Pemegang Saham Nominee, Tidak Punya Hak Suara

LEGAL OPINION
KIAT MENGATASI PENYALAHGUNAAN MANDATORY CONVERTIBLE BOND OLEH PEMEGANG SAHAM MAYORITAS
TELAAH YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG SAHAM MINORITAS
Question: Sebagai pemegang saham yang punya share perseroan sebesar 20%, maka kedudukan saya adalah pemegang saham minoritas. Yang saya permasalahkan, ternyata pemegang saham mayoritas yang memegang 80% share, adalah seorang nominee yang punya “nominee agreement” dengan seseorang dibalik layar.
Setelah diselidiki, ternyata orang yang berada dibalik layar yang punya perjanjian nominee saham itu, duduk atau menjabat pula secara merangkap sebagai direktur perusahaan. Itu bagaimana hukumnya? Jelas-lah, segala kekotoran pengelolaan perusahaan seketika itu juga dilegitimasi oleh pemegang saham nominee yang dikendalikan oleh orang yang sama.
Baru-baru ini mereka berniat mengadakan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) dengan agenda acara peningkatan modal dasar dengan menerbitkan saham baru berbentuk obligasi yang dikonversi menjadi saham. Apa ada yang harus saya waspadai, yang tampaknya ada gelagat terselubung dibalik rencana itu, karena saat ini kondisi kami mulai timbul percikan dispute?
Brief Answer: Nominee, bersifat jahat secara dasariahnya, karena memiliki karakter “penyelundupan hukum” (illicit act) alias kecurangan itu sendiri yang dilandasi oleh ketidak-jujuran atau pengecohan / pengelabuan, baik terhadap pemerintah ataupun terhadap sesama rekan pemegang saham. Perjanjian nominee pemegang saham, mengakibatkan sang “pemegang saham boneka” maupun si “beneficial ownerkehilangan hak suara atas saham nominee demikian, sehingga dalam RUPS, mutlak menjadi kewenangan tunggal pemegang saham minoritas untuk voting dan kuorum, oleh sebab pemegang saham mayoritas yang ternyata dilandasi “illegal agreement” berupa Perjanjian Nominee, kehilangan hak atas suaranya.
Perlindungan hukum bagi pemegang saham minoritas, secara yuridis hanya diberikan sepanjang pemegang saham bersangkutan memiliki minimum saham sebesar 10% dari total saham dengan hak suara. Tampaknya, modus utama yang dapat terjadi dibalik aksi penyalahgunaan “mandatory convertible bond”, ialah aksi penyelundupan hukum untuk merekayasa sedemikian rupa, agar saham yang dimiliki pemegang saham minoritas pada akhirnya akan tampak merosot menjadi kurang dari 10%.
PEMBAHASAN:
Sebelum membahas langkah serta strategi hukum preventif dan mitigasi untuk mengantisipasi kecurangan pemegang saham mayoritas, untuk itu kita patut menyimak bagaimana penyelundupan hukum dapat dilakukan melalui mekanisme instrumen keuangan yang rawan semacam mandatory convertible bond, sebagaimana dapat kita jumpai pada ketentuan norma Pasal 43 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU PT):
(1) Seluruh saham yang dikeluarkan untuk penambahan modal harus terlebih dahulu ditawarkan kepada setiap pemegang saham seimbang dengan pemilikan saham untuk klasifikasi saham yang sama.
(2) Dalam hal saham yang akan dikeluarkan untuk penambahan modal merupakan saham yang klasifikasinya belum pernah dikeluarkan, yang berhak membeli terlebih dahulu adalah seluruh pemegang saham sesuai dengan perimbangan jumlah saham yang dimilikinya.
(3) Penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal pengeluaran saham:
a. ditujukan kepada karyawan Perseroan;
b. ditujukan kepada pemegang obligasi atau efek lain yang dapat dikonversikan menjadi saham, yang telah dikeluarkan dengan persetujuan RUPS; atau
c. dilakukan dalam rangka reorganisasi dan/atau restrukturisasi yang telah disetujui oleh RUPS.
(4) Dalam hal pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menggunakan hak untuk membeli dan membayar lunas saham yang dibeli dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal penawaran, Perseroan dapat menawarkan sisa saham yang tidak diambil bagian tersebut kepada pihak ketiga.”
Dengan demikian, sekalipun Anggaran Dasar Perseroan menyatakan bahwa saham baru yang diterbitkan perseroan, wajib sifatnya ditawarkan terlebih dahulu kepada pemegang saham yang ada, namun ketentuan demikian oleh undang-undang dinyatakan tidak berlaku dalam hal “mandatory convertible bond”. Dengan demikian, terdapat bahaya laten yang perlu diwaspadai setiap pemegang saham minoritas, agar proporsional saham yang dimilikinya tidak merosot tajam hingga menyentuh level dibawah 10% dari total saham perseroan.
