Hubungan antara Ilmu Hukum & Sosiologi

ARTIKEL HUKUM
Mendalami ilmu hukum tanpa memahami ilmu sosiologi, ibarat mengendarai kendaraan bermotor tanpa pedal rem / deselerasi, atau ibarat diberikan peta yang memandu kita menuju jalan kesesatan saat menjelajah. Apa jadinya, hanya dapat menekan pedal akselerasi tanpa dapat melakukan deselerasi, atau diberikan peta yang tidak sesuai fakta lapangan?
Seperti itulah praktik hukum di Tanah Air, akibat minimnya Sumber Daya Manusia yang bergerak dibidang profesi pembentukan aturan peraturan perundang-undangan maupun para aparatur penegak hukum, yang benar-benar bergerak dari realita untuk mereka yang hidup dalam realita.
Dalam mempelajari ilmu hukum, seolah segala sesuatu cukup merujuk pada peraturan perundang-undangan, atau menelan mentah-mentah seluruh teori dalam teks ilmu hukum yang substansinya “tidak membumi”, dalam artian terlampau mengumbar utopia yang cenderung menyesatkan para pembelajar hukum dari realita aktual. Para Sarjana Hukum di Indonesia, cenderung bukan seorang realis, namun lebih menyerupai “orang buta” yang tidak rasional dalam memandang segala realita dan fenomena sosial—seakan tercerabut dari akarnya.
Sebagai contoh, para sarjana hukum baik akademisi hingga mereka yang duduk dalam jabatan sebagai hakim, masih memandang bahwa warga negara yang melakukan “main hakim sendiri”, selalu merupakan pelanggar hukum dan dinilai sebagai “penyakit sosial”, dengan alasan yang terdengar naif: ada prosedur penegakan hukum seperti polisi sebagai wadah untuk melaporkan kejahatan, bukan justru melakukan persekusi—demikian mereka selalu menjadikan dalil tersebut sebagai standar baku semboyan “omong kosong” yang selama ini digaungkan untuk membungkam publik yang mencoba bersikap kritis.
Namun siapa yang mau memahami, bahwa para pelaku persekusi (“main hakim sendiri”) demikian merupakan efek “gunung salju” dari citra lembaga penegak hukum yang demikian menyentuh titik nadir terendahnya, dimana kepercayaan masyarakat terhadap aparatur kepolisian, terutama, diwarnai apatisme dan kekecewaan yang selalu terafirmasi sepanjang tahunnya. Tidak terkecuali dibuktikan oleh pengalaman pribadi penulis dalam bersentuhan dengan lembaga penegakan hukum, terutama kepolisian dan kehakiman.
Setiap kali terjadi aksi persekusi, maka sang pelaku yang selalu dipersalahkan. Namun dalam konteks persepsi sosiologi, bisa jadi sang pelaku adalah “kambing hitam” dari sakitnya budaya dan tidak sehatnya arus sosial dimasa itu.
Sebagai contoh, telah terbit peraturan perihal kebiri bagi pria pelaku kejahatan asusila. Namun apa yang kemudian terjadi, seakan tidak takut akan ancaman sanksi pidana demikian, berita kejahatan serupa terus terjadi setiap bulannya, hingga sekarang ini.
Terbukti sudah, seperti yang sudah-sudah dalam hal lainnya, Sarjana Hukum pembentuk peraturan perundang-undangan yang disaat bersamaan bukan berlatar-belakang sebagai seorang Sosiolog, tidak akan pernah mampu memahami pernyataan Roscoe Pound saat menyebutkan: “Law as a tool of social engineering.”
Ilmu hukum adalah ilmu yang ter-cluster, eksklusifitasnya sangat menyempitkan kepada persepsi internal hukum itu sendiri (dari kata “exclude”), seakan mengasingkan diri dari realita sosial yang sejatinya terbangun di tengah masyarakat itu sendiri. Sebagai contoh, mencuri maka akan dihukum penjara. Sekalipun pelaku mencuri buah semangka karena “deterministik ekonomi”, semisal akibat kelaparan, tetap saja pelaku dipenjara, sekalipun korban pelapor adalah seorang borjuis atau tuan tanah.
Peraturan perundang-undangan di Indonesia tergolong sangat produktif dirancang dan diterbitkan oleh pemerintah, baik oleh Lembaga Legistatif berupa produk undang-undang, maupun Pemerintah Daerah lewat berbagai Peraturan Daerahnya. Namun, semakin produktif menciptakan peraturan perundang-undangan, semakin masif pula pelanggaran untuk dibiarkan terjadi.
