Antara Korupsi Aktif & Korupsi Pasif

ARTIKEL HUKUM
Kemungkinan besar diantara kita pernah mengalami langsung secara pribadi, bagaimana pelayanan Aparatur Sipil Negara / Pegawai Negeri Sipil dalam pelayanannya di instansi negeri, sangatlah tidak bertanggung-jawab. Betapa tidak, tanpa uang “pelicin”, maka segala berkas permohonan yang warga ajukan, tidak akan direspon ataupun ditanggapi.
Seribu-satu alasannya, dan tentu saja, hanya alasan yang dibuat-buat. Di Kantor Pertanahan, sebagai contoh konkretnya, tanpa berbagai biaya “siluman”, maka berkas yang diajukan warga akan hilang tanpa jejak. Selebihnya, para petugas tersebut akan saling melempar tanggung jawab—khas Pegawai Negeri Sipil, dan sudah tidak mengherankan, seperti yang sudah-sudah dan semua sudah “sama sama tahu”.
Mungkin pernah pula kita alami atau lihat dan dengar dengan mata-kepala kita sendiri, betapa laporan atas tindak pidana yang kita alami sebagai korbannya, tidak disikapi bahkan tidak direspon sebagaimana mestinya. Singkat kata, ditelantarkan, ditutup aksesnya dari keadilan, di-isolir akibat pelayanan publik dan pintu perlindungan hukum ditutup rapat-rapat dari mereka yang memiliki kewenangan untuk itu, namun tidak mau mengambil sikap aktif untuk menindak-lanjutinya.
Sudah digaji dengan Uang Rakyat (Note Penulis: jangan pernah gunakan terminologi “Uang Negara”. Tidak ada “Uang milik Negara”, yang ada ialah “Uang dari Pajak Rakyat”), namun bagai tidak tahu berterima-kasih, para Aparatur Negeri Sipil maupun pihak berwajib dan lembaga kehakiman tersebut, seakan mempunyai hak untuk memeras rakyat yang selama ini telah memberi mereka gaji setiap bulannya. Sungguh durhaka!
Selama ini kita hanya mendengar atau menyaksikan pemberitaan perihal aksi tangkap-tangan para penyelenggara negara yang kedapatan / tertangkap-tangan melakukan korupsi dengan sejumlah uang yang diberikan kepada pelaku atau berupa pengambilan dana yang bersumber dari “Uang Rakyat” diluar gaji mereka untuk dimiliki secara melawan hukum dan memperkaya diri dengan cara memiskinkan rakyar pembayar pajak.
Namun, berbagai pemberitaan tidak pernah mengupas wacana perihal “korupsi pasif”. Dalam “korupsi aktif”, para pelakunya menggerogoti “Uang Rakyat” diluar komponen gaji, semisal pengadaan barang / jasa lewat aksi pesaingan usaha tidak sehat, penggelembungan harga (mark up), proyek (yang sejatinya tidak perlu) yang sengaja dibuat sebagai ladang korupsi, dsb. Namun dalam konteks “korupsi pasif”, ialah berupa pasifnya sang pelaku atau dengan kata lain tidak melaksanakan tugas serta tanggung-jawabnya sebagaimana mestinya.
Bila saja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bergerak lebh jauh dengan menindak para pelaku “korupsi pasif”, maka dapat dipastikan sebagian besar para penyelenggara negara, pejabat, Pegawai Negeri Sipil, lembaga peradilan, kepolisian, kejaksaan, dan berbagai aparatur lembaga negara lainnya, akan terkena jerat kategori “korupsi pasif”. Mungkin juga, operasional negara akan lumpuh, akibat seluruh aparaturnya terjerat, penjara tidak muat menampung, dan bangsa ini di-cap oleh internasional sebagai negara terkorup, atau bahkan bangsa paling korup di dunia—meski disaat bersamaan menampilan corak “negara agamais”. Oleh karenanya, lebih baik kita tutup rapat, agar indeks prestasi korupsi Indonesia dapat meningkat di mata dunia internasional dan berbagai atribut keagamaan dapat dilakoni tanpa rasa malu (pesta rakyat “kemunafikan” massal berjemaah).
