Pengadilan Negeri Bersifat Independen terhadap Arbitrase

LEGAL OPINION
Question: Katakanlah antara perkara gugatan perdata diajukan secara paralel, baik di Pengadilan Negeri di Indonesia maupun di lembaga Arbitrase. Pertanyaannya, apakah artinya otomatis proses pemeriksaan di Pengadilan Negeri lokal di Indonesia akan gugur secara sendirinya?
Brief Answer: Sekalipun bila kemudian Majelis Hakim Arbitrase menerbitkan putusan sela, berupa perintah agar Pengadilan Negeri di Indonesia menghentikan proses persidangan atas perkara serupa yang diperkarakan oleh para pihak yang bersengketa, namun berdasarkan praktik peradilan yang berlaku di Indonesia, peradilan umum lokal bersifat independen—dalam artian: yurisdiksinya ditentukan sendiri secara mandiri oleh Pengadilan Negeri bersangkutan untuk menilai apakah lembaganya memiliki kompetensi absolut untuk memeriksa pokok perkara yang diajukan ke hadapannya.
Banyak diantara kalangan sarjana hukum sekalipun, yang berasumsi bahwa Arbitrase merupakan alternatif ideal menyikapi praktik hakim pengadilan Indonesia yang dikenal korup dan bernuansa kolusi. Namun hendaknya kita tidak boleh lupa, bahwa yang mengabulkan atau menolak permohonan penguatan terhadap putusan Arbitrase (permohonan “eksekuator”), tetap saja pengadilan lokal di Indonesia—sehingga sejatinya hanya menambah panjang rantai sengketa, hingga menjelma “berlarut-larut”.
Sehingga bila pihak lawan betul-betul melakukan rekayasa berupa kolusi dengan pihak pengadilan lokal di Indonesia, pilihan untuk menempuh sengketa di Arbitarse pada akhirnya menjadi kontraproduktif, disamping memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit nilainya. Berharap hendak menghindari masalah dengan memilih kompetensi Arbitrase, namun yang didapatkan justru ialah keadaan yang kian “keruh” dan kerugian lebih besar lagi. Mengantungi kemenangan putusan Arbitrase, namun bila tidak dapat dieksekusi di Indonesia, adalah “harapan semu” belaka.
PEMBAHASAN:
Untuk memudahkan pemahaman, terhadap cerminan konkret sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk pada putusan Mahkamah Agung RI sengketa arbitrase register Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016 tanggal 1 September 2016, perkara antara:
1. PT. ASTRO NUSANTARA INTERNATIONAL BV, 2. ASTRO NUSANTARA HOLDING BV, 3. ASTRO MULTIMEDIA CORPORATION NV, 4. ASTRO MULTIMEDIA NV, 5. ASTRO OVERSEAS LIMITED, 6. ASTRO ALL ASIA NETWORK PLC, 7. MEASAT BROADCAST NETWORK SYSTEM SDN BHD, 8. ALL ASIA MULTIMEDIA NETWORK FZ-LLC, sebagai Para Pemohon Peninjauan Kembali, dahulu selaku Para Pemohon; melawan
1. PT. AYUNDA PRIMA MITRA; 2. PT. FIRST MEDIA, TBK (d/h. PT. BROADBAND MULTIMEDIA); 3. PT. DIRECT VISION, selaku Para Termohon Peninjauan Kembali dahulu Para Termohon.
Semula, Badan Arbitrase Internasional telah memberikan Putusan Nomor 062 Tahun 2008 (ARB 062/08/JL) tanggal 7 Mei 2009, dengan amar sebagai berikut:
1. Menolak keberatan Termohon terhadap jurisdiksi Tribunal. Tribunal memiliki kewenangan untuk memeriksa dan menentukan segala perselisihan Pasal 17.4 seperti yang diperinci dalam perjanjian amandemen dan novasi;
2. Memerintahkan bahwa RI:
(i) Segera menghentikan proses peradilan di Indonesia (kasus Nomor 1100/Pdt.G/2008/PN Jkt.,Sel) sepanjang berkaitan dengan C.6, C.7, C.8 dan Mr. Marshall;
(ii) Tidak mengambil langkah lebih lanjut dalam proses peradilan di Indonesia kecuali untuk menghentikan pemeriksaan seperti tertuang dalam (i) sepanjang berkaitan dengan C.6, C.7, C.8 dan Mr. Marshall;
(iii) Dilarang membawa proses peradilan lebih lanjut terhadap C.6, C.7, C.8 dan Mr. Marshall sejauh mereka berkaitan dengan hubungan joint venture kecuali melalui arbitrase berdasarkan Pasal 17.4 dari SSA, hingga adanya perintah lebih lanjut;
