Tidak Selamanya Persekusi Melanggar Hukum

ARTIKEL HUKUM
Sebagai negara hukum, tentunya dan sebagai warga negara yang baik, kita tunduk juga patuh pada hukum yang berlaku di negara ini pada saat suatu waktu aktual, yang dalam terminologi hukumnya disebut sebagai “hukum positif”.
Bila terjadi pelanggaran hukum, maka ditempuh mekanisme aduan berupa laporan kepada pihak berwajib ataupun berupa gugatan perdata, tidak dapat serta-merta “main hakim sendiri”, atau yang lebih tren diistilahkan sebagai “persekusi” (berangkat dari akar kata “persecution” dalam Bahasa Inggris yang sejatinya memiliki makna lebih luas dan lebih keras derajatnya dari sekadar “main hakim sendiri”).
Apa yang disebut diatas, sejatinya semua orang sudah tahu, dan tidak perlu diurai secara lebih panjang lebar, sebab sejatinya setiap orang dewasa berakal sehat, tahu diri mereka hidup di negara hukum, lengkap dengan mekanisme hukum materiil maupun hukum formil (hukum acara) yang mengikat setiap subjek hukum selaku pengemban hukum (pengemban hak dan kewajiban).
Karena sejatinya setiap warga negara setara dan sederajat harkat dan martabatnya di mata hukum, maka tidak dapat dibenarkan aksi main hakim sendiri seolah dirinya berhak menjadi regulator, hakim, sekaligus sebagai eksekutor-nya. Namun, realita fakta lapangan tidak pernah sesederhana teori ataupun wacana naif demikian.
Berbagai faktor non-ideal mewarnai penerapan hukum dalam implementasi di keseharian warga negara. Sejatinya postulat diatas, berangkat dari asumsi yang sama sekali “naif”, bahwa faktor-faktor supra-hukum (seperti lembaga pembentuk undang-undang, polisi, hakim dan jaksa), bahu-membahu mengusung dan mewujudkan konsepsi “negara berdasarkan hukum”, alias “the rule of law”.
Dengan kata lain, para penegak hukum, lembaga pembentuk undang-undang, maupun lembaga kehakiman dan lembaga kejaksaan, diasumsikan bekerja secara efektif dan efisien sehingga tercipta mekanisme ekuilibrium yang membawa keseimbangan tarik-menarik kepentingan sosial di tengah masyarakat yang senantiasa bersitegang dan dorong-mendorong.
Ada yang menyebutkan, perilaku “main hakim sendiri” tidaklah bermoral, wujud sakitnya mental / budaya bangsa. Benarkah demikian? Sekali lagi, kita tidak boleh berangkat dari asumsi bahwa faktor-faktor suprastruktur hukum berada dalam titik ideal yang besar kemungkinan realitanya jauh dari kenyataan, seperti faktor kepolisian, faktor kejaksaan, faktor lembaga kehakiman, hingga faktor peraturan perundang-undangan itu sendiri yang tidak tertutup kemungkinan justru ditengarai sebagai “agen kejahatan” (yang oleh Roberto Unger dalam critical legal studies, justru ditengarai memiliki motif meragukan).
Penulis merupakan salah satu dari segelintir sarjana hukum yang memandang bahwa tidak selamanya “main hakim sendiri” (eigenrichting) adalah melanggar hukum, dan tidak selamanya pula persekusi dipandang tidak bermoral. Pandangan penulis demikian memang tidak populer ditengah teori ilmu hukum kontemporer, namun bukan berarti penulis tidak dapat membuktikan kebenaran dibalik teori usang yang sudah ada untuk diperbaiki dan ditelaah “cacat bawaan lahirnya”, untuk kemudian menawarkan konsep yang lebih komprehensif sebagai sebentuk “sintesa” baru.
Hegel, sang pencetus konsep dialektika, menggunakan konsepsi “tesa”—“antitesa”—“sintesa”. Anggaplah pandangan minoritas yang diadopsi penulis berikut ini merupakan “antitesa” dari pandangan umum bahwa “main hakim sendiri” selalu berkonotasi melanggar hukum atau bertentangan dengan sendi-sendi negara hukum.
