Membuat Aturan Main Sendiri, Kejahatan Hakim Praperadilan

ARTIKEL HUKUM
Undang-undang telah membuat limitasi dan pengaturan perihal kebolehan tertentu untuk diputus oleh hakim sebagai fungsi dari “koridor hukum” (yang artinya adanya kebolehan dan kebatasan yang terukur) sekaligus “jaring pengaman” (safety nett) bagi publik dan para warga negara dari kesewenang-wenangan praktik aparat penegak hukum dan praperadilan. Dengan kata lain, tanpa kepastian hukum, maka tiada keadilan apapun yang dapat diusung ataupun ditawarkan.
Namun bagaimana bila seorang hakim, ketika membuat amar putusan, tidak mengindahkan aturan kebolehan dalam undang-undang, tidak juga merujuk yurisprudensi yang ada, juga tidak mendasarkan pertimbangan ataupun vonis yang dijatuhkan olehnya berdasarkan asas-asas hukum hukum? Tepat itulah, yang oleh penulis dapat dikategorikan sebagai “membuat aturan main sendiri”.
Mahkamah Agung RI yang memutasi atau bahwa menjatuhkan kebijakan demosi bagi sang hakim, sebagai bentuk sanksi atas putusan yang menyimpan demikian—menyimpang dari undang-undang dan menyimpang dari yurisprudensi, tidak pernah dapat dimaknai sebagai independensi hakim, karena seorang hakim korup sekalipun menggunakan dalil serupa, “independensi hakim”—adalah sanksi yang terlampau ringan dibanding penyalah-gunaan kekuasaan yang demikian besar di tangan seorang hakim.
Bila hanya mutasi atau demosi, hakim mana yang takut? Semua pengadilan adalah ladang subur dan empuk untuk menyalah-gunakan kewenangan. Justru dengan dimutasi ke pengadilan di luar daerah, atau di kota yang terpencil dan terpelosok, membuat pengawasan kian longgar sehingga aksi judicial corruption dapat dilakukan secara lebih bebas dan lebih terang-benderang.
Kini publik kembali heboh dan digemparkan oleh serangkaian tetralogi aksi akrobatik praperadilan, dimulai dari putusan praperadilan hakim Sarpin yang mengabulkan prapeadilan Setya Novanto dan menjadi kebanggaan utama bagi Frederick Yunadi dalam menghadapi KPK. Berlanjut pada putusan Mahkamah Konstitusi RI terkait perluasan kewenangan hakim dalam perkara praperadilan yang sejatinya Mahkamah Konstitusi RI juga telah melanggar asas “tidak membuat norma hukum baru” dengan menambahkan objek praperadilan menjadi dalam lingkup penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan pula.
Kini, sebagai bagian dari penutup tetralogi,  Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara praperadilan register Nomor 24/Pid.Pra/2018/PN.JKT.SEL. yang diputus pada April 2018, kemudian turut mengabulkan permohonan praperadilan terkait kasus dugaan korupsi Bank Century dengan latar belakang dimana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai tidak melanjutkan proses penyidikan kasus Century, setelah mangkrak sejumlah lama meski salah satu tersangka telah divonis dan ditahan, namun para tersangka pelaku penyertaan lainnya masih dibiarkan berkeliaran meski sempat disebut-sebut oleh Jaksa Penuntut KPK dalam dakwaannya.
“Memerintahkan Termohon untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank Century dalam bentuk melakukan Penyidikan dan menetapkan tersangka terhadap  Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk, (sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan atas nama Terdakwa BUDI MULYA) atau melimpahkannya kepada Kepolisian dan atau Kejaksaan untuk dilanjutkan dengan Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.”
Menjadi pertanyaan kita bersama, untuk apa lagi dibentuk undang-undang maupun kaedah norma dalam yurisprudensi, bila hakim merasa berhak untuk “membuat aturan main sendiri”? Apakah independensi hakim selalu dimaknai sebagai pembangkangan secara bebas terhadap norma hukum yang telah ditetapkan sebelumnya?
Pada mulanya Pasal 1 butir 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sejak semula mengatur:
“Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
Kewenangan praperadilan kemudian diperluas norma keberlakuannya oleh putusan Mahkamah Konstitusi RI lewat putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, dengan menambah “norma hukum baru”—yang tidak lain juga dapat dimaknai bahwa Hakim Mahkamah Konstitusi telah “membuat aturan main sendiri”, dengan memperluas mekanisme pengujian praperadilan, dengan menambah objeknya berupa penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan yang sebelumnya tidak dikenal dalam KUHAP.