Apa yang dapat ditawarkan oleh hukum bagi pemegang saham minoritas, dan apakah yang dimaksud dengan Audit Investigasi terhadap perseoan? Simak norma dasar sebagaimana dapat kita jumpai dalam ketentuan Pasal 138 UU PT:
(1) Pemeriksaan terhadap Perseroan dapat dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan dalam hal terdapat dugaan bahwa:
a. Perseroan melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pemegang saham atau pihak ketiga; atau
b. anggota Direksi atau Dewan Komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan Perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengajukan permohonan secara tertulis beserta alasannya ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan oleh:
a. 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara;
b. pihak lain yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, anggaran dasar Perseroan atau perjanjian dengan Perseroan diberi wewenang untuk mengajukan permohonan pemeriksaan; atau
c. kejaksaan untuk kepentingan umum.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diajukan setelah pemohon terlebih dahulu meminta data atau keterangan kepada Perseroan dalam RUPS dan Perseroan tidak memberikan data atau keterangan tersebut.
(5) Permohonan untuk mendapatkan data atau keterangan tentang Perseroan atau permohonan pemeriksaan untuk mendapatkan data atau keterangan tersebut harus didasarkan atas alasan yang wajar dan itikad baik.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) huruf a, dan ayat (4) tidak menutup kemungkinan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal menentukan lain.”
Mengapa penetapan Audit Investigasi menjadi “safety nett” bagi pemegang saham minoritas dari kesewenang-wenangan pemegang saham mayoritas? Dapat kita jumpai relevansinya dalam norma Pasal 139 UU PT:
(1) Ketua pengadilan negeri dapat menolak atau mengabulkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138.
(2) Ketua pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menolak permohonan apabila permohonan tersebut tidak didasarkan atas alasan yang wajar dan/atau tidak dilakukan dengan itikad baik.
(3) Dalam hal permohonan dikabulkan, ketua pengadilan negeri mengeluarkan penetapan pemeriksaan dan mengangkat paling banyak 3 (tiga) orang ahli untuk melakukan pemeriksaan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan yang diperlukan.
(4) Setiap anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, karyawan Perseroan, konsultan, dan akuntan publik yang telah ditunjuk oleh Perseroan tidak dapat diangkat sebagai ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berhak memeriksa semua dokumen dan kekayaan Perseroan yang dianggap perlu oleh ahli tersebut untuk diketahui.
(6) Setiap anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan semua karyawan Perseroan wajib memberikan segala keterangan yang diperlukan untuk pelaksanaan pemeriksaan.
(7) Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib merahasiakan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan.”
Pasal 140 UU PT:
(1) Laporan hasil pemeriksaan disampaikan oleh ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 kepada ketua pengadilan negeri dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam penetapan pengadilan untuk pemeriksaan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal pengangkatan ahli tersebut.
(2) Ketua pengadilan negeri memberikan salinan laporan hasil pemeriksaan kepada pemohon dan Perseroan yang bersangkutan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal laporan hasil pemeriksaan diterima.”
Penjelasan Resmi Pasal 140 Ayat (2) UU PT:
Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan pada ayat ini, pemohon dapat menentukan sikap lebih lanjut terhadap Perseroan.”
Pasal 141 UU PT:
(1) Dalam hal permohonan untuk melakukan pemeriksaan dikabulkan, ketua pengadilan negeri menentukan jumlah maksimum biaya pemeriksaan.
(2) Biaya pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayar oleh Perseroan.
(3) Ketua pengadilan negeri atas permohonan Perseroan dapat membebankan penggantian seluruh atau sebagian biaya pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada pemohon, anggota Direksi, dan/atau anggota Dewan Komisaris.”
Hasil dari laporan Audit Investigasi itulah, yang kemudian menjadi dasar hukum sekaligus bukti adanya fraud yang dilakukan oleh pengurus maupun pemegang saham mayoritas, sehingga atas dasar itulah kemudian pemegang saham minoritas dapat mengajukan gugatan ke hadapan pengadilan untuk menuntut ganti-rugi atas deviden yang semestinya menjadi hak pemegang saham maupun atas kerugian kekayaan perseroan yang tidak semestinya terjadi (semisal mark up), terhadap pemegang saham mayoritas maupun pengurus yang telah melakukan penyelundupan hukum.
Ketika terhukum gagal untuk melaksanakan isi amar putusan, maka pemegang saham minoritas dapat membubarkan perseroan (melikuidasi), dengan cara dipailitkan—dimana pemegang saham minoritas berkedudukan sebagai kreditor konkuren. Selanjutnya terhadap aset yang dilikuidasi, dibagikan secara proporsional kepada masing-masing pemegang saham.
