Tidak Tahu Hukum artinya Menipu Diri Sendiri

LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya mana yang lebih bersalah, seseorang yang tahu dilarang oleh hukum tapi tetap melakukan, atau orang yang tidak tahu ada aturan yang melarang namun tetap melakukan?
Brief Answer: Keduanya sama salahnya, dengan derajat yang saling berkebalikan. Yang satu sengaja melanggar hukum, sementara yang sebaliknya ialah lalai untuk mengetahui aturan hukum yang melarang suatu perbuatan tertentu. Itulah sebabnya, terdapat asas fiksi dalam hukum yang menjadi asas hukum universal tertinggi di setiap negara berhukum: bahwa setiap warga negara dianggap tahu tentang hukum.
Dengan demikian, tiada dalil untuk bersembunyi bahwa seorang warga tidak memahami hukum dimana tempatnya berada. Ketidak-tahuan, atau kelalaian mengenai hukumnya, adalah sebuah pelanggaran hukum itu sendiri didalam negara hukum yang baik, demi terciptanya ketertiban sosial.
Bayangkan, seorang pengemudi kendaraan roda empat, dengan alasan tidak tahu aturan hukum di negara Amerika Serikat, lantas mengemudi dengan berjalan di lajur kanan, maka tabrakan tidak dapat dihindari. Sama halnya seorang wajib pajak, tidak pernah dapat berlindung dibalik alasan ketidak-tahuan perihal norma hukum perpajakan.
Warga negara yang baik, tidak dapat bersikap naif. Hukum normatif merupakan konvensi yang dibentuk berdasarkan “kontrak sosial” antara kolektif warga masyarakat dan negara sebagai kedaulatan dan yurisdiksinya untuk menertibkan penduduk agar tidak terjadi “chaos”. Karena sifatnya ialah konvensi berdasarkan “kontrak sosial”, maka tidak dapat dibenarkan praktik-praktik menyerupai “tidak tahu hukum” atau membuat aturan hukum sendiri oleh seorang warga negara terhadap warga negara lainnya.
Gugatan dengan dalil adanya tipu-muslihat, tidak dapat dijadikan dasar mengajukan gugatan bila penggugat itu sendiri memiliki kontribusi kelalaian untuk tahu mengenai hukum positif yang berlaku di suatu negara. Ketidak-tahuan, bukan merupakan alasan pembenar di negara hukum modern manapun.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi konkret betapa naifnya seorang penggugat, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk pada putusan Mahkamah Agung RI sengketa tanah register Nomor 1399 K/Pdt/2015 tanggal 28 September 2015, perkara antara:
- JASON SCOTT PICKERING (Warga Negara Asing), sebagai Pemohon Kasasi dahulu selaku Penggugat; melawan
1. IDA BAGUS PUTU PRAMARTA, sebagai Termohon Kasasi I dahulu Tergugat I;
2. UMAR, selaku Termohon Kasasi II dahulu Tergugat II;
3. DEWI RATNA AYUWATI, selaku Termohon Kasasi III dahulu Tergugat III;
4. ADNAN, selaku Termohon Kasasi IV dahulu Tergugat IV.
Mulanya Penggugat dan Tergugat 1 berkenalan di Bali, ketika Penggugat berwisata di daerah tersebut. Oleh karena Penggugat tertarik dengan keindahan pulau Bali, Penggugat mengungkapkan kepada Tergugat I keinginannya untuk melakukan investasi di Bali. Tergugat I kemudian menawarkan sejumlah tanah kepada Penggugat yang letaknya di sekitar Sanur Bali.
Tergugat I memperkenalkan Penggugat kepada Tergugat II, yang mengaku sebagai pemilik tanah, sedangkan Tergugat IV hadir pula dan memperkenalkan diri sebagai wakil dari Pemerintah (Kadus).
Penggugat menyatakan tertarik dengan lokasi objek Sengketa dan menanyakan status kepemilikan serta surat-surat tanah kepada Tergugat II, dan oleh Tergugat II dikatakan bahwa objek tanah tersebut merupakan miliknya dimana kini ini sedang diajukan proses permohonan sertifikat. Pernyataan demikian dibenarkan oleh Tergugat IV yang saat itu ikut serta berada di lokasi objek sengketa, yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala Dusun Rangkap Dua.
Tergugat IV menyatakan bahwa tanah tersebut aman, bahkan Tergugat IV menjamin dan menyatakan diri bahwa dia adalah wakil dari pemerintah (Kepala Dusun) dan dapat menyediakan semua ijin yang diperlukan serta IMB (Ijin Mendirikan Bangunan).
Tanggal 19 Februari 2010, di hadapan Notaris dibuat dan ditanda-tangani Perikatan Jual Beli dan Surat Kuasa Menjual antara Tergugat I (dalam hal ini mewakili Penggugat sebagai pembeli) dengan Tergugat II serta Tergugat III dalam kedudukan sebagai isteri dari Tergugat II).
