Tahu, Namun Pura-Pura Tidak Tahu

ARTIKEL HUKUM
Semua orang berakal sehat, tahu, bahwa setiap barang dan jasa, ada harganya, maka konsumen bertanya dahulu perihal harga / tarif, bukan sekonyong-konyong meminta dilayani, dengan hanya membayar berupa ucapan: 'Terimakasih'. Hanya seseorang berakal picik sekaligus lebih hina dari seorang pengemis, meminta dilayani tanpa mau menyadari apa yang menjadi kewajibannya terhadap penyedia barang / jasa.
Bahasa Indonesia merupakan “lingua franca” dari mereka yang mengaku sebagai bagian / anggota dari Bangsa Indonesia, yang tidak mengenal sekat kasta maupun stratifikasi sosial untuk memahami bahasa tersebut. Namun hingga saat kini, penulis mendapati kenyataan pahit, bahwa betapa memprihatinkannya pemahaman Rakyat Indonesia terhadap Bahasa Indonesia, bila tidak dapat disebut sebagai kondisi yang memprihatinkan, terutama perihal penguasaan perbendaharaan kata.
Sudah sangat jelas, terdapat perbedaan secara kontras antara “Pengacara” dan “Konsultan Hukum”. Keduanya adalah profesi yang berbeda, yang berangkat dari akar kata yang saling berlainan dan berbeda satu sama lain. Pengacara mencari nafkah dari beracara di persidangan, alias mengambil keuntungan dari sengketa yang dialami sang klien, atau bila perlu membuat sengketa kian keruh dan kian memanas. Sementara itu kalangan profesi Konsultan Hukum, mencari penghasilan secara legal dari menghindari klien agar tidak terjadi sengketa, atau setidaknya memitigasi sengketa yang terjadi dan memadamkan “kebakaran” yang terjadi.
Sama seperti kalangan profesi Konsultan Pajak yang tidak bersidang di Pengadilan Pajak, namun menawarkan jasa layanan konsultasi seputar perpajakan guna menghindari masalah pajak atau memetakan berbagai kaedah seputar pajak pada sang klien agar menjadi paham hal-hal seputar pajak, kebolehan dan larangan seputar aturan pajak yang berlaku di suatu negara pada satu waktu.
Begitupula dengan mereka yang bergerak dibidang karir sebagai Konsultan Properti perihal konsultasi seputar tanah dan real estate, Konsultan Keuangan yang memberi konseling perihal akutansi dan keuangan, ataupun Konsultan Interior yang memberi jasa layanan bimbingan perancangan desain interior, sama halnya dengan seorang Arsitek yang tidak membangun rumah layaknya kontraktor namun memberi layanan jasa berupa rancangan dan ide langkah pembangunan, konsultan pendidikan, konsultan manajemen, konsultan pengairan, konsultan peternakan, konsultan pertanian, dsb.
Semua profesi tersebut ialah legal, dalam artian adalah wajar menarik tarif layanan profesi, dalam rangka layanan jasa antara pemberi dan penerima jasa. Mereka sangat menghargai waktu mereka yang terbatas, oleh karenanya pemakai layanan jasa yang menyita waktu mereka wajar bila harus membayar mahal.
Orang gila manakah, yang mengetuk pintu kantor seorang konsultan, namun bermaksud untuk menuntut dilayani tanpa mau dibebani tarif? Kondisi demikian bukanlah mitos atau rekaan, namun kami alami sendiri setiap hari dan setiap waktunya, dari hari Senin hingga hari Minggu, pagi hingga siang dan malam, oleh mereka yang jauh dari keadaan seperti seorang gelandangan tanpa rumah dan tanpa pekerjaan.
