Masalah Hukum Laten, Kegagalan Belajar dari Pengalaman

ARTIKEL HUKUM
Selalu saja berulang, sengketa perjanjian kredit dibawa ke ranah BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) meski Mahkamah Agung RI telah membuat pendirian yang konsisten, bahwa sengketa perjanjian hutang-piutang adalah ranah Pengadilan Negeri, bukan BPSK. Janganlah kita berasumsi bahwa seorang debitor juga adalah seorang konsumen, sebab asumsi demikian tidak laku dimata hukum.
Sama juga dengan selalu saja terjadi, para pengacara mewakili kliennya yang seorang mantan direktur, menggugat perseroan dengan alasan menuntut pesangon, seakan jabatan direksi maupun komisaris adalah “Pekerja” yang tunduk pada Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan.
Bila saja kita mau belajar dari berbagai preseden dan yurisprudensi ataupun konvensi hukum yang telah ada selama ini, jelas dapat diprediksi jauh sebelum gugatan dimajukan, bahwa organ perseroan seperti direksi maupun komisaris, bukanlah “Pekerja” sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan.
Pertanyaan introspektif berikut, menarik sekaligus penting untuk kita simak dan cermati bersama: mengapa hingga kini masih terus saja terjadi dan berulang-ulang, guru melakukan pelecehan se*sual kepada para muridnya? Mengapa terus terjadi, guru melakukan kekerasan terhadap siswa atau sebaliknya? Mengapa terus saja terjadi, aksi main hakim sendiri hingga korban meninggal dunia meski hanya melakukan pencurian ringan?
Sebenarnya jawabannya amatlah sederhana, yakni: karena kita tidak pernah mau belajar dari pengalaman sebelumnya yang telah ada. Sejarawan dan negarawan para pendahulu kita selalu berpesan, warga negara yang baik selalu dengan baik belajar dari pengalaman sejarah bangsanya sendiri dan pengalaman dari sejarah bangsa-bangsa lainnya.
Mengapa? Tidak lain ialah agar kita tidak perlu mengalami kesalahan serupa dikemudian hari, mengulang kesalahan dan tragedi sejarah yang sama. Konon, seekor keledai yang “dungu” sekalipun, tidak akan jatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya.
Bagaimana mungkin, manusia yang konon berakal budi, justru jatuh persis di lubang yang sama untuk kesekian kalinya. Lelucon sosial yang satir. Bukankah ironis, seakan berbagai pemberitaan dan putusan vonis pengadilan, dianggap “angin lalu” atau bahkan seakan lupa akan segala pesan yang tersimpan dalam berbagai sejarah peradaban manusia yang telah miliaran tahun lamanya ini? Catatan sejarah, seakan hanya sekadar menjadi konsumsi bangku anak Sekolah Dasar, sementara para guru dan orang dewasa tidak pernah mau belajar dari pengalaman sejarah.
Einstein juga telah mengingatkan kita selaku para generasi penerus, bahwa adalah absurd, bila kita melakukan hal yang sama secara berulang-ulang, dengan mengharap hasil yang berbeda. Sudah jelas, melakukan persekusi, dengan alasan apapun, akan mendapat hukuman vonis pidana dari hakim. Diulangi lagi, seakan belum cukup aksi persekusi serupa.
Kita tidak perlu mengalami sendiri semua kesalahan serupa, tapi kita cukup belajar dari pengalaman baik maupun pengalaman buruk pihak lain. Hidup terlampau singkat untuk “try and failure” dalam segala hal dan segala aspek kehidupan yang terlampau kompleks untuk umur seorang manusia yang tergolong pendek ini. Terlampau mahal harga yang harus kita bayarkan untuk secara arogan tidak mau belajar dari pengalaman yang telah ada.
Pengacara jago suap ditangkap tangan oleh KPK, panitera dan hakim nakal ditangkap pihak berwajib, politisi korup didakwa jaksa, bahkan hakim sudah bosan mengadili dan memutus perkara pidana maupun perdata yang sama, berulang-ulang dengan pelaku yang berbeda, seakan tiada habisnya. Mungkin adalah baik untuk kedepannya, peran hakim cukup diwakili oleh sebuah robot yang khusus mengadili perkara dengan corak serupa.