Lalu, yang menjadi isu sentral dari problema korporasi demikian yang kerap terjadi dalam praktik bisnis yang tidak sehat oleh kalangan pengusaha yang tidak jujur, bagaimana cara menyikapi potensi penyelundupan hukum yang dilakukan pemegang saham mayoritas lewat instrumen “mandatory convertible bond”, simak analogi larangan “perjanjian nominee saham” berdasarkan argumentum per analogiam, yang dapat ditarik secara analogi dari kaedah Pasal 36 Ayat (1) UU PT:
Perseroan dilarang mengeluarkan saham baik untuk dimiliki sendiri maupun dimiliki oleh Perseroan lain, yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh Perseroan.”
Apakah yang menjadi ancaman sanksi “nominee saham” demikian? Rujuk ketentuan Pasal 84 UU PT:
(1) Setiap saham yang dikeluarkan mempunyai satu hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan lain.
(2) Hak suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. saham Perseroan yang dikuasai sendiri oleh Perseroan;
b. saham induk Perseroan yang dikuasai oleh anak perusahaannya secara langsung atau tidak langsung; atau
c. saham Perseroan yang dikuasai oleh Perseroan lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh Perseroan.”
Kita dapat menarik analogi ancaman bagi praktik “nominee saham”, berangkat dari paradigma logika hukum sebagaimana Penjelasan Resmi Pasal 84 UU PT:
(1) Yang dimaksud dengan “kecuali anggaran dasar menentukan lain” adalah apabila anggaran dasar mengeluarkan satu saham tanpa hak suara. Dalam hal anggaran dasar tidak menentukan hal tersebut, dapat dianggap bahwa setiap saham yang dikeluarkan mempunyai satu hak suara.
(2) Dengan ketentuan ini saham Perseroan yang dikuasai oleh Perseroan tersebut, baik langsung maupun tidak langsung, tidak mempunyai hak suara dan tidak dihitung dalam penentuan kuorum.
Huruf a: Yang dimaksud dengan “dikuasai sendiri” adalah dikuasai baik karena hubungan kepemilikan, pembelian kembali maupun karena gadai.”
Kaedah terpenting yang perlu dipahami secara baik oleh pemegang saham minoritas, ialah norma Pasal 61 UU PT:
(1) Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap Perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan Perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris.
(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan.”
Dengan cara berikut inilah, penyelundupan hukum atau penyalahgunaan kewenangan pemegang saham mayoritas dapat dicegah, sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan resmi Pasal 61 Ayat (1) UU PT:
Gugatan yang diajukan pada dasarnya memuat permohonan agar Perseroan menghentikan tindakan yang merugikan tersebut dan mengambil langkah tertentu baik untuk mengatasi akibat yang sudah timbul maupun untuk mencegah tindakan serupa di kemudian hari.”
RUPS tidak selalu dimaknai sebagai formalitas untuk memuluskan seluruh “akal bulus” pemegang saham mayoritas. Pemegang saham minoritas tidak boleh bersikap pasrah ataupun menyerah ditengah jalan, karena oleh hukum juga memiliki kepentingan atas terselenggaranya RUPS sebagai momen yang sangat berharga untuk meminta pertanggung-jawaban. Simak selengkapnya adlam Pasal 75 UU PT:
(1) RUPS mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.
(2) Dalam forum RUPS, pemegang saham berhak memperoleh keterangan yang berkaitan dengan Perseroan dari Direksi dan/atau Dewan Komisaris, sepanjang berhubungan dengan mata acara rapat dan tidak bertentangan dengan kepentingan Perseroan.”
Penjelasan Resmi Pasal 75 Ayat (2):
“Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan berkenaan dengan hak pemegang saham untuk memperoleh keterangan berkaitan dengan mata acara rapat dengan tidak mengurangi hak pemegang saham untuk mendapatkan keterangan lainnya berkaitan dengan hak pemegang saham yang diatur dalam Undang-Undang ini, antara lain hak pemegang saham untuk melihat daftar pemegang saham dan daftar khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (4), serta hak pemegang saham untuk mendapatkan bahan-bahan rapat segera setelah panggilan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3) dan ayat (4).”
Pemegang saham minoritas juga memiliki kewenangan lainnya, yakni sebagaimana disebutkan dalam Pasal 79 UU PT:
(1) Direksi menyelenggarakan RUPS tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) dan RUPS lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (4) dengan didahului pemanggilan RUPS.
(2) Penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas permintaan:
a. 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu persepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan suatu jumlah yang lebih kecil; atau
b. Dewan Komisaris.”
Pasal 80 UU PT:
(1) Dalam hal Direksi atau Dewan Komisaris tidak melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (5) dan ayat (7), pemegang saham yang meminta penyelenggaraan RUPS dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan untuk menetapkan pemberian izin kepada pemohon melakukan sendiri pemanggilan RUPS tersebut.
