Kiat Memaksa Judex Juris Menjelma Judex Factie

LEGAL OPINION
TELAAH KASUS PKWT MENJELMA BUMERANG BAGI PENGUSAHA
Gugatan Yang Buruk, Terbit Putusan Yang Baik Di Tangan Hakim Yang Baik
Question: Katanya putusan Mahkamah Agung tingkat kasasi, itu tidak periksa pembuktian, karena sifatnya judex jure. Gimana jadinya bila Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan Tinggi selaku judex factie, ternyata tidak pernah memeriksa pokok perkara semisalnya karena gugatan penggugat dinyatakan “tidak dapat diterima” oleh Majelis Hakim?
Brief Answer: Ketika judex factie menyatakan “tidak dapat diterima” gugatan penggugat, maka hanya aspek formil semata yang pernah disentuh oleh Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan Tinggi, tanpa menyentuh aspek materiil dari pokok perkara. Jika itu yang ternyata terjadi secara aktual, ada suatu kemendesakan oleh kalangan para Hakim Agung saat memeriksa perkara tingkat kasasi, untuk “mau tidak mau” menyentuh ranah pembuktian dalam memeriksa pokok perkara.
Konstruksi hukum acara yang “dirasionalisasi” demikian terlihat secara lebih kontras dalam perkara pidana, ketika terdakwa dinyatakan “lepas” dalam putusan tingkat Pengadilan Negeri akibat eksepsi terdakwa diterima Majelis Hakim, maka para Hakim Agung akan terdesak untuk turut memeriksa alat bukti diseputar perkara sebagaimana tuntutan Jaksa saat perkara dimajukan ke tingkat kasasi.
PEMBAHASAN:
Adagium hukum mengatakan, gugatan yang buruk, di tangan hakim yang baik, akan terbit putusan yang baik. Terdapat sebuah ilustrasi konkret yang cukup relevan, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk pada putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 678 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 29 September 2016, perkara antara:
- ROLITA RUMONDANG HUTAGALUNG, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; melawan
- PT. VISIP INDONESIA, selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Penggugat, berdasarkan lampiran 1 Ketentuan Pokok Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu tertanggal 9 Maret 2015 antara Direktur Tergugat dan Penggugat, menyebutkan bahwa Penggugat adalah karyawan dari Tergugat, dengan jabatan sebagai Crew Manager.
Berdasarkan Lampiran Kesepakatan Kerja tersebut, hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) selama 1 tahun, yang mulai berlaku sejak tanggal 9 Maret 2015 dan berakhir pada tanggal 10 Maret 2015.
Kemudian, berdasarkan Pasal 1 PKWT yang tidak pernah ditanda-tangani oleh Penggugat dan yang didapatkan oleh Penggugat selama proses mediasi berlangsung di kantor Suku Dinas Tenaga Kerja Kota Administrasi Jakarta Utara, diperoleh juga fakta hukum sebagai berikut:
“Perjanjian ini berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, terhitung mulai tanggal 09/03/2015 sampai dengan 10/03/2016. masa percobaan 3 bulan, sampai dengan 00/06/2015.”
Namun bila merujuk kaedah norma Pasal 58 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, diatur bahwa PKWT tidak boleh mensyaratkan masa percobaan: “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.”
Tergugat melalui Suratnya tertanggal 18 Juni 2015, melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak terhadap Penggugat, dengan menyebutkan sebagai berikut:
“Merujuk kepada pembicaraan kita di kantor mengenai pemutusan hubungan kerja dengan PT. Visip Indonesia, pihak manajemen merasa bahwa hasil kerja selama tiga bulan terakhir kurang memuaskan.”