Berulang lagi, berulang lagi, dan kembali terulang kembali. Hingga kapan? Sama seperti itu jugalah, peran penting bagi setiap anggota masyarakat untuk mulai belajar dan memahami fungsi preseden, guna menghindari spekulasi. Bukan hanya para profesi hukum yang penting untuk memahami berbagai kaedah dalam preseden agar tidak menjadikan kliennya sebagai “kelinci percobaan” sebagaimana kerap terjadi dalam realitanya selama ini, namun juga bagi setiap warga masyarakat selaku “pengemban hukum”.
Ketidak-tahuan mengenai hukum, bukan menjadi alasan untuk lolos dari jerat hukum. Begitu pula ketidak-tahuan tentang berbagai berita perihal aksi kriminil yang ditangkap dan disidangkan, bukan menjadi alasan untuk melakukan perilaku ilegal serupa.
Terlebih buruk, mengetahui adanya perbuatan melawan hukum serupa, namun kini tetap dilakukan oleh warga tersebut, sama artinya memang layak untuk disebut menjatuhkan vonis bagi dirinya sendiri. Itulah salah satu contoh penyakit sosial yang tidak dapat diberi bantuan hukum, dalam bentuk apapun wujudnya. Ia yang telah menggali lubang kuburnya sendiri, tidak layak untuk “uluran tangan”.
Mencari penyakit sendiri, sudah sewajarnya menderita penyakit. Berani bermain api, harus berani terbakar. Yang hidup dari pedang, akan mati karena pedang—demikian pepatah klasik selalu menyampaikan pesannya secara lugas. Kita bukanlah manusia super yang kebal hukum (kecuali Anda benar-benar memiliki kekuasaan uang maupun politis ditengah perilaku bangsa yang korup dan masih mudah disuap para oknumnya), sehingga hendaknya tidak secara arogan “menantang” bahkan “menggantang” hukum. Manusia memiliki segenap keterbatasan, terutama keterbatasan waktu dan umur untuk mencicipi sendiri semua kejadian di dunia ini.
Mengapa setiap maskapai penerbangan harus meminta informasi dari menara pemantau cuara bandara udara? Seorang pilot yang baik, membawa serta ratusan nyawa penumpang di tangan sang kapten pilot. Tidak boleh ada spekulasi perihal nyawa manusia yang dipercayakan kepada sang kapten pilot. Asumsi harus dibuang jauh-jauh: asumsi bahwa cuaca akan cerah sebagaimana tampak oleh pandangan mata, asumsi bahwa instrumen kabin telah diaktifkan sebagaimana biasanya.
Hidup adalah perihal kalkulasi dan prediksi, sama halnya dengan prinsip mendasar dalam falsafah ilmu hukum, maupun ilmu-ilmu eksakta dan ilmu scientific lainnya. Bila 1 ditambah dengan angka 1, maka dapat diprediksi akan muncul angka 2 sebagai hasil kalkulasinya. Apa jadinya bila 1 + 1 = 3? Yang demikian bila terjadi 1 + 1 = 3, bukanlah ilmu hukum, namun “politik”. Hukum yang baik, harus memiliki derajat paling minimum daya prediktabilitasnya, agar setiap warga negara terlindungi dan memiliki kepastian hukum—sekaligus disaat bersamaan terlindungi dari sikap warga “spekulator” yang mencoba bermain-main dengan hukum dengan menyakiti / merugikan warga negara lainnya.
Hukum yang ideal, ialah derajat paling maksimum prediktabilitasnya dalam praktik berhukum. Itulah definisi hukum yang paling ideal dalam teknikalisasinya, sebagaimana merupakan jiwa utama praktik di negara dengan sistem budaya hukum Anglo Saxon (Common Law Legal System).
Namun mengingat sistem hukum di Indonesia tidak mengakui peran sentral preseden ataupun konvensi, maka tiada konsistensi antar putusan, sejatinya menjadi musuh utama rakyat yang jarang disadari, bahkan oleh para sarjana hukum senior sekalipun. Penulis menyebut praktik demikian sebagai, “musuh dalam selimut”—tanpa bermaksud berlebihan sebab faktanya demikian adanya.
