Kurang Pihak dalam Gugatan Perkara Tanah

LEGAL OPINION
Question: Biasanya dalam pokok permintaan di gugatan (petitum) maupun amar putusan hakim masalah hukum tanah, ada bunyi seperti ini: “Menghukum Tergugat atau pihak ketiga terkait objek sengketa yang mendapat hak diatasnya, untuk mengosongkan objek sengketa”. Artinya apa itu “pihak ketiga”? Apa artinya juga memang bisa, putusan perkara tanah itu mengikat orang lain yang tidak kita kenal atau bahkan tidak ikut digugat dalam suatu gugatan terkait tanah?
Brief Answer: Tidak seperti itu juga, alias tidak dapat dimaknai secara naif harafiah demikian. Prinsip dasarnya, pihak-pihak yang tidak digugat ataupun tidak dijadikan “turut tergugat”, tidak tunduk pada amar putusan hasil sengketa pihak-pihak lainnya. Putusan pengadilan hanya mengikat pihak-pihak yang bersengketa dalam nomor register perkara bersangkutan.
Hanya saja, dalam perkara pertanahan, kerap dijumpai kesukaran sendiri, sehingga perlu diakukan rasionalisasi, semisal kita tidak pernah tahu apakah sertifikat hak atas tanah telah dijual-belikan oleh tergugat kepada pihak ketiga, atau bahkan pihak ketiga telah mengalihkannya pula kepada pihak keempat. Tentunya, pihak lawan tidak akan pernah mau membuka fakta-fakta demikian.
Untuk hal yang tidak mungkin diketahui secara logisnya, maka cukup berfokus pada “alas hak” terkait objek tanah yang dimiliki pihak tergugat untuk digugat. Ketika “alas hak” tersebut dinyatakan pengadilan sebagai tidak sah, maka pihak ketiga yang mendapat hak diatas “alas hak” tersebut, turut runtuh keberlakuan penguasaannya. Hal teknis demikian semata dalam rangka rasionalisasi berbagai keterbatasan dalam implementasi hukum acara perdata.
Akan tetapi untuk hal-hal fakta aktual yang sudah secara terang-terangan dapat diketahui, semisal adanya pihak penghuni / penggarap objek tanah yang juga mengklaim sebagai pemilik sah atas bidang tanah, maka bila pihak bersangkutan tidak turut ditarik sebagai tergugat, maka gugatan dapat dipastikan akan dinyatakan “tidak dapat diterima” karena “kurang pihak”, dimana bila Majelis Hakim tetap mengabulkan gugatan demikian, maka pengadilan telah melanggar asas paling mendasar dalam hukum acara perdata perihal “audi alteram partem”, bahwa pihak-pihak yang berkepentingan berhak untuk didengarkan keterangan guna mempertahankan haknya dan membela diri.
PEMBAHASAN:
Untuk memudahkan pemahaman, untuk itu SHIETRA & PARTNERS merujuk cerminan konkret sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa tanah register Nomor 820 K/Pdt/2016 tanggal 26 Juli 2016, perkara antara:
1. H. MUSTAR; 2. H. RZ TABRANI RONI, sebagai Para Pemohon Kasasi dahulu Para Tergugat; melawan
- ESVASARI, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Penggugat mengklaim sebagai pemilik hak atas tanah berupa sebidang tanah seluas 19.500 m2, berdasarkan Surat Keterangan Hak Atas Tanah tertanggal 22 Mei 2013 yang ditanda-tangani oleh camat setempat. Tanah milik Penggugat tersebut merupakan sebagian dari tanah yang semula milik / kepunyaan kakek Penggugat yang diperolehnya dengan cara membeli dari pemilik sebelumnya berdasarkan Surat Jual Beli Tanggal 19 April 1937.
Setelah kakek Penggugat meninggal dunia, maka tanah warisan tersebut dibagikan oleh nenek Penggugat kepada 3 orang anak kandungnya, yang salah satunya yaitu Ibu kandung Penggugat. Pembagian tersebut tertuang dalam Surat Pengakuan Hak tanggal 8 Agustus 1963 yang dibuat oleh nenek Penggugat, serta diketahui atau ditanda-tangani oleh Kepala Desa pada waktu itu.
