Dilema Dibalik Ancaman Pidana yang Selalu Dilanggar

ARTIKEL HUKUM
Kerap muncul pertanyaan hukum yang terdengar sederhana, klise, sekaligus sukar untuk dijawab, dan terbukti tidak pernah dan tidak akan pernah mampu dijawab oleh seorang “Sarjana Hukum Tulen”. Pertanyaan tersebut bahkan menjadi “duri dalam daging” yang ditabukan oleh kalangan “Sarjana Hukum Tulen”, ditutup rapat-rapat, bagai aib, karena bila tidak mampu menjawab, akan tampak tidak kompeten di mata publik. Atau, setidaknya, mengelak dengan cara mengalihkan isu—seperti yang sudah-sudah, dan selalu mampu memuaskan publik lewat atraksi pengalihan isu yang memang pandai dimainkan kalangan Sarjana Hukum lewat permainan kata murahan.
Pertanyaan apakah itu? Mari kita simak bersama: “Jika sudah ada pasal pidana tentang ancaman hukuman, kenapa masih juga dilanggar dan terus terdapat pelanggaran orang warga, seakan tiada habisnya?” Bisakah Anda membantu penulis menjawab pertanyaan yang terkesan lugu, diatas? Mungkin itulah pertanyaan hukum tersukar yang pernah dijumpai Sarjana Hukum yang sekalipun telah banyak malang-melintang dibidang hukum pidana.
Semula, “Peraturan Pemerintah tentang Kebiri” bagi pelaku tindak pidana asusila terhadap anak dibawah umur, digadang-gadang sebagai maha karya monumental yang diyakini para “Sarjana Hukum tulen” di parlemen, akan mampu mengendalikan atau bahkan menghentikan sama sekali fenomena kriminalitas tindak pidana asusila oleh orang dewasa terhadap anak dibawah umur. Namun demikian, apa yang kemudian kita jumpai setelah peraturan diberlakukan? Terbuktikan hipotesis naif kalangan “Sarjana Hukum tulen”? Hasilnya sama sekali diluar dugaan, namun kalangan Sarjana Hukum kembali berhasil mengalihkan isu pandangan publik agar “PP kebiri” tidak menjadi bahan olok-olok warga.
Akil Mochtar, sang ketua Mahkamah Konstitusi RI, tertangkap tangan dan dijebloskan ke penjara karena tindak pidana korupsi, dan divonis pidana penjara seumur hidup. Seakan tidak mau belajar dari pengalaman, Patrialis Akbar ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena jatuh di lubang yang sama. Arief Hidayat pun mencoba menyerempet-nyerempet secara penuh keberanian, seolah memasang badan dan hendak mengikuti jejak Akil Mochtar selaku pendahulunya.
Praktis hampir seluruh jenis kejahatan kerap diberitakan di media massa, namun kejahatan serupa terus saja dicetak seakan Bangsa Indonesia sedemikian produktif mencetak para kriminil, baik kriminil baru ataupun residivis. Tidak jarang lembaga pemasyarakatan kerap disitir sebagai bangku kuliah para kriminil untuk meng-“up grade” ilmu kejahatannya, dengan modus-modus baru yang lebih canggih. Siapa yang tidak bangga?
Ilmu dalam teori-teori ekonomi tidak pernah akan dapat diimplementasi secara sempurna, karena pasar banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor keputusan irasional para konsumen. Faktor-faktor irasional itulah yang kemudian membentuk tren pasar, dan para produsen hanya dapat mengikuti tren pasar itu untuk menawarkan barang atau jasanya. Hanya sedikit diantara kalangan pelaku usaha yang mampu membangun selera pasarnya sendiri, karena faktor tingginya biaya promosi brand.
Itulah tepatnya kegagalan utama kalangan “Sarjana Hukum tulen”, yakni: tidak empirik, cenderung tidak membumi, dan tidak berangkat dari realita oleh sebab cara berpikirnya melulu “deduktif”, tidak pernah mau menyentuh ranah “induktif”, sehingga jauh dari realita.
Penulis tidak akan membahas polemik dalam pertanyaan pembuka artikel ini secara kacamata yuridis formil khas hukum yang utopis nan tidak membumi. Kita akan membahasnya bersama dalam perspektif sosiologi dan psikologi sosial yang sederhana, tanpa bermaksud untuk memperkeruh bahasan secara terlampau rumit teknikalisasinya.
Adalah sangat mengejutkan mendapati fakta, bahwa hukum bermaksud untuk eksis demi menegakkan tatanan “social order” dan “status quo” (damai abadi yang terlembagakan, dengan maksud menjaga tertib sosial dan kedamaian yang langgeng nan rigid). Sementara dalam ilmu sosial, penduduk atau umat manusia tidak pernah tercatat dalam sejarah hidup dalam keadaan stabil bagai permukaan air yang tidak bergeming sepanjang masa. Negara yang dikenal paling damai sekalipun, selalu terdapat gejolak atau riak-riak dalam tempo dan irama tertentu. Semua bergerak bagai siklus putaran arus—mungkin bermaksud mengikuti gejala dan hukum alam.