Fakta berikut akan cukup mengguncang kesadaran jiwa kita. Sekadar sebagai ilustrasi, seorang terdakwa yang kedapatan membawa senjata tajam di kendaraan yang dilajukannya, akan dihukum pidana penjara tanpa masa percobaan. Namun terhadap seorang subjek hukum yang membawa sebilah senjata tajam dan mengancam akan membunuh penduduk lainnya, hanya dihukum pidana dengan masa percobaan. Luar biasa, gilanya!
Hakim seakan bebas membuat aturan dan putusannya sendiri, meski dengan karakter dan corak perkara yang serupa dengan putusan-putusan sebelumnya—dengan alasan klasik yang basi: “Independensi Hakim”. Jadilah praktik simpang-siur.
Ada gula, ada semut. Karena praktik peradilan di Indonesia demikian membuka ruang spekulatif, maka para “semut-semut” mulai berdatangan, mulai dari kalangan pengacara, para pengusaha spekulan, hingga para kriminil yang seakan meski telah melakukan aksi pembunuhan, berharap dirinya dapat diberi vonis “bebas”.
Yang paling malang, tentunya profesi konsultan hukum, karena atas pertanyaan hukum serupa dari klien, mampu menghasilkan jawaban yang berbeda sama sekali dalam praktiknya, karena memang tiada lagi hal yang mampu diprediksi dalam praktik hukum di Indonesia. Hakim bebas sebebas-bebasnya untuk melanggar putusannya sendiri yang sebelumnya pernah ia putus, dan tanpa sanksi apapun dari Mahkamah Agung RI.
Tidaklah naif bila seorang pelanggar hukum mengharap terbit putusan yang memihak dan menguntungkan sang pelaku kejahatan, mengingat tiada preseden yang mengikat kalangan hakim pemeriksa dan pemutus perkara, baik pidana maupun perdata. Alhasil, para spekulan bermain, entah dengan mengajukan gugatan, melakukan banding ataupun kasasi hingga peninjauan kembali dalam vonis yang diterimanya, dengan harapan agar putusan Mahkamah Agung dapat membebaskan dirinya, atau hingga terbit amar putusan yang lebih menguntungkan diri sang penggugat.
Itulah sebabnya, perkara kejahatan serupa, perkara gugatan serupa, selalu membanjiri Mahkamah Agung RI, yang sejatinya tidak perlu diajukan karena sudah jelas hasil amar putusannya. Karena para Hakim Agung dengan jumlah yang terbatas sumber daya manusianya, dibebani oleh tumpukan berkas perkara “sampah” demikian, tidak heran bila proporsi waktu para Hakim Agung untuk memeriksa dan memutus perkara yang serius, akan tergerus kualitas dan nilai waktunya, oleh akibat direpoti oleh perkara-perkara “sampah” yang sejatinya tidak perlu diajukan oleh terpidana ataupun oleh pihak penggugat / tergugat.
Mau dibawa kemana, bangsa ini, bila kita tidak mau juga untuk belajar dari sejarah dan pengalaman sebelumnya? Apakah betul, kita semua selaku warga negara, akan merasa nyaman hidup di negara yang hanya bergantung pada aksi spekulasi demikian, tanpa kepastian hukum?
Alangkah sangat meletihkan bila segala hal harus dilakukan lewat cara “ber-ju-di” dalam setiap aspek kehidupan, tanpa ada patokan yang jelas dan tegas, dan tanpa ada sesuatu yang dapat dipegang secara erat sebagai pegangan yang apsti. Yang sangat perlu kita camkan, hak asasi manusia sangat bergantung pada kepastian hukum.
Tanpa kepastian hukum, tiada keadilan, karena hukum akan menjadi mesin politik mereka yang berkuasa untuk menyetir arah bandul putusan pengadilan. Tidak mengherankan, bila lembaga pemasyarakat selalu overload dari para kriminal, bahkan narapidana residivis dengan pelanggaran hukum serupa siap untuk kembali melakukan aksi kriminil serupa setibanya hari bebas dikemudian hari—bebas untuk kembali melakukan kejahatan dan pelanggaran serupa. Memang bangsa yang “sakit”. Sebuah lelucon hukum yang tidak lucu.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.