Kupas Tuntas Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017

ARTIKEL HUKUM
Pada tanggal 19 Desember 2017, Mahkamah Agung RI kembali menerbitkan kaedah yang berlaku secara umum dengan mengikat publik layaknya “quasi undang-undang”, yakni Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2017, yang berisi berbagai kaedah hukum hasil “tambal-sulam” terhadap regulasi peraturan perundang-undangan di Tanah Air yang penuh dengan “lubang” dan “simpang-siur” antar regulasi—meski ironisnya, disaat bersamaan SEMA terbitan MA RI juga tidak kalah tambal-sulam terhadap SEMA-SEMA sebelumnya—bagai sedang bereksprerimen, dengan nasib rakyat banyak sebagai taruhannya.
Tidak tinggal diam menghadapi berbagai ketidak-lengkapan dan ketidak-sempurnaan regulasi yang ada, Mahkamah Agung kembali masuk dalam ranah “pesudo legislatif”, dengan menerbitkan:
SURAT EDARAN
Nomor 1 Tahun 2017
TENTANG
PEMBERLAKUAN RUMUSAN HASIL RAPAT PLENO KAMAR MAHKAMAH AGUNG TAHUN 2017 SEBAGAI PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS BAGI PENGADILAN
Penerapan sistem kamar di Mahkamah Agung salah satunya bertujuan untuk menjaga kesatuan penerapan hukum dan konsistensi putusan. Rapat pleno kamar adalah salah satu intrumen untuk mewujudkan tujuan tersebut. Oleh karena itu, setiap Kamar di Mahkamah Agung secara rutin menyelenggarakan Rapat Pleno Kamar yaitu pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2016.
Mahkamah Agung pada tanggal 22 November 2017 sampai dengan tanggal 24 November 2017 kembali menyelenggarakan rapat pleno kamar untuk membahas permasalahan hukum (question of laws) yang mengemuka di masing-masing kamar. Pleno kamar tersebut telah melahirkan rumusan-rumusan sebagai berikut:
1. Rumusan pleno kamar pidana;
2. Rumusan pleno kamar perdata;
3. Rumusan pleno kamar agama;
4. Rumusan pleno kamar militer;
5. Rumusan pleno kamar tata usaha negara; dan
6. Rumusan pleno kamar kesekretariatan;
Sehubungan dengan rumusan-rumusan hasil rapat pleno kamar tersebut, disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Menjadikan rumusan hukum hasil rapat pleno kamar tahun 2012, sampai dengan tahun 2017, sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan seluruh rumusan hukum tersebut diberlakukan sebagai pedoman dalam penanganan perkara di Mahkamah Agung dan pengadilan tingkat pertama dan banding sepanjang substansi rumusannya berkenaan dengan kewenangan peradilan tingkat pertama dan banding;
2. Rumusan hukum hasil pleno kamar tahun 2012 sampai dengan tahun 2016 yang secara tegas dinyatakan direvisi atau secara substansi bertentangan dengan rumusan hasil pleno kamar tahun 2017, rumusan hukum tersebut dinyatakan tidak berlaku.
Demikian untuk diperhatikan dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
KETUA MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK Indonesia
Ttd
M. HATTA ALI

Rumusan Hukum
RAPAT PLENO KAMAR MAHKAMAH AGUNG
TAHUN 2017
Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung diikuti oleh anggota Kamar Pidana, Kamar Perdata, Kamar Agama, Kamar Militer, dan Kamar Tata Usaha Negara, dilaksanakan pada tanggal 22—24 November 2017, telah menghasilkan rumusan hukum sebagai berikut:
A. RUMUSAN HUKUM KAMAR PIDANA:
1. Tentang perlindungan hukum terhadap pihak ketiga yang beritikad baik berkaitan dengan penyitaan penuntut umum terhadap suatu benda / barang dalam perkara tindak pidana korupsi.