Meski secara falsafah adalah tidak logis, seakan penetapan “tersangka” dapat diamputasi lewat praperadilan, meski penyelidik masih dalam proses pencarian indikasi adanya tindak pidana untuk kemudian ditingkatkan statusnya menjadi penyidikan, atau ketika penyidik masih berupaya menghimpun alat bukti guna membuat terang siapa pelakunya, yang bisa jadi kemudian berujung pada SP-3 bila tidak ditemukan bukti atau indikasi pidana apapun, namun secara prematur segala kegiatan hukum acara pidana oleh penyelidik dan/atau penyidik kemudian dianulir oleh prapredilan, secara falsafah bersifat “prematur” untuk diajukan.
Bagi pelaku kejahatan, akan lebih mudah untuk menutup potensi resiko di-meja-hijaukan, dengan cara mengajukan praperadilan meski dirinya baru sebatas ditetapkan sebagai tersangka, lengkap dengan keganjilan “hakim tunggal” dan tanpa upaya hukum banding atau kasasi, serta tertutup pula upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali. Lengkap sudah kemenangan mutlak bagi penjahat yang intelek.
Namun seberapa cacat pun pendirian MK RI, tidak lama berselang, Mahkamah Agung angkat bicara dengan menerbitkan Peraturan  Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, dimana dalam Pasal 2 Ayat (1), dinyatakan:
“Obyek Praperadilan adalah:
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan”.
Entah apa pula yang melatar-belakangi Mahkamah Agung RI turut memperkeruh keadaan, sebagaimana tertuang dalam kaedah Pasal 3 ayat (1)  PERMA 4 Tahun 2016 yang menyatakan: “Putusan Praperadilan tidak dapat diajukan peninjauan kembali”.
 Kini, merasa belum cukup juga menabrak koridor hukum yang telah ada, dibuat kembali norma hukum baru oleh hakim praperadilan dengan “menetapkan tersangka baru”, meski sebelumnya tidak pernah termasuk sebagai objek praperadilan. Ibarat memberi kesempatan bagi putusan yang fatalistis tanpa mekanisme korektif apapun, Mahkamah Konstitusi RI dalam Putusan MK No. 65/PUU-IX/2011 menghapus salah satu pasal dalam KUHAP perihal upaya banding terhadap putusan praperadilan.
Tanpa mau menyadari problematik demikian, MA RI justru menutup upaya hukum luar biasa, Peninjauan Kembali, meski KUHAP menutup peluang diajukan kasasi praperadillan. Alhasil, tiada upaya hukum apapun yang tersisa untuk diajukan. Pintu akses menuju keadilan telah ditutup rapat, tepatnya justru oleh MK RI dan MA RI.
Bila masih dibiarkan putusan hakim yang menyimpang sehingga merusak tatanan kepastian hukum—dimana salah satu corak utama negara hukum rule of law ataupun rechtsstaat, ialah dicirikan lewat keberadaan asas legalitas dan “certain rules” yang diberlakukan secara ketat dan tegas—maka dapat dipastikan tidak lama lagi akan terbit putusan-putusan praperadilan dengan variasi unik lainnya, mulai dari menyatakan penyidik tidak kompeten menyidik, jaksa tidak kompeten mendakwa, BAP tidak sah, alat bukti tidak sah, alat bukti kurang cukup, dan segala sikap “ kelewat kreatif” lainnya meski kurang sehat untuk dipertontonkan di ranah pengadilan oleh seorang hakim.
Dalam negara yang mengaku berlandaskan pada sendi-sendi hukum, tidak pernah ada ruang terbuka bagi “kebebasan dan independensi hakim” yang tidak bertanggung-jawab. Sejatinya, independensi hakim tidak pernah berjalan selaras dengan kepastian hukum. Independensi hakim, selalu berurusan dengan “selera” sang hakim pemutus, bukan norma-norma hukum yang telah tegas mengatur. Dengan demikian, warga masyarakat dibiarkan berspekulasi, oleh sebab tiada lagi kepastian hukum yang dapat ditawarkan oleh sistem peradilan di Indonesia, baik perdata maupun pidana.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.