Salah satu kesepakatan dalam Perikatan Jual Beli tertanggal 19 Februari 2010, pembayaran tahap kedua atau berikutnya akan dibayarkan setelah sertipikat selesai diurus jadi sertipikat oleh Tergugat I. Kenyataannya Tergugat II bersama Tergugat I terus-menerus menagih Penggugat agar melakukan pembayaran berikutnya, dengan berbagai alasan antara lain: perlu biaya untuk percepatan pengurusan sertipikat di BPN Lombok Tengah, perlu biaya karena istri Tergugat I, yakni Tergugat III mau melahirkan dan berbagai alasan lainnya.
Terhadap desakan dan permintaan tersebut, Penggugat beberapa kali melakukan pembayaran kepada Tergugat II melalui Tergugat I dengan cara tunai maupun transfer rekening. Sehingga total uang yang telah diterima oleh Tergugat I dari Penggugat adalah sejumlah Rp1.241.085.495,00. Namun pada faktanya Tergugat I hanya membayar harga tanah tersebut kepada Tergugat II sejumlah Rp885.400.000,00.
Setiap pengambilan uang, baik Tergugat selalu berjanji akan segera menyelesaikan proses sertipikasi objek tanah. Penggugat percaya saja dengan perkataan Tergugat, oleh karena Penggugat ingin segera membangun hotel sebagai bentuk investasinya, maka dengan bantuan Tergugat II, Penggugat telah mengajukan Ijin Mendirikan Bangunan (lMB) untuk hotel dan segala fasilitasnya.
Pembangunan hotel dan fasilitas yang mendukungnya seperti kolam renang, restaurant dan lain lain dilakukan oleh kontraktor yang ditunjuk oleh Penggugat yang dibiayai seluruhnya oleh Penggugat dan telah menghabiskan dana pembangunan tidak kurang dari Rp3.000.000.000,00.
Kini hotel telah mulai beroperasi, namun janji Tergugat I dan Tergugat II yang akan menyelesaikan sertipikat tanah yang dibeli oleh Penggugat, tidak kunjung direalisasikan. Setelah berkali-kali dijanjikan sertipikat oleh Tergugat I dan Tergugat II, Penggugat merasa bosan sehingga melakukan pengecekan sendiri, namun Penggugat terkejut mendengar penjelasan dari kantor BPN Lombok Tengah yang menerangkan bahwa berkas permohonan sertipikat yang diperlihatkan Tergugat II pada saat transaksi di kantor Notaris, tidak pernah diajukan untuk dimohonkan sertipikatnya.
Hengetahui hal demikian, Penggugat merasa marah dan menuntut kepada Tergugat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Namun Tergugat I tidak menanggapi dan bahkan menghilang, sedangkan Tergugat II kembali hanya berjanji akan menyelesaikan masalah tersebut akan tetapi tidak pernah direalisasi.
Perbuatan Para Tergugat yang telah dengan sengaja menjual bidang tanah kepada Penggugat, sedangkan Para Tergugat itu tahu bahwa sertipikat atas tanah tersebut tidak akan mungkin terbit, karena walaupun Tergugat II ketika melakukan transaksi atas objek sengketa di Notaris telah memperlihatkan copy permohonan formulir permohonan sertifikasi hak atas tanah yang ditandatangani Tergugat II selaku Pemohon beserta surat-surat pendukung lainnya, namun Tergugat I dan Tergugat II tidak pernah memasukkan Permohonan tersebut ke Kantor Pertanahan untuk diproses guna mendapatkan sertipikat hak atas tanah, sehingga tindakan Para Tergugat dinilai sebagai suatu Perbuatan Melawan Hukum.
Adapun pokok tuntutan Penggugat, ialah memohon kepada Pengadilan Negeri Praya agar memberikan putusan sebagai berikut:
- Menyatakan hukum bahwa perbuatan Para Tergugat yang telah dengan sengaja menjual bidang tanah objek Sengketa kepada Penggugat sedangkan Para Tergugat itu tahu bahwa sertipikat atas tanah objek Sengketa tersebut tidak akan mungkin terbit sertipikat hak atas tanah yang dijualnya, adalah merupakan perbuatan melawan hukum;
- Menyatakan hukum bahwa Para Tergugat harus bertanggung-jawab secara renteng atas perbuatan melawan hukum yang telah menyebabkan kerugian pada Penggugat.
Sementara dalam sanggahannya, Tergugat mendalilkan, yang menjadi dasar utama Penggugat mengajukan gugatan adalah karena Penggugat mengakui telah melakukan hubungan hukum perikatan jual-beli atas objek sengketa, padahal hubungan hukum jual-beli antara Penggugat dengan Para Tergugat atas obyek sengketa adalah hubungan hukum yang dilarang oleh Undang-undang, karena Penggugat adalah bukan warga Negara Indonesia melainkan warga Negara Asing (Warga Negara Australia) yang tidak diperbolehkan untuk memiliki tanah (vide pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria).
