Masuk Kerja Namun Tidak Melakukan Pekerjaan

LEGAL OPINION
Question: Itu apa nama hukumnya, jika buruh ada masuk kerja, namun tidak melakukan pekerjaan apapun, juga tidak mau menuruti perintah atasan? Kami menyebutnya sebagai “setoran wajah” saja. Bagaimana pandangan hukumnya atas kejadian semacam itu?
Brief Answer: Tidak bisa dianggap mengundurkan diri karena mangkir, namun dikategorikan sebagai pelanggaran indisipliner, sehingga sebatas berlaku asas “no work no paid”, dimana seorang Pekerja / Buruh masuk kerja di lingkungan pabrik untuk presensi, namun tidak mengerjakan pekerjaan apapun sekalipun telah diberi perintah kerja.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah cerminan konkret, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 779 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 28 September 2016, perkara antara:
1. AGUS INDARTO; 2. NURUL HIKMAT, sebagai Para Pemohon Kasasi semula selaku Para Penggugat; melawan
- PT. JAYA NURIMBA, selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Para Penggugat sejak bulan Juni 2013, dirumahkan lanpa dibayar upah. Dengan demikian, objek perselisihan dalam perkara ini ialah perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang diikuti dengan perselisihan hak, yang merupakan bagian dari perselisihan hubungan industrial.
Telah diupayakan penyelesaiannya melalui perundingan bipartit, namun tidak mencapai mufakat. Telah pula diupayakan melalui perundingan mediasi di Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi, pada Desember 2013 hingga Februari 2014, namun juga tidak mencapai kesepakatan (deadlock). Sehingga Mediator Disnaker kemudian menerbitkan Surat Anjuran, dan Risalah Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tanggal 2 Desember 2014.
Oleh karena objek dalam gugatan perkara a quo adalah mengenai
perselisihan hubungan industrial, dan telah dilampiri dengan risalah mediasi
dari Pegawai Mediator Hubungan Industrial pada Dinas Tenaga Kerja
Kabupaten Bekasi, maka Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri Kelas IA Bandung berwenang untuk memeriksa dan mengadili
gugatan dalam perkara a quo;
II. Kedudukan Hukum Para Penggugat;
Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyatakan: “Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja / buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.”
Para Penggugat merupakan Pekerja dan menerima upah dari PT. Jaya Nurimba, sebagaimana diperlihatkan dalam Bukti Penerimaan Gaji, yang menyebutkan secara jelas dan tegas identitas Para Penggugat dan identitas Tergugat. Sehingga hubungan hukum antara Para Penggugat dengan Tergugat adalah hubungan kerja.
Penggugat Agus Indarto bekerja sejak tahun 2002, sebagai operator mesin sliter. Sementara Penggugat Nurul Hikmat bekerja sejak tahun 2010, sebagai asisten operator mesin metalizer. Pada tanggal 24 Mei 2013, Penggugat mengajukan permohonan izin kerja (dispensasi), untuk menghadiri pertemuan di Kementerian Tenaga Kerja pada tanggal 30 Mei 2013. Namun ternyala Tergugat tidak memberikan izin, sehingga Para Penggugat dikualiiikasi mangkir pada tanggal tersebut.
Selanjutnya pada tanggal 1 Juni 2013, Tergugat memindah-tugaskan Para Penggugat ke mesin press. Namun karena pemindahan tugas tersebut dilakukan secara tiba-tiba pada saat itu juga dan tidak diberi waktu untuk mengajukan keberatan.
Tanggal 12 Juni 2013, Tergugat mengutarakan maksudnya untuk menyuruh Para Penggugat mengundurkan diri, dengan pemberian uang penghargaan masa kerja sebesar 4 bulan upah untuk Penggugat Agus Indarto, dan 2 bulan untuk Penggugat Nurul Hikmat. Terhadap hal tersebut, Para Penggugat menolaknya.
Tanggal 12 Juni 2013, Para Penggugat tidak lagi diperkenankan masuk ke lingkungan perusahaan Tergugat. Oleh karena upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial telah melalui bipartit dan mediasi, serta tidak dapat mencapai kesepakatan, maka Penggugat mengajukan gugatan perselisihan hubungan industrial.