Profesi yang profesional manapun akan tersinggung, bila Anda bermaksud untuk mempekerjakan mereka tanpa mau dibebani tarif layanan profesi—karena bukan hanya Anda yang berhak atas nafkah, dan semua warga berhak untuk mencari nafkah dan butuh makan nasi, sesuai profesinya masing-masing. Tidak ada istilah “jahat” sepanjang profesi tersebut legal dan tidak merugikan pihak lain. Mengapa menuntut orang lain menjadi “babu / budak”, sementara dirinya sendiri menolak untuk “makan batu”?
Seseorang yang waras dan berakal sehat, akan menyadari bahwa setiap profesi pastilah mematok sejumpah upah atau tarif layanan jasa, sama seperti seorang pedagang pastilah mematok harga atas barang yang ditawarkan dan dijual olehnya. Pedagang mana, yang menjual barangnya tanpa memungut harga jual-beli?
Barulah dapat disebut sebagai “pemerkosa”, ketika Anda sadar sepenuhnya orang tersebut adalah seorang konsultan, namun meminta dilayani sesi tanya-jawab tanpa mau dibebani tarif (atau berpura-pura bahwa orang yang ditanyai olehnya tersebut bukan berprofesi sebagai seorang konsultan). Bahkan belum apa-apa sudah melontarkan berbagai pertanyaan seputar hukum, tanpa pernah bertanya perihal besaran tarif yang dipatok sang konsultan.
Adalah tidak dapat dibenarkan praktik-praktik “perbudakan” semacam penjajah terhadap para pekerja rodi yang bahkan tidak mendapat upah atas pekerjaan dan setiap keringat mereka. Namun itulah tepatnya yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia yang mengaku berbahasa Indonesia. Setiap harinya, selalu saja terdapat pesan, email, atau bahkan telepon, yang meminta dilayani tanya-jawab seputar hukum, namun tanpa mau dibebani tarif jasa profesi. Luar biasa, biadabnya!
Mereka bukanlah tidak tahu, namun pura-pura tidak tahu. Sudah jelas tercantum dalam website ini: “KONSULTAN HUKUM”. Mengapa masih harus “memperkosa” para profesi konsultan dengan meminta dilayani tanpa mau dibebani kewajiban berupa tarif SEPERAK PUN? Jika sudah demikian, apanya lagi yang dapat dinegosiasikan?
Ada hak, tentu ada kewajiban. Anak kecil pun tahu prinsip dasar demikian. Terlebih sadistik, secara memutar-balik fakta mereka menyatakan kalangan konsultan adalah “mata duitan”, karena tidak mau memberi pelayanan secara tidak dibebani tarif apapun. Itulah kebiasaan masyarakat di Indonesia, pandai memutar-balik fakta, sehingga sejatinya bukanlah hanya kalangan lawyer yang punya kebiasaan serupa.
Adalah munafik sekaligus naif, meminta kami ataupun orang-orang yang berprofesi sebagai konsultan, untuk memberi layanan sesi konseling maupun konsultasi tanya-jawab, tanpa dibebani tarif. Orang dewasa berakal sehat manapun, sadar bahwa setiap manusia butuh makan nasi, berhak atas upah atas ilmu, waktu, serta tenaga yang mereka kerahkan.
Permasalahan hukum mereka, bukanlah urusan kami, terlebih untuk kami pusingkan. Jika mereka bermaksud membudaki kami, mengapa tidak mereka budaki diri mereka sendiri dengan mencari tahu sendiri atau belajar sendiri tentang hukum dengan jutaan jam kerja dan pengorbanan tidak sedikit untuk menguasai ilmu hukum?
Apakah selama ini, mereka atau suami mereka, atau kepala keluarga mereka, mencari nafkah dengan diberi upah berupa “batu”, memakan “batu”, membayar sekolah dan kuliah dengan “batu”, atau menyewa kantor dengan bayaran berupa “batu”?
Meminta atau bahkan menuntut diberi pelayanan tanpa mau menyadari hak profesi konsultan, sama artinya melecehkan keringat orang tua kami yang mencari nafkah serta biaya kami untuk berkuliah, sama artinya pula memerkosa perjuangan serta jutaan jam yang kami habiskan untuk mempelajari dan menguasai ilmu hukum yang tidak sedikit pengorbanannya.