3. Perintah yang menyatakan bahwa calon Pemohon akan digabungkan dalam proses arbitrase ini.”
Pemohon kemudian mengajukan permohonan pendaftaran Putusan Final Arbitrase Internasional yang dikeluarkan oleh SIAC Arbitration Nomor 062 Tahun 2008, terkait permasalahan pendahuluan mengenai kewenangan mengadili, putusan provisi, penghentian gugatan dan pengabungan gugatan (award on preliminary issues of jurisdiction, interim anti suit injunction and joinder) yang diterbitkan oleh Singapore International Arbitration Centre (SIAC) pada tanggal 7 Mei 2009 di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sesuai ketentuan Pasal 67 ayat (1) Undang Undang Nomor 30 Tahun 1909 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, guna meminta penetapan “eksekuator” agar putusan Arbitrase dapat dieksekusi secara serta-merta.
Terkait dengan permohonan eksekuator yang diajukan tersebut, terbitlah amar Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 05/PPdt.ARB.INT/2009 tanggal 28 Oktober 2009, yang mengejutkan sebagai berikut:
1. Menyatakan permohonan Pemohon tersebut diatas tidak dikabulkan;
2. Menyatakan Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Peraturan SIAC Nomor 062 Tahun 2008 (ARB 062/08/JL) yang diputuskan tanggal 7 Mei 2009, Non Eksekuatur (tidak dapat dilaksanakan);
3. Memerintahkan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mengirimkan turunan penetapan non eksekuatur ini kepada para pihak yang berperkara.”
Dalam tingkat kasasi, yang kemudian menjadi amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 01 K/Pdt.Sus/2010 tanggal 24 Februari 2010, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, ... materi yang termuat dalam putusan arbitrase SIAC tersebut bukan termasuk dalam bidang perdagangan, tetapi termasuk dalam hukum acara;
MENGADILI :
- Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi : 1. PT Astro Nusantara International BV, 2. Astro Nusantara Holding BV, 3. Astro Multimedia Corporation NV, 4. Astro Multimedia NV, 5. Astro Overseas Limited, 6. Astro All Asia Network PLC, 7. Measat Broadcast Network System SDN BHD, 8. All Asia Multimedia Network FZ-LLC, tersebut.”
Penggugat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, dengan pokok keberatan bahwasannya Para Pemohon Peninjauan Kembali adalah pihak yang menang dalam persidangan arbitrase yang diselenggarakan di Singapura berdasarkan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh Singapore International Arbitration Court (SIAC Rules) dengan pilihan hukumnya adalah hukum Singapura. Pilihan penyelesaian sengketa dan pilihan hukum yang digunakan tersebut adalah sebagaimana dipilih dan disetujui oleh para pihak, baik Pemohon maupun Termohon.
Pemohon maupun Termohon, secara aktif telah mengikuti jalannya proses pemeriksaan sengketa dalam persidangan arbitrase yang diselenggarakan berdasarkan SIAC Rules. Karenanya, dirasakan tidak berdasar bila pengadilan di Indonesia tidak mengabulkan permohonan eksekuatur atas suatu putusan Arbitrase Internasional, yang proses pengambilan putusan tersebut telah dilaksanakan sepenuhnya berdasarkan peraturan dan aturan yang disepakati dan dijalani oleh para pihak.
Indonesia disaat bersamaan merupakan negara pihak penanda-tangan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards tanggal 10 Juni 1958 yaitu Konvensi PBB mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang telah diakui, disahkan dan diundangkan / dinyatakan berlaku sebagai norma hukum yang mengikat di Indonesia (telah diratifikasi-nya New York Convention 1958). Karenanya, Indonesia terikat dengan kaedah-kaedah hukum yang berlaku Internasional. Dengan demikian, sudah sewajarnya Pengadilan Indonesia menerbitkan penetapan eksekuatur untuk kemudian melaksanakan putusan arbitrase terkait.
