Menjadi Sarjana Hukum Modern & Progresif

ARTIKEL HUKUM
DIFERENSIASI TALENTA PENYEDIA JASA LAYANAN KONSULTASI HUKUM
Dalam terminologi pendidikan, dikenal istilah “pedagogi”, yang bermakna seni atau kemampuan untuk “transfer of knowledge” yang disesuaikan dengan watak karakter para peserta didik. Karena masing-masing siswa sangat beragam dalam tingkat pemahaman serta latar belakang karakternya, ada yang cepat mencerap materi pelajaran juga ada yang membutuhkan banyak waktu dan usaha lebih keras, maka pendekatan pada masing-masing murid tentunya sangat beragam pula.
Jangan pernah membeli buku-buku yang ditulis oleh seorang jenius, karena penulisnya tidak pernah paham kesukaran yang selama ini dihadapi oleh siswa-siswa yang tidak jenius—demikian orang bijak berpesan, kecuali bila Anda seorang siswa jenius. Bacalah karya-karya tulis yang ditulis oleh seseorang yang bertipe pekerja keras untuk mencapai keberhasilan.
Jangan dimaknai bahwa semua guru maupun dosen memahami seni pedagogi meski telah puluhan tahun mengajar. Yang ada ialah siksaan bagi peserta didik karena tidak mampu memahami pelajaran, merasa bodoh, disebut dungu, atau bahkan hampir mati karena rasa bosan dan jemu. Tidak ada siswa yang keliru, yang ada ialah guru yang gagal untuk memahami murid dan membimbing lewat pendekatan tersendiri ataupun lewat teladan yang nyata.
Itulah postulat ilmu pendidikan, yang sayangnya banyak diketahui namun tidak pernah dipraktikkan dalam dunia pendidikan di Tanah Air. Para siswa berotak cemerlang, lebih banyak belajar sendiri secara otodidak, daripada harus mengandalkan guru-guru mereka yang tidak progresif dan bahkan tidak mampu memahami bakat dan talenta sang siswa cemerlang.
Tentu kita juga pernah menyaksikan suatu tutorial, dimana substansi toturial ialah perihal komponen perangkat elektronik tertentu. Meski antar tutorial yang dibawakan oleh tutor yang berbeda adalah seputar cara kerja komponen elektronika yang sama, namun ternyata cara menyajikan dan cara menjelaskan masing-masing tutor adalah khas dengan seni dan pendekatan yang berbeda satu sama lain.
Bagi pembelajar awam dibidang rangkaian sirkuit elektronika, mungkin tutor yang menyampaikan terlampau cepat akan dinilai kurang baik dalam menyajikan dan menguraikan tutorial, sehingga sukar dipahami, namun bagi pembelajar yang telah tingkat advance, akan tampak sebagai cara penyajian tutor yang cukup ideal. Masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan.
Namun demikian, dapat disebutkan bahwasannya sebagian besar pengakses tutorial ialah orang-orang yang memang awam dibidang elektronika, sehingga dapat dipastikan tutor yang paling populer ialah tutor yang menyajikan tutorial yang “user friendly for dummies / newbie”.
Seni yang dimaksud oleh penulis, ialah tidak lain tidak bukan kemampuan untuk menyajikan apa yang rumit dan kompleks, dalam bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti oleh orang paling awam sekalipun. Menjadi pertanyaan introspektif, mengapa karya sastra di Indonesia, cenderung kurang populer ditengah niat baca masyarakat Indonesia yang relatif cukup baik ini, mengingat wajib belajar telah menyentuh pedesaan dan pelosok-pelosok Tanah Air, dimana yang paling laku justru ialah novel kisah melodrama yang ringan dan berbahasa “renyah”?
Patut ditengarai, karya sastrawan dalam karya tulisnya kerap diwarnai “kecentilan” intelektual lewat penggunaan berbagai terminologi Bahasa Indonesia yang jarang dikenal masyarakat umum, mungkin sekedar bermaksud tampak keren atau agar kelihatan mewah dalam penggunaan pembendaharaan kata, atau setidaknya agar terkesan intelek.