Karena perundingan bipartit perihal sengketa PHK antara Penggugat dan Tergugat telah deadlock, maka Penggugat pada tanggal 21 Agustus 2015 mencatatkan Perkara Perselisihan Hubungan Industrial pada Suku Dinas Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Kota Administrasi Jakarta Utara. Selanjutnya Mediator Hubungan Industrial Disnaker menerbitkan surat Anjuran, dengan substansi:
“PT. Visip Indonesia yang beralamat di Gading Marina Building, 5th Floor, Suite SOS Jalan Boulevard Barat Raya Nomor 1, Kelapa Gading, Jakarta Utara, agar membayarkan:
a. Uang Sisa Kontrak bulan Juli 2015 s/d tanggal Maret 2016, 8 bulan 22 hari x Rp, 13.000.000,- = Rp. 113.523.246,00;
b. Gaji dari tanggal 1 s/d 18 Juni = Rp. 7.800.000,00;
c. Uang potongan Jamsostek 2% = Rp. 780.000,00;
Jumlah = Rp. 122.103.256,00.”
Terhadap Anjuran yang diterima oleh Penggugat pada tanggal 13 November 2015 tersebut, Penggugat menyatakan menerima anjuran Mediator Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Utara, namun Tergugat dengan tegas telah menolaknya.
Pasal 57 Ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan, menyebutkan sebagai berikut: “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.” Namun PKWT tidak pernah ditanda-tangani oleh Penggugat dan tidak pernah pula diberikan oleh Tergugat, akan tetapi didapatkan oleh Penggugat selama proses mediasi berlangsung di kantor Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Utara.
Sementara Pasal 54 Ayat (3) Undang-Undang Ketenagakerjaan telah dengan tegas mengatur:
“Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang-kurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja / buruh dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.”
Selanjutnya, Pasal 58 Undang-Undang Ketenagakerjaan juga telah secara tegas menyatakan:
“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.”
Dengan demikian Penggugat meminta Pengadilan Hubungan Industrial dalam amar putusannya agar menyatakan bahwa secara hukum Penggugat adalah karyawan Tergugat dengan status Pekerja Kontrak. Namun Tergugat melalui suratnya kemudian melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak kepada Penggugat, dengan alasan tidak lolos masa percobaan.
Oleh karena Tergugat tanpa memperolah penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, melakukan PHK sepihak kepada Penggugat, maka berdasarkan norma Pasal 155 Ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan, PHK yang dilakukan oleh Tergugat menjadi “batal demi hukum”. Demikian pula bila berpegang pada norma Pasal 62 Undang-Undang Ketenagakerjaan:
“Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 Ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti-rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja / buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.”
Mengingat Tergugat merupakan pihak yang telah mengakhiri hubungan kerja dengan Penggugat, maka sesuai dengan kaedah diatas, Penggugat berhak atas ganti-rugi sebesar upah sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu PKWT. Hal demikian senada dengan Surat Anjuran tentang pendapat dan pertimbangan hukum Mediator Hubungan Industrial, yang menyebutkan:
“Bahwa oleh karena pengusaha mengakhiri hubungan kerja dengan pekerja sebelum PKWT tersebut berakhir, maka wajar sesuai dengan ketentuan Pasal 62 Undang-Undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerja berhak atas upah / gaji sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu berakhirnya perjanjian kerja tersebut.”
“Bahwa oleh karena sesuai kesepakatan yang ada dan yang telah ditanda-tangani oleh pekerja dan pengusaha, pekerja dipotong upahnya untuk Jaminan Hari Tuanya, namun kepesertaannya di Jamsostek tidak di-ikutkan oleh pengusaha, maka wajar potongan tersebut dikembalikan kepada pekerja, begitu pula upah pekerja dari tanggal 1 Juni 2015 sampai dengan tanggal 18 Juni 2015 belum dibayar oleh pengusaha, maka wajar hal tersebut juga dibayarkan kepada pekerja.”
Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan, mengatur: “Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.” Sementara Penjelasan Pasal 93 Ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan menyebutkan: “Ketentuan ini merupakan asas yang pada dasarnya berlaku untuk semua pekerja/buruh, kecuali apabila pekerja / buruh yang bersangkutan tidak dapat melakukan pekerjaan bukan karena kesalahannya.”