Pemindahan tugas merupakan hak prerogatif Tergugat selaku Pengusaha, namun tetap harus mengindahkan tata cara atau mekanisme pemindahan tugas serta pemberian tenggang waktu, agar lidak dapat dikualifikasikan sebagai tindakan menyimpang dari syarat-syarat kerja yang diperjanjikan pada saat adanya hubungan kerja pertama kali.
Sementara dalam perkara ini, Tergugat secara seketika memindah-tugaskan Para Penggugat, sehingga terkesan dipaksakan, karena seharusnya penunjukkan operator dan pengoperasian pada bagian atau mesin tertentu, teiah direncanakan sebelumnya oleh Tergugat dalam rencana kerja. Selain itu, mesin sliter dan metalizer yang dioperasikan oleh para Penggugat sebelum terjadi pemindahan tugas, justru diisi oleh pekerja baru.
Maksud Tergugat yang menawarkan pengunduran diri, merupakan niat Tergugat yang tidak lagi menginginkan hubungan kerja tetap berlangsung dan dibuktikan dengan tidak diperbolehkannya Para Penggugat masuk ke lingkungan Tergugat merta dikuatkan dengan tidak adanya panggilan bekerja secara tertulis oleh Tergugat, yang memanggil Para Penggugat untuk bekerja seperti biasa, sebagai bukti adanya itikad Tergugat untuk mempertahankan hubungan kerja. Dengan demikian Penggugat merujuk Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004:
“Dalam hal salah satu pihak tidak menghendaki lagi untuk terikat dalam hubungan yang sulit hagi para pihak untuk tetap mempertahankan hubungan yang harmonis. Oleh karena itu perlu dicari jalan keluar yang terbaik bagi kedua belah pihak untuk menentukan bentuk penyelesaian, sehingga Pengadilan Hubungan Industrial yang diatur dalam undang-undang ini akan dapat menyelesaikan kasus-kasus pemutusan hubungan kerja yang tidak diterima oleh salah satu pihak.”
Karena Tergugat tidak lagi berniat melanjutkan hubungan kerja, serta dengan mempertimbangkan Anjuran Pegawai Mediator Disnaker yang ditolak, maka Penggugat meminta agar pengadilan menyatakan putus hubungan kerja Para Penggugat dengan Tergugat terhitung sejak 31 Juli 2014, dengan penetapan pemberian uang pesangon sebesar 2 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja dan penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Terhadap gugatan pihak Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Bandung kemudian menjatuhkan putusan Nomor 153/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Bdg., tanggal 18 Februari 2016 yang amarnya sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dalil Tergugat yang menyatakan atas permintaan Tergugat, Ketua (SB) PT. Jaya Nurimba (Sdr. Afrizal) dan Sdr. Asep sebagai salah satu pengurus (SB) PT. Jaya Nurimba sudah menghimbau Para Penggugat supaya melaksanakan rolling tersebut, akan tetapi Para Penggugat menolak bahkan mengatakan tidak akan mau menjalankan pemindahan tugas di tempat kerjanya, tidak dibantah secara tegas dan spesifik oleh Para Penggugat, karenanya dalil Tergugat tersebut haruslah dianggap sebagai diakui oleh Para Penggugat;
“... maka permintaan-permintaan yang dilakukan atasan Para Penggugat dan pengurus (SB) supaya melaksanakan rolling tersebut dapatlah dianggap sebagai panggilan kerja yang berulang, karenanya menurut pendapat Majelis Hakim adalah beralasan hukum Para Penggugat dikualifikasikan mengundurkan diri terhitung sejak tanggal 1 Juni 2013;
MENGADILI :
Primer:
- Menolak petitum primer gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya;
Subsider:
1. Mengabulkan petitum subsider (ex aequo et bono) gugatan Para Penggugat;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat karena Para Penggugat dikualifikasi mengundurkan diri sejak tanggal 1 Juni 2013;
3. Memerintahkan Tergugat untuk membayar uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak kepada Penggugat Agus Indarto sebesar Rp9.232.200,00 (sembilan juta dua ratus tiga puluh dua ribu dua ratus rupiah) dan kepada Penggugat Nurul Hikmat sebesar Rp4.604.600,00 (empat juta enam ratus empat ribu enam ratus rupiah).”