Apa yang terjadi kemudian? Berbagai karya sastra demikian tampak memiliki jarak dengan para pembacanya. Alhasil, para pembaca potensialnya hanyalah kalangan internal para sastrawan itu sendiri. Sebuah dunia yang sempit dan ter-cluster. Mengapa karya Karl Marx dan Engels selaku pencetus ideologi Marxisme / Komunisme, dianggap kurang cukup progresif meski dinilai sebagai karya intelektual brilian yang jenius, bahkan hingga di era kontemporer dikala pemodal kian menguasai sendi-sendi ekonomi rakyat lewat aksi kartel harga, monopoli, dan persaingan usaha tidak sehat lainnya?
Tidak lain karena penggunaan berbagai terminologi dan pendekatan telaah bahasan yang sukar dipahami oleh kalangan buruh (proletar). Karya-karya Marx justru lebih banyak dikonsumsi oleh kalangan Borjuis—suatu fakta empirik yang ironis sekaligus bagai komedi putar. Marx menulis karya besarnya perihal ideologi Marxisme untuk kepentingan Proletar, namun disaat bersamaan menggunakan berbagai pendekatan telaah yang tidak akan mampu dipahami para buruh miskin yang kurang dari segi pendidikan ataupun penguasaan konsep abstrak maupun perbendaharaan kata terlebih dibidang dasar ilmu filsafat. Para kapitalis yang selama ini justru membaca karya tulisnya seraya terkekeh.
Tentu kita juga pernah menyaksikan pertunjukkan suara penyanyi yang hanya meniru intonasi maupun suara penyanyi-penyanyi tenar sebelumnya. Meski memiliki suara yang indah dan memukau, namun sang penyanyi tidak dapat bersinar atau mengorbit secara optimal, tidak lain karena “tidak original”, hanya sekadar tiruan belaka dari penyanyi tenar lain—sampai kapan pun nasibnya hanya sekadar replika yang dapat digantikan oleh replika lain. Otentikasi sama pentingnya dengan pendekatan itu sendiri, disamping wadah untuk menuangkan karya dan talenta yang tidak kalah pentingnya.
Kini, kita masuk dalam pokok bahasan sentral dari artikel singkat ini. Secara statistik, mungkin lulusan perguruan tinggi yang paling besar di Tanah Air, ialah dicetaknya ribuan Sarjana Ekonomi disamping Sarjana Hukum. Sementara lapangan pekerjaan bagi kalangan Sarjana Hukum sangat terbatas jumlahnya—bandingkan analogi berikut: Sebuah perusahaan, membutuhkan banyak tenaga marketing dan akuntan, namun belum tentu perusahaan sebesar itu membutuhkan seorang pun Sarjana Hukum—sementara suplai angkatan kerja berlatar belakang Sarjana Hukum terus dicetak setiap tahunnya, dengan bekal kemampuan seadanya yang bahkan tidak siap pakai oleh dunia kerja.
Diantara derasnya pasokan Sarjana Hukum, ditambah sempitnya segmen pasar yang dapat dimasuki oleh penyedia jasa dibidang hukum, mengakibatkan inovasi menjadi kata kunci untuk mampu bertahan (survive) dalam menyikapi timpangnya antara supply dan demmand. Selama ini kalangan profesi pengacara menjual jasanya dengan mengusung brand: “Selalu menang dalam gugatan, dan tidak pernah terkalahkan di pengadilan”—sehingga tidak heran “by all means” alias menggunakan segala cara untuk menang demi meningkatkan reputasi sang advokat di mata publik.