Pada dasarnya, hehakat otak reptil limbik didalam belahan dalam otak manusia, menyisakan pola pikir irasional. Dapat dikatakan, secara sedikit mistis berbau ilmiah, umat manusia di muka Bumi ini tidak pernah mau benar-benar hidup terjebak dalam kemapanan statis “status quo” terkukuhkan dalam satu pola monoton: damai abadi, ataupun perang permanen.
Ketika dunia atau negaranya dalam keadaan perang, rakyat menginginkan perdamaian, terjadilah perjuangan, pemberontakan, hingga revolusi kemerdekaan. Ketika kemerdekaan telah diraih, dan kedamaian berhasil dibentuk, kemudian berusaha dijaga lewat simbolisasi “hukum untuk ketertiban sosial”, yang kemudian kita dapati: ialah gejolak-gejolak sosial yang seolah menolak untuk tunduk dan ikut terhadap kohesi sosial yang telah mapan dan ada pada zaman keberadaannya.
Hipotesis demikian dapat kita jumpai di berbagai negara-negara yang sudah cukup stabil keadaan yuridiksi kedaulatan dan kondisi politik-ekonominya. Para kaum muda di negara-negara tersebut, mulai asyik menyaksikan tayangan hiburan berupa aksi peperangan, atau bermain dengan aplikasi komputer yang berhubungan dengan kekerasan dan pembunuhan berdarah. Para ibu rumah tangga bagai tersihir oleh telenovela atau opera sabun yang mengisahkan prahara rumah tangga yang penuh konflik, haru biru, perselingkuhan, hingga skenario kisah yang dirancang secara dramatik oleh sang produser. Sementara sang suami kerap menyaksikan atau membaca berita kriminalitas yang tidak berkesudahan dan turut tenggelam dalam aktivitas politik yang keras untuk saling sikut dan saling menjungkalkan. Keadaan sosial masyarakat sejatinya hanya berputar-putar dalam ranah “pembebasan diri dari kejemuaan” demikian.
Dalam preparat empirik sederhana diatas, kita mendapati bahwasannya ancaman dalam delik pidana tidak pernah mampu membendung faktor irasionalitas hormon atau dorongan alam bawah sadar yang bekerja dibalik otak maupun jiwa sang pelaku kejahatan. Kegilaan itu seakan membajak alam sadar ataupun kesadaran, dan menguasai sang pelaku untuk bertindak yang kemudian disesalinya sendiri di kemudian hari.
Ketika pada gilirannya tertangkap dan dihukum, serta kemudian sempat mencicipi kehidupan di balik jeruji, sang tahanan dikeluarkan untuk kembali menghirup udara bebas. Namun candu yang sama kembali membajak pikiran sehatnya, untuk lagi-lagi terlibat dalam aksi kriminalitas serupa. Para sosiolog menyebutnya sebagai “kapok sambal”: hari ini merasa jera karena merasakan pedasnya sambal, namun esok kembali penyesalan serupa. Sakit mental adalah ranah Psikolog untuk mengobati, bukan hakim ataupun Sarjana Hukum.
Beberapa kriminil bahkan seolah bangga mencetak prestasi sebagai telah keluar-masuk penjara untuk kesekian-kalinya, untuk dibanggakan saat bercerita kepada rekan-rekan kriminilnya yang lain. Ketika bulir-bulir sosial mulai menjadikan aksi kejahatan sebagai suatu prestasi dan identitas diri, maka sejatinya hukum sedang berperang dengan siapa?
Ancaman dalam delik pidana, hanya “mempan” terhadap mereka yang masih utuh dan terjaga pikiran sadarnya. Pendidikan, pola asuh dalam rumah tangga / keluarga, hingga faktor agama, memainkan peran penting serta ditengarai sebagai biang keladi yang dapat membangun ataupun sebaliknya: merusak pikiran sehat seorang manusia. Manusia yang sehat secara empati, memiliki rasa bertanggung jawab yang kuat. Takut dan malu untuk berbuat jahat, merupakan rambu-rambu paling utama para manusia berakal sehat.
Namun, tanpa bermaksud tendensius, agama mulai merusak tatanan sosial, lewat konsep “penghapusan dosa”, yang kemudian melahirkan konsep hukum bernama “remisi dan obral grasi” yang dianggap sebagai solusi gemilang untuk mengatasi overload jumlah narapidana penghuni lembaga pemasyarakatan. Cara-cara instan mulai diperkenalkan ke tengah masyarakat, seakan cara-cara instan selalu merupakan solusi jitu untuk menjawab tantangan laten.
Berlanjut pada keyakinan irasional yang memupuk pola berpikir otak limbik warga negara / umat, bahwasannya seolah asalkan rajin “menjilat Tuhan” (lewat aksi sembah-sujud dan puja-puji), sekalipun sang warga negara / umat berzina dan mencuri, maka dirinya akan terjamin dapat kapling di surga, alias masuk surga. Mulailah konsep demikian menginspirasi para politikus yang pandai menjilat dan menampilkan wajah bertopeng.