Pemohon juga mengangkat isu yang bersifat laten, yakni berdasarkan Pasal 66 huruf (d) juncto Pasal 67 Ayat (1) Undang-Undang Arbitrase, perintah pelaksanaan suatu putusan arbitrase internasional (eksekuatur) dimintakan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan format “permohonan”, atau dikenal juga dengan gugatan voluntair.
Berdasarkan kaedah Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase, eksekuatur tidak diajukan dengan suatu gugatan contentiosa sebagaimana secara eksplisit disebutkan bahwa: “Permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dilakukan ...
Eksekuatur itu sendiri merupakan suatu perintah pelaksanaan (vide penjelasan Pasal 66 huruf (d) Undang-Undang Arbitrase) yang diterbitkan oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sementara berdasarkan Pasal 67 Undang-Undang Arbitrase, perintah pelaksanaan (eksekuatur) diperoleh dengan mengajukan suatu permohonan. Bentuk atau produk perintah pelaksanaan dari Pengadilan Negeri atas permohonan, untuk mendapatkan eksekuatur tersebut adalah berupa “penetapan”.
Berdasarkan hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, proses untuk mendapatkan eksekuatur adalah secara ex parte, karena hanya melibatkan pihak Pemohon saja, mengutip doktrin M. Yahya Harahap, dalam bukunya “Hukum Acara Perdata”, cetakan kesembilan, November 2000, halaman 29, disebutkan bahwa:
“Ciri khas permohonan atau gugatan voluntair:
i. Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata (for the benefit of one party only);
ii. Permasalahan yang dimohon penyesuaian kepada Pengadilan Negeri, pada prinsipnya tanpa sengketa dengan pihak lain (without disputes or differences with another party);
iii. Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat ex parte.”
Permohonan penetapan untuk mendapatkan eksekuatur ternyata hanya disampaikan melalui bagian umum di Pengadlan Negeri Jakarta Pusat. Sehingga permohonan tersebut tidak mendapatkan nomor registrasi perkara permohonan dari bagian perdata Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal demikian menunjukkan bahwa memang sifat permohonan eksekuatur adalah untuk kepentingan si Pemohon saja, dan tidak melibatkan pihak lain.
Eksekuatur baru melibatkan pihak lain pada saat akan dilaksanakan dimana pelaksanaan tersebut dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang untuk melaksanakan sebuah putusan arbitrase internasional (Pasal 69 (1) Undang-Undang Arbitrase).
Upaya hukum untuk mendapatkan eksekuatur berdasarkan Undang Undang Arbitrase adalah dengan cara mengajukan “permohonan”, maka berdasarkan hukum acara yang berlaku, permohonan tersebut haruslah diperiksa secara ex parte, yaitu tanpa melibatkan apalagi harus mendapatkan persetujuan dan/atau pertimbangan dari-pihak lain manapun, termasuk pihak yang berperkara dalam perkara arbitrase terkait.
Namun demikian Para Termohon ternyata telah mengajukan upaya-upaya seperti gugatan ataupun permohonan pembatalan atas pelaksanaan putusan arbitrase, yang tujuan pokoknya adalah agar putusan arbitrase tidak dapat dieksekusi terhadap Para Pemohon Peninjauan Kembali.
Adapun upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak yang kalah dalam sengketa arbitrase dalah hal yang patut dicurigai sebagai bentuk iktikad buruk dari Para Termohon yang berusaha mengelak dari kewajiban untuk menjalankan putusan arbitrase.
Para Termohon sebelum ini telah mengikuti dan berperan aktif dalam proses persidangan di Singapura berdasarkan SIAC Rules, sehingga atas perkara yang sudah diputus, tidak dapat diperiksa dan diputus ulang agar tidak melanggar asas “nebis in idem”.
Semestinya upaya hukum yang dilakukan oleh Para Termohon untuk menganulir putusan arbitrase, Para Termohon dapat mengajukan keberatan ataupun melakukan perlawanan berkenaan dengan proses persidangan arbitrase tersebut di Singapura. Menurut hukum yang dipilih oleh para pihak sendiri, yaitu hukum negara Singapura, para pihak dalam perkara arbitrase mempunyai hak untuk melakukan perlawanan dengan mendaftarkan permohonan perlawanan terhadap putusan arbitrase kepada High Court (Pengadilan Tinggi) Singapura dalam waktu 30 hari sejak diterimanya putusan arbitrase tersebut.