Namun bukanlah itu tantangan paling utama yang akan penulis bahas. Saat kini, di era kemajuan digitalisasi yang demikian derasnya akibat dari era keterbukaan keran informasi publik dan dunia maya, berbagai peraturan perundang-undangan dapat diakses dengan mudahnya oleh seseorang yang bukan berlatar belakang Sarjana Hukum sekalipun. Bayangkan, jika seorang Sarjana Hukum mencoba menjual jasa layanan hukumnya sebagai seorang konsultan, namun hanya bermodal “hafal undang-undang”, maka apa yang akan terjadi selain sekadar menjadi fosil yang membatu?
Sarjana Hukum yang progresif dan inovatif, tidak perlu takut akan segala kemajuan teknologi informasi demikian, karena undang-undang selalu mengandung bahasa tertulis yang tidak sempurna, tidak lengkap, saling tumpang-tindih dengan regulasi lain, disamping tidak mengandung konteks yang spesifik, hingga mengandung berbagai bahasan yang sukar dipahami oleh orang awam.
Dapat dipastikan, sebagian besar pengguna jasa hukum, tidak lain adalah warga negara yang awam dibidang hukum—bila mereka paham hukum, maka mereka sudah menempuh upaya hukum secara swadaya dan mandiri—sehingga “target market” yang disasar, ialah mereka yang bahkan tidak paham akan terminologi hukum apapun, terlebih perihal asas-asas hukum, ataupun konsepsi perihal cara bekerjanya hukum baik sistematika maupun aplikasinya dalam praktik.
Ciri khas dalam pendekatan dalam menelaah, menjadi kunci ditengah kian ketatnya persaingan jasa dibidang layanan hukum, terutama bagi mereka yang berkecimpung dibidang jasa profesi Konsultan Hukum (Legal Consultant). Ada yang menspesialisasi dibidang layanan hukum secara murah-meriah, namun ada juga yang menawarkan jasanya sebagai suatu karya seni bagai karya seorang seniman (menyusun kontrak, gugatan, somasi, perjanjian kerja, dsb, dibutuhkan cita-rasa seni tersendiri). Ada juga yang menjadikan ujung tombak jasanya dibidang layanan riset dan perizinan usaha (yang sejatinya kian mudah diakses publik secara mandiri diera online ini maupun kontrak yang kian menjelma stadard kontrak baku).
Diatas semua itu, terdapat skill unik tertentu yang tidak dapat tergantikan oleh kecanggihan teknologi, tidak juga mampu digantikan oleh penyedia jasa layanan hukum lainnya, yakni kemampuan untuk membuat “yang rumit menjadi tampak simpel dan mudah dicerna serta dipahami oleh klien yang awam hukum sekalipun”.
Berhadapan dengan klien dari latar belakang Buruh, dan ketika berhadapan dengan klien dari latar belakang Pengusaha, tentu membutuhkan pilihan kosakata dan pendekatan yang berlainan. Tidak ada metode yang dapat dipakai secara “pukul rata”. Hal itulah tepatnya yang perlu diadopsi para Sarjana Hukum perihal seni “pedagogi”.
Sampai kapanpun, profesi hukum tidak akan ada habisnya dan tidak akan ada matinya bagi Sarjana Hukum yang memiliki jiwa “seni” bercita-rasa tinggi dan tidak menyerah terhadap segala keterbatasan yang melingkupi praktik hukum. Sebaliknya, era kemajuan teknologi akan menjadi titik mula kematian bagi para Sarjana Hukum yang hanya mampu menawarkan jasa layanan secara ditingkat rata-rata, ditengah ketimpangan antara kebutuhan pasar dan pasokan Sarjana Hukum yang terus dicetak setiap tahunnya.
Yang paling cepat tewas, tentunya ialah Sarjana Hukum yang “palugada”—alias “apa (yang) elu mau, gua ada”. Sarjana Hukum demikian terlampau tamak untuk menguasai setiap disiplin ilmu hukum yang mustahil dikuasai semuanya. Ibarat dokter umum dan dokter spesialis, selalu pasien akan me-refer atau di-refer pengobatan penyakitnya pada dokter spesialis. Bersikukuh menjadi Sarjana Hukum “palugada”, sejatinya mempercepat kematian klien maupun dirinya sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.