Bagi pihak ketiga yang beritikad baik sebagai pemegang Hak Tanggungan, atau hak keperdataan lainnya atas benda / barang yang disita oleh penuntut umum dalam perkara tindak pidana korupsi, dapat menggunakan sarana hukum sebagaimana diatur Pasal 19 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sedangkan bagi mereka yang masih memerlukan pembuktian hak keperdataannya, dapat menempuh proses gugatan perdata.
2. Tentang Perkara Tindak Pidana Narkotika.
a. Dalam hal penuntut umum tidak mendakwakan Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tetapi fakta hukum yang terungkap di persidangan ternyata terdakwa terbukti sebagai Penyalah-Guna Narkotika Golongan 1 bagi dirinya sendiri, Mahkamah Agung tetap konsisten pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 03 Tahun 2015 angka 1, sebab selain hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara tetap mendasarkan putusannya pada fakta hukum yang terbukti di persidangan, musyararah juga harus didasarkan atas surat dakwaan sebagaimana dimaksud Pasal 182 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP.
b. Dalam hal terdakwa tidak tertangkap tangan sedang memakai narkotika dan pada terdakwa ditemukan barang bukti narkotika yang jumlahnya / beratnya relatif sedikit (sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2009 juncto Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2010) serta tes urine terdakwa positif mengandung Metamphetamlne, namun penuntut umum tidak mendakwakan Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, maka perbuatan Terdakwa tersebut dapat dikategorikan sebagai Penyalah-Guna Narkotika Golongan I bagi diri sendiri, sedangkan kualifikasi tindak pidananya tetap mengacu pada surat dakwaan.
c. Bahwa bunyi amar putusan kasasi jika Pasal dakwaan yang terbukti berubah pada tingkat kasasi, adalah “Tolak Kasasi dengan Perbaikan”, apabila:
1) Terdakwa yang mengajukan kasasi mohon keringanan hukuman, tetapi putusan kasasi memperberat hukuman Terdakwa.
2) Penuntut Umum yang mengajukan kasasi mohon hukuman Terdakwa diperberat, tetapi putusan kasasi hukuman Terdakwa diperingan.
3) Hukuman Terdakwa diperberat atau diringankan dan merubah pasal yang terbukti.
3. Tentang Pembebanan Biaya Perkara terhadap Terdakwa yang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.
Menurut Pasal 222 Ayat (1) KUHAP, siapa pun yang diputus pidana dibebani membayar biaya perkara, kecuali dalam hal putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, biaya perkara dibebankan pada Negara, dan sesuai Pasal 10 KUHP bahwa pembebanan biaya perkara kepada Terdakwa bukanlah merupakan jenis hukuman, namun atas dasar peri-kemanusiaan dan keadilan yang bermartabat, maka kepada Terdakwa yang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, biaya perkara tersebut diambil-alih dan dibebankan kepada Negara.
4. Tentang Penyebutan “Terdakwa” ataukah “Anak”.
Bahwa penyebutan terhadap Pelaku Tindak Pidana Anak bukan “Terdakwa”, tetapi “Anak”, demikian juga Anak yang menjadi korban tindak pidana, bukan disebut saksi korban tetapi “Anak Korban”, dan anak yang menjadi saksi disebut dengan “Anak Saksi” agar sesuai dengan Pasal 1 angka 3 juncto Pasal 1 angka 4 juncto Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
5. Tentang Penjatuhan Pidana Minimal terhadap Pelaku Tindak Pidana Anak dan Orang Dewasa tetapi Korbannya Anak.
a. Bahwa apabila Pelakunya “Anak”, maka tidak berlaku ketentuan minimal ancaman pidana (Pasal 79 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012).
b. Bahwa apabila pelakunya sudah dewasa, sedangkan korbannya Anak, maka dilihat secara kasuistis, Majelis Hakim dapat menjatuhkan pidana dibawah minimal, dengan pertimbangan khusus antara lain:
1) Ada perdamaian dan terciptanya kembali harmonisasi hubungan antara Pelaku / Keluarga Pelaku dengan Korban / Keluarga Korban, dengan tidak saling menuntut lagi bahkan sudah menikah antara Pelaku dan Korban, atau perbuatan dilakukan suka sama suka. Hal tersebut tidak berlaku apabila perbuatan dilakukan oleh ayah terhadap anak kandung / tiri, guru terhadap anak didiknya.
