidaksempurnaan sehubungan dengan kayu. Tetapi sekarang Aku adalah Sang
Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, (1) terampil dalam lekukan, cacat, dan
ketidak-sempurnaan jasmani; (2) terampil dalam lekukan, cacat, dan
ketidak-sempurnaan ucapan; (3) terampil dalam lekukan, cacat, dan
ketidak-sempurnaan pikiran.
“Bhikkhu atau bhikkhunī mana
pun yang belum meninggalkan lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan
jasmani, ucapan, dan pikiran [113] telah jatuh dari Dhamma dan disiplin ini,
seperti halnya roda yang diselesaikan dalam enam hari [akan jatuh ke tanah].
“Bhikkhu atau bhikkhunī mana
pun yang telah meninggalkan lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan
jasmani, ucapan, dan pikiran adalah kokoh dalam Dhamma dan disiplin ini,
seperti halnya roda yang diselesaikan dalam enam bulan kurang enam hari [akan
tetap berdiri].
“Oleh karena itu, para bhikkhu,
kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan meninggalkan lekukan,
cacat, dan ketidaksempurnaan jasmani; kami akan meninggalkan lekukan, cacat,
dan ketidak-sempurnaan ucapan; kami akan meninggalkan lekukan, cacat, dan
ketidak-sempurnaan pikiran.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”
Bagaimana mungkin para kaum “agamais”
tersebut berharap dapat disatukan dan bersatu dengan Tuhan, jika para penyusun
kebijakan kita saja menyadari bahwa betapa berbahayanya mereka bisa menjadi, bila
bersentuhan langsung dengan masyarakat (tidak terampil dan tidak terlatih dalam
“self-control”, alias “pendosa penjilat penuh dosa” tulen), dimana pemerintah mulai
lebih mengandalkan robot daripada kaum “agamais” sebagai “frontliner” pelayanan publik bagi masyarakat umum luas? Hal
demikian ibarat yang kotor hendak bersatu dengan yang bersih, hanya akan mencemari
dan menodai, (versi) Tuhan yang bodoh.
Terhadap dosa dan maksiat,
begitu kompromistik. Namun terhadap kaum yang berbeda keyakinan, demikian
intoleran dan penuh penghakiman. Warga masyarakat saja selaku publik yang
membutuhkan pelayanan publik, diusahakan untuk dijauhkan (tidak bersentuhan
langsung) dengan para “agamais” tersebut—maka, bila kita benar-benar mengklaim “cinta
Tuhan”, tidak ada pilihan lain selain menolak disatukannya para “agamais”
tersebut dengan Tuhan, serta dijauhkan dan diasingkan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.