Lebih lanjut diatur dalam Pasal 93 ayat (2) huruf f Undang-Undang Ketenagakerjaan:
“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila: (f) pekerja / buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak memperkerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha.”
Faktanya, Tergugat sejak tanggal 18 Juni 2015 mencabut dan menarik semua akses dan atribut kerja Penggugat, dimana Tergugat juga tidak memperkenankan Penggugat untuk menjalankan pekerjaannya, sehingga Penggugat berhak menuntut hak atas upah bulan Juni 2015 secara penuh. Maka atas PHK sepihak yang dilakukan oleh Tergugat, Penggugat berhak atas hal-hal sebagai berikut:
a. Upah Penggugat bulan Juni 2015 s/d Maret 2015 (10 bulan) bulan: 10 bulan x Rp. 13.000.000,- = Rp. 130.000.000,-.
b. Upah potongan Jamsostek 2% = Rp. 780.000,-
Total = Rp. 130.780.000,-.
Sementara itu pihak Tergugat selaku Pengusaha dalam sanggahannya mendalilkan, sampai dengan proses persidangan dalam menjawab gugatan, Tergugat belum dan tidak pernah menerima Surat Anjuran yang seharusnya wajib disampaikan oleh mediator pada Dinas Tenaga Kerja.
Bagaimana mungkin dapat disebutkan bahwa Tergugat menolak Anjuran, yang pada faktanya Tergugat sama sekali belum menerima dokumen Surat Anjuran, sehingga Tergugat tidak mengetahui isi dokumen Surat Anjuran dan belum menyatakan sikap termasuk menyetujui atau menolak Anjuran Mediator Disnaker.
Terdapat pula kontradiksi dimana Penggugat mendalilkan dalam posita bahwa PKWT tidak ditanda-tangani oleh salah satu pihak sehingga PKWT dianggap tidak pernah ada, namun Penggugat meminta dalam tuntutan gugatannya untuk dinyatakan sebagai karyawan Tergugat dengan status Pekerja Kontrak.
Bagaimana mungkin seorang karyawan dinyatakan sebagai karyawan waktu tertentu apabila PKWT-nya dinyatakan tidak ada? Merupakan suatu hal yang rancu dan tidak konsisten apabila Penggugat menyatakan PKWT tidak berlaku karena Penggugat tidak tanda-tangan, namun disaat bersamaan Penggugat mengajukan gugatan dengan menghitung kompensasi berdasarkan PKWT (yang dia sendiri nyatakan tidak berlaku).
Terhadap gugatan sang Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan putusan Nomor 307/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Jkt.Pst. tanggal 11 April 2016, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Eksepsi:
1. Mengabulkan eksepsi Tergugat untuk sebagian;
2. Menyatakan gugatan Penggugat tidak jelas dan kabur (obscuur libell);
Dalam Pokok Perkara:
- Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).”
Pihak Pekerja mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa PKWT yang tidak pernah ditanda-tangani oleh Penggugat dan tidak pernah pula diberikan oleh Tergugat, baru didapatkan oleh Penggugat selama proses mediasi berlangsung di kantor Suku Dinas Tenaga Kerja Kota Administrasi Jakarta Utara.
Sekalipun PKWT tidak pernah ditanda-tangani oleh Pekerja dan Pemberi Kerja, namun Tergugat dalam surat jawaban terhadap gugatan Penggugat, di depan persidangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Februari 2016, secara tegas telah mengakui bahwa Penggugat adalah pekerja Tergugat dengan status Pekerja Kontrak berdasarkan PKWT tertanggal 9 Maret 2015, dengan menyebutkan sebagai berikut:
“Bahwa hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat didasarkan kepada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tertanggal 9 Maret 2015 antara Penggugat dan Tergugat, sehingga dengan demikian Penggugat adalah pekerja dengan status waktu tertentu.”