2) Harus ada pertimbangan hukum dilihat dari aspek yuridis, filosofis, sosiologis, edukatif, preventif, korektif, represif, dan rasa keadilan.
6.Tentang Ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
a. Bahwa pengertian Sidang adalah Sidang di Tingkat Pertama.
b. Apabila pelaku tindak pidananya memenuhi ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 pada saat sidang di Tingkat Pertama, maka baik Register, Hukum Acara, termasuk Tahanan, mengikuti Hukum Acara Pidana Anak. Demikian juga di tingkat Banding dan Kasasi, walaupun pelaku (Anak) pada saat pengajuan dan pemeriksaan di tingkat Banding dan Kasasi telah berusia di atas 21 (dua puluh satu) tahun, tetap diregister dan diperiksa dengan mengikuti Hukum Acara Pidana Anak.
7. Tentang Pidana Bersyarat.
Bahwa apabila dijatuhi pidana bersyarat (masa percobaan), harus diikuti dengan syarat khusus, yaitu:
a. Bahwa masa pidana dengan syarat khusus lebih lama daripada masa pidana dengan syarat umum, tetapi paling lama 3 (tiga) tahun.
b. Di dalam amar putusan yang disertai syarat khusus, harus dicantumkan ketentuan sebagaimana dalam Pasal 73 Ayat (7), yaitu: “Selama menjalani masa pidana dengan syarat, Penuntut Umum melakukan pengawasan dan Pembimbing Kemasyarakatan melakukan pembimbingan, agar Anak menepati persyaratan yang telah ditetapkan”.
c. Syarat khusus untuk pidana bersyarat terhadap pidana Anak hendaknya bersifat konstruktif, tidak menghambat proses belajar, serta tidak menghambat perkembangan psikis Anak, dan tidak menyulitkan proses pelaksanaannya.
d. Dalam hal menjatuhkan pidana terhadap Anak yang masih sekolah, maka pidana pelatihan kerja sebagai Pengganti Pidana Denda agar dilaksanakan diluar jam sekolah dan dilaksanakan di Balai Latihan Kerja atau di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) setempat atau terdekat di tempat tinggal Anak.
8. Tentang Sanksi Kumulasi berupa Penjara dan Denda.
a. Bahwa dalam hal sanksi kumulasi berupa penjara dan denda, maka penjatuhan pidana cukup pidana penjara dan pelatihan kerja tanpa pidana denda, sebab Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang baru, tidak ada lagi pidana denda (Pasal 71 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).
b. Bahwa lamanya pelatihan kerja minimal 3 (tiga) bulan dan maksimal 1 (satu) tahun (Pasal 78 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).
9. Tentang Ketentuan Diversi.
a. Bahwa untuk ancaman pidana dibawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana, wajib diupayakan Diversi.
b. Bahwa walaupun Diversi tidak berhasil, harus dibuat Berita Acara bahwa Diversi tidak berhasil.
c. Bahwa karena tidak diupayakan Diversi, sering dijadikan alasan untuk mengajukan kasasi, oleh karena itu meskipun tidak ada sanksi bila Diversi tidak dilakukan dan tidak mengakibatkan putusan batal demi hukum, Diversi harus tetap diupayakan karena bersifat wajib (Pasal 3 Perma Nomor 4 Tahun 2014 juncto Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012).
d. Pengadilan Negeri hendaknya mencantumkan di dalam pertimbangan putusannya tentang hasil Litmas dari Bapas dan hasil dari Diversi (minimal memuat saran dari Litmas dari Bapas) dan Diversi.