Namun, mengapa KPK tidak pernah mau memasuki ranah pemberantasan “korupsi pasif”? Seperti sudah kita duga, jawabannya ialah karena terlampau masifnya pelaku “korupsi pasif” di Tanah Air. Kita hendaknya tidak terkecoh oleh penuh dan tidak pernah sepinya berbagai Lembaga Pemasyarakatan dari para narapidana baru yang divonis akibat dakwaan Jaksa Penuntut hasil penyidikan polisi. Senyatanya, pelaku kejahatan serius yang tidak diproses dan tidak dibawa ke ranah sidang pidana, jauh lebih masif dan lebih meluas dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Berbagai temuan dalam laporan publikasi dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat, mendukung hipotesis demikian.
Ada hak, maka ada kewajiban. Menerima gaji dari “Uang Rakyat”, maka adalah sebentuk kewajiban bagi setiap aparatur negara untuk melayani dan melindungi Rakyat. Atau kita balik prinsip resiprositas ini: hanya bila telah melayani Rakyat dengan baik, barulah dirinya berhak atas gaji dari ”Uang Rakyat”. Bila tidak melayani, namun mengambil “Uang Rakyat”, itu namanya korupsi / mencuri hak rakyat. Namun sistem meritokrasi tidak pernah diberlakukan di Indonesia, hingga saat kini, entah karena alasan apa untuk terus berkelit dari sistem meritokrasi demikian.
Sudah bosan, penulis melaporkan pelanggaran pidana maupun pelanggaran administrasi kepada pihak kepolisian, pihak pemerintah daerah, hingga lembaga peradilan, perihal berbagai pengabaian terhadap hak-hak rakyat, namun tiada satupun respon yang layak dan patut penulis terima selaku rakyat pembayar pajak sumber gaji mereka.
Pemerintah selalu berbicara manis di depan media, sembari tersenyum bangga seolah berprestasi: “Jika ada masalah atau pelanggaran, laporkan. Portal aduan telah dibuka lebar bagi publik.” Kendalanya, laporkan ke mana? Bagaimana atau adakah kepastian mekanisme tindak-lanjut laporan? Buat apa repot-repot melapor bila hanya dibuat kecewa sendiri pada akhirnya atas harapan palsu demikian? Bahkan tidak jarang terdengar, warga pengadu dibuat takut karena pelayanan publik justru ditutup baginya pasca mengadu.
Orang kelurahan yang diadukan, kini tidak mau memberi pelayanan publik setelah diadukan, demikian tutup seorang warga beberapa waktu sebelum ini. jadi kapok sendiri, aduan jadi bumerang. Bila sikap aktif melaporkan berbuah bumerang, warga mana yang kemudian masih mau mengambil resiko untuk melaporkan mal-admistrasi pelayanan publik? Tidak menindak-lanjuti laporan, bahkan tidak menindak pelakunya, adalah “korupsi pasif”. Kini, tidakkah Anda dapat melihat korelasinya?
Melaporkan secara resmi dan tertulis, keberadaan warga yang mendirikan rumah tanpa Izin Mendirikan Bangunan, namun tidak disikapi bahkan tidak juga direspon oleh pihak Dinas Penertiban Pemukiman Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Melaporkan tindak pidana derajat serius seperti perusakan properti hingga pengancaman kekerasan dengan senjata tajam, bahkan juga tidak ditindak-lanjuti oleh polisi Polres Jakarta Barat yang memiliki monopoli untuk menyeret pelaku ke meja hijau (ranah pidana masih dimonopolistik kepolisian dan kejaksaan untuk mengakses peradilan pidana).