Sebenarnya, teori ilmu hukum pidana klasik sudah memberi banyak contoh konkret kebolehan “main hakim sendiri”, namun selama ini para sarjana hukum maupun para penegak hukum hanya sekadar menghafal kisah-kisah tersebut tanpa pernah merealisasikannya dalam praktik karena kurangnya pemahaman mereka akan falsafah dibalik “main hakim sendiri”, antara kebolehan dan larangannya.
Berikut salah satu petikan kisah klasik yang penulis maksud. Alkisah dua orang pria dewasa terdampar di lautan, akibat kapal yang mereka tumpangi karam tepat di tengah lautan luas. Hanya terdapat satu papan pelampung, dimana papan pelampung tersebut hanya cukup memuat satu orang dewasa.
Kedua orang dewasa tersebut mencoba untuk menaiki papan pelampung, namun papan pelampung selalu terbalik ketika keduanya berada diatas papan tersebut. Timbul pertanyaan problematik: siapa yang paling berhak atas papan pelampung tersebut? Harus ada salah satu yang hidup, karena bila tiada keputusan apapun, maka keduanya yang akan mati menjadi mangsa hiu-hiu yang kelaparan atau setidaknya mati tenggelam secara mengenaskan.
Lantas, apakah keliru bila pria pertama kemudian membunuh pria kedua, sehingga pria pertama dapat menaiki papan pelampung dan dapat selamat meski dengan pengorbanan pria kedua? Mohon maaf bagi kaum “sok moralis”, kita bicara secara rasional. Daripada dua orang tewas, alangkah baiknya bila salah satu diantaranya tetap hidup. Tiada yang ideal di Indonesia yang masih jauh dari kata “beradab” ini, bukankah demikian?
Buang jauh-jauh asumsi bahwa suprastruktur hukum telah ideal dan telah lengkap nan sempurna. Struktur hukum di Indonesia masih dari kata ideal, terlebih untuk disamakan dengan praktik para penegak hukum di Amerika Serikat yang efektif dan efisien melindungi segenap warga negaranya.
Kisah kedua berikut juga merupakan kisah klasik yang sejatinya tertuang dalam hukum pidana materiil. Alkisah seseorang pria “hidung belang” mencoba melakukan tindak pidana asusila terhadap seorang wanta. Sang suami dari wanita tersebut kemudian menikam sang pelaku guna menyelamatkan sang wanita, dengan sebilah pisau tepat di ulu hati sang pelaku. Pelaku tewas si tempat seketika itu juga.
Dipidanakah si pelaku karena “main hakim sendiri”? Selalu dapat dijumpai pengecualian terhadap aturan-aturan normatif hukum. Salah satu contohnya ialah konsep “alasan pemaaf” dan “alasan pembenar” dalam hukum pidana yang juga telah diakomodasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Namun, terdapat sebuah teori klasik yang tidak pernah mendapat sentuhan elaborasi, juga tidak pernah mendapat kesempatan untuk dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, terlebih putusan pengadilan. Teori klasik apakah yang penulis maksud, dan seperti apakah teori tersebut dapat diimplementasi serta diaplikasikan secara relevan?
Itulah isu yang paling penting dan paling menarik, namun disayangkan: hampir tidak pernah mendapat sentuhan perhatian, baik oleh pihak berwajib, penegak hukum, hakim, bahkan hingga Lembaga Legislatif selaku penyusun undang-undang—seakan takut atau bahkan malas untuk mengelaborasi isu yang sejatinya mendesak untuk diakui dan diakomodir—karena bila diakui sama artinya membuka “borok” sendiri dan mengakui ketidak-becusan negara dalam melindungi warga masyarakatnya, sehingga tidak heran bila wacana ini kemudian seakan di-“tabu”-kan.