Oleh karena itu, setiap perbuatan hukum peralihan hak berupa jual beli, pewarisan dan hibah serta wasiat dan lainnya yang dapat menimbulkan akibat hukum peralihan hak atas tanah baik secara langsung maupun tidak langsung kepada orang asing, adalah batal demi hukum (Vide Pasal 9 ayat l, Pasal 21 ayat 1 dan Pasal 26 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 jo. Pasal 1320 dan 1337 KUHPerdata). Dengan demikian, dasar penggugat mengajukan gugatan, adalah tidak memiliki dasar hukum, sehingga harus ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima.
Terhadap gugatan sang WNA, Pengadilan Negeri Praya kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 31/Pdt.G/2013/PN.Pra tanggal 27 Maret 2014, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang bahwa dalam gugatannya Penggugat mencantumkan ‘perbuatan melawan hukum’ sedangkan didalam positanya Penggugat menjelaskan adanya suatu perikatan jual-beli yang dilakukan para pihak dan menuntut adanya ganti-rugi, sehingga antara dalil posita dengan petitum gugatan Penggugat saling kontradiktif;
“bahwa dengan demikian tidak jelas apakah gugatan Penggugat Wanprestasi ataukah perbuatan melawan hukum, sehingga menurut Majelis Hakim penyusunan surat gugatan oleh Penggugat dipandang sebagai gugatan yang kabur (obscuur libel);
MENGADILI :
DALAM EKSEPSI:
- Mengabulkan eksepsi Para Tergugat untuk sebahagian;
- Menyatakan Gugatan Penggugat adalah Gugatan yang Kabur atau obscuur libel;
DALAM POKOK PERKARA:
- Menyatakan Gugatan Penggugat Tidak Dapat Diterima (niet ontvankelijk verklaard).”
Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat, putusan Pengadilan Negeri tersebut diatas kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi dengan Putusan Nomor 134/PDT/2014/PT.MTR Tanggal 19 November 2014, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
1. Menerima permohonan banding dari Kuasa Hukum Pembanding / Penggugat;
2. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Praya Nomor 31/PDT.G/2013/PN.Pra. tanggal 27 Maret 2014 yang dimohonkan banding tersebut.”
Sebenarnya tidak mungkin, seorang WNA tidak mengetahui bahwa seorang WNA tidak dibolehkan membeli hak atas tanah. Penggugat selaku WNA mengajukan upaya hukum kasasi, dengan argumentasi naif bahwa Para Tergugat telah melakukan tindakan tipu-muslihat dengan secara sengaja dan bersama-sama melakukan Perbuatan Melawan Hukum yang merugikan Penggugat.
Penggugat mengklaim tidak mendapat kepastian hukum mengenai status objek tanah, karena sertipikat objek tanah yang dijanjikan akan diurus penerbitan sertipikatnya oleh Tergugat II dan Tergugat III di Kantor Pertanahan Kabupaten Lombok Tengah tidak kunjung terlaksana, dimana hingga kini objek Sengketa tidak dapat diterbitkan sertipikatnya.
Ternyata Para Tergugat sudah mengetahui dengan pasti jika sertipikat objek tanah tidak akan dapat diterbitkan, namun demikian, tindakan Para Tergugat yang membiarkan terjadinya transaksi sebagaimana perjanjian dalam perikatan jual-beli, adalah merugikan Penggugat yang berasumsi bahwa “perjanjian nominee” antara dirinya dan pihak pembeli adalah suatu langkah bisnis yang mendapat perlindungan hukum—namun ternyata berujung bumerang.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena gugatan Penggugat kabur, karena pokok gugatan Penggugat tidak jelas apakah Perbuatan Melawan Hukum yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi Penggugat yang dilakukan oleh Para Tergugat, karena melanggar perjanjian yaitu tidak selesainya Para Tergugat dalam mengurus perjanjian Jual Beli Tanah objek sengketa (milik Penggugat tersebut) hingga terbitnya Sertifikat Hak Milik (SHM) atau tanah yang akan dibeli sesuai dengan perjanjian tersebut secara fisik tidak pernah ada atau walaupun ada tapi tidak sesuai dengan janji Para Tergugat kepada Penggugat;
“Sedangkan Penggugat telah menyerahkan seluruh uang pembelian tanah tersebut kepada Para Tergugat, sehingga menimbulkan kerugian bagi Penggugat. Atau sebaliknya sesuai fakta sebagaimana dalil gugatan Penggugat ternyata Penggugat telah menguasai dan telah membangun diatas tanah objek sengketa yang dibeli tersebut dan telah menghabiskan dana cukup besar, hal tersebut merupakan kerugian Penggugat karena misalnya tidak dapat menjalankan usahanya sebagaimana yang diinginkan seperti tidak mendapatkan izin membangun atau izin usaha.
“Dari hal-hal tersebut terbukti gugatan Penggugat mengandung cacat formil dan harus dinyatakan ‘tidak dapat diterima’ (niet ontvankelijke verklaard) sebagaimana pertimbangan hukum putusan Judex Facti telah tepat dan benar serta tidak bertentangan dengan hukum;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, ternyata putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi Mataram dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi JASON SCOTT PICKERING tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi JASON SCOTT PICKERING tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.