Siapa yang jahat terhadap siapa? Apakah kami, para profesi konsultan, yang jahat karena tidak mau memberi pelayanan tanpa dibebani tarif profesi, ataukah mereka yang menuntut kami untuk “gulung tikar” karena tidak dapat membayar sewa kantor dan memberi makan keluarga kami dengan “batu”?
Mengapa mereka tidak membunuh diri mereka sendiri saja, mengapa meminta kami mati pelan-pelan lewat praktik perbudakan demikian? Disaat bersamaan, jelaslah sudah, masalah terletak pada pola pikir mereka sendiri, maka tidaklah mengherankan bila mereka terjerat masalah hukum. Penyakitnya ada di dalam diri mereka sendiri: mental perampok!
Seperti itulah tepatnya fenomena yang terus terjadi, setiap harinya, tanpa rasa malu dan tanpa rasa takut apapun, bahkan memaki dan menyalahkan kami yang bekerja secara legal dan wajar memungut tarif layanan jasa sesuai profesi kami.
Sama seperti kalangan buruh yang akan protes atau bahkan mengamuk sejadi-jadinya, bila upah mereka tidak kunjung dibayar. Atau pengusaha yang dana penjualan barang mereka tidak kunjung dilunasi oleh pembeli. Mengapa justru mereka yang memarahi kami, bukan sebaliknya kami yang dengan demikian berhak memarahi mereka?
Ibarat seseorang yang tidak memiliki akal budi, mendatangi sebuah gerai restoran, menuntut pemilik kedai untuk memberinya makan, namun tanpa mau membayar harga makanan yang dijual sang pemilik gerai. Si tamu kemudian memaki pemilik kedai karena tidak berkenan memberinya makanan. “Anda mau membuat saya mati, saya kelaparan! Anda mata duitan!
Atau ibarat seseorang ayah mendatangi sebuah sekolah, dimana kemudian sang kepala sekolah menolak untuk menerima anak sang tamu, karena sang ayah menolak untuk membayar biaya panjar masuk sekolah, juga menolak membayar iuran bulanan sekolah. “Anda mau membuat anak saya bodoh? Anak saya butuh pencerahan dan pendidikan!
Adalah ironis, orang-orang dewasa tersebut hidup mengaku sebagai bangsa beradab, bahkan agamais lengkap dengan atribut keagamaan, namun tidak mampu (baca: tidak pernah mau) memahami prinsip paling mendasar dalam relasi hubungan antar manusia, yakni: prinsip resiprositas / resiprokal, yakni ada meminta dan maka ada memberi. Keharmonisan harus bersifat seimbang dan bertimbal-balik. Yang timpang sebelah, itulah yang disebut sebagai perampokan.
Ada hak, maka ada kewajiban. Adalah sebuah ketamakan yang vulgar, atau bahkan dapat disebut sebagai perampokan sekaligus “pemerkosaan”, bila kalangan profesi konsultan ditodong oleh si pelaku berpenutup wajah, yang bahkan tidak memperkenalkan dirinya sendiri. Persis seperti itulah yang kami alami setiap harinya, “korban perasaan” dari masyarakat Indonesia yang ternyata sudah sama sekali “putus urat malunya”.
Seorang pengemis, tidak pernah memiliki masalah hukum apapun, tidak juga memiliki masalah tanah, ataupun masalah pekerjaan. Namun, banyak kalangan yang mampu secara ekonomi, bahkan masalah seputar tanah, akan tetapi menuntut dilayani tanpa mau dibebani tarif layanan jasa.
Sama absurd-nya ketika berulang-kali terjadi, kalangan pekerja menuntut dilayani, tanpa mau memberikan upah yang menjadi hak kami selaku penyedia dan pemberi jasa layanan konsultasi. Mereka murka dan hendak menuntut perusahaan tempat mereka bekerja karena tidak memberi mereka upah kerja, namun disaat bersamaan dengan penuh kesenangan “memerkosa” profesi kami selaku penyedia jasa.