Sebagai contoh, cobalah Anda melaporkan tetangga Anda kepada Dinas Penertiban Rumah dan Bangunan karena mendirikan rumah tanpa Izin Mendirikan Rumah (IMB), sekalipun itu wilayah kota sekelas Jakarta, maka laporan Anda dijamin tidak akan ditanggapi. Perda perihal sanksi merobohkan rumah tanpa IMB, hanya menjadi “macan ompong”, alias slogan “omong kosong”—yang memang dibuat hanya untuk dilanggar. Perda di Jakarta juga mengatur perihal sanksi pidana bagi warga yang membakar sampah sembarangan, namun warga yang melaporkan pelanggaran demikian kepada pihak berwajib, tidak akan mendapat respon terlebih tindak-lanjut.
Ketika pemerintah mencetak berbagai norma dalam peraturan perundang-undangan, namun pemerintah itu sendiri yang kemudian paling banyak melanggar (dengan lalai menegakkan berbagai norma dalam peraturan perundang-undangan tersebut), sama artinya melahirkan rasa apatis dan rasa tidak memiliki di tengah sanubari dan kesadaran mental masyarakat selaku warga masyarakat. Ketika warga telah memandang remeh terhadap hukum, bahkan beramai-ramai melanggar, maka apa lagi arti dari wibawa hukum?
Sarjana Hukum tidak pernah mau mengakui dan senantiasa menyangkal, bahwa undang-undang adalah produk bentukan lembaga korup bernama “Dewan Perwakilan Rakyat”. Bila Sarjana Hukum mengakui bahwa lembaga korup hanya menghasilkan produk undang-undang yang korup, maka sama artinya mengingkari profesi hukum sang Sarjana Hukum itu sendiri yang senantiasa mengacu dan berpatokan pada pasal-pasal dalam undang-undang. Karena bukan tugas Sarjana Hukum untuk mengkritik dan mencela produk hukum, namun adalah fungsi seorang Sosiolog yang memiliki hak untuk itu.
Di Indonesia, terdapat pengaturan, bahwa pengendara kendaraan bermotor yang berhenti akibat rambu lalu-lintas menyala “merah”, dilarang melampaui rambu berupa marka garis putih yang melintang di tengah jalan. Namun mengingat jutaan pengendara terus melanggarnya, setiap harinya, setiap waktunya, sampai-sampai polisi pun kini merasa letih dan tidak tahu harus menilang pengendara mana. Menilang satu pengendara, sementara meloloskan pengendara lain yang melanggar, adalah sebentuk ketidak-adilan itu sendiri, bukankah demikian?
Para Sarjana Hukum di Tanah Air, selama ini telah terperdaya oleh mitos / dongeng tidak membumi, seolah peraturan perundang-undangan telah baik adanya dan tidak diwarnai “pesan-pesan sponsor” dari para pembentuknya, asumsi seolah para penegak hukum siap beraksi untuk melindungi dan mengayomi masyarakat / warga negara, bahwa pengadilan adalah tempat pencari keadilan mencari dan mendapatkan keadilan, bahwa peraturan perundang-undangan “harus ditegakkan sekalipun langit runtuh”—seolah peraturan perundang-undangan tidak dapat disusupi kepentingan politik.
Setiap waktunya, para calon Sarjana Hukum di-“cekoki” doktrin yang lebih menyerupai dogma, seakan Sarjana Hukum yang baik harus menegakkan hukum bahkan hingga perlu “mengakibatkan langit runtuh”, seolah penegak pasti akan memproses para pelaku kejahatan sehingga tidak boleh “main hakim sendiri”, seakan tiada intervensi kekuasaan dan intervensi materi (baca: uang) dalam setiap proses peradilan.
Para Sarjana Hukum dengan demikian “dungu”-nya meyakini (maaf atas pernyataan yang demikian sarkastik dari penulis), bahwa adalah keharusan dan panggilan profesi untuk mencetak banyak peraturan perundang-undangan. Namun seorang Sosiolog, memandang adalah kecelakaan sejarah bila setiap tahunnya berbagai undang-undang terus dicetak.