Akan tetapi Para Termohon tidak pernah menggunakan haknya tersebut. Fakta demikian menambah jelas niat berupa iktikad buruk Para Termohon untuk berkelit dengan tidak melaksanakan putusan arbitrase. Adapun isi putusan arbitrase terkait:
“2. Orders that R.1 (yaitu respondent / yakni PT Ayunda Prima Mitra):
(i) Forthwith discontinue the Indonesian proceedings (Case Nomor 1100/Pdt.G/2008/PN Jkt.Sel) in so far as they concern C.6, C.7, C.8 and Mr Marshall;
(ii) Take no futher step in the Indonesian proceedings save to discontinue them as out in (i) in so far as they concern C.6, C.7, C.8 and Mr. Marshall;
(iii) Be prohibited from bringing any further proceedings against C.6, C.7, C.8 and Mr. Marshall in so far as they related to the joint venture relationship other than by way of arbitration pursuant to clause 17.4 of the SSA; until further order.”
Terjemahan Bebas:
“2. Memerintahkan bahwa Termohon I (yaitu PT. Ayunda Prima Mitra):
(i) Untuk tidak melanjutkan proses peradilan di Indonesia (Perkara Nomor 1100/Pdt.G/2008/PN Jkt.Sel) sepanjang terkait dengan Pemohon 6, Pemohon 7, Pemohon 8 dan Mr. Marshall;
(ii) Tidak mengambil langkah lebih lanjut dalam proses peradilan di Indonesia kecuali untuk menghentikan pemeriksaan seperti tertuang dalam (i) sepanjang berkaitan dengan C.6, C.7, C.8 dan Mr. Marshall”;
(iii) Dilarang membawa proses peradilan lebih lanjut terhadap C.6, C.7, C.8 dan Mr. Marshall sejauh mereka berkaitan dengan hubungan joint venture kecuali melalui arbitrase berdasar Pasal 17.4 dari SSA; hingga adanya perintah lebih lanjut.”
PT. Ayunda Prima Mitra atau Termohon Peninjauan Kembali I yang diperintahkan untuk tidak melanjutkan proses pemeriksaan perkara, bukan ditujukan kepada Pengadilan di Indonesia. Demi hukum, pengadilan di Indonesia tidak mempunyai wewenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase (vide Pasal 3 Undang-Undang Arbitrase) dengan pilihan hukum sendiri, yang dalam hal ini adalah hukum Singapura dan pilihan hukum acara sendiri yaitu SIAC Rules. Pengadilan di Indonesia tidak dibenarkan untuk campur-tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui Arbitrase (vide Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Arbitrase).
Dimana terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan peninjauan kembali tidak dapat dibenarkan, karena di dalam putusan Judex Juris tidak terdapat kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata, dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa salah satu amar Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Peraturan SIAC Nomor 62 of 2008 (ARB062/08/JL) yang diputus tanggal 7 Mei 2009 adalah segera menghentikan proses peradilan di Indonesia (kasus Nomor 1100/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Sel) sepanjang berkaitan dengan C.6, C.7, C.8 dan Mr. Marshall;
“Bahwa sesuai dengan asas hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia suatu pemeriksaan perkara yang sedang berjalan hanya dapat dihentikan atas kesepakatan kedua belah pihak yang berperkara, tidak dapat dihentikan secara paksa oleh pihak lain;
“Bahwa dengan demikian penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menyatakan permohonan Pemohon Eksekuator tidak dikabulkan, sudah tepat dan benar;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, Mahkamah Agung berpendapat permohonan pemeriksaan peninjauan kembali yang diajukan oleh Para Pemohon Peninjuan Kembali: PT. ASTRO NUSANTARA INTERNATIONAL BV, dan kawan-kawan, tidak beralasan, sehingga harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Para Pemohon Peninjauan Kembali: 1. PT ASTRO NUSANTARA INTERNATIONAL BV, 2. ASTRO NUSANTARA HOLDING BV, 3. ASTRO MULTIMEDIA CORPORATION NV, 4. ASTRO MULTIMEDIA NV, 5. ASTRO OVERSEAS LIMITED, 6. ASTRO ALL ASIA NETWORK PLC, 7. MEASAT BROADCAST NETWORK SYSTEM SDN BHD, 8. ALL ASIA MULTIMEDIA NETWORK FZ-LLC, tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.