Mereka mengaku tidak tahu kami mencari nafkah dari layanan jasa konsultasi, meski sudah jelas tercantum dengan sangat tersurat dan eksplisit dalam website ini, bahwa status profesi kami ialah “KONSULTAN HUKUM”. Tercantum pula dalam nomor kontak, bahwa “SETIAP PERTANYAAN HUKUM DIBEBANI TARIF”. Namun mereka menghubungi kami dengan bersikap seolah-olah tidak tahu semua itu, seolah-olah kami dapat dilecehkan dan di-“perkosa” tanpa rasa malu ataupun rasa bersalah, bahkan merampok hak-hak kami. Kami menyebutnya sebagai “tahu, namun pura-pura tidak tahu”.
Bukan hanya kalangan awam hukum saja yang selama ini melecehkan profesi kami, tidak terkecuali juga kalangan pengacara yang kerap-kali bersikap layaknya “gembel”: meminta dilayani sesi konsultasi seputar hukum, namun menolak ketika dibebani tarif layanan jasa profesi. Kami memiliki segudang database nama-nama para pengacara Tanah Air yang telah kami blacklist secara permanen akibat sikap “gembel” mereka.
Terlebih ironis, baru-baru ini seseorang pengacara menyebut brand kami sebagai “kantor Pengacara SHIETRA & PARTNER”, menanyakan apakah kantor kami menerima pengacara untuk bekerja bersama kami. Sejak kapan kami mengaku atau menyebut diri sebagai “pengacara”? Sudah jelas tercantum besar-besar: “KONSULTAN HUKUM”, penyedia jasa layanan konsultasi, bukan beracara.
Bagaimana mungkin, seorang Sarjana Hukum tidak mampu membedakan antara profesi Pengacara dan profesi Konsultan Hukum. Namun itulah yang tepatnya terjadi di Indonesia! Bila untuk hal paling mendasar perihal kosakata dan perbendaharaan kata saja, demikian memprihatinkan keadaannya, maka sebaiknya bangsa ini tidak lagi menyebut diri mereka sebagai bagian dari Bangsa Indonesia. Sebaiknya masyarakat Indonesia mengulang kembali duduk di bangku Sekolah Dasar, untuk memahami makna perbendaharaan Bahasa Indonesia secara baik dan benar.
Bukankah sungguh meletihkan, berbicara atau berkomunikasi dengan masyarakat suatu bangsa, yang bahkan “tidak nyambung” dengan bahasa mereka sendiri? Sejak kapankah, profesi Konsultan dipandang sebagai “budak” yang dapat dirampok dan “diperkosa” sesuka hati oleh mereka? Kamus manakah yang memberi makna semacam itu bagi frasa “konsultan”?
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kamus ataupun thesaurus Bahasa Indonesia. Yang bermasalah ialah isi otak orang-orang Indonesia itu sendiri. Bila pengertian paling mendasar perihal masing-masing kosakata Bahasa Indonesia mereka tafsirkan secara serampangan dan sesuka hati mereka sendiri, maka apakah salah jika kami membalas perlakuan mereka dengan menyebut mereka sebagai “PELACUR” atau bahkan menyebut mereka sebagai seorang “PEMERKOSA”?
Satu dan dua kali, kami masih bisa bersabar. Namun mengingat setiap harinya kami dilecehkan dan “diperkosa” dengan sangat tidak manusiawi seperti demikian, maka adalah hak penulis untuk memberi stigma pada Bangsa Indonesia, sebagai bangsa biadab dan terbelakang. Bangsa yang bahkan tidak paham akan makna kosakata bahasanya sendiri. Bangsa yang tidak tahu malu, atau bahkan sudah “putus urat malunya”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.