(2) Ketua pengadilan negeri setelah memanggil dan mendengar pemohon, Direksi dan/atau Dewan Komisaris, menetapkan pemberian izin untuk menyelenggarakan RUPS apabila pemohon secara sumir telah membuktikan bahwa persyaratan telah dipenuhi dan pemohon mempunyai kepentingan yang wajar untuk diselenggarakannya RUPS.”
Direksi yang bila memiliki nominee saham, maka yang bersangkutan maupun “boneka shareholder” yang dikendalikannya, tidak memiliki “hak suara”, terlebih bila aksi perseroan ternyata merugikan kekayaan perseroan, konsekuensi yuridisnya tercantum secara tegas dalam Pasal 101 UU PT:
(1) Anggota Direksi wajib melaporkan kepada Perseroan mengenai saham yang dimiliki anggota Direksi yang bersangkutan dan/atau keluarganya dalam Perseroan dan Perseroan lain untuk selanjutnya dicatat dalam daftar khusus.
(2) Anggota Direksi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menimbulkan kerugian bagi Perseroan, bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan tersebut.”
Atau, sebagai the last resort / ultimum remedium bila pemegang saham mayoritas memang beritikad buruk dan merugikan pemegang saham minoritas, maka untuk itu SHIETRA & PARTNERS merekomendasikan digunakannya instrumen legal sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 144
(1) Direksi, Dewan Komisaris atau 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, dapat mengajukan usul pembubaran Perseroan kepada RUPS.
(2) Keputusan RUPS tentang pembubaran Perseroan sah apabila diambil sesuai dengan keten tuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dan Pasal 89.
(3) Pembubaran Perseroan dimulai sejak saat yang ditetapkan dalam keputusan RUPS.”
Atau untuk lebih mudahnya, dapat dimanfaatkan ketentuan Pasal 146 Ayat (1) UU PT:
Pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan atas:
a. permohonan kejaksaan berdasarkan alasan Perseroan melanggar kepentingan umum atau Perseroan melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan;
b. permohonan pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan adanya cacat hukum dalam akta pendirian;
c. permohonan pemegang saharn, Direksi atau Dewan Komisaris berdasarkan alasan Perseroan tidak mungkin untuk dilanjutkan.”
Bagaimana cara mengimplementasi kaedah norma Pasal 146 Ayat (1) UU PT sebagaimana diatur diatas? Semisal bila pemegang saham minoritas menemukan dalam pembukuan perusahaan, bahwa sejatinya terjadi kebohongan dalam akta pendirian maupun akta keputusan RUPS yang menyatakan terjadi peningkatan modal dasar, namun ternyata “modal ditempatkan” dan “modal disetor” hanyalah fiktif belaka, sehingga merupakan “perbuatan melawan hukum” terhadap norma Pasal 33 UU PT:
(1) Paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 harus ditempatkan dan disetor penuh.
(2) Modal ditempatkan dan disetor penuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah.
(3) Pengeluaran saham lebih lanjut yang dilakukan setiap kali untuk menambah modal yang ditempatkan harus disetor penuh.”
Penjelasan Resmi Pasal 33 UU PT:
(2) Yang dimaksud dengan ‘bukti penyetoran yang sah’, antara lain bukti setoran pemegang saham ke dalam rekening bank atas nama Perseroan, data dari laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan, atau neraca Perseroan yang ditanda-tangani oleh Direksi dan Dewan Komisaris.
(3) Ketentuan ini menegaskan bahwa tidak dimungkinkan penyetoran atas saham dengan cara mengangsur.”
Rekomendasi SHIETRA & PARTNERS:
Ketika terdapat indikasi itikad buruk dari pengurus maupun dari pihak pemegang saham mayuoritas yang tampak hendak menyalah-gunakan posisi dominannya, segera minta agar direksi penyelenggarakan RUPS. Ketika direksi lalai, pemegang saham minoritas dapat mengajukan permohonan penetapan izin penyelenggaraan RUPS sendiri ke hadapan Pengadilan Negeri setempat, sehingga RUPS Luar Biasa dapat diselenggarakan untuk meminta keterangan dan pertanggung-jawaban dari pihak-pihak terkait.
Setelah itu, secara beruntun dapat diajukan permohonan penetapan Audit Investigasi, maka dapat dipastikan berangkat dari indikasi itikad buruk demikian, perseroan akan diaudit secara materiil oleh auditor independen yang ditunjuk oleh pemegang saham minoritas selaku pemohonan penetapan pemeriksaan, yang cara kerja audit investigasi menyerupai Badan Pemeriksa Keuangan, sehingga tiada lagi yang dapat disembunyikan oleh pengurus maupun pemegang saham mayoritas. Atau, bubarkan perseroan bila pemegang saham mayoritas tidak kooperatif dan beritikad buruk.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.