e. Dalam hal Diversi ditingkat penuntutan masih berjalan, Penuntut Umum telah melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri karena masa penahanan hampir berakhir, selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri menetapkan Hakim / Majelis Hakim Anak untuk menyidangkan, dan Hakim / Majelis Hakim Anak mengupayakan Diversi namun para pihak yang diharapkan dapat melakukan Diversi tidak datang, sehingga dalam Berita Acara dicatat bahwa Diversi tidak berhasil dan pemeriksaan persidangan dilanjutkan, namun ketika pemeriksaan persidangan berjalan ada permintaan dari Penuntut Umum kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menetapkan bahwa Diversi yang dilakukan oleh Penuntut Umum sebelum berkas dilimpahkan ke Pengadilan Negeri telah berhasil, maka terhadap hal tersebut, sikap Pengadilan Negeri adalah sebagai berikut:
1) Ketua Pengadilan Negeri wajib menerbitkan Penetapan Diversi atas permintaan Penuntut Umum dan Penetepan Diversi tersebut diserahkan kepada Hakim / Majelis Hakim Anak yang menangani perkara Anak tersebut.
2) Setelah Hakim / Majelis Hakim Anak menerima Penetapan Diversi tersebut, maka Hakim / Majelis Hakim Anak menyikapinya, sebagai berikut:
a) Apabila terhadap perkara tersebut belum sampai pada tahap proses pemeriksaan, maka Hakim / Majelis Hakim Anak membuat Penetapan Menghentikan Pemeriksaan.
b) Apabila sudah sampai pada tahap proses pemeriksaan persidangan, maka Hakim / Majelis Hakim Anak memutus perkara tersebut dengan putusan akhir dengan amar putusan : Menetapkan pihak-pihak untuk mentaati kesepakatan Diversi, menetapkan status barang bukti, perintah mengeluarkan Anak dari tahanan apabila Anak ditahan, dan biaya perkara dibebankan kepada Negara.
10. Dalam hal perkara pidana diajukan oleh Penuntut Umum dengan Terdakwa Dewasa, kemudian dalam pemeriksaan di persidangan ditemukan fakta bahwa Terdakwa tersebut masih Anak, maka terhadap hal tersebut Hakim Pengadilan Negeri memutus perkara dengan menyatakan dakwaan Penuntut Umum tidak dapat diterima. Terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut, upaya hukumnya ialah banding, dan apabila dalam putusan banding memerintahkan agar Pengadilan Negeri melanjutkan pemeriksaan pokok perkara, maka Hakim Pengadilan Negeri harus melaksanakannya.
B. RUMUSAN HUKUM KAMAR PERDATA.
1. PERDATA UMUM:
a. Penetapan konsinyasi berdasarkan PERMA Nomor 3 Tahun 2016, tidak ada upaya hukum apapun karena bersifat administarsi.
b. Gugatan Pengosongan yang diajukan Pemerintah, terhadap mantan Pejabat atau ahli warisnya, yang menguasai rumah dinas / jabatan milik negara, terdaftar atas nama Kementerian / Kelembagaan Negara, baik pusat maupun daerah, tanpa persetujuan Pemerintah (Penggugat), bukan merupakan gugatan kurang pihak, meskipun pihak lain yang menguasai objek sengketa itu tidak ikut digugat.
c. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013, maka dalam amar putusan perkara perceraian, sekurang-kurangnya memuat perintah kepada Panitera untuk mengirimkan salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, kepada Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil, di tempat peristiwa perkawinan dilangsungkan dan tempat terjadinya perceraian.
d. Hak ibu kandung untuk mengasuh anak dibawah umur setelah terjadinya perceraian dapat diberikan kepada ayah kandung sepanjang pemberian hak tersebut memberikan dampak positif terhadap tumbuh kembang anak dengan mempertimbangkan juga kepentingan / keberadaan / keinginan si anak pada saat proses perceraian.
e. Dalam hal hakim mengabulkan petitum untuk membayar sejumlah uang dalam mata uang asing, maka dalam diktum amar harus memuat pula perintah kepada Tergugat untuk melakukan konversi kedalam mata uang rupiah sesuai “Kurs Tengah” yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada hari dan tanggal pelaksanaan pembayaran dilakukan (vide Pasal 21 Ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang).