Dengan mengatas-namakan modus-modus kejahatan terus berkembang sehingga produk larangan lewat undang-undang harus dibentuk untuk memberi ancaman sanksi hukuman, para Sarjana Hukum merasa memiliki peran mulia dengan memborbardir publik lewat ribuan pasal peraturan perundang-undangan yang terus bergulir dan mengalir dengan derasnya hingga mencekik leher kalangan Sarjana Hukum itu sendiri.
Sebaliknya, seorang Sosiolog mampu mengatakan, undang-undang lebih banyak mencabut kebebasan warga, ketimbang membebaskan warga dari berbagai beban yang tidak perlu. Ilustrasi berikut dapat menjadi cerminan. Saat masih berlaku “hukum rimba”, setiap penduduk bebas untuk bernafas dalam arti seluas-luasnya: tidak dipaksa untuk membayar iuran Jaminan Kesehatan Nasional, tidak ditakut-takuti pungutan pajak, tidak harus berepot diri mengurus perpanjangan surat tanda nomor kendaraan setiap tahunnya, tidak direpotkan oleh segala tetek-bengek formalitas administrasi untuk menikah, tidak harus dipaksa untuk mengemis pada polisi untuk menuntut keadilan.
Sejak terbit “hukum negara”, sejatinya seluruh kebebasan setiap warga dirampas (dalam arti sesungguhnya), dan digantikan dengan berbagai beban yang terus membebani. Justru kejahatan baru sengaja diciptakan untuk menyikapi undang-undang yang ada—bagai saling berkejar-kejaran. Adakah kalangan Sarjana Hukum tulen, yang mampu menyerang balik tudingan dari kaum Sosiolog tulen demikian? Semua kalangan Sarjana Hukum tulen, bertanggung-jawab atas terampasnya kebebasan dan kemerdekaan setiap individu.
Namun, para Sarjana Hukum di Tanah Air selalu berhenti dan “mati kutu”, ketika dibenturkan pada realita dan fenomena kentalnya nuansa “kartel hukum”, “broker hukum”, “makelar kasus”, “aparatur penegak hukum itu sendiri yang paling banyak melanggar hukum dan harus dihukum”, “bagaimana caranya menghukum para aparatur yang justru bertugas menegakkan hukum”, “bagaimana jika hakim yang paling harus dihakimi”, “bagaimana bila aduan masyarakat tidak direspon oleh pihak berwajib”, hingga tudingan “bagaimana bila pemerintah itu sendiri yang melanggar hukum dengan tidak menegakkan berbagai regulasi yang dibuat olehnya sendiri”?
Tidak ada satupun dari sedemikian banyak dari pertanyaan sosial diatas, yang mampu dijawab oleh Sarjana Hukum tulen di Indonesia. Para Sarjana Hukum tersebut justru seakan menutup mata dengan meyakini secara membuta, bahwa semua itu tidak pernah terjadi, bahwasannya keadaan struktur hukum di Indonesia telah ideal, bahwasannya substansi dan budaya hukum di Indonesia telah baik dan benar. Mereka takut dan teralineasi dari sosiologi kemasyarakatan.
Merasa terkejut akan realita yang berbeda dari apa yang selama ini mereka pelajari di bangku kuliahan pendidikan tinggi hukum, bagai terbentur tembok tebal yang demikian keras membuat frustasi, pilihannya hanya dua: ikut arus menjadi “makelar kasus” dengan membuang jauh-jauh jiwa kesarjanaan dibidang hukum, atau memilih untuk melepas gelar kesarjaan itu dan menyerah dari profesi hukum dengan beralih pada profesi lain yang tidak menyinggung ataupun bersentuhan dengan hukum, atau setidaknya menjadi pedagang dengan bergelar “sarjana hukum” dibalik kartu namanya.
Para calon Sarjana Hukum di Tanah Air, sangat minim—untuk tidak dapat disebut “tidak pernah”—dibekali ilmu-ilmu empirik seperti sosiologi maupun psikologi. Para Sarjana Hukum di Tanah Air kental akan kiblat deduktif, semua seolah peraturan umum untuk ditegakkan, dimana praktik dan realita harus senantiasa berirama dengan undang-undang.
Ketika hukum gagal untuk menegakkan dirinya, atau setidaknya untuk sekadar mengajak masyarakat untuk patuh hukum (dapat diterima oleh masyarakat pun kerap kali tidak), atau bahkan hukum diinjak-injak dan dilecehkan oleh publik secara berjemaah, maka seorang Sarjana Hukum tulen akan terguncang jiwanya, dan menjelma apatis.
