Menerima Surat Pengalaman Kerja Dimaknai Mengundurkan Diri

LEGAL OPINION
Question: Bila menerima uang pesangon, pegawai dimaknai menerima PHK, maka bagaimana bila yang diterima ialah surat pengalaman kerja dari manajemen tapi belum pernah terima uang kompensasi dalam bentuk apapun dari perusahaan?
Brief Answer: Dari praktik peradilan yang ada, menerima surat keterangan pengalaman / referensi kerja dari pihak pemberi kerja, dapat dimaknai telah menerima pemutusan hubungan kerja (PHK) karena dipecat, atau bahkan putusnya hubungan kerja karena pengunduran diri tanpa kompensasi apapun.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah cerminan konkret yang dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk, sebagaimana tertuang dalam putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 1044 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 27 Desember 2016, perkara antara:
- GURUH YUDHA NUGERAHA, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; melawan
- PT. HANWHA LIFE INSURANCE INDONESIA, selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Penggugat merupakan karyawan Tergugat dan merupakan Karyawan Tetap (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu) dan bekerja sebagai karyawan Tergugat sejak tanggal 6 Oktober 2014 dengan jabatan District Manager.
Mulanya pada tanggal 6 Oktober 2014, Penggugat bergabung di perusahaan Tergugat untuk pertama kalinya dengan status masa percobaan selama 3 bulan, dan berhasil melewatinya sehingga praktis menjadi Pekerja Permanen.
Namun kemudian Penggugat berkeberatan karena dipecat sepihak dengan alasan kinerja kurang baik, sehingga membuat status dirinya seakan merupakan pekerja masih dengan masa percobaan, yang mana tetap atau tidaknya hubungan kerja dilandasi suatu basis kinerja.
Keberatan kedua dari Penggugat, kinerja yang baik atau tidaknya diukur hanya dari pandangan subjektif sepihak dari Tergugat, sehingga sangat rancu apabila Tergugat menggunakan parameter sepihak tentang kinerja yang baik atau tidaknya, yang tentunya hanya dibuat semata secara sepihak oleh perusahaan untuk mengintimidasi pihak Pekerja.
Penggugat yang sudah bekerja selama 9 bulan pada Tergugat, dianggap statusnya masih masuk pekerja yang masih dalam masa percobaan (probation). Setelah melalui perundingan tripartit yang dimediasi Suku Dinas Tenaga Kerja, terbilah Surat Anjuran mediator tertanggal 29 Desember 2015, dengan substansi bahwa pihak Penggugat berhak menerima uang pesangon sesuai Pasal 156 ayat (2), penggantian hak sesuai Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, serta upah proses dari bulan Juli 2015 sampai dengan bulan Desember 2015
Namun demikian Anjuran dari Sudinaker Jakarta Pusat tersebut diatas, tidak pernah diindahkan oleh Tergugat. Terhadap gugatan sang Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan putusan Nomor 90/Pdt.Sus-PHI.G/2016/PN Jkt.Pst. tanggal 15 Agustus 2016, dengan amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa karena para pihak mengakui dan membenarkan hubungan kerja Penggugat bersifat tetap, dengan masa kerja sejak 6 Oktober 2014 dan upah Penggugat per bulannya sebesar Rp20.000.000,00 maka mengacu pada ketentuan Pasal 174, Pasal 175 dan Pasal 176 HIR juncto Pasal 1925 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pengakuan para pihak tersebut merupakan bukti yang sempurna untuk membuktikan hubungan kerja, masa kerja dan upah, dan berdasarkan fakta hukum di atas maka Majelis Hakim tidak perlu lagi memeriksa dan mempertimbangkan bukti-bukti sepanjang berkaitan dengan hubungan kerja, masa kerja dan upah, sehingga petitum angka (2) beralasan hukum untuk dikabulkan, dan oleh karenanya permohonan tersebut harus diterima;
“Menimbang bahwa berdasarkan fakta hukum diatas, diketahui latar belakang Penggugat menanda-tangani formulir persetujuan keluar karena Penggugat menyadari nilai kerja Penggugat tidak memiliki hasil kinerja yang baik;