2. PERDATA KHUSUS.
a. Hak Kekayaan Intelektual.
1) Gugatan pembatalan merek terkenal dengan alasan iktikad tidak baik, secara formil dapat diterima tanpa batas waktu. (vide Pasal 21 Ayat (3) dan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis).
2) Rumusan Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung RI Tahun 2015 sebagaimana tercantum dalam Lampiran SEMA Nomor 3 Tahun 2015 tanggal 29 Desember 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015, pada huruf B angka 2 (d) tentang gugatan pembatalan terhadap merek terkenal yang tidak sejenis dinyatakan tidak berlaku, setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis juncto Permenkumham Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek (vide Pasal 21 Ayat (1) huruf c dan Ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 juncto Pasal 16 ayat (2) huruf c juncto Pasal 19 Ayat (2) dan (3) Permenkumham Nomor 67 Tahun 2016).
3) Terhadap gugatan pembatalan merek yang didaftarkan di pengadilan sebelum tanggal 25 November 2016 tunduk pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, sedangkan terhadap gugatan pembatalan merek yang didaftarkan di pengadilan pada dan/atau setelah tanggal 25 November 2016 tunduk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (vide Pasal 105 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis).
4) Hari Kerja (vide Pasal 1 Angka 22 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis) digunakan untuk menyelesaikan proses administrasi di Kementerian Hukum dan HAM, sedangkan hari kalender (vide Pasal 85 dan seterusnya juncto Penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016) digunakan untuk menghitung proses peradilan tingkat pertama dan tingkat kasasi / peninjauan kembali.
b. Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
1) a) Tenaga Kerja Asing (TKA) dapat dipekerjakan di Indonesia hanya untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
b) Tenaga Kerja Asing (TKA) yang dilindungi, hanya Tenaga Kerja Asing (TKA) yang telah memiliki Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA).
c) Tenaga Kerja Asing (TKA) yang jangka waktu IMTA-nya telah berakhir, namun PKWT-nya masih berlaku, sisa waktu PKWT tidak lagi mendapat perlindungan hukum.
[Komentar SHIETRA & PARTNERS: Mahkamah Agung RI seakan tidak mau belajar dari pengalaman buruk disalah-gunakannya rezim perizinan IMTA olah kalangan Pengusaha, dimana IMTA bermula dari RPTKA yang merupakan domain / tanggung jawab pihak Pengusaha, bukan tanggung jawab Tenaga Kerja Asing untuk mengurus, memohonkan, dan memperpanjang.]
[Dengan alasan IMTA telah habis masa berlakunya, sama artinya memberi kekuasaan mutlak bagi kalangan Pengusaha untuk memutus kontrak kerja Pekerjanya secara sepihak, sebagai mekanisme legal praktik penyelundupan hukum. Selengkapnya, lihat kasus modus PHK terselubung terhadap TKA, sebagaimana tragedi yang dapat dijumpai dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor 34 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 3 Maret 2016, perkara antara: CHAN KOK PENG Vs. PT. REBINMAS JAYA.]
2) Perselisihan mengenai pembatalan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang dibuat oleh Serikat Pekerja / Serikat Buruh (SP/SB) dengan Pengusaha (Pemberi Kerja) termasuk dalam pengertian perselisihan hak yang merupakan kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), (vide Pasal 56 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).
[Komentar SHIETRA & PARTNERS: Bukankah perselisihan perihal penafsiran syarat-syarat kerja merupakan kualifikasi “perselisihan kepentingan” (tertutup upaya hukum banding maupun kasasi), mengapa Mahkamah Agung mengkategorikannya sebagai “perselihan hak” yang masih terbuka upaya hukum kasasi?]
C. RUMUSAN HUKUM KAMAR AGAMA.
Dalam amar penetapan hak asuh anak, harus mencantumkan kewajiban hak asuh anak (untuk) memberi akses kepada orang tua yang tidak memegang hak asuh anak, untuk bertemu dengan anaknya. Dalam pertimbangan hukum, majelis hakim harus pula mempertimbangkan bahwa tidak memberi akses kepada orang tua yang tidak memegang hak asuh anak, dapat dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan pencabutan hak asuh anak.