Tahap kedua setelah apatis, timbul dorongan untuk mencari tahu. Namun demikian karena gagal menemukan akar dari penyebab tumpulnya hukum, atau bahkan hukum sebagai “agen kejahatan itu” sendiri yang berkhianat terhadap kepentingan rakyat, lahir sebentuk karakter untuk menjustifikasi segala fenomena yang ada sebagai “anomali” semata, bukan sesuatu yang bersifat laten—sampai sejauh ini, penghiburan diri yang tidak sehat demikian dirasa sudah cukup memuaskan.
Sampai pada tahap tersebut, para Sarjana Hukum kita telah cukup puas untuk membohongi diri mereka sendiri, terutama dimainkan secara apik oleh para pengajar hukum di perguruan tinggi, dengan bangga mengajarkan segala sesuatu “sampah” yang tidak aplikatif. Praktis, tiada keterampilan apapun diberikan kepada peserta didiknya untuk survive ditengah carut-marutnya keadaan sosial kita dari hari ke hari. Terbukti, tiada satupun fresh graduate Sarjana Hukum di Tanah Air yang siap pakai dalam realita—salah satunya dialami sendiri oleh penulis, seorang cum laude hijau yang tidak membumi, hanya mampu terperangah ketika dibenturkan dengan realita, terutama realita bahwa hukum selalu tunduk dan mengabdi pada politik, kekuasaan, dan borjuis.
Betul bahwa sosiologi memiliki kelemahan dalam aspek harafiahnya yang akan berhenti pada tahap deskripsi belaka. Ia hanya menggambarkan betapa sakitnya hukum dan masyarakat, dan cukup puas untuk berhenti pada titik itu—sebagai ujung tombak serangan-serangan yang dibangun olehnya.
Namun setidaknya sosiologi memiliki kontribusi untuk membuka mata kita akan realita, dan berangkat dari realita itu untuk kemudian menawarkan pada kita gambaran yang lebih baik untuk dituju—meski sosiologi gagal untuk menunjukkan jalan untuk menuju ke arah yang lebih baik selain sekadar bersumbangsih memperlihatkan fenomena sosial yang terjadi secara apa adanya.
Dobrakan dari kebuntuan demikian coba didekati oleh disiplin ilmu psikologi, yang mencari akar dari segala “anomali” (istilah orang hukum tulen) sosial demikian, namun bukan berarti tanpa hambatan yang cukup serius untuk ditengahi. Sebagai contoh, seorang pelaku, kerap ditemukan fakta empirik, bahwasannya dirinya dahulu merupakan korban (stockholm syndrome)—suatu fenomena yang tidak akan pernah mampu diakui oleh kalangan Sarjana Hukum manapun, menjelma hal tabu bahkan untuk sekadar dibicarakan ataupun diungkap, bahkan oleh seorang hakim saat memutus perkara dengan corak demikian. Seorang hakim hanya melihat “pelaku kejahatan” sebagai “pelaku kejahatan”. Tidak pernah ada “pelaku yang berangkat dari korban” atau “korban sekaligus pelaku” (untuk selengkapnya lihat novel yang penulis angkat dari kisah nyata akhir abad ke-19 di Italia dengan judul “Linda Murri Bonmartini”).
Seorang pelaku pedofilia sesama jenis, hampir selalu dijumpai kasus dimana pelaku dahulunya dimasa kecil adalah korban kejahatan serupa. Korban yang menjelma sebagai pelaku. Seorang guru yang menyakiti muridnya, dahulu merupakan seorang siswa yang disakiti oleh gurunya. Orang tua yang menyiksa anaknya, dahulu merupakan anak yang disiksa oleh orang tuanya. Tetap saja, hakim menghukum si pelaku, tanpa bearni mengakui bahwa dirinya juga adalah korban yang patut dikasihani.
Bagai lingkaran setan, namun psikologi menawarkan terapi untuk memperbaiki keadaan demikian dari akarnya, sementara hukum hanya mencoba mengatasi gejala, atau setidaknya sekadar menutupi permukaannya—sehingga tidak heran hukum telah gagal total, dan bahkan lembaga pemasyarakatan tidak pernah sepi dari narapidana baru dan para residivis.