Dalam teori, larangan “main hakim sendiri” setidaknya mengundang dua pandangan. Ada yang mengatakan tindakan menghakimi sendiri itu sama sekali tidak dibenarkan (van Boneval Faure). Alasannya, hukum acara perdata telah menyediakan prosedur untuk memperoleh perlindungan hukum bagi para pihak melalui pengadilan, maka segala bentuk tindakan yang diluar prosedur hukum, dilarang [Note Penulis: berangkat dari asumsi bahwa polisi, jaksa, dan hakim pasti / dijamin akan menindak-lanjuti laporan warga]. Pandangan demikian, menurut Sudikno Mertokusumo, telah ditinggalkan. Pandangan yang lebih moderat menyatakan, tindakan menghakimi sendiri pada asasnya tidak dibenarkan, akan tetapi bilamana peraturan yang ada tidak cukup memberi perlindungan, maka tindakan menghakimi sendiri itu secara ‘tidak tertulis’ dibenarkan (Rutten). (Dikutip dari Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hlm. 3.)
Tampaknya paham keempat akan dibentuk sendiri oleh penulis. Ilustrasi berikut dapat menjadi cerminan yang mewakili: Seorang warga mendapat teror dan ancaman dari tetangganya. Setelah berulang kali melapor dan mengadukan kepada pihak berwajib, sama sekali tidak mendapat tanggapan sebagaimana mestinya. Terkesan ditelantarkan, diabaikan, dan tidak ditindak-lanjuti oleh aparatur kepolisian. Bahkan, tidak jarang, justru korban pelapor diperas berbagai pungutan liar oleh kepolisian, bagai “sapi perahan”.
Merasa tidak mendapat perlindungan hukum, si pelapor menyerah pada proses prosedural hukum yang tenyata tidak efektif, bahkan membuang waktu dan tenaga, dan seketika itu juga meraih gagang belati, lalu menuju kediaman si pelaku, untuk seketika menghabisi nyawa si pelaku peneroran. Siapa yang sejatinya telah mengabaikan dan melakukan kejahatan? Apakah si korban yang kemudian menjadi pelaku pembunuhan, patut dijadikan sebagai “kambing hitam” oleh lembaga yang semestinya paling berwajib untuk merespon setiap aduan warga serius, bukan justru mempermainkan?
Ilustrasi kasus keempat berikut benar-benar terjadi dan dialami sendiri oleh penulis secara pribadi. Seorang tetangga membakar sampah sembarangan setiap harinya, mengakibatkan polusi udara yang merugikan kesehatan keluarga penulis, yang juga melanggar Peraturan Daerah DKI Jakarta perihal larangan membakar sampah sembarangan (bersanksi pidana namun dipungkiri kepolisian di Jakarta). Kejadian demikian terus terjadi hingga mencapai satu tahun lamanya, karena selama ini penulis biarkan dan beri toleransi.
Mengingat teguran tidak juga efektif, suatu ketika penulis menyiram pembakaran sampah tersebut agar asap berhenti mengepul. Tetangga tersebut tidak senang, lalu melempari rumah penulis dengan batu sehingga mengalami kerusakan properti, bahkan mendatangi depan rumah penulis sembari membawa parang dan mengancam akan membunuh penulis.
Tepat sehari sesudahnya, penulis mengajukan laporan pengaduan tindak pidana “perusakan properti” dan delik “mengancam dengan kekerasan”. Pihak Polres Jakarta Barat menolak membuat surat keterangan laporan pidana. Setelah memakan waktu setengah hari lamanya, berdebat tidak kurang dengan lima orang perwira senior kepolisian di Kantor Polisi tersebut, barulah mereka akui kejadian demikian adalah tindak pidana—dimana sebelumnya mereka bersikukuh bahwa membawa senjata tajam ke depan rumah seorang warga, sembari mengancam akan membunuh, bukanlah delik pidana karena belum ada korban jiwa, sampai akhirnya penulis kembali beberapa waktu kemudian sembari memberi print-out putusan pengadilan perihal Pasal 335 KUHP dan preseden putusan pengadilan yang ada dengan corak karakter perkara serupa sebagai bukti bahwa “polisi pada faktanya tidak mengerti soal hukum”.
Setelah menunggu beberapa waktu lamanya, aduan tidak juga diproses meski penulis telah mengantungi surat keterangan laporan pidana secara resmi dari Polres Jakarta Barat. Namun, apakah artinya hal demikian (pembiaran oleh aparatur kepolisian), menjadi kemenangan mutlak dari si pelaku kejahatan?