D. RUMUSAN HUKUM KAMAR MILITER.
1. Tentang perbuatan prajurit membawa, menyimpan, atau menguasai amunisi sisa latihan.
Perbuatan prajurit yang membawa, menyimpan, atau menguasai amunisi sisa latihan dengan maksud untuk digunakan dalam latihan kesatuan berikutnya, dan tidak ternyata untuk melakukan kejahatan, bukan merupakan kejahatan tentang senjata api. Perbuatan tersebut merupakan pelanggaran terhadap tata tertib kesatuan (Melanggar Perintah Atasan), karena keberadaan amunisi tersebut merupaakn hak kelengkapan setiap prajurit.
2. Tentang Penggunaan Surat Telegram Panglima TNI dalam penjatuhan pidana tambahan pemecatan.
Surat Telegram Panglima TNI Nomor ST/574/2013 tanggal 24 Mei 2013 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Nark0tika atau Surat Telegram Panglima TNI Nomor STK/198/2005 tanggal 1 April 2005 tentang Pelanggaran Kesusilaan, bukan merupakan dasar hukum bagi Judex Facti untuk menjatuhkan pidana tambahan pemecatan, melainkan sebagai aturan internal kesatuan, yang dapat digunakan sebagai pertimbangan keadaan-keadaan memberatkan penjatuhan pidana tambahan pemecatan.
3. Tentang Penjatuhan Pidana Pemecatan terhadap Prajurit telah Pensiun atau Memasuki Masa Persiapan Pensiun (MPP).
Penjatuhan pidana tambahan pemecatan, tidak dijatuhkan terhadap prajurit yang telah pensiun atau memasuki masa persiapan pensiun (MPP) meskipun tindak pidananya dilakukan ketika masih berdinas aktif. Penjatuhan pidana tersebut tidak mencerminkan prinsip keadilan dan kemanfaatan, dan secara hukum administratif personil akan sulit untuk diproses.
4. Tata cara pengaduan terhadap tindak pidana bagai prajurit dalam penugasan Operasi Militer.
Pengaduan bagi prajurit yang sedang menjalankan tugas operasi militer disampaikan kepada Polisi Militer kewilayahan atau Polisi Militer Mobile. Apabila pengaduan seperti tersebut diatas tidak dapat dilakukan, maka pengaduannya disampaikan kepada komandan / atasannya dan komandan / atasan tersebut wajib meneruskannya kepada Polisi Militer dengan tetap memperhatikan tenggang-waktu pengaduan sesuai dengan ketentuan Pasal 74 Ayat (1) KUHP. Pengaduan (terhadap) prajurit tersebut dihitung sebagai awal perhitungan kadaluarsa.
5. Tentang Pemeriksaan perkara Desersi In Absensia di Pengadilan Militer.
Persidangan perkara desersi in absentia perlu ditentukan batas waktu paling lama 5 (lima) bulan, setelah dipanggil sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut secara sah dan patut, setelah diperolah kepastian bahwa Terdakwa tidak kembali lagi ke kesatuan berdasarkan surat keterangan dari komandan kesatuan, untuk memenuhi asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta mewujudkan ketertiban administrasi personil militer di kesatuan.