Jurus jitu kalangan hukum, ialah memberikan “pil” ajaib berupa “pengalihan isu” kepada publik agar profesi hukum dapat tetap eksis atau setidaknya tidak kehilangan kepercayaan oleh masyarakat (itulah yang kini dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi RI pasca jatuhnya Akil Mochtar dan Patrialis Akbar, guna menyelamatkan muka MK RI dimata publik). Sementara itu, kalangan Sosiolog, selalu mengkampanyekan “perang melawan lupa” akan sejarah bangsanya sendiri, plus berbagai tragedi kemanusiaan negara dan komunitasnya. Sosiolog akan terus menyebut-nyebut perihal aksi tidak moralis dari Arief Hidayat, sementar orang hukum menyerang sikap demikian sebagai “berlebih-lebihan”.
Sebagai sekadar wacana, yang tentunya akan ditentang oleh seluruh Sarjana Hukum dan calon Sarjana Hukum maupun para akademisi hukum di Tanah Air, penulis dalam setiap kesempatan berpendirian bahwa sebelum seorang warga dapat menempuh proses perkuliahan hukum, dirinya wajib menempuh dan memperoleh gelar sarjana dari setidaknya disiplin ilmu sosiologi maupun psikologi (idealnya).
Tidak ada jalan lain bila kita hendak keluar dari kegelapan praktik hukum seperti sekarang ini. Bila penegakan hukum oleh aparatur negara telah baik, tidak lagi dibutuhkan lembaga semacam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun KPK pun senyatanya hanya berhasil dalam ranah penindakan, bukan pencegahan—meski secara etis tidak semuanya dapat kita limpahkan beban tanggung jawab tersebut ke bahu lembaga KPK, yang disaat bersamaan mencerminkan gagalnya faktor non hukum seperti pendidikan, agama, maupun karakter mental moralitas bangsa secara keseluruhan.
Para pendiri KPK, bukanlah Sarjana Hukum tulen, namun para Sosiolog tulen. Para Sarjana Hukum tulen, justru hendak menjatuhkan bahkan membubarkan KPK (dicerminkan secara apik dan sempurna oleh Prof. Romli Atmasasmita dari Universitas Padjadjaran).
Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi, maupun praktik vonis Pengadilan Tipikor, tidak kalah mengerikan ancaman hukumannya. Namun tetap saja, seakan menantang dan memasang badan, tidak bosan-bosan para pejabat tertangkap tangan akibat praktik korupsi. Sampai kapanpun, Sarjana Hukum tulen akan gagal untuk menjawab masalah demikian yang terbilang kejahatan “klasik”, terlebih untuk menghadirkan solusi selain berteriak: “Bubarkan KPK!” KPK masih berdiri dan bertaring saja, korupsi tetap menggurita, bagaimana bila kPK dibubarkan?
Ciri-ciri Sarjana Hukum tulen, dirinya bergerak dari “asumsi menuju utopia”, bukan bergerak dari “realita menuju rekonstruksi realita”. Ciri-ciri Sosiolog, dirinya bergerak dari realita menuju pencarian jati diri dan solusi. Ciri-ciri Psikolog, dirinya bergerak dari fenomena empirik menuju terapi dan pemulihan jiwa.
Di Bumi Pertiwi kita ini, tidak ada profesi yang sedemikian kering dan sedemikian membuat kemubaziran, ketimbang Sarjana Hukum. Apa jadinya, bila selama ini penulis mempublikasi ribuan karya tulis, tanpa dibekali berbagai pemahaman dasar sosiologi dan ilmu psikologi? Yang ada ialah penyesatan dan pembodohan massal: seakan pengadilan adalah solusi ideal yang patut ditempuh, seakan kantor polisi adalah tempat untuk berteduh bagi korban pencari perlindungan hukum, seakan pembentuk undang-undang benar-benar memikirkan nasib rakyat, seakan hakim benar-benar perduli pada nasib Anda.
Singkat kata, yang paling harus kita waspadai bukanlah para kriminal, namun para Sarjana Hukum tulen yang tidak “membumi”. Tidak ada penyakit yang lebih berbahaya daripada paradigma bahwa Sarjana Hukum dan profesi hukum adalah profesi yang paling tinggi derajatnya. Sebaliknya, terlampau banyak hina dibalik profesi hukum. Negara ini rusak ditangan mereka yang mengerti benar pasal-pasal hukum, bukan sebaliknya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.