Dengan adanya pembagian tersebut atas kesepakatan bersama antara ibu kandung Penggugat dengan saudara-saudara kandungnya, maka ibu kandung Penggugat memperoleh tanah yang tempatnya adalah sebagaimana yang menjadi objek sengketa dalam perkara ini.
Seiring berjalannya waktu, ibu kandung Penggugat meninggal dunia pada tahun 2011 dengan meninggalkan 5 orang anak kandung, yang salah satunya ialah Penggugat. Setelah ibu kandung Penggugat meninggal, maka saudara-saudara kandung Penggugat kemudian menghibahkan hak waris mereka atas harta warisan peninggalan almarhum kepada Penggugat, termasuk harta warisan yang berupa tanah yang menjadi objek sengketa dalam perkara ini, sebagaimana tertuang dalam Surat Hibah Hak Waris yang ditanda-tangani oleh 4 orang saudara kandung Penggugat selaku pihak yang menghibahkan dan Penggugat selaku pihak yang menerima hibah.
Hingga akhirnya objek tanah berpindah menjadi kepunyaan Penggugat pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2011, tidak ada pihak lain yang mengganggu atau mengklaim kepemilikan Penggugat atas objek tanah. Barulah pada awal tahun 2012, ketika Penggugat akan membersihkan bidang tanah, tiba-tiba Tergugat I mengklaim bahwa tanah objek sengketa diakui sebagai miliknya.
Mulai saat itulah timbul persengketaan antara Penggugat dengan Tergugat I mengenai kepemilikan atas tanah namun perselisihan / persengketaan antara Penggugat dengan Tergugat I. Kemudian pada tahun 2013 tanah objek sengketa dikuasai oleh Tergugat II, yang dapat dibuktikan dengan adanya pagar beton yang didirikan oleh Tergugat II diatas objek sengketa.
Penggugat mendapat informasi dari warga yang tinggal di dekat tanah objek sengketa, mengatakan bahwa tanah milik Penggugat yang menjadi objek sengketa dalam perkara ini telah dijual Tergugat I kepada Tergugat II. Dengan telah dijualnya tanah milik Penggugat oleh Tergugat I kepada Tergugat II, tanpa sepengetahuan dan tanpa seijin Penggugat, maka Penggugat merasa dirugikan, sekaligus sebagai suatu perbuatan melawan hukum, tidak terkecuali keberadaan Tergugat II diatas objek tanah.
Sementara dalam sanggahannya, pihak Tergugat mendalilkan bahwa gugatan Penggugat ialah terhadap Tergugat I dan II, akan tetapi objek sengketa yang diklaim oleh Penggugat ternyata ada orang lain lagi yang mempunyai persil di tempat objek tanah yang diklaim Penggugat dengan ukuran seperti dalam gugatan.
Selain itu, Penggugat tidak menjadikan pihak lain tersebut sebagai Tergugat yang telah memberikan hak atas tanah kepada Penggugat sebagai pihak dalam perkara ini (karena Penggugat mendalilkan mendapat Hibah Hak Waris tanggal 15 Mei 2005), merupakan kelalaian yang sudah semestinya dicermati dalam membuat surat gugatan. Dengan demikian gugatan Penggugat telah “kurang pihak”, demikian sanggahan Tergugat dengan sangat singkatnya tanpa berpanjang lebar.
Terhadap gugatan tersebut, Pengadilan Negeri Kayuagung kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 36/Pdt.G/2014/PN KAG. tanggal 19 Mei 2015, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
- Menyatakan gugatan tidak dapat diterima (Niet ontvankelijke verklaard).”
Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat, putusan Pengadilan Negeri tersebut kemudian dikuatkan lewat Pengadilan Tinggi Palembang dalam Putusan Nomor 71/PDT/2015/PT.PLG. Tanggal 8 Oktober 2015.
Meski gugatan Penggugat dinyatakan “tidak dapat diterima” oleh pengadilan, namun pihak Tergugat yang justru mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti sudah tepat dan benar;
“Bahwa perkara a quo kurang pihak, masih ada orang lain yang ikut menguasai tanah objek sengketa yaitu Rozali, tetapi Penggugat tidak menjadikannya sebagai pihak (plurium litis consortium) padahal ini penting karena tidak menyulitkan ketika eksekusi nanti;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, ternyata putusan Judex Facti / Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Para Pemohon Kasasi H. Mustar dan kawan tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi: 1. H. MUSTAR dan 2. H. RZ. TABRANI RONI tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.