Secara falsafah, segala upaya hukum telah penulis tempuh selaku korban, hingga tahap pelaporan kepada pihak berwajib yang merupakan final dari upaya hukum dimaksud, karena tidak ada upaya hukum lainnya untuk memproses tindak pidana tingkat serius demikian. Akses menuju kejaksaan agar pelaku dituntut, menjadi monopoli kekuasaan kepolisian. Jalan buntu, tiada opsi hukum lainnya.
Pertanyaan berikutnya, bila pelaku kembali mengulangi kejahatan serupa, apakah keliru secara “falsafah hukum” maupun secara moril, bila penulis yang akan terlebih dahulu membunuh si pelaku sebelum si pelaku membunuh penulis? Apakah keliru bila kemudian penulis terdesak untuk “main hakim sendiri”, mengingat penulis telah mengantungi surat laporan kepolisian ,namun tanpa tindak lanjut tersebut?
Bukankah sama artinya dengan pihak kepolisian / penegak hukum itu sendiri, yang telah memberi kebebasan bagi penulis untuk melakukan aksi “main hakim sendiri” serta “mengeksekusi sendiri” dengan tidak menindak-lanjuti laporan / pengaduan penulis, meski penulis telah beritikad baik untuk melaporkan dan mengadukan kepada pihak berwajib?
Surat keterangan laporan kepolisian yang kini di tangan penulis, merupakan vonis bagi si pelaku untuk penulis lakukan “main hakim sendiri”. Secara falsafah maupun secara moril, siapakah yang paling patut disalahkan? Bukankah pihak kepolisian memang bertugas dan bertanggung jawab untuk menertibkan warga pelanggar kejahatan dengan derajat serius demikian, dan sudah digaji dengan pajak rakyat untuk itu? Justru dengan melakukan pembiaran demikian, dunia ini akan kian keruh dari praktik persekusi.
Pandangan yang memberi stigma keliru terhadap seluruh pelaku persekusi, sudah saatnya ditanggalkan. Banyak pelaku residivis berkeliaran, akibat obral remisi dengan alasan penjara telah overload (bayangkan, betapa produktifnya masyarakat Indonesia melakukan kejahatan, belum terhitung kejahatan yang dibiarkan polisi seperti yang dialami oleh penulis selaku korban, atau yang bebas cukup dengan membayar sejumlah upeti kepada penyidik polisi yang menangani aduan warga korban).
Masyarakat tidak lagi percaya pada aparatur penegak hukum maupun peradilan yang mudah untuk disuap. Penjahatnya, bukan lagi para kriminal itu sendiri, namun juga para polisi telah menjelma “law as a tool of perfect crime”. Bukankah kelalaian (kesalahan dalam derajat culpa), adalah kejahatan itu sendiri?
Kembali lagi, kita perlu bersikap introspektif dan rasional. Sebagai warga yang baik dan taat hukum, sepanjang kita telah melaporkan tindak kejahatan yang menjadikan kita korban, namun tidak mendapat tanggapan sebagaimana mestinya—terlebih perlindungan hukum, meski aturan hukumnya telah jelas, yang bahkan tidak dilanjutkan hingga tahap penuntutan, persidangan, terlepas apapun hasil amar putusan hakim di pengadilan, sama artinya memberi kebebasan warga untuk “main hakim sendiri”. Bila hakim memutus vonis “bebas”, maka itulah hukumnya. Namun bila polisi menjegal langkah menuju tahap persidangan dan pengadilan, sama artinya menutup akses warga selaku pencari keadilan, dari keadilan yang digelapkan oleh aparatur polisi itu sendiri.
Ketika citra apartur penegak hukum kian tercoreng, rusak, bobrok, hingga tidak lagi mendapat kepercayaan dari masyarakat, apakah keliru secara falsafah maupun secara moril, bagi warga untuk kemudian memilih “main hakim sendiri”? Untuk apa diserahkan pada polisi, bila tak lama kemudian si pelaku kembali melakukan aksi residivis serupa?