E. RUMUSAN HUKUM KAMAR TATA USAHA NEGARA.
1. Pilihan Hukum dalam Hal Terjadi Benturan Kaidah Hukum Substantif dengan Kaidah Hukum Formal.
Bila terjadi benturan antara kaidah hukum susbtantif dengan kaidah hukum formal secara kasuistis, dalam hal kepastian hak atau status hukum seseorang yang telah jelas melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, baik melalui putusan pengadilan perdata, putusan pengadlan pidana ataupun putusan pengadilan tata usaha negara, maka dengan pertimbangan:
a. Tujuan hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) adalah dalam rangka melakukan harmonisasi rechtmatigheid beginsel dan doelmatigheid beginsel menuju tujuan utama kebenaran materiil, sesuai teori spannungsverhaltnis (prioritas baku) dari Gustav Radbruch.
b. Fungsi hukum formal / hukum acara adalah untuk menegakkan / mempertahankan kaidah hukum materiil / substantif.
c. Mengingat asas hukum Una Via, hakim harus memilih satu cabang hukum yang lebih memihak keadilan.
d. Ketentuan dalam Pasal 24 UUD NKRI Tahun 1945 bahwa kekuasaan kehakiman adalah bertujuan menegakkan hukum dan keadilan.
Adalah dipandang lebih tepat dan adil apabila Hakim PERATUN lebih mengutamakan keadilan substantif dibandingkan keadilan formal. Contoh:
1) Majelis Hakim Peninjaun Kembali (PK) memenangkan Pemohon PK yang telah dipastikan oleh putusan pengadilan perdata yang berkekuatan hukum tetap (BHT) sebagai pemilik hak atas tanah, walaupun secara formal (gugatan TUN) dikalahkan di tingkat kasasi, karena terlambat mengajukan kasasi (dalam perkara TUN).
2) Majelis Hakim PK memenangkan Termohon PK (Menteri Dalam Negeri) yang menerbitkan surat keputusan pemberhentian seorang Bupati yang dijatuhi pidana penjara karena melakukan tindak pidana penyalah-gunaan nark0tika, walaupun tidak ada usulan pemberhentian dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan pendapat hukum dari Mahkamah Agung tentang usulan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, karena dengan penafsiran rechtsverfijning (penghalusan hukum) hak terpidana untuk membela diri telah diberikan dalam persidangan perkara pidana.
2) Sengketa Tata Usaha Negera Mengenai Upah Minimum Regional (UMR).
Dalam hal sengketa tata usaha negara menyangkut Upah Minimum Regional (UMR), perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Objek gugatan dalam bentuk surat keputusan gubernur / bupati / walikota, biasanya adalah berupa beschikking / keputusan pejabat pemerintahan atau peraturan kebijakan (beleidsregel / pseudo wetgeving), adalah menjadi kewenangan absolut PERATUN.
[Komentar SHIETRA & PARTNERS: Keputusan Kepala Daerah terkait besaran UMR/S, merupakan peraturan perundang-undangan, sama seperti Perda lainnya, karena bersifat “umum” dan “abstrak”, bukan ditujukan bagi pengusaha atau pekerja tertentu, dan berlaku bukan satu kali selesai. Yang termasuk keputusan berupa beschikking, hanyalah kebijakan penangguhan upah minimum bagi pengusaha tertentu.]
[Keberatan kedua penulis, HUM (hak uji materiil) ke Mahkamah Agung, bersifat final dan berkekuatan hukum tetap. Bandingkan bila Keputusan Gubernur menjadi objek Pengadilan Tata Usaha Negara, maka bila pemerintah mengajukan upaya hukum banding hingga kasasi, maka putusan PTUN sejatinya tidak bersifat “serta-merta”, sehingga tiada artinya lagi sekalipun gugatan kalangan buruh dikabulkan PTUN, sebagaimana halnya kemenangan gugatan buruh Vs. Pemda DKI Jakarta atas Keputusan Gubernur terkait UMR 2017—2018.]
b. Sengketa tata usaha negara terhaap UMR tersebut sedapat mungkin diselesaikan dalam waktu yang dipercepat (court calendar), agar ada kepastian hukum bagi pihak-pihak bersengketa, mengingat keputusan UMR hanya berlaku satu tahun dan bersifat einmalig (berlaku sekali selesai).
[Mahkamah Agung kembali membuat kekeliruan persepsi. Keputusan UMR, dapat berlaku terus-menerus sepanjang pemerintah tidak membuat kebijakan besaran UMR pada tahun berikutnya. Sama seperti APBN/D, bila tidak ditetapkan dalam tahun anggaran berikutnya, maka dimaknai sebagai memakai skema APBN/D tahun anggaran sebelumnya.]