Pihak Pekerja mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa Pengadilan Hubungan Industrial dalam pertimbangan hukum tersebut, seolah-olah telah mempertimbangkan adanya bukti penolakan untuk menjalankan pemindahan tugas yang dilakukan oleh Para Penggugat. Senyatanya, pihak perusahaan tidak pernah dapat membuktikan, bahwa Penggugat melakukan penolakan pemindahan tugas.
Yang menjadi sebab bagi Para Penggugat belum menjalankan pekerjaannya yang baru adalah, tidak adanya bimbingan oleh supervisor dalam menjalankan mesin press yang berbeda pengoperasiannya dengan mesin sebelumnya.
Penggugat meminta agar Mahkamah Agung mempertimbangkan ketiadaan bimbingan kepada Para Penggugat oleh pihak perusahaan melalui supervisor dalam menjalankan mesin press yang berbeda pengoperasiannya dengan mesin sebelumnya, serta tidak adanya surat tertulis perintah kerja rolling, dapat dijadikan dasar dan alasan bagi Para Pemohon Kasasi untuk belum menjalankan tanggung jawab pengoperasian mesin baru, yang apabila dijalankan justru dapat berakibat fatal bagi mesin atau produk yang dihasilkan.
Dimana terhadap alasan-alasan tersebut, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 14 Maret 2016 dan kontra memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung tanggal 11 April 2016, dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa perselisihan antara Para Pemohon Kasasi / Para Penggugat dengan Termohon Kasasi / Tergugat disebabkan penolakan bekerja di mesin press untuk pekerja nama Agus Indarto dan pada mesin metalizer untuk pekerja Nurul Hikmat, namun pada unit mesin produksi di lokasi yang sama;
2. Bahwa mekanisme kerja demikian dalam proses produksi sudah merupakan kebiasaan dalam perusahaan tempat bekerja Para Pemohon Kasasi;
3. Bahwa selama tidak melaksanakan pekerjaan, Para Pekerja tetap masuk kerja sehingga tidak dapat dikualifikasi mangkir;
4. Bahwa dengan demikian Para Pekerja beralasan dinyatakan melakukan pelanggaran atau indisipliner berupa menolak perintah yang sah dan wajar, sehingga adil Pemutusan Hubungan Kerja dengan uang kompensasi 1 kali Uang Pesangon (UP), Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) dan Uang Penggantian Hak (UPH) sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (2), (3), (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dan tidak beralasan dinyatakan mengundurkan diri karena tidak ada alat bukti yang memenuhi ketentuan Pasal 168 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan Penjelasannya;
5. Bahwa dengan demikian uang kompensasi Para Penggugat masing-masing adalah:
5.1. Agus Indarto:
- Uang Pesaongon: 9 x Rp2.007.000,00 = Rp18.063.000,00;
- Uang Penghargaan Masa Kerja Kerja: 4 x Rp2.007.000,00 = Rp 8.028.000,00
- Uang Penggantian Hak = Rp 3.913.650,00
Jumlah = Rp30.004.650,00
5.2. Nurul Himat:
- Uang Pesaongon: 4 x Rp2.002.000,00 = Rp 8.008.000,00
- Uang Penghargaan Masa Kerja Kerja: 2 x Rp2.002.000,00 = Rp 4.004.000,00
- Uang Penggantian Hak = Rp 1.801.650,00
Jumlah = Rp13.813.800,00
6. Bahwa Para Penggugat adil tidak berhak atas upah proses karena penolakan untuk bekerja di mesin press merupakan perbuatan yang tidak wajar dan sangat tidak patut dalam proses produksi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi: AGUS INDARTO dan kawan tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Nomor 153/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Bdg., tanggal 18 Februari 2016 selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini;
M E N G A D I L I :
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi: 1. AGUS INDARTO, dan 2. NURUL HIKMAT tersebut;
- Membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Nomor 153/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Bdg., tanggal 18 Februari 2016;
MENGADILI SENDIRI:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Putus Hubungan Kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat sejak putusan diucapkan;
3. Menghukum Tergugat membayar uang kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja kepada Para Penggugat secara tunai, untuk Agus Indarto sejumlah Rp30.004.650,00 (tiga puluh juta empat ribu enam ratus lima puluh rupiah) dan untuk Nurul Hikmat sejumlah Rp13.813.800,00 (tiga belas juta delapan ratus tiga belas ribu delapan ratus rupiah);
4. Menolak gugatan Para Penggugat selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.