Mungkin, hanya penulis satu-satunya Sarjana Hukum di Indonesia yang tidak lagi berpikir secara orthodoks, bahwasannya “main hakim sendiri” dibolehkan dan dibenarkan sepanjang aparatur penegak hukum tidak dapat memperbaiki dan menjaga wibawa serta citra profesi dan tanggung jawabnya. Secara ekstrim bersikukuh bahwa ada prosedural hukum selaku negara berdasarkan hukum, sama artinya tidak “membumi”. Faktanya, suprastruktur hukum di Indonesia sangat jauh dari kata “ideal”, sebagaimana telah banyak penulis singgung dimuka.
Dengan tindak menindak-lanjuti laporan / pengaduan masyarakat, sama artinya dengan memberi kebebasan warga korban pengadu untuk menindak-lanjuti sendiri, menjadi hakim sekaligus eksekutornya. Ingat, tidak selamanya “main hakim sendiri” dimaknai sebagai membuat aturan main sendiri.
Aturan main sudah jelas, bahwa merusak properti dan mengancam membunuh adalah pidana berdasarkan pasal-pasal KUHP, maka perihal tidak ditindak-lanjutinya, adalah hak prerogatif warga selaku korban pengadu yang ditelantarkan pihak berwajib, untuk menjadi hakim sekaligus eksekutornya sendiri, secara swadaya dan mandiri sebagai warga yang berdaya dan berdikari di tengah korup dan kotornya institusi kepolisian—dan semua tuduhan demikian kepada kepolisian di Indonesia, adalah fakta realita adanya dimana penulis memiliki seluruh dokumentasi hingga rekaman video perihal mental, watak, dan karakter kepolisian di Indonesia yang korup, kotor, pelanggar hukum, dan penjahat itu sendiri yang diberi kekuasaan untuk menyandang senjata api.
Justru itulah tepatnya, aksi persekusi yang kian marak di tengah masyarakat, menjadi momen penting bagi POLRI maupun jajaran dibawahnya untuk mulai introspeksi diri, agar memperbaiki kinerja, bukan kian menenggelamkan citra diri dan mengukuhkan stigma masyarakat bahwa “polisi adalah musuh rakyat”, bukan lagi “polisi pengayom dan pelindung masyarakat”.
Lantas, apakah penulis akan mengadukan penelantaran oleh POLRES Jakarta Barat kepada PROPAM maupun kepada KOMPOLNAS? Tidak perlu. Justru akan lebih menguntungkan bagi penulis, sebab dengan telah mengantungi surat keterangan laporan dari kantor polisi yang tidak ditindak-lanjuti demikian, menjadi justifikasi sempurna bagi penulis untuk selanjutnya melakukan aksi “main hakim sendiri”, berdasarkan teori ilmu hukum klasik berikut, yakni: “teori mau tidak mau, tiada pilihan lain”.
Hukum yang baik dan beradab tidak menyandera warga negaranya, namun membebaskan dan senantiasa menawarkan solusi serta tindak-lanjut. Ketika warga disandera oleh abainya aparatur penegak hukum, maka adalah dibuka pintu kebebasan bagi sang warga korban pengadu untuk melakukan aksinya sendiri untuk membela dan mempertahankan hak-haknya. Tidak selamanya “main hakim sendiri” adalah ilegal terlebih melanggar “falsafah hukum” pemidanaan.
Kini kita tiba pada teori utama yang dicetuskan oleh penulis sebagai penutup artikel singkat ini, yakni: Saat negeri ini masih memberlakukan “hukum rimba”, setiap warga negara berhak untuk “main hakim sendiri”. Ketika kemudian dibentuk dan ditetapkan “hukum negara”, sebagian besar hak warga negara direbut oleh negara. Namun jika negara abai melindungi warga masyarakatnya, atau bahkan menelantarkan warga pelapor dan menutup akses pada lembaga peradilan (terutama pidana karena menjadi monopoli Polisi dan Jaksa), maka hak untuk “main hakim sendiri” tersebut kembali kepada warga bersangkutan untuk menjadi hakim sekaligus eksekutornya sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.