Tentunya, bila para aparat tersebut tidak memegang hak monopolistik demikian, sudah barang tentu penulis cukup mengandalkan diri sendiri untuk menyeret pelakunya ke persidangan di meja hukum untuk divonis penjara, serta untuk menyegel langsung berbagai bangunan yang melanggar kewajiban Izin Mendirikan Bangunan. Semakin banyak undang-undang dan peraturan daerah dibentuk, semakin banyak pelanggaran yang dibiarkan bahkan oleh aparatur negara pembentuk aturan hukum itu sendiri.
Jika kita membentuk perincian sederhana secara statistik, jumlah kerugian rakyat akibat korupsi, jauh lebih banyak diakibatkan “korupsi pasif” ketimbang “korupsi aktif”. Selama ini masyarakat hanya menyoroti aksi “korupsi aktif” yang fenomenal (berita semacam ini kini telah menjadi hiburan rakyat yang tidak sehat, bad news is good news), namun tidak pernah mau menyadari betapa “Uang Rakyat” lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ataupun Daerah, selama ini digerogoti oleh para aparatur negara yang digaji dengan “Uang Rakyat”, namun disaat bersamaan menelantarkan dan mengabaikan hak-hak maupun aspirasi dan permohonan maupun aduan masyarakat.
Model negara demikian sejatinya tidak berbeda dengan model tipe negara feodalistik. Dalam negara feodal, ciri utamanya ialah “rakyat sebagai hamba dari pemegang kekuasaan”, bukan sebaliknya. Sementara dalam tipe negara republik, maka “para aparatur negara adalah hamba dari rakyat”. Menurut pendapat Anda, tipe negara apakah Indonesia secara de facto, “Negara Feodal Indonesia” ataukah “Negara Republik Indonesia”?
Namun apa yang terjadi dalam realita kenegaraan Indonesia? Sejatinya gelar negara “republik” yang disandang Indonesia, tidak lebih dari sekadar slogan tanpa makna, hanya gimmick polesan bibir yang membohongi publik, bahasa “jualan” sekadar untuk “menina-bobokan” rakyat.
Yang ada ialah, rakyat selalu diperas lewat berbagai pungutan pajak, namun semua itu kemudian digerogoti oleh para pelaku “korupsi pasif” yang dilakukan secara berjemaah. Bagaimana mau menjadikan bangsa yang cerdas, bila selama ini justru dibodohi oleh aparatur negaranya sendiri? Sejatinya, Indonesia tidak sedang dijajah budaya maupun ekonomi bangsa asing, namun terjajah oleh sikap munafik penyelenggara negaranya sendiri. Namun tetap saja, yang dikutuk dan dipersalahkan ialah “Yahudi” dan keyakinan kaum minoritas—tanpa mau bercermin atau introspeksi terhadap perilaku bangsa sendiri.
Lantas apa kaitannya dengan hukum? Tanpa kita sadari, praktik aparatur “penegak hukum yang semestinya menegakkan hukum” yang menelantarkan laporan warga yang membutuhkan keadilan dan perlindungan, namun kemudian ditelantarkan dan diabaikan, karena merasa pelanggaran hukum tidak akan ditindak secara serius, para warga yang mulanya adalah korban dan kemudian ditelantarkan pihak berwajib, mulai berasumsi bahwa hukum memang dibentuk untuk kemudian dilanggar.
Apa yang kemudian terjadi, efek dominonya sangat luar biasa kontras sekaligus dramatis. Para pelaku tidak lama kemudian menjelma pelaku kejahatan, membalas setiap aksi kejahatan dengan tindak kriminal serupa, sebagai pembalasan dendam yang tidak mendapat keadilan oleh pihak berwajib beberapa waktu sebelumnya.
Pula, dengan asumsi bahwa kejahatan demikian tidak akan mendapat tindakan apapun dari pihak berwajib yang dahulu menelantarkan aduannya. Korban, menjelma menjadi pelaku. Negeri ini bukan hanya negeri yang bebas untuk Anda meludah sembarangan, namun juga negeri yang bebas bagi kriminil untuk berkeliaran memburu mangsa.