Atas dasar pengakuan Tergugat, mengutip doktrin Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, dalam bukunya yang berjudul “Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek”, Penerbit Alumni/1986/Bandung, halaman 69, menyebutkan:
“Pengakuan yang dilakukan di depan sidang mempunyai kekuatan bukti yang sempurna. untuk pengakuan yang dilakukan didepan sidang baik yang diberikan oleh yang bersangkutan sendiri ataupun melalui kuasanya, merupakan bukti yang sempurna dan mengikat. Hal itu berarti, bahwa hakim harus menganggap bahwa dalil-dalil yang telah diakui itu adalah benar, meskipun sesungguhnya belum tentu benar.”
Hal demikian senada dengan ketentuan Pasal 176 HIR, yang mengatur: “Tiap-tiap pengakuan harus diterima segenapnya, dan hakim tiada wenang akan menerima sebahagiannya saja dan menolak yang sebahagian lain.” Bersesuaian pula dengan ketentuan Pasal 1925 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: “Pengakuan yang dilakukan di muka Hakim memberikan suatu bukti yang sempurna terhadap siapa yang telah melakukannya balk sendiri, maupun dengan perantaraan seorang yang khusus dikuasakan untuk itu.”
Yang dipermasalahkan oleh Penggugat, amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial menyatakan gugatan Penggugat “tidak dapat diterima” oleh karena gugatan Penggugat “kabur” dan “tidak jelas”, disebabkan PKWT tidak pernah ditanda-tangani oleh Penggugat dan Tergugat, meski keberadaan PKWT telah diakui oleh Tergugat selaku Pengusaha.
Dimana terhadap keberatan-keberatan sang Pekerja, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan yang penuh dengan nuansa elaboratif sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“bahwa keberatan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 10 Mei 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 6 Juni 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa Judex Facti telah salah mempertimbangkan gugatan kabur karena antara posita dan petitum gugatan ternyata tidak ada pertentangan yaitu dalam posita mendalilkan hubungan kerja didasarkan PKWT, hal ini diakui oleh Tergugat dan dalam petitumnya mohon Tergugat membayar ganti-rugi berdasarkan Pasal 162 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dengan demikian gugatan Penggugat tidak kabur;
2. Bahwa oleh karena Judex Facti belum memeriksa pokok perkara maka Mahkamah Agung sesuai keterangan Pasal 50 dan 51 Undang-Undang Mahkamah Agung memberi pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat didasarkan PKWT, terhitung mulai tanggal 9 Maret 2015 sampai dengan 10 Maret 2016, hal ini diakui oleh Tergugat dalam jawaban (terhadap) gugatan dan berdasarkan Bukti T.4a dan T.46;
- Bahwa terbukti Tergugat telah melakukan PHK terhadap Penggugat pada tanggal 18 Juni 2015, dengan alasan hasil kerja Penggugat tidak memuaskan berdasarkan Pasal 7 ayat 2 huruf c PKWT;
- Bahwa terhadap alasan PHK tersebut Tergugat tidak dapat membuktikannya, sehingga PHK atas Penggugat tidak sah, karenanya Tergugat dihukum untuk membayar sisa kontrak sesuai keterangan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 terhitung mulai di PHK sampai dengan berakhirnya PKWT = 10 x Rp13.000.000,00 = Rp130.000.000,00 (seratus tiga puluh juta rupiah);
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: Rolita Rumondang Hutagalung tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 307/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Jkt.Pst. tanggal 11 April 2016 selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini;
M E N G A D I L I :
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: ROLITA RUMONDANG HUTAGALUNG tersebut;
“Membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 307/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.JKT.PST. tanggal 11 April 2016;
“MENGADILI SENDIRI:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan Tergugat terhadap Para Penggugat bertentangan dengan ketentuan hukum ketenagakerjaan yang berlaku;
3. Menghukum Tergugat, untuk membayar ganti rugi sebesar upah Penggugat sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja sesuai dengan Pasal 62 Undang-Undang Ketenagakerjaan, yaitu: Upah Penggugat bulan Juni 2015 s/d bulan Maret 2015 (10 bulan) = 10 x Rp13.000.000,00 = Rp130.000.000,00 (seratus tiga puluh juta rupiah);
4. Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.