Belum lagi degradasi standar moral manusia, seakan adalah dapat dibenarkan bila seorang ayah menyembelih leher anak kandungan anaknya sendiri, hanya karena sang ayah ingin masuk surga. Seakan, sikap demikianlah yang patut dipuji dan ditiru oleh umat manusia—meski ayah yang benar-benar baik akan memilih untuk menyembelih lehernya sendiri, daripada mengurbankan anak yang tidak berdosa.
Hukum adalah suprastuktur. Maksudnya, hukum ibarat “atap” dari sebuah “bangunan”, sementara psikologi sosial selalu merupakan fondasi, dan pilar penopangnya ialah ekonomi, pendidikan, agama, hingga pola asuh keluarga. Jiwa berontak warga, tidak mungkin diatasi oleh sebuah suprastruktur. Membuat “atap” sekokoh dan sebaik apapun, selama fondasi dan pilar penopangnya rapuh, tetap saja akan rubuh. Bahkan semakin mewah atapnya, sementara pilar penopangnya lemah, justru hanya akan mempercepat keruntuhan.
Karl Marx dan Engels, para pengemuka ideologi Marxisme, mempostulatkan bahwa ekonomi merupakan dasar/ landasan dari segala sesuatunya, sementara atapnya ialah politik, hukum, pendidikan, dsb. Namun tidak semua hal hanya seputar ekonomi “urusan perut”. Pelaku kejahatan asusila, politikus praktis, hingga aksi radikal-terorisme, kadang didapati tidak memiliki sangkut-paut apapun terhadap dialektik pertentangan antara kepentingan buruh (proletar) terhadap kaum kapitalis (borjuis).
Memang artikel singkat ini tidak dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan secara utuh dan tuntas, bahkan juga dapat disebut sebagai tidak menjawab pertanyaan apapun, namun setidaknya kita telah mengurai salah satu benang kusut yang seakan tidak kasat mata ini, karena sedemikian halus dan terselubung. Bagai seekor ikan yang tidak tahu apa itu air, meski dirinya selama ini hidup di dalam ekosistem perairan. Sama seperti watak manusia yang tidak pernah terpuaskan, lupa atas apa yang telah dimilikinya, namun mengejar obsesi lain yang tidak / belum diperolehnya.
Berbicara hukum ditengah masyarakat yang sosial-kepribadiannya masih diliputi sikap dan pola pikir “irasional” demikian, sejatinya tidak pernah merupakan pilihan yang bijak untuk ditempuh. Bukanlah tugas hukum untuk berperan dalam semua hal. Hukum bukanlah bidang disiplin super atau superhero yang dapat menyelesaikan semua hal.
Lihatlah nasib Jaminan Kesehatan Nasional, ditengah budaya masyarakat Indonesia yang bahkan jarang mencuci tangan sebelum makan. Mengakibatkan para penduduk berlomba-lomba untuk jatuh sakit, mengisi ruang perawatan di berbagai pusat kesehatan, sehingga bagi pasien yang betul-betul membutuhkan, selalu mendapati “kamar penuh”. Pola hidup jorok, namun berharap hidup sehat. Pembodohan publik besar-besaran oleh produk hukum bernama Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Kesehatan Nasional.
Ingat, hukum hanyalah suprastruktur, alias bukanlah hukum yang menjadi fondasi ataupun pilar penopangnya. Menyadari akan hak ini, sejatinya kalangan “Sarjana Hukum tulen” tidak perlu terlampau “kepo” untuk mengurusi segala sesuatunya. Biarkan kalangan Sosiolog dan Psikolog untuk memasuki setiap ranah sosial masyarakat dan psikologi yang berkembang ditengahnya. Secara hierakhir, Sarjana Hukum masih kalah derajat “kasta” terhadap seorang Psikolog maupun Sosiolog.
Ada saatnya, hukum dan para profesi hukum lainnya, mundur satu langkah untuk memberi jalan bagi profesi lain untuk masuk dan menggarap tugas ini. Agamawan juga hendaknya tidak ikut campur, karena hanya akan memperkeruh mental “irasional” masyarakat yang sudah “irasional” kritis ini. Seperti pesan Nietzhe: “Tuhan sudah mati!
Aksi-aksi radikal intoleran, sudah merupakan gejala atau indikator dimana peran agamawan sudah terlampau jauh memasuki setiap sendi kehidupan sosial kemasyarakatan. Penulis menyebutnya sebagai: ancaman mata yang di depan mata, namun tidak kasat mata—bagai ikan dengan air di kolamnya sebagaimana umpama diatas.
Sebagai penutup, bila para agamawan menyatakan kebenaran miliknya-lah satu-satunya kebenaran yang dimonopoli oleh kaumnya, sementara berkebalikan dengan itu, seorang sosiolog bernama John Stuart Mill sempat mengingatkan kita dalam goresan tinta-nya: “Selalu buka kemungkinan bagi diri kita sendiri, bahwa bisa jadi kita telah atau sedang salah.” (Dikutip dari buku beliau berjudul “On Liberty”.)
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.