Dari perspektif psikologi sosial, efek negatifnya jauh lebih berdampak hebat, yakni aksi persekusi dan “main hakim sendiri” mulai menampakkan gelagat dan gejala yang mencemaskan, meningkat dari hari ke hari, sebagaimana kini berbagai pemberitaan mulai membuktikan hipotesis demikian. Warga ingin menunjukkan kepada penguasa negara, bahwa warga pun mampu berdaya sendiri.
Dalam derajat lebih laten, yang sebetulnya selalu kita alami namun tidak pernah kita sadari ialah: seseorang warga melakukan kejahatan kepada warga lainnya, namun sang pelaku tidak pernah takut saat korbannya mengancam akan melaporkan si pelaku kepada polisi bila dirinya masih melanggar hukum. Cobalah Anda lakukan ancaman serupa bila dirugikan oleh warga lainnya, maka sang pelaku hanya tertawa sambil menantang balik untuk melaporkan.
Citra penegak hukum (terutama kepolisian) di Tanah Air sudah sangat rusak, diremehkan, dan bahkan dipandang serta diyakini sebagai “musuh rakyat” yang sejati untuk bersama dimusuhi. Itulah sebabnya, mengancam akan melapor atau memanggil polisi, tampak seperti lelucon yang tidak menakutkan.
Betul saja, cobalah Anda amati baik-baik, polisi tidak pernah hadir saat benar-benar dibutuhkan, tidak hadir saat dipanggil, atau bahkan nomor contact centre tidak pernah dapat dihubungi karena “tu-la-lit”. Polisi hanya cepat hadir tanpa diminta, saat menilang pengendara. Selebihnya, polisi bersembunyi di markas sambil mengepulkan asap cerutu. Bahkan juga, melaporkan secara resmi pun tidak akan ditindak pelakunya. Alhasil, sejatinya Negara Indonesia itu sendiri pelaku yang telah memelihara dan menyuburkan para kriminil pelaku kriminalitas. Budaya langgar hukum, secara tidak langsung juga disuburkan oleh praktik penelantaran dan pengabaian aparatur (pemegang kekuasaan monopolistik) penegakan hukum itu sendiri.
Akan saya laporkan Anda karena telah merusak properti saya!
Laporkan saja, saya tidak takut! Ini saya bawa parang mau bunuh kamu, ayo lapor polisi! Laporkan sekarang, tunggu apa lagi?
Belum kita simak perilaku para sipil di Lembaga Pemasyarakatan, dimana para bandar obat terlarang justru berbisnis di dalamnya, bagai para narapidana tersebut sedang dipenjara di hotel bintang tiga. Penjahat mana yang akan jera? Polisi dan penjara dalam persepsi citarasa Indonesia, hanya menjadi bahan untuk menakut-nakuti anak kecil yang dengan polosnya meyakini bahwa polisi akan membuat jera si pelaku kejahatan. Hadir untuk melindungi, bukan hadir untuk “pungli”.
Efek berantai lanjutannya, ketika markas kepolisian diledakkan oleh pelaku terorisme, tiada satupun warga di Indonesia yang memberikan karangan bunga bagi polisi korban jiwa peledakan. Tiada satupun warga memberi simpati. Bahkan secara tanpa disadari juga tanpa mau diakui, para warga memberi simpati dan mendukung serta memandang sang teroris sebagai pahlawan yang telah mencurahkan rasa sakit hati rakyat terhadap sikap zolim dan lalim para aparatur yang memonopoli kekuasaan pidana berupa borgol dan senjata apinya yang pongah nan arogan.
Mengapa Indonesia sangat sukar membangun kesadaran warga untuk membayar pajak, hingga Kementerian Keuangan memilih untuk melakukan cara curang melakukan jalan pintas dengan melakukan penerobosan terhadap rahasia nasabah agar para nasabah takut untuk tidak membayar pajak? Ketaatan pembayaran pajak oleh wajib pajak dengan cara curang demikian, sejatinya menerbitkan benih-benih rasa tidak memiliki warga terhadap negaranya sendiri.