3. Upaya Administratif dan Kompetensi Relatif Pengadilan Tata Usaha Negara.
Sehubungan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP), terutama ketentuan Pasal 1 angka 18, Pasal 75, dan Pasal 76 undang-undang tersebut, maka perlu dicermati hal-hal sebagai beriktu:
a. Berdasarkan ketentuan Pasal 75 ayat (1) UU AP, warga masyarakat yang dirugikan oleh keputusan / tindakan pejabat pemerintahan, dapat mengajukan upaya administratif dalam bentuk keberatan dan banding.
b. Upaya keberatan diajukan kepada pejabat pemerintahan yang menerbitkan keputusan / melakukan tindakan.
c. Upaya administratif dalam bentuk banding diajukan kepada atasan pejabat pemerintahan yang mengeluarkan keputusan / melakukan tindakan.
d. Upaya administratif dalam bentuk keberatan / banding sesuai ketentuan Pasal 75 ayat (1) UU AP adalah berbentuk pilihan hukum, karena UU AP memakai terminologi kata “DAPAT”.
e. Dalam hal warga masyarakat tidak menerima atas penyelesaian banding, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara sesuai ketentuan Pasal 1 Angka 18 dan Pasal 76 Ayat (3) UU AP.
f. Ketentuan Pasal 58 dan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, mengenai kompetensi Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negera sebagai pengadilan tingkat pertama, tidak dapat diterapkan lagi, karena persoalan hukum tentang upaya administratif telah diatur secara berbeda oleh peraturan perundang-undangan yang baru, yakni ketentuan Pasal 1 Angka 18, Pasal 75 Ayat (1), dan Pasal 76 UU AP, sesuai asas lex posteriori dengan lex priori.
4. Permohonan Fiktif-Positif dan Gugatan Fiktif-Negatif.
a. Berdasarkan ketentuan Pasal 53 UU AP yang mengatur mengenai permohonan fiktif-positif, maka ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 mengenai gugatan fiktif-negatif, tidak dapat diberlakukan lagi, karena akan menimbulkan ketidak-pastian hukum tentang tata cara penyelesaian permasalahan hukum yang harus ditetapkan oleh PERATUN.
b. Oleh karena ketentuan Pasal 53 UU AP dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 mengatur permasalahan hukum yang sama, yaitu tata cara pemberian perlindungan hukum bagi warga masyarakat untuk memperoleh keputusan pejabat pemerintahan, dan juga dalam rangka mendorong kinerja birokrasi agar memberikan pelayanan prima (excellent service), atas dasar prinsip lex posteriori derogat lex priori.
Bahwa tentang permohonan fiktif-negatif sebagaiana diatur dalam PERMA No. 8 Tahun 2017 sebagai pengganti Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2015.”
Catatan penutup SHIETRA & PARTNERS:
Seperti yang sudah-sudah, berbagai kaedah yang diangkat dalam SEMA No. 1 Tahun 2017 tersebut diatas pun, kelak akan dibantah sendiri oleh Mahkamah Agung RI lewat SEMA-SEMA susulan selanjutnya, “SEMA yang seumuran jagung” (sejak tahun 2012 hingga tahun 2015, telah berulang kali SEMA satu dikoreksi oleh SEMA selanjutnya), memperlihatkan kurang matangnya kajian akademik para Hakim Agung sebelum menyepakati kaedah norma untuk dibakukan lewat medium SEMA, dan mengikat publik.
Namun, terlepas dari kontroversi dan segala ketidak-sempurnaannya, berbagai kaedah norma dalam SEMA Nomor 1 Tahun 2017 diatas, cukup elaboratif dan memang selama ini cukup dibutuhkan masyarakat para pencari keadilan. Setidaknya, ketegasan sikap Lembaga Yudikatif, dalam hal ini Mahkamah Agung RI, cukup mendapat apresiasi atas kinerja dan prestasinya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.