“Menimbang, bahwa karena Penggugat mengakui dan membenarkan telah menanda-tangani formulir persetujuan keluar dan formulir wawancara keluar, maka mengacu pada ketentuan Pasal 174, Pasal 175 dan Pasal 176 HIR juncto Pasal 1925 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pengakuan Penggugat tersebut merupakan bukti yang sempurna untuk membuktikan Penggugat atas kemauannya sendiri menanda-tangani formulir persetujuan keluar dan formulir wawancara keluar, karena Penggugat sedang menjalani persetujuan pengunduran diri, dan berdasarkan fakta hukum diatas maka Majelis tidak perlu lagi memeriksa dan mempertimbangkan bukti-bukti sepanjang berkaitan dengan Pengunduran diri Penggugat;
“Menimbang, bahwa dengan dikeluarkannya surat referensi kerja (vaklaring) dari Tergugat, yang sudah diterima Penggugat, hal ini merupakan bukti bahwa pengunduran diri Penggugat telah disetujui oleh Tergugat;
“Menimbang, bahwa sekalipun berdasarkan ketentuan Pasal 162 ayat (3) huruf (a) pengunduran diri pekerja in casu Penggugat dari perusahaan harus diajukan secara tertulis dan selambat-lambatnya 30 hari dari tanggal berlakunya pengunduran diri Penggugat, namun demikian oleh karena Penggugat telah terbukti mengundurkan diri dari perusahaan pada tanggal 7 Juli 2015, maka Majelis berpendapat bahwa hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat dinyatakan berakhir sejak tanggal 6 Agustus 2015, sehingga dan karenanya Penggugat tidak berhak lagi mendapatkan upah dan hak-hak lainnya terhitung sejak tanggal 7 Agustus 2015 dan Tergugat tidak berkewajiban lagi membayar upah Penggugat terhitung sejak tanggal 7 Agustus 2015;
“Menimbang bahwa karena hubungan kerja Penggugat dengan Tergugat dinyatakan berakhir sejak tanggal 6 Agustus 2015 dan dalam jawabannya angka (8) Tergugat mengakui belum membayarkan upah Penggugat bulan Juli 2015 dimana diketahui Penggugat adalah karyawan bulanan, maka Penggugat berhak mendapatkan upah bulan Juli dan Agustus 2015;
“Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 162 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 pemutusan hubungan kerja kepada Penggugat maka Penggugat hanya berhak mendapatkan uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003, namun demikian oleh karena perhitungan besarnya uang penggantian hak terkait erat dengan besarnya pesangon dan uang penghargaan masa kerja yang diterima oleh Penggugat yang dalam hal ini sebesar nihil, maka besarnya uang penggantian hak yang harus dibayar oleh Tergugat kepada Penggugat adalah sebesar nihil (15% x Rp.0 = 0);
MENIMBANG :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat terhitung sejak 6 Agustus 2015 karena mengundurkan diri;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar secara tunai, kekurangan upah Penggugat bulan Juli dan Agustus 2015 sebesar Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah);
4. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Sang Pekeja mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi yang diterima Kepaniteraan Pengadilan Negeri / Hubungan Industrial Jakarta Pusat pada tanggal 15 September 2016 dan kontra memori kasasi yang diterima Kepaniteraan Pengadilan Negeri / Hubungan Industrial Jakarta Pusat pada tanggal 19 Oktober 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ternyata Judex Facti tidak salah dalam menerapkan hukum, telah tepat dan benar dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa oleh karena Penggugat telah mengundurkan diri, maka Penggugat hanya berhak atas kekurangan upah bulan Juli dan Agustus 2015 sebesar Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah);
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi GURUH YUDHA NUGERAHA tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi GURUH YUDHA NUGERAHA tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.