Jangan harap masih tersisa rasa nasionalis warga terhadap negara Indonesia. Mungkin sebagian warga akan mendukung Jepang atau Inggris bila negara asing tersebut kembali hendak menjajah Indonesia. Setidaknya daripada terus terjajah oleh bangsa lain.
Warga bodoh mana, yang demikian dungunya sudi membayar pajak, namun disaat bersamaan berbagai pelayanan publik masih mensyaratkan pungutan liar, menghadapi Aparatur Sipil Negara bagai menghadap pada raja dimana penghadap harus menunduk takut-takut, dijadikan “sapi perahan”, menerima perlakuan polisi yang mengabaikan aduan korban pelapor, sikap jaksa yang menjual-belikan pasal, hakim yang justru membela pihak yang membayar, hingga bahkan praktik di lembaga pemasyarakatan yang menjadi hotel bintang tiga “persinggahan” bagi para penjahat sebelum kembali ke tengah masyarakat untuk melakukan kejahatan serupa setelah mendapat “obral remisi”.
Secara falsafah, tanpa pernah bosan penulis uraikan dalam berbagai kesempatan, saat masih berlaku “hukum rimba”, setiap warga tidak perlu mengandalkan polisi untuk menindak sang penjahat. Saat masih berlaku “hukum rimba”, setiap warga tidak perlu medium hakim dan pengadilan yang belum tentu jujur saat mengadili, juga belum tentu aturan hukumnya adil tanpa disusupi pesan sponsor politik.
Dengan akta lain, saat masih berlaku “hukum rimba”, hak setiap warga bersifat penuh, dalam arti tidak dirampas oleh negara dalam berbagai segi aspek. Seburuk-buruknya “hukum rimba”, setidaknya kita mampu menentukan nasib di tangan kita sendiriitulah poin utamanya.
Sebaliknya, saat diberlakukan “hukum negara”, baik berupa hukum pidana maupun hukum perdata, pada dasarnya berbagai hak penuh dari warga mulai dirampas oleh negara. Praktik monopolistik mulai melembaga di berbagai tubuh lembaga negara seperti kepolisian, kejaksaan, hingga kehakiman. Pernahkah kita sadari, sejatinya “pajak” adalah representasi “upeti” di zaman feodalisme? Sebaik-baiknya “hukum negara”, tetap saja hak-hak setiap warga terampas tanpa mampu memintanya kembali meski kerap diabaikan oleh aparatur pemegang kekuasaan monopolistik yang tidak bertanggung-jawab.
Dunia medis yang baik, menjadikan pasien selalu berdaya terhadap penyakit mereka. Dunia hukum yang baik, menjadikan korban tetap berdaya. Bagaimana cara berdaya dalam konteks kehidupan sosial dan hukum yang jauh dari kata ideal di Bumi Pertiwi ini? Tidak lain ialah lewat goresan tinta: karya sastra!
Lewat sastra, negarawan Rusia dan China berhasil melakukan revolusi. Sastra dipandang sebagai ujung tombak propaganda yang jitu. Dan lewat berbagai karya tulisan itu pulalah, penulis memilih berdaya untuk mengungkap dan menguak berbagai ketidak-adilan dan ketidak-benaran yang bahkan terjadi secara vulgar demikian—bahkan juga sudah menjadi rahasia umum sebenarnya, meski sedikit banyak diantara kita yang seolah menutup mata terhadapnya, dan menjadi lekas pikun untuk hal-hal demikian.
Perlahan namun pasti, ideologi dan idealisme akan menular dari satu pembaca kepada pembaca lain. Lewat perenungan terhadap ide dan buah pikir karya sastra yang dibaca para pembaca, tentulah akan membangkitkan rasa desakan untuk membuat perubahan bersama, perbaikan bersama, hingga revolusi bersama. Tanpa kepedulian kita bersama, negara semacam apa yang hendak kita wariskan bagi generasi penerus?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.